Kepo adalah Hak segala Bangsa

"Kepo boleh, asal dalam batas normal."

-G

***

Sejak kejadian tadi pagi, Ghea terus memikirkan siapa cowok itu dan dari kelas mana.
Sepertinya bukan anak IPS, kalau cowok berkacamata itu berasal dari golongannya, sudah pasti mereka akan saling mengenal, atau paling tidak wajahnya tidak terlalu asing.

Mungkinkah anak IPA? Jika benar, pantas saja wajah itu begitu kalem, tipe-tipe cowok taat aturan, tidak suka membolos, mengerjakan PR di rumah, jarang mau masuk ruang BK. Intinya cowok itu adalah tipikal seorang good boy.

Sudahlah, tidak apa, Ghea sudah memutuskan akan mencari tahu siapa cowok yang mempunyai senyuman memikat, dengan tinggi sekitar 178 cm, kulit sawo matang dan bola mata legam yang begitu meneduhkan. Namun bagaimana caranya?

Oh! Ayolah otak, kenapa di saat seperti ini tidak mau bekerja. Ataukah begini saja, istirahat nanti dia akan menemui Daniel dan mengajaknya ke kantin. Tidak apalah rugi sedikit, asal dia bisa tahu siapa cowok itu. Kalau kata kids zaman now, bahasa gaulnya itu 'kepo'. Dia sendiri sih, merasa bodo amat dikatain kepo, setiap orang juga mempunyai hak untuk penasaran, asal masih dalam batas wajar.

Sebenarnya dia bisa saja memakai cara yang gratisan, yaitu datang ke perpustakaan untuk mencari cowok itu. Kalau boleh sok tahu, biasanya anak IPA lebih suka datang ke perpustakaan daripada ke kantin. Memang tidak semua, tetapi mayoritas dari mereka adalah anak yang gemar membaca buku. Jangan bandingkan dengan dirinya yang sedikit urakan, pasti hasilnya seperti Mimi peri dan Chelsea Islan, sangat jauh.

Akhirnya, bel istirahat berdering, membuat Ghea langsung bergegas ke luar kelas, tanpa mengindahkan Rachel—sahabatnya yang sedang misuh-misuh karena jumlah followers-nya berkurang.

Dia mulai melangkahkan kaki menyusuri lorong penghubung antara gedung IPS dan IPA. Sepanjang perjalanan, otaknya terus memikirkan siapa cowok itu, bayangan wajah berkharisma itu masih melekat dimemori otaknya.

Padahal tadi pagi dia, habis dihukum mencabuti rumput dan menyapu halaman belakang sekolah, namun tidak menyurutkan semangatnya untuk mencari tahu siapa gerangan sosok berkacamata itu.

Begitu memasuki kawasan anak IPA, tidak sedikit pasang mata yang tertuju ke arahnya. Entah itu karena dia anak IPS yang menyusup ke daerah Einstein, atau memang wajahnya yang terlalu cantik.

Ghea tetap berjalan dengan percaya diri, tidak mengindahkan tatapan sinis yang anak-anak perempuan tunjukan padanya. Baginya, dia sudah terlalu sering menerima tatapan seperti itu, dia tidak terlalu memusingkan pemikiran orang lain tentang dirinya. Untuk apa mendengarkan celotehan tidak bermakna? Toh, dia hidup bukan untuk membuat mereka yang membencinya menjadi terkesan.

Langkah kaki Ghea berhenti tepat di depan kelas XI IPA 3, "Eh, Bang Sat, Daniel ada gak?" tanya Ghea pada Satria—teman satu bangku Daniel.

"Anak kecil gak boleh ngomong kasar," ejek Satria, "Daniel di kelas, mau Abang antar gak, Dek?"

Ghea mendengus kesal mendengar kalimat yang meluncur dari mulut si dodol—Satria. Ingin sekali rasanya dia mencubit mulut itu dengan tang pembuka botol karena saking gemasnya, apalagi ucapan Satria yang mengejeknya sebagai anak kecil.

"Gue bukan anak kecil, cuma kurang tinggi aja," kilah Ghea.

Setelah mengatakan itu, dia melenggang pergi menuju pintu kelas Daniel, tanpa menunggu jawaban dari Satria. Untuk apa menunggu sahutan yang akan diberikan oleh si dodol itu, kalau kalimat yang akan keluar adalah kata-kata bernada ejekan.

Bola mata Ghea mulai menelisik keadaan sekitar kelas untuk mencari keberadaan sahabatnya yang merupakan jelmaan panda kutub utara itu. Namun, bukannya menemukan Daniel, pandangan matanya justru berhenti pada seorang cowok yang sedang mendengarkan musik melalui ipod dan headset yang terpasang di telinganya.

Hal itu membuat Ghea menggelengkan kepalanya, merasa ini adalah sebuah ilusi semata karena efek terlalu penasaran. Bagaimana bisa, saat ini cowok yang dia cari, kini sedang duduk dengan mata yang sibuk membaca goresan tinta dari buku yang sedang dibacanya? Tidak! Ini hanya sebuah fatamorgana, tetapi kenapa begitu nyata rasanya?

"G ... ngapain?" Suara Daniel membuat perhatiannya berpindah ke arah seorang cowok yang sedang menatapnya dengan tatapan datar.

Ghea hanya tersenyum kikuk, "Kantin yuk, Niel? Gue yang traktir deh."

"Tumben," cibir Daniel.

Ghea menarik lengan Daniel agar mau mengikutinya, "Udah ayo! Gue abis menang beatle nih."

Sebelum benar-benar pergi dari depan pintu kelas IPA 3, Ghea menyempatkan untuk mencuri pandang ke dalam kelas tanpa sepengetahuan Daniel, tentunya.

Mereka berdua berjalan beriringan, Daniel dengan tatapan datarnya, dan Ghea dengan dahi mengkerut, memikirkan cara supaya tahu siapa cowok itu. Otaknya sudah bekerja ekstra sejak tadi, tapi hasilnya zonk karena membuka topik pembicaraan dengan si kutub itu sangatlah susah. Entahlah, bagaimana nasib Clara yang menjalin hubungan dengan sahabatnya itu selama bertahun-tahun.

"Niel, cowok yang pake kacamata di kelas lo itu siapa, sih?" tanya Ghea spontan.

***
Tbc guys, jangan lupa voment🐼

Pendek? Mwehehehe next part panjang kok. Doain ya enggak lupa wkk.
Gimana part ini? Garing ya? Udah tahu kok, kriuk kriuk kayak jamur krispi😅

Tertanda,

Manusia gabut💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top