Perubahan.

         "Selamat! Kamu berhasil membuatku patah."

—Ghea Anastasya.

***

     Langit mulai ditutupi awan kelabu tatkala seorang gadis turun dari sebuah angkutan umum. Setelah mengucapkan terima kasih, dia mulai mengayunkan kakinya. Dia mendongak, menatap cakrawala yang sedang diselimuti gumpalan awan gelap--mendung--sama dengan suasana hatinya detik ini.

Embusan napas gusar sekali lagi terdengar. Langkah kakinya nampak tak bersemangat, semuanya telah berubah. Dia bukanlah dia yang dulu. Otaknya memutar balik semua kejadian dua bulan lalu, saat semuanya masih baik-baik saja. Sebelum perasaan sialan itu muncul.

Dia merasa, sudah banyak berubah. Jika dulu, hidupnya terasa asyik-asyik saja meskipun kegiatannya monoton. Terlambat datang ke sekolah; bolos jam pelajaran; berdebat dengan Rachel dan Rama; bermain game dengan Damian; menganggu Daniel bermain skateboard; atau menonton Jonathan bermain basket. Selalu saja berputar-putar, jika ada yang lain mungkin latihan bela diri--untuk mengasah kemampuannya.

Lain dulu, lain sekarang. Ghea yang saat ini merasa jika dirinya terlalu melankolis. Dikit-dikit galau, atau uring-uringan tidak karuan. Ini semua karena jatuh cinta. Hal yang dulu pernah dia anggap alay. Dan, menggelikan jika melihat orang sedang patah hati. Lebih sialnya lagi, detik ini Ghea sedang merasakan hal menjijikan itu--patah hati.

Dia menghela napas panjang, rasa sesak di hatinya tak kunjung menghilang. Justru, semakin dirasa, maka semakin sesak.

"Baru pulang, Nduk?" tanya Pak Anas satpam kompleknya. (Baca: Neng/sapaan untuk anak perempuan)

Ghea tersentak, dia tidak sadar jika langkah kakinya sudah menapaki gerbang komplek perumahan yang dia tinggali.

"Hehe, iya, Pak," Ghea tersenyum ramah. "Bapak makin ganteng aja."

Laki-laki yang usianya hampir 55 tahun itu tersenyum jumawa. "Duh, kamu bisa aja. Ini loh, Bapak pakai minyak rambut yang ada di iklan itu. Yang dipakai siapa itu, Bapak lupa," ujar Pak Anas sembari menggaruk jenggotnya.

Ghea terkekeh pelan, berusaha menutupi suasana hatinya yang sedang buruk.

"Aduh, pokoknya yang ada dolken-dolken gitu namanya. Bapak lupa," sambung Pak Anas.

"Adipati Dolken, Pak," sahut Ghea memberi tahu. "Saya pulang dulu ya, Pak. Udah sore, takut diculik Mbak Wewe."

Pak Anas terbahak, sedangkan Ghea melambaikan tangan seraya melanjutkan langkah kakinya. Pulang, dengan hati yang patah.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di sebuah bangunan berwarna oranye, dengan beberapa bunga di halamannya. Tubuh Ghea mematung, kala melihat sosok yang sedang terduduk di teras rumahnya. Seorang laki-laki sedang membaca koran, dan secangkir minuman terhidang di meja.

Ghea mengerjapkan matanya, berusaha meyakinkan diri jika apa yang dia lihat bukan sebuah halusinasi. "Papi ...," panggilnya pelan.

Laki-laki dengan rambut cepak itu, mendongak. Kemudian meletakkan koran yang tadi ia baca di atas pahanya. Tubuh Ghea bergetar, melihat senyuman yang sudah lama tidak tampak oleh indra penglihatannya.

Setengah tidak percaya, dia langsung menghambur dalam dekapan laki-laki itu. Seseorang yang sudah lama tidak bersua, dia berusaha mencari ketenangan dalam dekapan ini. Rasanya seperti mimpi bagi Ghea.

"Long time no see, Baby," katanya pelan.

