It's Date?
"Pada akhirnya, namamu tetap bersemayam dalam hatiku. Meskipun kamu menempati bagian paling ujung."
—gadis abu-abu.
Happy Reading🌝
***
G.Anstsy_
Ok, nnti jm 3 gue tunggu di dekat pos satpam. See u🐒
Send.
Ghea memasukan ponselnya ke dalam laci meja. Bel tanda masuk kelas sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu.
Pelajaran pertama di hari Sabtu, diisi oleh Mr. Alex. Guru dengan wajah yang bisa dibilang tampan, itu selalu menjadi sosok yang ditunggu-tunggu oleh murid perempuan, termasuk Ghea dan Rachel.
Cewek itu mengembuskan napas panjang, setidaknya hari ini dia cukup mengikuti dua mata pelajaran--Bahasa Inggris dan Geografi. Dan, sisa waktunya di sekolah akan dia gunakan untuk bimbingan olimpiade.
"Semoga nanti nggak jadi ulangan Geografi. Gue belum belajar soalnya," ujar Rachel.
"Emang sejak kapan lo belajar kalau mau ulangan?" cibir Ghea.
Cewek yang sedang memutar-mutar pulpelnya itu mendengus, kesal mendengar perkataan Ghea. Tapi, jika dipikir-pikir lagi, memang benar apa yang dikatakan oleh cewek cebol itu.
Gunanya temen yang otaknya encer buat apalagi emang? Selain minta sontekan pas ulangan dan ada PR, pikir Rachel.
"Sombong lo sombong," ucap Rachel kesal.
"Ya, selagi gue punya apa yang seharusnya disombongin, ya kan?" Ghea mengangkat dagunya.
Rachel semakin dibuat kesal dengan jawaban cewek yang berada di sampingnya. Karena terlalu larut dalam kedongkolannya mereka sama sekali tidak menyadari bahwa Mr. Alex sudah berdiri di depan kelas.
"Good Morning, guys ...." sapa guru dengan wajah khas timur tengah. "... hari ini kita adakan evaluasi materi BAB 3, 4, dan 5. Siapkan alat tulis kalian."
"Yaahhhhhhh," Suara semua murid yang mendiami kelas XI IPS 2 terdengar.
"Kok dadakan sih, Mr?" tanya Aga.
Pria dengan seragam batik yang melekat di tubuhnya itu tersenyum. Kemudian, mulai membagikan lembar soal ulangan.
"Emang, kalau diberi tahu dulu ada jaminan kamu bakal dapat 100?"
Aga menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Ya, enggak sih, Mr."
Seisi kelas kompak menertawakan Aga, yang sedang salah tingkah. Suasana yang semula tegang, kini mencair. Lagi pula Mr. Alex, tidak terkenal sebagai guru killer. Beliau itu salah satu guru yang punya prinsip; santai tapi serius.
Makanya, banyak muridnya yang menjadikan beliau sebagai maskot suami idaman.
"Ada yang keberatan?" tanya Mr. Alex yang sudah kembali ke mejanya. "Kalau tidak, silakan kumpulkan buku tugas Bahasa Inggris kalian. Saya tidak butuh angka yang akan ada di lembar ujian kalian. Yang saya butuhkan, kejujuran kalian dan sejauh mana pemahaman kalian terhadap materi yang sudah saya ajarkan. Ada pertanyaan?"
Semua murid XI IPS 2 menggelengkan kepala dengan serempak.
"Baik, saya beri waktu 30 menit dimulai dari sekarang."
Hening. Suasana kelas berubah menjadi senyap.
Rachel yang biasanya akan kelabakan saat ada ulangan dadakan, sekarang cewek itu sedang fokus membaca soal ujian.
Begitu pun dengan Ghea, dia tidak mengalami kesulitan. Toh, dia cukup menguasai pelajaran tersebut.
***
Ghea melangkahkan kaki keluar dari ruangan olimpiade dengan tergesa. Dia melirik jam tangan yang sejak pagi sudah menghiasi pergelangannya.
Dia mengembuskan napas berat.
Udah jam 15.20, gue telat 20 menit, batinnya.
Cewek itu langsung bergegas menyusuri koridor lantai dua, suasana sekolah yang sudah sepi membuat dia leluasa berlari kecil, tanpa takut menyenggol bahu seseorang atau tersandung.
Dia menuruni dua anak tangga sekaligus. Sesekali dia menyingkirkan anak rambut yang menutupi separuh paras imutnya.
Ini hari Sabtu, pantas saja sekolah sudah sepi. Dan mungkin saja, anak IPA tidak ada jadwal bimbingan seperti dirinya--anak IPS.
Ghea berhenti sejenak, sembari menetralkan detak jantungnya. Deru napasnya terdengar memburu.
Dia mengusap perutnya sendiri saat rongga dalam lambungnya menghasilkan suara.
Benar saja, cacing yang berada di perutnya sudah meminta jatah makan.
Dia lekas meninggalkan tempatnya berpijak, dan harus segera menemukan seseorang yang sudah dia berikan janji.
Tubuh mungil milik Ghea sampai pada pos satpam. Matanya menelisik hingga ke sudut ruangan kecil di dekat gerbang sekolahnya.
Sepi. Tidak ada siapa pun. Pak Mamat yang biasanya stand by bersama radio tuanya pun tidak nampak batang hidungnya.
Ghea mendesah berat, beruang kali dia merutuki Pak Joko yang sudah membuat dirinya terlambat pulang. Padahal, mereka sudah melakukan bimbingan dimulai dari jam istirahat sampai jam tiga sore. Apakah masih kurang? Apakah guru itu tidak memikirkan nasib otak anak didiknya? Menyebalkan sekali!
