Tom & Jerry
"Bang, gue tembus ...," kata Ghea dengan wajah tertunduk.
Damian menatap gadis berambut sebahu itu dengan alis terangkat sebelah. Dia masih belum bisa mencerna apa maksud dari perkataan yang baru saja dia dengar.
Gadis itu masih menunduk, sedangkan kuning lembayung mulai mengintip di sela-sela pepohonan. Mangkuk bakso yang sedari tadi dia pegang pun sudah dikembalikan kepada Mang Ojo—pedagang bakso langganannya.
Damian menyentil jidat semulus tepung kanji itu, membuat gadis itu mengaduh seraya mendongak. Wajahnya terlihat pucat, dengan bola mata yang berkaca-kaca. Di sudut kelopak matanya berkumpul gumpalan air mata yang siap meluncur kapan pun.
"Tembus apaan? Lo pasang togel?" tanya Damian santai.
Ghea mengembuskan napas panjang, "Sialan! Lo sekolah di mana sih? Kenapa tolol?" ujar Ghea dengan kesal.
Damian mendengus, sejurus kemudian dia menjitak kepala Ghea. "Lo tau gue gak peka, jadi gak usah main kode-kodean."
"Gue ... dapet, Bang." Suara Ghea mengecil.
Damian semakin tidak mengerti, dia mengernyitkan dahi. "Dapet apa? Duit?"
"Gue bocor! Menstruasi, bego!" cicit Ghea.
Tubuh atletis Damian mendadak kaku, seperti kanebo kering. Dia bingung ingin menanggapi seperti apa. Bukannya dia tidak tahu masalah periode bulanan seorang wanita, hanya saja apa yang akan dia lakukan pasti menjadi serba salah akhirnya.
Dia ingat, pernah membaca Meme-Comic yang ada di Instagram. Banyak guyonan atau kata-kata yang mengatakan cewek yang sedang datang bulan itu lebih mengerikan dari raja hutan—singa.
Otaknya masih mampu mengingat salah satu kalimat yang mengatakan; Cewek pms nabrak meja, mejanya yang minta maaf.
Atau kata-kata yang ini; Perang dunia itu ada dua: pertama, saat cewek pms. Kedua, saat cewek lagi badmood. Cewek lo lagi pms dan badmood? Kelar hidup lo!
Damian bergidik ngeri, dia mencoba menatap wajah oval Ghea. Mencoba menilai, apakah Ghea sedang dalam mood jelek atau sedang ada di suasana hati yang baik.
Otak Damian sudah menebak jawabannya, tanpa perlu menatap wajah Ghea terlalu lama. Gadis itu sedang bete karena dia tidak cukup peka, saat pertama kali Ghea mengatakan bahwa dia tembus.
Mati gue mati, bentar lagi ada singa ngamuk, batin Damian.
"Duh, terus gue harus gimana, G?" tanya Damian dengan wajah bingung.
Damian membuka tas berwarna navy yang sejak tadi dia sampirkan di punggung bangku taman. Dia membuka resleting tasnya, dan merogoh ke dalam. Mencari-cari sesuatu, yang mungkin saja bisa memperbaiki ekspresi wajah masam Ghea.
"Ini pake." Damian menjulurkan tangannya yang sedang memegang kain dilipat rapi.
Ghea diam. Memandang tangan Damian dengan tatapan datar.
Damian duduk di samping Ghea dengan kikuk. Lehernya mendadak kaku, sekadar untuk menoleh ke kanan saja tidak mampu. Keringat dingin mulai mencuat satu per satu. Dia kehabisan gaya, melihat sorot mata Ghea yang masih saja memandang tangannya dengan lempeng.
Dengusan napas terdengar, membuat Damian semakin canggung. Otaknya terus dijejali kalimat mencekam, bahwa Ghea akan mengamuk seperti singa betina.
"Udah pakai aja, daripada lo malu." Tangan kiri Damian menarik lengan Ghea agar ikut berdiri.
Dia membuka kain yang terlipat itu, kemudian membungkus pinggang ramping Ghea dengan sarung bermotif kotak-kotak itu.
Dia melakukannya dengan telaten, layaknya sang kakak yang sedang memakaikan sarung kepada adik kecilnya yang mau belajar shalat.
Ghea hanya diam, meskipun dia tidak menunjukan penolakan, wajahnya masih tetap masam.
"Padahal kalau di novel yang gue baca, kalau ceweknya lagi dapet pasti si cowoknya bakal nutupin pake jaket. Bukan pake sarung kayak gini," gerutu Ghea dengan suara pelan.
Damian bernapas lega, akhirnya dia mendengar suara Ghea. Dia lebih memilih mendengarkan segala ocehan Ghea, daripada harus melihat gadis itu diam seribu kata.
"Gue jadi kelihatan kayak bocah habis dikhitan," sambungnya dengan wajah semakin masam.
Kali ini Damian yang mendengkus, dia mencubit pipi tembam Ghea. "Gak usah kebanyakan baca novel menye-menye. Lo hidup di dunia nyata, bukan di dunia novel."
"Serah gue dong!" pekik Ghea.
Oh, Tuhan!
Damian membisu mendengar suara melengking yang berasal dari gadis di sampingnya. Dia salah bicara. Hal itu membuat mood Ghea semakin memburuk.
Damian menarik lengan Ghea, agar gadis itu mau mengikuti langkah kakinya. Dia berniat ingin mengajak gadis itu pulang, daripada mereka duduk di taman dan menjadi pusat perhatian. Karena Ghea memakai sarung, dengan kaos berwarna putih polos.
Cewek dengan sarung motif kotak-kotak yang melingkar di pinggangnya, hanya menuruti ke mana lengan kekar itu menuntunnya. Dia malas berargumen, mendebat ini dan itu.
Terkadang Damian merasa jika mereka berdua itu seperti tikus dan kucing. Selalu saja ada hal-hal diperdebatkan, atau saling merebutkan sesuatu. Namun, di sisi lain mereka akan saling membutuhkan. Untuk sekadar berbagi canda.
"Gue udah bukan murid Pelita lagi, lo harus jaga diri baik-baik. Jangan ceroboh, apalagi bikin onar. Dan jangan lupa, kenalin cowok yang udah buat cewek jorok kayak lo jatuh cinta," kata Damian yang masih menggenggam jemari Ghea.
Selepas itu, tidak ada obrolan lagi di antara keduanya. Motor berwarna merah itu melaju membelah jalanan Magelang sore hari. Ditemani cakrawala yang mulai berubah warna.
🐼🐼🐼
I hope u like it!
Jangan lupa tinggalkan jejak❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top