"Ini beneran Papi?" tanya Ghea memastikan.

Laki-laki itu terkekeh, sembari mengelus rambut anak gadisnya. "Bukan. Ini prajurit yang lagi cuti karena pengen ketemu anak perempuan satu-satunya."

Gadis itu hanya diam, dan semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang sang ayah. Pun napasnya terdengar pendek-pendek. Dia masih tidak menyangka dengan situasi saat ini. Rasa sesak dan bahagia melebur menjadi satu. Kegelisahan yang sedari pagi bergelayut di hatinya mendadak lenyap. Ternyata, yang dia butuhkan hanya sebuah pelukan, tanpa perlu ditanya; kenapa?

"Kalian kalau jadi bintang film India pantes. Gitu aja peluk-pelukan," ucap sebuah suara.

Ghea mendongak, kemudian memisahkan diri dari David--ayahnya. Dia mendengus, menatap Irene--ibunya--dengan datar.

"Kalian gak mau peluk Mami juga?" tanya Irene.

Ghea dan David saling berbagi pandangan. Kemudian, senyum picik tercipta di wajah imut Ghea. "Nggak! Rambut ketek Mami belum dicukur," sahut Ghea acuh tak acuh.

Sebelum berlari masuk ke dalam rumah, dia menyempatkan diri untuk mengecup pipi sang ayah, dan melihat ibunya yang sudah berkacak pinggang.

***

Detik jarum jam terasa bergerak lebih cepat dari biasanya. Cakrawala yang sore tadi diselimuti oleh awan hitam, kini kembali cerah. Gumpalan-gumpalan itu seperti dibawa pergi oleh angin.

Hey Tayo ... hey Tayo ....
Dia bis kecil ramah ....

Suara itu menyambut indra pendengaran Ghea saat pertama kali menekan tombol power pada remote televisi. Gambar bis-bis yang sedang berjejer di garasi menghiasi layar kacanya.

Iris cokelat terang milik Ghea, tak sepenuhnya fokus pada televisi. Sebagian lagi, dia gunakan untuk membalas pesan masuk yang ada di Line-nya. Entah kenapa perempuan memang ditakdirkan menjadi sosok mudah melambungkan harapan atau terlalu baperan. Saat ini, Ghea berharap jika ada pesan dari Alan.
Sederhana saja apa yang Ghea inginkan. Dia hanya ingin Alan menanyakan sikapnya yang akhir-akhir berubah kepadanya. Tidak seriang seperti pertama kali bersua, atau tak lagi banyak berbicara layaknya hari lalu. Namun, harapan tinggallah harapan. Memang siapa Ghea jika mengharapkan Alan akan bersikap acuh padanya? Memiliki hubungan pun tidak--selain saling mengenal karena satu almamater.

"Anak Papi lagi Chatting sama siapa?" David tiba-tiba duduk di sebelah Ghea.

Gadis itu tidak menyadari jika sofa yang dia duduki bergerak, karena terlalu asik dengan pikirannya.

Dia menoleh, kemudian tersenyum simpul. "Nothing," sahutnya sembari meletakan ponselnya di atas meja.

Ghea menyenderkan kepalanya di pundak David, berusaha mencari kenyamanan di tengah hatinya yang sedang kalut. Dia menatap kosong ke arah benda berbentuk persegi panjang yang sedang menampilkan bis berwana biru dan kuning. Hanya karena seorang Alan, dia bisa berubah sedemikian rupa.

"Ghea sekarang kelas 11, ya?" tanya David memecah keheningan.

"Iya, Pi," jawabnya singkat.

Menyadari mood anak gadisnya sedang tidak baik, David menghela napas panjang. Bukannya tidak tahu apa yang membuat putri kecilnya gelisah saat ini. Dia hanya ingin, bahwa Ghea-lah yang akan menceritakan tanpa perlu diminta untuk bercerita.

"Nggak kerasa, ya? Dulu Papi lihat Ghea masih pakai seragam smp. Sekarang udah mau kelas 12," kata David.

