Sisi Lain Ghea
Hujan yang turun sejak pagi hanya meningglkan langit berwarna kuning keabuan. Sudah tak ada lagi air yang mampu membasahi permukaan bumi, yang tersisa hanya Alan dan Ghea di bawah tenda sebuah kedai pinggir jalan.
Warung kopi yang ada di bahu jalan menjadi tempat singgah sementara untuk mereka berdua melepas penat--setelah seharian bolos sekolah. Cowok yang rambutnya sedikit basah oleh sisa air hujan itu memilih untuk memesan dua porsi mi rebus dan meninggalkan Ghea yang sedang termangu menatap aspal basah.
Hari ini ia telah menghabiskan waktu bersama Alan. Dimulai sejak hujan masih menetes, hingga telah berhenti mereka berdua tetap bersama. Puas bermain game di warnet, Alan mengajak Ghea pergi ke taman bacaan dan singgah di sana cukup lama. Yang terkahir mereka datang ke sini--warung kopi.
Ghea tidak menampik bahwa tempat yang dipilih Alan selalu mengasyikan. Ia pikir, taman bacaan itu adalah serupa tempat yang berisi ribuan buku. Namun, Ghea salah. Tempat ini berlipat-lipat lebih menyenangkan dari time zone yang ada di mall.
Di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, berisi puluhan anak-anak putus sekolah yang haus akan ilmu. Sebagian besar dari mereka mengenal siapa Alan.
“Mereka yang ada di sini adalah anak-anak yang kurang beruntung. Pendiri taman bacaan ini, adalah mahasiswa yang peduli atas generasi penerus bangsa,” jelas Alan melihat raut bingung Ghea.
“Kok mereka bisa kenal sama lo?” tanya Ghea penasaran.
“Oh, aku setiap libur sekolah pasti nyempetin ke sini. Enggak muluk-muluk, cuman bacain mereka cerita aja udah senang.” Alan tersenyum. “Yang sering ngajar mereka nggak harus mahasiswa, siapa pun boleh berbagi ilmunya. Ah, iya... ada satu cowok, mungkin kamu kenal.”
Ghea mengernyit bingung, ia baru pertama kali datang ke sini, bagaimana bisa ada seseorang yang ia kenali?
“Siapa?”
Wajah yang dibingkai kacamata itu menelisik sekitar, mencari seseorang yang ia maksud tadi. “Mungkin enggak ke sini, atau belum datang.”
“Mahasiswa juga?” tanya Ghea lagi.
Alan menggeleng. “Bukan, dia alumni sekolah kita.”
Pikiran Ghea melayang bersama dengan desau angin yang mulai terasa memilukan tulang. Alan datang dengan dua mangkuk mi rebus. Ia tersenyum, dalam hati ia terus mengucapkan kata syukur telah mengenal sosok sesederhana Alan. Laki-laki berkacamata itu benar-benar mengagumkan.
“Makasih,” ucap Ghea.
Alan mengangguk, dan mendudukan tubuh tingginya di depan Ghea. Aroma mangkuk berisi potongan sawi bercampur telur itu membuat perut keroncongan. Setelah membaca doa, mereka lekas menyantap makanan mereka.
“Gue heran, kenapa mi rebus warkop rasanya lebih enak daripada bikinan sendiri,” ucap Ghea setelah selesai memakan makanannya.
“Karena ...,” Alan menyeruput teh hangatnya. “kamu makannya sama aku, jadi enak, deh rasanya.”
Ghea tertawa mendengar Alan berbicara seperti itu, bukannya jadi romantis justru terasa aneh di telinga.
“Nggak pantes lo ngomong gitu, Lan.”
“Pantesnya?” goda Alan.
Dikibaskannya tangan mungil milik Ghea. Tiba-tiba hatinya kembali berdesir aneh, tapi rasanya menghangatkan.
“Apaan sih, Lan!” seru Ghea.
Alan tertawa renyah. “Cie malu, cie.” Alan semakin gencar menggoda Ghea.
