Monochrome
Aku undur diri, atas semua rasa yang bisa memperburuk kondisi hati.
—gadis abu-abu.
Happy Reading❤
***
Ketiga remaja yang berbeda jenis kelamin itu masih berkutat dengan berbagai lembar kertas yang menyajikan soal dan pembahasannya.
Salah satu di antaranya adalah Ghea. Dia masih sibuk mengerjakan materi akuntansi yang diprediksi akan keluar dalam olimpiade nanti. Rambut pendeknya dia ikat, salah satu lubang telinga kirinya dia jejali earphone; yang sedang memutar lagu milik Hivi.
Sesekali keningnya terlipat, kedua alisnya menukik menandakan dia sedang berpikir. Sama halnya yang sedang dilakukan dua remaja laki-laki. Salah satu di antaranya, wajah Chinese yang dia miliki dibingkai kacamata tebal.
Suasana perpustakaan yang lengang membuat mereka tidak menyadari bahwa waktu istirahat telah tiba sejak tadi. Mereka harus lebih giat melakukan bimbingan. Karena, bagi Ghea ini adalah momen yang tepat untuk akan membuktikan bahwa anak IPS seperti mereka bisa berprestasi di bidang akademik.
William melepaskan kacamata yang dia pakai. Dia menghela napas panjang, jarinya dia ketuk-ketukkan di meja. Hal itu membuat Ghea berdecak karena suara yang dihasilkan William.
"Bagian mana yang belum lo kuasai?" tanya William pelan.
Ghea tak menoleh, karena dia tidak merasa William sedang mengajaknya berbicara. Dia berusaha mengembalikan fokusnya mengerjakan akutansi, meskipun rasanya sukar karena suara bising di sebelahnya.
"Kalau gue sih APBN dan APBD. Pusing gue." Arkan bersuara, lebih menyerupai sebuah keluhan.
William mengangguk dalam diam. Seperti hari-hari lalu dia tak akan banyak berbicara. Hanya akan mengatakan apa yang perlu dia ucapkan, selebihnya akan diam.
Gadis dengan rambut yang diikat itu semakin tidak fokus dengan apa yang dia kerjakan. Suasana perpustakaan tak lagi sunyi seperti tadi. Sekarang suara-suara percakapan antara dua orang atau lebih mulai terdengar. Percuma saja, dia membesarkan volume musik dari gawainya. Suara itu semakin terdengar jelas. Ramai, seperti pasar. Padahal sudah ada tulisan dilarang berisik, tetapi tetap saja suasana gaduh tidak bisa terelakkan.
"Lo?" tanya William singkat.
Ghea tak menoleh, dia tidak merasa cowok itu mengajaknya berbicara. Hal itu membuat William mendengus, menatap kesal ke arah Ghea.
"Pantes budek." Arka melepaskan earphone yang sedang Ghea pakai.
Sang empunya mendelik, melihat Arka dengan alis yang terangkat sebelah. "Apaan sih, lo?!"
"Ditanyain sama si Will, tuh," sahut Arka tak acuh.
"Lo nanya sama gue?" Ghea menunjuk dirinya sendiri.
William mengangguk. "Bagian mana yang belum lo pahami?"
Kening gadis itu berlipat, jarinya dia ketuk-ketukkan di meja. Mengingat bagian mana yang belum dia kuasai. Mudah sebenarnya, tetapi entah kenapa sudah beberapa kali dia mencoba dan memahami tapi tetap terasa sukar. "Siklus Akuntansi," jawab Ghea singkat.
William mengangguk. Kemudian mengelap kacamata yang sedari tadi dia letakan di atas buku. Sedangkan Arka sedang bermain game di ponselnya. Melihat cowok itu bermain game, dia jadi ingin ke warnet. Sudah lama rasanya dia tak menyambangi tempat itu.
"Kita break dulu. Besok kita lanjut lagi." William memecah keheningan.
Ghea dan Arka sepakat dengan keputusan William. Rasanya mereka perlu mengisi perut dahulu, karena cacing yang ada di lambungnya sudah meminta untuk diberi asupan.
"Kalau lo butuh bantuan gue, gue bisa bantuin lo," ucap William ke arah Ghea.
