Layu.

“Ada sesak yang tak mampu aku utarakan. Lambat ku sadari, bahwa definisi kita tentang baik-baik saja itu berbeda.”

—Ghea Anastasya.

***

       Jarum jam sudah menunjukkan pada angka 10 malam. Namun, gadis bermata sipit itu masih saja termenung. Dia menatap hampa ke arah langit yang sedang dihiasi bintang. Cerah, tapi tidak dengan suasana hatinya yang sedang keruh.

      Tak disangka, bahwa bunga yang tadi pagi dibuat mekar, kini perlahan mulai layu. Dia lupa, jika berkehendak melabuhkan sebuah perasaan, itu artinya dia juga harus rela asanya melebur; bersama sesuatu yang bernama sakit hati.
Tetapi, bukankah baru kali ini dia merasakan perasaan yang menggebu-gebu dalam hatinya?; merasakan desiran hangat hanya karena sebuah seulas senyum. Semua opini-opini itu terus melakukan pembelaan, terhadap hatinya yang hampir hancur. Berusaha menghibur diri dari rasa sesak yang belum lama ini hinggap di benaknya.

      Bahkan gue belum memulai, tapi hati gue udah patah duluan, batinnya.

      Gadis itu mengembuskan napas berat. Matanya mengerjap beberapa kali, berharap jika kantuk akan datang. Namun, nihil bukannya rasa ingin terlelap yang menghampiri, justru suara cacing di perutlah yang bergemuruh. Dia melirik jam dinding, dia baru ingat jika sejak tadi siang dia belum makan nasi, karena terlalu asik menikmati patah hati.

       Tubuh mungil itu beranjak dari dari tempat duduknya. Dia mulai melangkah keluar kamar--untuk membeli nasi goreng yang berjualan di pertigaan komplek rumahnya.

       “Mau ke mana, G? Ini udah malam.” Suara sang ibu membuat Ghea mengurungkan niatnya untuk memegang knop pintu.

      Dia menoleh, menatap ibunya dengan pandangan datar. Dilihatnya wanita yang baru berumur 35 tahun itu sedang duduk sembari menonton acara TV--yang sedang menayangkan kompetisi penyanyi dangdut.

      “Mau beli nasi goreng di depan gang,” sahut Ghea.

      “Bikin sendiri aja, gak baik anak cewek keluar malem, sendirian lagi.”

      Ghea berdecak, kemudian melangkah mendekati sang ibu, “Mami mau Ghea beliin?” kata Ghea lembut.

      Wanita dengan rambut yang dicepol itu, menatap anaknya dengan acuh tak acuh. “Boleh, deh. Tapi, punya Mami yang pedes, ya.”

     “Dasar materialistis,” gumam Ghea sembari melangkah pergi.

      Ghea mulai menyusuri komplek perumahannya dengan sepeda ontel yang biasa dia gunakan untuk berolahraga. Dia menatap sekitar, bangunan rumah yang tidak terlalu mewah, tetapi juga tidak terlalu sederhana. Semuanya serba pas, menurutnya.

Dingin. Satu kata yang mewakili malam ini. Akhir-akhir ini suhu udara memang sering turun drastis, mungkin ini efek musim kemarau. Angin malam berdesir pelan, tangan kirinya kembali mengeratkan jaket berwarna abu-abu yang dia pakai.

     Aroma wangi menyambut indra penciumannya saat baru saja turun dari sepeda. Dia melangkah, ke arah stand nasi goreng yang terkenal enak di sini.

     “Antre pinten, Buk?” tanya Ghea ke arah wanita paruh baya yang sedang berdiri di depan kompor.

(Baca: Antre berapa, Bu?)

     “Tiga belas,” sahutnya.

     Ghea terpengarah, dia menatap tidak percaya di waktu yang hampir tengah malam ini dia harus menunggu sampai 13 pesanan terlayani. Tapi, dia tidak perlu heran karena nasi goreng buatan Bu Marni memang recomended sekali.

     “Nasi goreng kalih, nggih? Pedes sedoyo,” ujar Ghea dengan bahasa Jawa.  (Baca: Nasi goreng dua, ya? Pedes semua.)

     Walaupun dia tumbuh di Jawa, tetapi sering kali dia kesusahan untuk berbicara dengan bahasa Jawa. Kerap kali, jika dia berbicara dengan bahasa daerah tersebut, maka aksen suaranya akan terdengar berbeda--seperti orang Sunda yang akan dipaksa berbicara dengan logat Jawa. Maka dari itu, dia lebih sering berbicara dengan bahasa Indonesia, dan sesekali dia akan berbicara dengan bahasa Jawa jika dengan seseorang yang lebih tua.

Dia jadi teringat, pernah tetangganya yang mengatakan; masa orang Jawa gak bisa bahasa Jawa?

Saat itu pula, hati Ghea merasa tertohok dengan kalimat itu. Memangnya salah jika tidak bisa bahasa daerah sendiri?

      Sembari menunggu pesanannya, dia mengambil benda berbentuk persegi panjang dari saku jaketnya. Dia menyalakan data seluler agar bisa melihat pesan masuk. Hati kecilnya sedikit berharap jika Alan akan mengirimi dia sebuah pesan singkat. Namun, dari mana Alan mendapatkan nomornya? Saling bertukar contact saja tidak pernah.
Suara getaran dari tadi terdengar dari ponselnya. Dia menggulir layar HP-nya dengan perlahan. Mencoba membaca satu per satu pesan yang masuk. Jemari itu berhenti pada sebuah room chat miliknya dan Damian. Dengan lincah, dia mengetikan pesan singkat yang akan dia kirim.

