Pohon Mangga
Setelah dua jam dihabiskan dengan mata pelajaran sejarah di jam terakhir, akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Memecah kantuk yang sejak tadi bergelayut di kantung mata. Ghea menguap, kemudian meregangkan kedua tangannya. Ia menggerakan puggungnya yang terasa pegal karena selama dua jam hanya menyandarkan kepala di meja.
Manik cokelat terangnya tidak sengaja bersitatap dengan iris abu-abu milik Jonathan. Cowok itu sedang berdiri dengan tangan yang hendak mancaklong ransel hitam miliknya. Ghea memilih membuang muka, ia masih belum bisa menghilangkan bayangan kejadian awkward tadi di jam istirahat, hal itu membuat pipi Ghea kembali merona.
"G, nonton, yuk!" ajak Rachel yang masih sibuk dengan ponselnya. Padahal sudah jelas bahwa penghuni kelas mulai keluar satu per satu.
Ghea melirik sekilas, ia kembali memasukan bukunya ke dalam tas. Ia memikirkan ajakan Rachel, kerana hari ini tidak ada jadwal bimbingan. Katanya libur sementara sampai selesai UKK, dan jika ada materi yang belum dipahami bisa menanyakan pada William. Itulah pesan yang Ghea baca di grup khusus olimpiade ekonomi.
"Ini ada film bagus, G! Ayo dong!" rengek Rachel. Cewek itu sampai menarik-narik lengan Ghea.
Pemilik tangan itu memutar bola matanya malas. "Nggak, ah! Ngajak Rama, aja sana." Ghea mencangklong ransel navy miliknya.
Rachel mendengus kesal, ia turut memasukkan satu buku tulis yang tergeletak di meja. Ia bergegas mengejar Ghea yang sudah beberapa langkah di depannya, tidak lupa Rachel pun merogoh laci meja, tempatnya menyimpan sebuah cermin kecil--yang selalu ia bawa ke mana-mana.
"Rama katanya mau ke warnet sama Jonathan." Rachel berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Ghea.
"Kalau gitu, mending gue ikut mereka berdua," sahut Ghea tak acuh.
Rachel mendengus kasar, wajah lonjongnya merengut mendengar jawaban Ghea. "Sahabat lo itu gue atau mereka, sih, G?!"
"Kok pembahasannya jadi melebar ke mana-mana?" tanya Ghea. Ia menghentikan langkahnya di depan tangga.
"Lo gitu, sih! Masa cuman diajak nonton aja nggak mau. Gue bete, G di rumah. Lo tahu, 'kan kalau nggak sama kalian gue di sini nggak punya teman lain?" Suara Rachel terdengar lesu.
Ghea menghela napas, ia meraih pergelangan tangan Rachel membawanya bergerak menuruni tangga. Cewek yang memiliki tinggi 10 cm lebih tinggi dari Ghea itu masih terdiam, tidak ada kalimat protes atas tindakan Ghea.
"Gue nggak bisa, Chel. Hari ini gue mau ketemu anak teater, lo tahu 'kan nilai tugas bahasa indonesia gue kosong?" terang Ghea mencoba memberi pengertian.
"Lagian lo pake bolos segala. Apalagi perginya sama si Alan," gerutu Rachel.
Ghea hanya memutar bola matanya, malas mendengar perkataan Rachel. Padahal mereka berdua sudah membahasnya tadi pagi; ke mana perginya Ghea kemarin, karena tidak masuk sekolah. Pun dengan Ghea yang sudah menjelaskan secara rinci.
Rachel mengembuskan napas berat, ia menggerakkan kepalanya menjadi anggukan kecil. Ia menggenggam tali tasnya erat-erat, tampaknya ia harus kembali menghadapi semua ini dengan seorang diri. Dengan langkah setengah diseret, Rachel melangkah meninggalkan Ghea.
Melihat hal itu, Ghea merasa tidak tega sendiri sudah menolak ajakan Rachel, tetapi saat ini yang terpenting adalah membereskan tugas-tugasnya sebelum UKK. Ia tahu, bahwa Rachel adalah perantau di kota ini, yang artinya Rachel tidak memiliki teman lain selain mereka bertiga. Tidak heran, jika melihat Rachel begitu lesu jika harus kembali ke rumah.
Ghea merogoh sakunya, mengambil ponsel yang ia simpan di sana. Begitu mendapatkannya, dengan lincah jarinya menggulir layar berukuran 6 inci itu, mencari nomor telepon seseorang yang sekiranya bisa membantu. Ghea mengetikkan pesan, hanya dalam hitungan detik pesan itu sudah terkirim.
Tidak perlu menunggu balasan, Ghea kembali melanjutkan langkahnya. Menyusuri lobi sekolah yang mulai sepi, yang terlihat hanya beberapa murid masih berlalu lalang. Sesekali Ghea menyenandukan lagu dari salah satu band lawas. Di saat anak seusianya menyukai lagu-lagu terbaru, ia justru menyukai band yang hits di tahun 90-an. Bahkan, masa itu pun Ghea belum lahir.