Telapak tangannya dia gunakan untuk mengelus punggung sang anak. Ghea merasa nyaman diperlakukan seperti itu. Sudah lama sekali rasanya.

"Kalau Ghea kelas 11, artinya Damian kelas 12?" tanya David.

"Iya. Baru kelulusan dua minggu yang lalu."

David mengangguk singkat, "Kuliah di mana?"

"Nggak kuliah. Katanya sayang sama uangnya, mending buat modal clothingan." Suara Ghea berubah menjadi kesal mengingat betapa keras kepalanya Damian.

"Padahal Mama Luna udah nyuruh kuliah, tapi dianya aja yang batu!" ucap Ghea menggebu-gebu.

David terkekeh melihat anak gadisnya begitu semangat menceritakan Damian--laki-laki yang sangat dekat dengan Ghea.

"Minta Damian main ke rumah, ya? Udah lama juga nggak ketemu," pinta David.

Ghea mengacungkan jempolnya seraya tersenyum lebar. Suasana hatinya mulai membaik. Dia juga merasa rindu suasana seperti sekarang, berbincang dengan sang ayah dengan santai, tanpa emosi atau rasa kesal. Sangat berbanding terbalik jika dia mengobrol dengan sang ibu. Selain menyebalkan, wanita yang usianya belum genap 36 tahun itu gemar sekali mengomel.

Tring!

Lampu led berwana biru di gawainya membuat tangan Ghea meraih benda yang sejak tadi dia tanggalkan di meja.

Bangke❤

Lo dmn? Gw ke rumah y? Mau dibawain apa?

Me:

Baru jg mau chat. Hm, bawain makaroni mewek sambel ijo level 3, seblak bloom lev 2,  martabak telor. Jgn lupa susu coklat jg, y? Iya sama-sama. Egk ngerepotin kok. Mwehehehe❤❤

Bangke❤

Njsun! Ok! Gw otw.

Ghea menutup gawainya sembari tersenyum. Sekarang mood-nya sudah benar-benar baik. Nama Adam Ighfirlana pun tidak terlintas di benaknya.

"Katanya lagi ke sini, Pi," ujar Ghea tiba-tiba.

David sedang fokus menatap layar kaca yang sedang menampilkan acara talk show Mata Najwa. Dia melirik Ghea sekilas, kemudian kembali menyenderkan tubuhnya di punggung sofa.

"Siapa, Baby?" tanya David. "Pacar kamu?"

Ghea berdecak kesal, karena sang ayah justru menggodanya. "Ish, Papi! Katanya tadi minta Bang Dami ke sini." Ghea mencubit pelan perut sang ayah.

Suara tawa David mengisi ruang keluarga. Melihat hal itu, hati Ghea menghangat seketika.

"Papi, pas SMA pernah jatuh cinta?" tanya Ghea tiba-tiba.

Sedari tadi, yang terdengar hanya suara debat yang berasal dari televisi. David terlalu fokus sampai tidak menyadari jika suasana di antara mereka terlalu hening.

"Jadi, anak Papi lagi jatuh cinta?" godanya.

Ghea mendengus. "Enggak! Jatuh cinta itu ribet!"

David terkekeh melihat pendapat Ghea yang saat ini sedang menyilangkan tangannya di depan dada.

"Hmm ... Papi dulu pacaran sama Mami berapa lama?" tanya Ghea kembali menyenderkan kepalanya di atas bahu sang ayah.

"Kami gak pacaran, langsung nikah," sahut David santai.

Ghea tersedak ludahnya sendiri. Dia memicingkan mata, berusaha mencari kebohongan atas apa yang baru saja dia dengar. "Papi bercanda, 'kan? Nggak lucu!

Bukannya menjawab, David justru tertawa melihat ekspresi putrinya yang masih menatapnya curiga. "Ini serius. Dulu Papi langsung datengin alm. Kakek kamu, Papi lamar deh Mami kamu yang cerewet itu," ujar David kemudian.

Ghea terperangah dengan apa yang baru saja dia dengar. Sekarang dia paham, definisi gentelman yang sesungguhnya; ketika kamu mencintai seseorang, maka datangi walinya dan minta anak gadisnya untuk kamu persunting.