D.P.S
Abang, godain Eneng dong😍 di sini dingin, nih!

Sent.

    Sembari menunggu pesan balasan, dia kembali menggulir layar ponselnya. Ghea pun mulai mengetikkan pesan untuk sahabatnya dari negeri IPA--Daniel.

Daniel
Aa, curhat donggggggggg!!!

Sent.

    Ghea mengusap-usap matanya yang terkena asap rokok dari seorang bapak-bapak. Pedih di matanya tidak sebanding dengan perih yang sedang bergelayut di hati.

Drttt ... Drrtttt.

    Ponselnya bergetar, dia kembali menggulir layar HP-nya. Dua pesan masuk sekaligus.

Daniel.
Njs! Kta ketemu tiap hari. Tetangga pula! Ganggu org mabar aja!

Ghea Anstsya.
Woahhhh, tumben lo ngetik secara lengkap. Biasanya juga pelit bgt klo ngetik.

Sent.

    Ghea tersenyum tipis, Daniel dan William itu mempunyai satu kesamaan. Yaitu, sama-sama pelit dalam mengetik pesan balasan. Lagi, dia membuka chat yang kedua. Dengan jelas, terpampang siapa pengirimnya.

D.P.S
Lo dmn? Share loc cepet!

Ghea Anstsya

Send pict has delivered.

D.P.S
Bkn skrinsut peta tolol!

Ghea Anstsya
Oh. Bacot dong yg jelas.

Lokasi
Jl. Kalimas No.16 Karang Wetan. Secang, Magelang, Jawa Tengah 56195, Indonesia.

D.P.S
Ngapain lo di situ? Jgn kmn2 gw kesitu.

Ghea Anstsya
Key! Hati-hati di hati Bangke😍

    Ghea menutup ponselnya, kemudian meletakkan kembali pada saku jaket yang dia kenakan. Dia menghela napas perlahan, ternyata menunggu benar-benar membosankan. Apalagi, jarum jam terus bergerak. Sudah hampir tengah malam, dan seorang gadis seperti dirinya masih saja berkeliaran di luar rumah.

    Selang beberapa menit, Damian datang dengan Hoodie abu-abu yang melekat di tubuhnya. Dia menggunakan motor matic berwana putih.

     “Motor lo ke mana?” tanya Ghea saat melihat Damian masih duduk di atas jok motor.

     Damian menatap Ghea dengan pandangan kesal, “Ngapain sih lo malem-malem keluyuran?”

    Ghea hanya mencibir, sembari berjalan ke arah Damian. Dia pun ikut mendudukan tubuhnya di jok belakang. Ghea mendongak, menatap ke arah langit. Tidak terlalu banyak bintang, tetapi rembulan bersinar cukup terang.

    “Besok kalau lo butuh apa-apa tinggal bilang gue. Gue beliin. Lo sadar gak, sih? Ini udah jam 11, dan lo masih di luar. Kalau ada apa-apa sama lo, gimana?” gerutu Damian.

    Ghea terkekeh pelan. Merasa lucu dengan tingkah Damian yang sekarang. Terlalu banyak bicara, untuk hal-hal yang seperti saat ini. Sepele menurut Ghea, tetapi tidak bagi Damian.

   “Ciye khawatir,” goda Ghea seraya menusuk-nusuk pipi Damian dengan jari telunjuknya.

    Cowok dengan jambul yang disisir rapi itu, mendengus. Gadis ini selalu saja bisa membuat hatinya jungkir balik. Di saat seperti saja dia masih bisa menggodanya.

    “Kenapa harus aja jarak?” tanya Ghea tiba-tiba setelah keheningan beberapa saat lalu.

    “Karena lo pencil: pendek kecil!” sahut Damian.

    Cowok itu kembali fokus pada layar ponselnya. Tidak mengindahkan Ghea yang sedang menikmati gemintang bersama desis angin malam.

   “Salah.”

   “Terus biar apa?” Damian tetap meladeni celotehan Ghea, meskipun fokus matanya masih mengarah pada layar Handphone.

   “Biar kamu kangen sama aku.” Ghea kembali menusuk-nusuk pipi Damian.

    “Najis!” Damian menjitak kepala gadis yang duduk di sampingnya.

    Sedangkan Ghea, hanya tertawa lebar. Bersikap tak acuh pada sekitar yang sedang menatap ke arah mereka berdua.
Damian merasa ada yang berbeda dari cara Ghea tertawa. Dia sudah mengenal gadis itu hampir lima tahun. Tidak pernah, sekali pun dia mendengar cara Ghea tertawa seperti sekarang, yang terkesan dibuat-buat. Tak setulus biasanya.

    “Diem, mulut lo bau,” kata Damian cuek.

    Dia berusaha mengenyahkan pikiran bahwa Ghea tetaplah, gadis kecilnya yang sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Mungkin, ini hanya efek karena sudah beberapa hari tidak bersua, semenjak dia resmi menjadi alumni SMA Pelita Bangsa.

    Desau angin malam, kembali menyengat tubuh Ghea. Dia memeluk tubuhnya sendiri. Tidak ada lagi percakapan antara dua anak manusia itu. Mereka sama-sama membisu, Damian yang sibuk dengan ponselnya dan Ghea yang sibuk menggosok-gosok telapak tangannya.

    “Bang, hati gue remuk. Kayak biskuit roma kelapa yang sengaja diinjak,” gumam Ghea.

🐼🐼🐼

Happy Reading!
Hope u like it!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top