Di bawah cahaya remang lampu kedai, kedua pipi putih milik Ghea bersemu merah. Bersyukurlah Ghea karena pengunjung warung tidak terlalu ramai, jadi ia tidak perlu menyembunyikan rona merah jambu di pipinya.
Seberes membayar makanan, mereka berdua berjalan meninggalkan warung kopi. Hanya lampu jalanan yang mengiringi langkah mereka.
“Motor lo gimana?” tanya Ghea setelah keheningan beberapa saat.
“Harusnya nanya gini; kita pulangnya gimana?” seloroh Alan.
“Ini kita lagi pulang, kan,” Ghea menendang botol air mineral, “eh, ini kita di mana, sih?”
Alan meneliti sekitarnya, jalan ini bukan rute yang biasa ia lewati untuk berangkat dan pulang sekolah. “Kita di dekat SMK Taruna kayaknya,” ujar Alan skeptis.
“Kok kayaknya? Eh, apa lo bilang? SMK Taruna Nusantara? Gila, jauh banget kita pergi. Masa dari ujung ke ujung?”
Alan mengangguk, meski ia ragu. Mereka berdua terus melangkah di atas trotoar jalan. Belum terlalu malam, sehingga masih banyak kendaraan yang melintas.
“Mau pesan ojol aja?” tawar Alan.
“HP gue mati. Lo?”
Alan menyengir. “Sama.”
Ghea hanya mengangguk, dan terus melangkah. Ia belum ingin pulang, ia masih ingin berjalan bersama Alan di bawah langit yang mulai menampilkan bintang. Mereka seperti sedang menggoda mereka berdua, diam-diam Ghea tersenyum.
“Lan ...,” panggil Ghea ragu.
Cowok itu menoleh. Tidak ada lagi frame kotak yang menghiasi wajah lonjongnya. Sudah tidak ada lagi kacamata yang selalu bertengger di hidung mancungnya.
“Kenapa?” tanya Alan.
Suara Alan bertubrukan dengan klakson mobil. Lampu-lampu kendaraan itu saling beradu, berebut ingin sampai ke tempat tujuan.
Dalam diamnya Ghea ragu ingin bertanya tentang hal ini, tetapi bagian sudut hatinya meminta agar mau berbagi dengan Alan. Ia menarik napas, kemudian menggeleng--sebagai jawaban atas pertanyaan Alan tadi.
“Nothing.” Ghea mengepal tangannya dari dalam saku jaket. “Hm, gini ... lo pernah nggak, sih ngerasa takut sama sesuatu hal?” tanya Ghea ragu-ragu.
“Trauma?” Alan balik bertanya.
Ghea mengangkat bahunya. “Atau menurut lo salah nggak kalau kita takut ngelakuin kesalahan yang sama?”
Cewek berambut pendek itu merasa pertanyaan yang ia ajukan terasa ambigu. Melihat Alan yang diam saja, sudah pasti dugaannya benar--bahwa apa yang baru saja ia katakan terasa membingungkan. Ia jadi menyesal sudah menanyakan itu pada Alan.
Hening menyelimuti langkah mereka. Ghea pikir, Alan bingung mencari jawaban atas pertanyaannya yang berbelit-belit. Hal itu membuat Ghea mengembuskan napas berat, kemudia terus melangkah dengan tatapan kosong.
“Salah nggak salah, sih. Maksudnya gimana, ya ... kesalahan hadir itu bukan buat jadi hambatan kita untuk bergerak maju. Jadi?” tanya Alan penuh kehati-hatian.
Cowok itu tidak mau membuat Ghea tersinggung dengan jawaban yang baru saja ia utarakan. Dan pertanyaan tadi, ia tidak bermaksud untuk mencampuri privasi Ghea. Ia tidak akan memaksa jika Ghea enggan untuk membagi kisahnya.
Ghea berdehem singkat, ia menarik napas. Berusaha meyakinkan diri sendiri, menceritakan hal ini pada orang lain artinya ia harus siap membuka luka lama yang telah dikubur selama ini.
“Mungkin lo pernah dengar ini, atau bisa jadi Lo salah satu dari sekian orang yang penasaran bahwa rumor itu benar apa enggak,” ujar Ghea
Memoar kelam itu kembali berputar layaknya film rusak.
