Sesak Napas

"Bukankah perihal rasa, sudah ada yang mengaturnya? Sekarang, tinggal bagaimana cara kita menjaganya agar rasa itu tetap ada."

—gadis abu-abu

***
Happy Reading🌝


Tubuh mungil yang dibalut dengan baju tidur berwarna biru langit itu, bergerak-gerak gelisah di atas single bed miliknya.
Bisa dihitung, setiap lima menit sekali tubuh itu akan bergerak. Entah terlentang atau kembali menenggelamkan kepalanya di bawah bantal.

Debar di jantungnya masih bisa dengar secara gamblang. Ini sudah hampir dua jam sejak kejadian awkward yang sengaja mata empat itu ciptakan. Bagaimana tidak? Alan dengan terang-terangan melakukan hal itu, sesuatu yang berhasil menciptakan suara merdu dari jantung Ghea.

Ghea membalikkan tubuhnya menjadi terlentang. Iris cokelat terang miliknya, menghadap ke arah langit-langit kamarnya.
Dia beruhasa memejamkan mata, tetapi hasilnya nihil. Semakin kelopak itu tertutup, maka bayangan sore tadi kembali berputar.

"Apa?" Ghea mengernyit saat melihat benda pipih disodorkan ke arahnya.

"Minta nomor HP kamu," jawab Alan santai.

Ghea tak langsung mengambil ponsel itu, lagi-lagi dia dibuat terkejut akan tingkah Alan. Oh ayolah, yang benar saja. Baru 30 menit yang lalu, cowok itu menawarkan untuk pulang bersama. Sekarang, Alan justru meminta nomor ponselnya.

Ghea berdehem singkat, mata sipitnya berkedip-kedip--memastikan jika yang dilihat benar-benar Alan. Bukan jin atau sejenisnya.

"Buat apa?" tanya Ghea setelah keheningan beberapa saat.

"Catat aja, dulu."

Ghea mengangguk. Tangannya gemetar saat meraih ponsel milik Alan.
Keringat yang entah sejak kapan sudah membasahi telapak tangannya, membuat dia kesulitan untuk mengetikkan nomor, dan sempat beberapa kali salah menekannya.

Alan tersenyum semringah tatkala melihat Ghea mengembalikan ponselnya.

"Makasih," kata Alan.

"Gue yang harusnya bilang makasih."

"Untuk?"

Ghea mengehela napas perlahan. Dia takut jika Alan sampai mendengar detak jantungnya yang terdengar seperti sedang lari maraton.

"Udah nganterin gue pulang," Ghea tersenyum tipis. "Hm, lo nggak mau pulang? Gue nggak mau nawarin lo mampir, soalnya ini udah sore, sebentar lagi gerimis kayaknya."

"Pakai Assalamualaikum, nggak?"

"Kalau gue jawabnya yang wajib aja boleh, nggak?"

Cowok itu kembali mengangguk. Entah memang hobi atau memang tidak enak jika harus menolak permintaan Ghea.

"Assalamualaikum," katanya.

"Wa'alaikumsalam," sahut Ghea sembari bersiap membuka pagar.

"Ghea?"

"Ya?"

Jangan-jangan Alan, besok mau ngajak berangkat bareng, pikirnya.

Sial! Harapan-harapan itu menyeruak dengan tiba-tiba dalam benaknya.

"Helmnya." Alan tersenyum geli.

Leher Ghea mendadak sulit digerakkan mendengar setiap huruf dari kalimat Alan. Rasa kesal bercampur malu itu nyata. Betapa tidak? Kesal karena dia sudah melambungkan harapan, dan malu sudah melupakan pasal helm.

Tubuh yang dibalut piyama itu kembali bergerak. Dia menelungkupkan kepalanya di bawah bantal. Sekarang pipinya terasa panas.
Kenapa perihal Alan selalu bisa membuat dia segelisah ini?

Kejadian memalukan itu tentu saja tidak bisa dia lupakan begitu saja. Apalagi, dalam ingatan Alan, pasti akan sangat membekas.

Drrtt ... Drttttt ....

Suara getaran ponsel yang ada di sebelahnya membuat kinerja jantungnya berkerja dua kali lipat. Selalu saja, nurani menumbuhkan asa di setiap celah hatinya.
Ghea menarik napas dalam-dalam sebelum tangan mungil miliknya meraih benda itu.

Dia langsung beranjak duduk saat melihat siapa yang mengirim pesan. Dia mengernyit bingung, sebelum jarinya mengetukkan pesan balasan.

F.Dinata

Hai fvcking sist! Long time no see💓

F.Dinata

Kyak.a sebentar lg bakal ketemu.

F.Dinata

Ok see u! Siapin hati buat ketemu cogan kek gw😉

G.Anstsy_

In u'r dream, dude!