"Mami langsung terima?" tanya Ghea semakin penasaran.

"Ya enggaklah!" Suara Irene menginterupsi percakapan keduanya. "Dulu Papi kamu itu suka sama anaknya RT desa sebelah. Kan dulu Papi kamu dinas di kampung itu," lanjut Irene.

Ghea mengangguk-anggukan kepalanya, kemudian menatap laki-laki yang mengenakan kaus berwarna abu-abu itu dengan senyum tertahan. "Terus kok nikahnya sama Mami?"

David mengusap belakang kepalanya mendengar pertanyaan sang anak. Berbeda dengan Irene yang menatap suaminya disertai senyuman sinis. "Papi kamu ditolak."

Singkat padat dan jelas. Irene sengaja menyingkat kalimatnya, dan melihat senyuman masam yang David tampakkan untuknya. Sedangkan Ghea semakin dibuat penasaran dengan cerita di balik pernikahan kedua orangtuanya.

"Karena?" Wajah Ghea semakin antusias.

David sudah pasrah jika Ghea akan menertawakannya diiringi tatapan mengejek. Acara debat yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya sekarang tak lagi menarik untuk dinikmati. Pun sama dengan Ghea yang sedari siang sedang diselimuti rasa kalut dan gelisah di hatinya, tak lagi mengingat persoalan itu.

"Katanya, gaji Papi kamu kecil, untuk ukuran istri yang sering ditinggal-tinggal." Irene membenarkan posisi duduknya.

Ghea berdecak sebal. Ternyata, ada yang lebih materialistis dari ibunya. Jika dia pikir wanita yang sedang mengenakan daster batik itu adalah perempuan paling mata duitan, ternyata salah. Dia semakin dibuat penasaran, seperti apa rupa yang sudah menolak sang ayah. Sangat cantikkah?

"Cantik, nggak?" tanya Ghea skeptis.

David berdeham pelan, kemudian mengusap wajahnya dengan pelan. Dan Irene pun semakin semangat untuk menceritakan semuanya pada anak semata wayangnya.

"Tante Ely cantik, nggak?"Irene balik bertanya.

Ghea mengernyit sesaat, sebelum mengeluarkan kalimatnya untuk menyahuti pertanyaan ibunya. "Hmmm ... cantik karena banyak duit?"

Dengan ragu-ragu Ghea menjawabnya, selain bingung dia juga semakin tidak mengerti kenapa wajah ayahnya sangat pucat. Di sisi lain, dia juga merasa penasaran dan perlu tahu tentang ini semua. Tetapi, melihat ekspresi ayahnya dia menjadi tidak tega dan tidak berniat untuk mengurungkan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya masih terngiang di benaknya.

"Kalau nggak punya duit?" tanya Irene bersemangat.

David hanya diam, matanya menatap Irene memperingatkan. Namun, hasilnya sia-sia karena Irene justru tersenyum puas melihat ekspresinya saat ini.

"Ya enggaklah! Gigi aja maju lima senti!" Ghea menutup mulutnya sendiri.

Dia merasa sudah salah menjawab. Menurutnya, senakal apa pun dia, pantang untuk dirinya menjelek-jelekkan orang lain. Sehebat apa pun kamu, kamu tidak akan terlihat keren jika menjatuhkan orang lain. Selama ini, prinsip itulah yang selalu Ghea pegang.

Berbeda dengan Irene yang tertawa puas, David hanya menghela napas panjang. Dia menatap anak gadisnya yang masih diam, dan berusaha mencerna maksud tersirat dari pertanyaan ibunya. Untuk sekarang, biarlah seperti ini.

🐼🐼🐼

Happy Reading, Babe!

Honestly, ini part terpanjang selama nulis GHEA.
Tau kok, aku gatau diri, update sebulan sekali. Ha-ha-ha maklum. Orang moody-an itu susah. Belum lagi, kalau mood naik turu kyak rollercoaster. Wkwk, baca deh ya..
Thx u❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top