Pangeran Gigi

Ratusan kali Ghea mengerang penuh kesakitan. Benar kata orang, sakit gigi lebih menyakitkan daripada patah hati. Sungguh, Ghea sudah membuktikan kebenarannya.

Sama halnya, ketika dia sedang PMS, semua orang yang berada di dekatnya akan selalu merasa serba salah. Diam dibilang tidak mempunyai rasa simpati, cerewet akan dibentak-bentak karena dianggap berisik.
Belum lagi, Ghea yang sejak tadi merengek bahwa dia lapar. Ingin makan, tapi untuk membuka mulut saja dia tidak sanggup.

Damian menghempaskan mouse yang sedang dia pegang. Dia frustasi mendengar semua keluhan gadis yang sedang menyandarkan kepalanya di meja. 
Setiap menit telinganya mendengar suara mengaduh kesakitan. Dia sudah menyarankan agar Ghea minum obat yang sudah dia belikan. Namun, gadis itu menolak keras, dengan alasan tidak bisa menelan obat itu.

Damian menghela napas lelah, seharian ini dia sudah disibukan dengan berbagai makalah yang harus dia kumpulkan besok pagi.
Dan sekarang, ditambah satu gadis kecil yang sedang merepotkannya.

"Lo pulang aja deh, daripada di sini. Gue tambah pusing entar," kata Damian dengan lembut.

Terdengar suara dengusan dari gadis yang masih memakai seragam lengkap itu.

"Dasar gak berperi kesakit gigian!" Ghea menjawab dengan ketus.

"Salah lagi," gerutu Damian dalam hati.

"Ya udah, mau lo gue gimana?" tanya Damian lagi.

Kelopak mata Ghea terbuka, dia menatap Damian dengan sayu. Rambutnya yang tergerai mulai lepek, seragam sekolah pun sudah tidak rapi seperti tadi pagi.

Jemari lentik Ghea menarik pergelangan tangan sebelah kiri Damian. Dia mengarahkan ke arah pipinya yang mulus. Lalu gerakan Ghea menuntun telapak tangan Damian agar mengusapi pipinya. Dia berharap dengan cara itu sakit giginya akan berangsur membaik. Paling tidak, rasa ngilunya akan menghilang.

Damian hanya mengikuti apa kemauan gadis kecil itu, dia terus mengusap-usap pipi tembam itu sampai Ghea terlelap.

Senyum Ghea mengembang, kala sekelebat bayangan di masa lalu berputar di otaknya. Ternyata, daya ingatnya masih berfungsi dengan baik. Memori manis saat dia masih duduk di bangku SMP masih tersimpan rapi.

Itulah, awal dari segalanya. Saat Ghea dan Damian masih menjadi orang asing.
Ghea yang sering berkunjung ke warnet tempat Damian berkerja paruh waktu.
Hanya sebatas itu, tidak lebih dan tidak kurang.
Namun, lambat laun ... Ghea dan lelaki bermata sipit itu menjadi dekat. Seperti sekarang.

"Ngapain lo senyum-senyum sendiri?" Suara seorang laki-laki membuat lamunan Ghea buyar.

Dia menoleh, menatap seseorang yang memakai kaos oblong berwarna hitam dengan dua mangkuk bakso di tangannya.

"Woaahhhh makasih, Bang! Lo yang terbaik!" Ghea mengambil alih mangkuk bakso yang sedang Damian bawa.

Ghea itu fanatik dengan bakso. Dia rela tidak makan nasi, tapi tidak dengan bakso. Setiap hari, pasti dia sempatkan untuk membeli satu porsi makanan bulat yang dibuat dengan daging sapi itu.
Dia juga hafal, di mana tempat yang menjual bakso paling enak.
Menurutnya, dia adalah gadis paling simple, tidak perlulah makan di restoran mahal, diajak makan bakso saja dia sudah senang.

Damian duduk di bangku panjang, di sebelah Ghea. Dia diam, memerhatikan gadis yang sedang memakan bakso dengan lahap.
Tangannya terjulur ke arah pipi gadis itu. Kemudian menyentuh ujung bibirnya, mengusapnya pelan.

Ghea membisu, badannya mendadak kaku. Dia melirik Damian lewat ekor matanya. Lelaki itu masih memandang lekat wajah imut Ghea.
Kejadian itu terjadi hanya dalam beberapa menit, detik selanjutnya kedua netra yang berbeda warna itu bertemu.

Ghea tersenyum kikuk, sedangkan Damian hanya menatap lurus. Bertindak seolah-olah sedang menarik Ghea ke dalam iris matanya.

Jantung Ghea mendadak berpacu cepat, perasaan asing menyusup ke dalam sanubarinya. Dia menggelengkan kepalanya, merasa situasi ini sangat tidak benar.

Gak! Gak boleh! Gue gak boleh jatuh cinta sama Bang Dami. Hati gue terlalu sempit buat ditemapti dua orang. Cukup Alan!

Netra cokelat terang Ghea langsung mengalihkan pandangannya. Dia pura-pura menatap mangkuk yang sedang dia pegang. Bulatan-bulatan itu mendadak tidak menggairahkan di matanya. Selera makan Ghea mendadak hilang dalam sekejap.

Ghea berdehem singkat, "Bang, lo ingat gak yang pas gue sakit gigi?" tanya Ghea memecah kecanggungan.

"Hmm," gumam Damian.

"Kalau gue gak sakit gigi, mungkin kita gak bakal sedekat ini," kata Ghea.

Dia melirik mangkuk bakso yang ada di tangan Damian. Masih utuh, bahkan Damian belum menyentuh satu tetes kuahnya.
Ghea menghela napas, kenapa suasananya tidak kunjung mencair?

"Tapi kalau Mami gak tau gue sering ke warnet buat main game, mungkin setiap hari gue bakal ke sana. Tanpa perlu ngumpet-ngumpet." Ghea menatap lurus, "Apa gue harus jadi cewek yang menye-menye?"

"Gak perlu. Lo cuma perlu sikat gigi yang rajin. Biar gak nyusahin gue buat ngelus-elus pipi lo yang kayak bapau itu." Damian mencubit pipi tembam Ghea.

Ghea mengerucutkan bibirnya, niatnya ingin terlihat lucu di mata Damian. Namun, nahasnya lelaki bermata sipit itu malah tergelak.

Ghea tercenung, melihat tawa lepas yang Damian lakukan. Sudah berapa lama dia mengenal Damian? Namun, sangat jarang melihat cowok itu tergelak seolah tanpa beban.
Dan, baru Ghea sadari bahwa Damian mempunyai wajah tampan dengan jambul yang disisir rapi. Wajar saja, banyak siswi sekolahnya sangat mengidolakan Damian. Ah, rupanya Ghea hanya terlambat menyadari itu semua.

Mata bulat Ghea mendadak terbuka lebar, kala merasakan sesuatu dingin dan lengket yang berasal dari hot pants putih yang dia pakai. Wajahnya mendadak pucat pasi, seperti ketahuan sedang mencuri sandal di masjid waktu shalat Idul Fitri.

"Bang, gue tembus ...."

🐼🐼🐼

Hope u like it!

Menurut kalian gimana sih cerita ini?
Komen dan boleh tanya apa aja, di sini.

Jangan lupa tinggalkan jejak❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top