Ghea mendesah pelan, setelah mengirim pesan balasan. Kejutan apalagi setelah ini?

***

Matahari belum terlalu tinggi saat kaki mungil milik Ghea keluar dari angkutan umum yang sejak 30 menit lalu dia tumpangi.

"Ghea!"

Suara itu berhasil membuat langkahnya terhenti, cewek itu menoleh, dan mendapati Alan sedang berdiri dengan kedua tangan yang masuk di saku jaket.

Ghea hanya tersenyum sekilas, dan berniat melanjutkan langkahnya. Suasana SMA Pelita Bangsa pagi ini cukup ramai, beberapa kali Ghea harus menyingkir untuk memberi motor atau mobil yang akan memasuki area sekolah.

"Kamu nggak baca Line-ku?" tanya Alan saat sudah berada di samping Ghea.

Dahi Ghea berlipat, dia menatap Alan dengan senyum kecil yang menghiasi wajahnya.

"Sorry, gue nggak buka HP."

"Nope," sahut Alan diiringi senyum seperti biasanya.

Mereka berdua berjalan beriringan. Menyusuri setiap koridor yang ada di SMA Pelita Bangsa.

"Karena pagi ini nggak jadi berangkat bareng, kalau nanti pulang bareng gimana?"

"Lagi?"

Alan tersenyum. "Hmm, mau?"

Sebelum Ghea melontarkan jawaban untuk Alan, langkah kaki mereka sudah ada di ujung tangga yang akan memisahkan keduanya.

"Gue ada bimbingan. Nanti gue kabarin, ya?" kata Ghea sembari bersiap membelokkan tubuhnya ke arah kiri--gedung XI IPS.

Alan mengangguk sembari tersenyum semringah. Sorot matanya tak bisa memungkiri hal itu. Kenyataan bahwa hatinya sedang menghangat.

Tubuh yang masih dibalut sweater berwarna kuning itu sampai di depan kelas yang mempunyai plang XI IPS 2.
Ghea lekas meletakan tasnya di atas meja, dan mendapati ketiga temannya yang sedang sibuk mengobrol pasal sepak bola Indonesia.

"Muka lo cerah amat, G?" tanya Jonathan pertama kali, karena sejak tadi Ghea hanya menyimak obrolan ketiganya.

"Iya, itu pipi kenapa kok merah?" Rachel ikut bersuara.

Cewek dengan  rambut sebahu itu hanya tersenyum saja. 

"Oh ya, G. Hari ini kita mau ke Jogja Bay," Rama memakan kuaci dengan bungkus bunga matahari. "Lo ikut, kan?"

"Yah, sorry ... gue ada bimbingan habis istirahat. Sampai sore kayaknya." Ghea menangkupkan kedua tangannya--tanda permintaan maaf.

"Duh iye, yang mau ikut olimpiade mah beda," cibir Rachel.

Ghea hanya menghela napas. Suasana kelas sudah cukup ramai. Pantas saja, sebentar lagi bel masuk kelas akan berbunyi.
Mata sipit milik Ghea, melirik ke arah bangku pojok. Ada Aga di sana, dia baru saja datang dan langsung heboh karena belum mengerjakan PR Bahasa Inggris.

"Kapan emang?"

"Apanya, Jo?" Ghea menatap Jonathan bingung.

"Olimpiadenya."

"Satu bulan setelah kenaikan kelas 12." Ghea mengecek ponselnya, kerena benda itu bergetar terus.

Jonathan hanya ber-oh ria. Cowok itu lekas beranjak, menuju anak cowok lainnya. Rama hanya melirik sekilas, tidak berniat mengikuti ke mana Jonathan akan pergi.

"Oh, ya Bang Dami lagi sibuk nggak, ya?" tanya Rachel.

"Mata lo kalau liat yang ganteng dikit, suka gatel, ya!" Rama melempar kulit kuaci ke arah Rachel.

"Sirik aja, lo! Bilang aja lo juga pengen gue perhatiin!"

Ghea yang semula sibuk membalas pesan dari grup olimpiade, mendadak menoleh ke arah keributan yang selalu saja Rachel dan Rama ciptakan.

"Kenapa, Chel?" Ghea balik bertanya.

"Gue mau minta bantuan dia buat hunting foto. Ada beberapa barang endors yang belum gue upload, karena nggak ada yang ngefotoin."

Ghea mengangkat bahunya sekilas, dan kembali berkutat dengan kuaci yang Rama bawa dari rumah.

"Duh iye, yang selebgram mah beda." Ghea mengikuti perkataan yang sempat Rachel lontarkan kepadanya.

Cewek berambut tergerai itu hanya mendengus sembari memutar tubuhnya--menghadap ke arah papan tulis.

***
To be continue...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top