“Dulu, waktu kita masih kelas 10, gue pernah ikut event silat--bisa dibilang resmi, bisa enggak. Karena nyatanya, gue nggak pakai nama sekolah, atau sanggar bela diri tempat gue bernaung. Saat itu, cuma marga Anastasya yang melekat di seragam gue. Selebihnya identitas dirahasiakan. Ini semua berasal dari salah satu rival gue dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya ikut event yang sama. Entah apa yang dilakuin sama pihak panitia, harusnya gue fight sama orang lain, malah jadi sama dia,” Ghea mengusap wajahnya dengan kasar, “dia tiba-tiba jatuh dan nggak sadarkan diri setelah dapat tendangan sabit, padahal gue yakin, enggak kena alat vital. Dia enggak sadarkan diri selama dua hari. Orang tuanya nuntut gue, Lan. Padahal, dokter udah jelas kasih klarifikasi bahwa penyebabnya bukan tendangan sabit yang gue lakuin, tapi ada suatu hal lain. Maybe, dia punya penyakit yang bisa berakibat fatal, atau gimana gue enggak tahu pasti, karena yang ngomong nyokap gue.”
“Orang tua dia, tetep kekeuh mau memidanakan gue dengan tuduhan percobaan pembunuhan. Gue enggak takut, karena emang nggak salah. Tapi satu hal yang bikin gue tertekan dan hampir mutusin buat berhenti sekolah, predikat pembunuh dengan jelas melekat di diri gue. Hal kayak gitu, bikin gue kesulitan berinteraksi, nggak cuma di kalangan anak silat, bahkan di sekolah kita enggak sedikit yang nge-judge gue pembunuh. Perlahan, mereka menjauh, bahkan ada yang sampai anti-pati sama gue. Sakit banget nggak sih, Lan? Sesakit itu lo tahu,” pungkas Ghea dengan suara serak.
Hatinya seperti terhimpit di antara dua batuan raksasa, yang bisa menghancurkan hanya dalam hitungan detik. Ia benci dengan masa lalunya.
Alan termenung, ia ingat pada saat ia masih duduk di bangku kelas 10. Rumor itu menyebar dengan cepat, cerita yang ia dengar berbeda-beda, dan membuat ia kesulitan menyimpulkan. Namun, pada hari ini ia mendengarkan penjelasan dari Ghea.
Entah dorongan darimana, Alan menarik Ghea ke dalam dekapannya. Mengusap punggung yang terus bergetar. Tidak ada kalimat penenang yang Alan ucapkan, ia hanya menggerakan tangannya di atas tubuh yang terbalut jaket.
Pun dengan air mata yang semakin merembes membasahi sweater Alan. Sebagian hatinya terasa lega, bersamaan dengan datangnya kedamaian yang tiba-tiba menelusup dalam benaknya.
“Mau nangis sampai kapan? Itu ingusnya udah berceceran,” goda Alan.
Ghea memisahkan diri dari Alan. Ia melengos dan lekas melanjutkan langkah kakinya yang sempat tertunda karena adegan peluk-pelukan layaknya Teletubbies.
Alan tertawa saat melihat hidung dan pipi Ghea yang memerah akibat menangis. Ia turut menyusul Ghea yang sudah berjarak beberapa meter dari tempatnya.
“Makasih,” gumam Ghea.
Alan mengangguk. “Jangan nangis lagi. Everything is okay.”
Seulas senyum terbit di bibir Ghea. Akhirnya ia mengerti bahwa menyenangkan rasanya berbincang dengan seseorang yang mengerti kapan harus diam, dan kapan berbicara.
Ghea tahu, Alan itu tidak pandai berkata-kata, cowok itu terlihat dingin di luar, hangat di dalamnya. Tetapi apa yang Alan lakukan tadi, sudah benar-benar membuat ia tenang. Entah kenapa, bagi Ghea itu lebih mendamaikan daripada jutaan kalimat penenang yang ada pada qoutes-qoutes di Instagram.
***
To be continue ♥️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top