Tiba di dekat mushola, Ghea melihat beberapa anak ekskul teater yang sedang duduk di bawah pohon mangga. Niatnya untuk kembali melangkah terurungkan saat mendengar suara grasak-grusuk yang berasal dari atas kepalanya. Ia mendongak, sangat terkejut saat mendapati Satria yang sedang berada di atas dahan pohon mangga.
"Mirip lo sama monyet!" seru Ghea.
Sebuah ranting pohon yang ukurannya tidak terlalu besar, jatuh tepat di atas kepala Ghea. Cewek itu mengaduh sembari mengusap pelan rambutnya. Ia mendelik melihat siapa pelaku yang sudah melemparnya dengan ranting pohon.
Cowok itu menyengir. "Sorry, gue nggak lihat kalau ada orang. Habis lo cebol gitu, sih." Satria tertawa dari atas pohon.
"Sialan lo!" pekik Ghea.
Ghea berniat ingin melempar sebuah botol air mineral. Namun, niatnya terurungkan saat sebuah suara menginterupsinya.
"Ghea," panggilnya.
Merasa terpanggil cewek itu menoleh, mendapati Alan yang sedang berdiri bersama Daniel. Tumben mereka berdua bareng, pikir Ghea.
"Hai!" sapa Ghea sembari melambaikan tangan.
Alan tersenyum, sedangkan Daniel hanya diam saja dengan tatapan mata lurus. Dari atas pohon Satria mencebikkan bibirnya, merasa kesal dengan Ghea.
"Tai emang lo, G! Giliran sama gue aja kasar banget, giliran sama si Alan aja lembut gitu. Aku tuh nggak bisa diginiin, Esmeralda," seru Satria sambil memegang dadanya sendiri.
Satu cowok yang ada di atas pohon bersama Satria terbahak, bersamaan dengan suara tawa dari Ghea dan Alan. Jangan tanyakan Daniel, cowok itu tetap saja dengan ekspresinya yang datar.
"Ini udah cukup, kan?" tanya Satria. Ia mengangkat kantung plastik berwarna putih.
Daniel mengacungkan jempolnya. Melihat hal itu, Satria dan temannya bergegas untuk turun dari pohon mangga.
"Buat apa mangganya?" tanya Ghea entah pada siapa.
"Buat dirujak, sama mereka." Alan menunjuk sekerumunan cewek yang tadi Ghea lihat di dekat mushola.
"Ikut, boleh?" tanya Ghea.
Tanpa sadar Ghea mengucapkan kalimat itu, entah apa yang sedang direncanakan semesta. Sekarang ia dan Alan justru dipertemukan dalam satu tempat.
"Nggak boleh!" Satria menyahut ketus. "Nanti malah dihabisin sama, lo! Lo kan kecil-kecil tapi makannya banyak."
Ghea membelalakan matanya, ia menatap kesal Satria yang sedang berdiri sembari menepuk-nepuk celana kotak-kotak merah yang dikenakan olehnya. Ghea melengos, kemudian melangkah mendekat ke arah pohon mangga di dekat mushola. Tanpa seizin Satria pun ia akan tetap ikut, lagi pula ia tidak rela jika harus meninggalkan Alan dekat-dekat dengan cewek lain.
"Woy! Ngapain lo, cebol?" seru Satria.
Ghea mengabaikannya, ia sibuk mengakrabkan diri dengan anak-anak ekstrakulikuler teater--yang akan membantunnya menyelesaikan tugas bahasa indonesia. Kebanyakan dari mereka adalah anak kelas 11, jadi ia tidak perlu canggung saat bertingkah sok akrab.
Sekitar 10 anak duduk di bawah pohon mangga, duduknya dibuat melingkar. Setelah bertanya-tanya tadi, akhirnya Ghea tahu kenapa Alan dan kawan-kawannya di sini bersama anak teater. Katanya mereka berempat dihukum oleh guru bahasa indonesia karena tidak mengumpulkan tugas akhir di saat nilai mereka jauh di bawah KKM, yang akhirnya mereka dihukum untuk membuat video drama yang durasinya tidak boleh lebih dari 7 menit--sama dengan tugas yang diberikan oleh guru bahasa indonesianya tadi siang. Entahlah, Ghea pun bingung dengan kebetulan-kebetulan yang semesta hadirkan.
Ghea memiringkan kepala, menatap Alan yang sedang mengupas mangga, lalu pandangannya berganti pada Daniel yang sibuk bermain ponsel. Ia jadi berpikir kenapa dua orang itu dihukum. Bukankah Alan terkenal sebagai murid baik? Lalu, Daniel, selama hampir 12 tahun ia mengenal Daniel, meski cowok itu terkesan dingin, tetapi Daniel tidak akan lepas tanggung jawab begitu saja.
Ghea menatap Satria dengan sebelah alis terangkat, ia sudah tahu siapa sumber dari kenakalan dua cowok itu. "Hei, Bang Sat! Pasti ini semua lo yang ngehasut mereka bertiga buat nggak ngumpulin tugas akhir?" tuduh Ghea.