Ghea melengos mendengar ucapan cowok itu, sedangkan Arka sudah memasang senyum menggoda. Bukannya dia tidak suka dengan William yang menawarkan bantuan, tetapi dia kesal dengan Arka yang sudah pasti akan meledeknya jika dia dan William melakukan bimbingan hanya berdua saja.
Ghea tidak bisa mengelak, dia pun tak memungkiri bahwa kapasitas otak cowok itu berada di atasnya. Memang siapa yang tidak kenal William? Laki-laki aneh yang mendadak pindah jurusan dari IPA ke IPS pada kenaikan kelas XI. Mungkin, kalau dari IPS ke IPA masih bisa dimaklumi, tapi ini? Sulit dicerna secara nalar.
Ghea menganggukkan kepala, kemudian lekas melangkahkan kakinya ke luar perpustakaan, meninggalkan Arka dan William yang masih sibuk berbincang. Dia butuh asupan karbohidrat, karena sedari tadi perutnya belum terisi makanan--selain air mineral yang dia beli di koperasi sekolah.
Suara riuh terdengar saat pertama kali kakinya menapaki ruangan yang tidak begitu besar, tetapi cukup untuk menampung sebagian murid SMA Pelita Bangsa untuk mengisi perut atau sekadar menghilangkan penat.
Suara-suara khas kaum adam tak menyurutkan kaki mungilnya untuk terus melangkah, mencari tempat duduk yang sekiranya bisa dia duduki.
"Dasar noob!"
"Yaelah ini wifi-nya aja yang jelek."
Dia tak memedulikannya, dan semakin berjalan masuk ke dalam kafetaria. Aroma harum kuah bakso memenuhi indra penciuman kala tubuhnya berdiri tepat di sebalah stand bakso. Dia berhenti sejenak, menatap sekeliling sembari mendekap beberapa buku tulis dan silabus olimpiade ekonomi yang akan digelar beberapa bulan yang akan datang.
"Ghea," sapa sebuah suara serak khas remaja laki-laki.
Yang dipanggil menoleh, kemudian tersenyum canggung dengan situasi saat ini. "Eh, Alan," sahutnya dengan kaki yang bergerak gelisah.
"Beli bakso juga?" Cowok yang disebut Alan itu tersenyum ramah.
Debaran itu kembali bergemuruh dalam dada Ghea. Dia menahan napas kala melihat senyuman itu; sesuatu yang dari awal sudah membuat hatinya luluh.
"Enggak," jawab Ghea seadanya.
Kening Alan terlipat, dia menatap gadis di hadapannya dengan sebelah alis yang terangkat. Dia merasa bukan kali ini saja cewek itu menghindar darinya, sudah beberapa kali saat mereka beradu pandang Ghea akan membuang muka.
"Ghea, kenapa?" Merasa tidak punya salah, Alan mencoba untuk menanyakan sikap Ghea belakangan ini.
Ghea yang dia kenal adalah gadis cerewet, tetapi cukup menyenangkan untuk diajak berbicara banyak hal. Hampir semua yang Ghea katakan bisa mengundang gelak tawa. Sekiranya, begitulah Ghea menurut Alan.
Kaki Ghea semakin bergerak gelisah, debaran jantungnya belum juga reda, justru semakin kencang. Dia menghirup napas dalam-dalam, sebelum menjawab pertanyaan Alan. Suasana kantin yang sesak ditambah cuaca panas, membuat keringat semakin banyak membasahi pelipisnya.
"Apanya yang kenapa?"
"Kamu yang kenapa? Kok berubah?" Mata legam Alan menatap Ghea serius.
Sial! Kenapa jantung gue gak mau berhenti berdebar gini?! batin Ghea bersuara.
Sepasang alis tebal Ghea menukik, menatap Alan dengan pandangan penuh tanya. Ghea pikir, cowok itu tidak peduli dengan sikapnya. Ternyata salah. Alan menyadari bahwa Ghea telah berubah. Haruskah dia senang karena hal ini?
"Berubah apaan? Perasaan lo aja kali. Udah, ya. Gue cabut, bye!" Ghea melambaikan tangan sembari tersenyum tipis.
Di tempatnya, Alan masih bergeming, menatap punggung Ghea yang semakin menjauh. Sampai dia tidakidak menyadari bahwa antrean baksonya semakin pendek.
🐼🐼🐼
To be continue....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top