Satria yang sedang meringis ngilu karena habis memakan mangga muda yang tadi dikupas oleh Alan, mendengus kesal mendapat tuduhan seperti itu. Ia melempar mangga bekas gigitannya ke arah Ghea, yang berhasil membuat cewek itu dirundung kesal.
"Heh, cebol! Gue ganteng-ganteng gini nggak suka ngehasut anak orang. Dasar merekanya aja yang bandel! Lagian deadline tugas itu cuma dua hari, dan itu kemarin, cabe!"
Kemarin? Ghea termenung, jika kemarin adalah batas akhir maka di sini yang bersalah atas Alan bukan Satria, tetapi dirinya sendiri. Oh, sial! Ghea merutuk dalam hati, ia menlirik Alan yang sedang menatapnya juga, cowok itu tersenyum. Yang bisa dilakukan Ghea hanya mengacungkan dua jarinya, seraya tersenyum kikuk.
Tanpa Ghea dan Alan sadari ternyata sejak tadi Satria mengamati interaksi keduanya. Memicingkan mata, Satria menatap mereka berdua dengan tatapan penuh selidik.
"Lan, hubungan lo sama si cebol ini apaan?" tanya Satria.
Semua orang yang ada di situ diam, memusatkan perhatian mereka pada Alan dan Ghea yang sama-sama terdiam. Entah kenapa Ghea tidak bisa menemukan jawaban atas pertanyaan Satria tadi. Teman? Ghea menggelengkan kepala, memangnya ada teman yang memiliki perasaan khusus untuk temannya sendiri?
Ghea berharap Alan mampu menjawab pertanyaan Satria, tetapi sialnya Alan pun sama saja. Ia diam membisu dengan bola mata yang bergerak gelisah. Hal itu, membuat semuanya penasaran karena tidak ada yang menjawab kalimat sederhana itu.
"Bang Sat! Ambilin mangga yang itu, dong!" Ghea menunjuk salah satu dahan pohon yang terdapat buah mangga berwarna kuning kehijauan.
Ghea sengaja mengatakan hal itu untuk mengalihkan perhatian semua orang. Ia tidak ingin terjebak dalam suasana canggung seperti tadi.
"Mana?" tanya Satria.
"Itu, yang udah matang!"
"Nggak, ah! Itu ketinggian, takut celana gue robek. Nanti lo ngintip lagi." Satria menolak permintaan Ghea.
Ghea hanya mendengus kesal. Jika Rama dan Rachel selalu bertengkar, maka ia dan Satria pun sama. Di mana pun mereka berdua disatukan dalam tempat yang sama, akan ada saja hal-hal yang diperdebatkan.
"Lan, ambilin mangga buat si cebol tuh," putus Satria.
"Aku?" Alan menunjuk wajahnya sendiri yang sedang menampilkan mimik tidak yakin.
Ghea mengangguk dengan antusias, wajahnya menampilkan senyuman lebar. Jika diliha, siapa pun bisa tahu bahwa Ghea itu tertarik dengan Alan--dari gestur tubuh dan cara menatap cowok berkacamata itu.
Entah apa yang sedang ada dalam pikiran Alan sekarang, ia menuruti permintaan Ghea begitu saja. Tanpa ada kalimat protes sedikit pun. Sebelum bergerak mendekat pohon mangga, Ia menitipkan kacamata beserta tasnya pada Satria. Cowok itu hanya mengangguk, tanda setuju.
10 menit berlalu, Alan sudah berada di atas pohon yang tingginya sekitar empat meter di atas permukaan tanah. Ia mencari-cari di mana mangga yang tadi Ghea tunjukkan, tetapi tak kunjuk menemukannya.
"Di atas sebelah kiri, Lan," seru Ghea.
Alan mendongak, memfokuskan pandangan sesuai dengan arahan Ghea. Sebenarnya, tanpa sebuah kacamata, jika ia memandang dalam jarak jauh maka hasilnya akan buram--seperti sekarang.
"Nah, itu! Geser dikit lagi." Suara Ghea kembali terdengar.
Sejujurnya Ghea merasa tidak tega sudah menyetujui usulan Satria yang menyuruh Alan naik ke atas pohon mangga. Bagaimana jika pujaan hatinya jatuh? Ah, Ghea tidak sanggup jika diminta untuk membayagkan.
Kaki Alan kembali bergeser sesuai interuksi dari Ghea. Karena tidak berhati-hati, Alan kehilangan keseimbangan, yang membuat kakinya oleng dan ....
BRUKK.
Hanya dalam hitungan detik, semua orang terkesiap mendengar suara itu. Jantung Ghea berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia bergerak dengan tergesa sampai membuang potongan mangga yang sedang ia pegang.
Alan-nya jatuh dari pohon!
🐒🐒🐒
Akhirnya update juga! Selamat membaca, semoga suka♥️
Maafkan typo yang bertebaran!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top