Berbagai kalimat sumpah serapah, bergumul dalam hatinya. Lelah pada tubuhnya, tidak sebanding dengan kekesalannya sore ini.
Tubuh mungil itu duduk di bangku panjang yang ada di sebelah pos satpam.
Tangan yang sedari tadi mengepal kini dia gunakan untuk menekan tombol power ponselnya.
"Sial! Kenapa ini HP nggak bisa diandelin sih?!" ucapnya pada dirinya sendiri.
Ghea menyenderkan tubuhnya di dinding pos satpam. Dia memejamkan matanya, berusaha mengurangi rasa kesal yang masih saja bercokol dalam hatinya.
Bukannya, merasa tenang karena kelopak mata itu terpejam, justru ketenangan yang lainnya yang hadir dalam bayangannya. Potret Alan sedang tersenyum ke arahnya, membuat hatinya menghangat.
Lagi pula, dia tidak bisa berbohong pada hatinya. Sampai detik ini pun perasaannya untuk Alan masih sama.
Mungkin jika minggu-minggu lalu, dia menghindari cowok berkacamata itu karena dia tidak mau bergerak bersama harapan-harapan semu yang akalnya sendiri ciptakan. Dia tidak mau, hatinya akan kecewa dan justru berdampak negatif pada sekolahnya.
"Nunggu aku?"
"Hmm." Kelopak yang semula tertutup, kini perlahan terbuka.
Iris cokelat terang milik Ghea, bertemu dengan mata legam milik Alan.
Dalam jarak pandang yang sedemikian dekat, kilas balik semua momen milik mereka berdua kembali berputar. Membuat sepasang senyum bak bulan sabit terbit di antaranya.
Senyum itu, seperti membawa Ghea kembali pada saat-saat pertama kali bertemu dengan Alan di koridor sekolah. Dia ingat sekali, saat itu dirinya berjalan mengendap-endap, sampai akhirnya menabrak Alan yang sedang membawa tumpukan buku.
Rasanya baru kemarin, tapi ternyata mereka sudah saling mengenal hampir selama satu semester ini. Sungguh, itu adalah momen paling menyenangkan dalam hidupnya.
"Ayo." Suara Alan memecahkan lamunan Ghea.
Cewek itu tersenyum, sembari meraih helm yang Alan sodorkan padanya.
Ini kedua kalinya dia dibonceng oleh Alan, dia berdehem singkat--berusaha menyamarkan suara debar dalam benaknya.
Motor matic itu melaju pelan, membelah jalan Jenderal Sudirman sore hari. Tidak terlalu ramai, pun tidak terlalu sepi, tetapi cukup membuat Alan mengurangi kecepatan motornya.
"Mau ke mana?" tanya Ghea.
"Kepo, nggak?" Alan balik bertanya.
"Biasa aja sih," jawab Ghea seolah tidak peduli.
Alan tertawa, membuat bahunya bergetar. Suara tawa itu saling bersahutan dengan suara pikiran yang berasal dari Ghea. Sebagian merasa senang, separuhnya lagi menyumpah serapahi tindakan Ghea.
"Ngapain lo ketawa?"
"Muka kamu lucu pakai helm itu. Jadi kayak capung." Suara tawa Alan kembali terdengar.
Ghea mengerucutkan bibirnya, sembari mencubit pinggang Alan.
Cowok itu hanya menggerakkan bagian tubuhnya yang sudah sentuh oleh Ghea.
"Bercanda. Kamu emang lucu kok," Alan menghentikan motornya saat lampu lalu lintas berwarna merah. "Ya kalau bibir kamu bimoli, sih."
"Bibir monyong lima senti maksud lo, ya kan?" tebak Ghea.
Alan kembali tertawa. Kali ini, mereka berdua mendadak menjadi pusat perhatian beberapa pengendara lain.
Ghea menepuk lengan Alan. "Receh juga lo, ya."
"Kan kamu yang ngajarin." Alan kembali melanjukan motornya.
"Jayus lo!" Tidak bisa dielakkan, pipi putihnya merona mendengar perkataan Alan.
Karena sibuk menyembunyikan rona di wajahnya, cewek itu sampai tidak menyadari bahwa motor yang dia tumpangi, sudah berhenti di depan sebuah toko buku.
"Nggak mau turun?"
Ghea mendongakkan kepalanya, dia melirik sekeliling. Hanya terdapat beberapa motor yang sedang terparkir di halaman.
"Ngapain?"
"Masuk aja dulu," jawab Alan sembari melepaskan kaitan helm.
Ghea mendengus, tangannya sibuk melepaskan kaitan helm yang dia pakai.
Alan terkikik geli melihat cewek di hadapannya.
Tanpa aba-aba, Alan mengambil alih kegiatan melepaskan kaitan helm itu. Yang lagi-lagi berhasil membuat pipi Ghea bersemu merah jambu.
"Thank." Ghea berkata lirih seraya menundukkan kepalanya.
Matahari semakin menguning saat keduanya berjalan melangkah memasuki area toko buku, yang jujur saja baru pertama kali Ghea datangi.
Cahaya kuning yang langit pancarkan mengiringi langkah kedua remaja itu.
Dua langkah di dalam toko buku, Ghea dibuat ternganga dengan desainnya.
Tentu saja iya, untuk orang yang jarang sekali menyambangi tempat seperti ini.
Tempat dengan dua lantai ini dibagi menjadi dua bagian. Lantai satu, untuk toko bukunya sendiri, sedangkan di atas disulap menjadi kafetaria yang sekaligus menyediakan tempat membaca khusus.
Alan mengajak Ghea naik ke lantai dua, tempat di mana kafetaria berada. Cewek itu hanya menurut saja, dia masih terkagum-kagum dengan tempat ini.
Ruangan yang besarnya tak seberapa besar itu terlihat cukup nyaman. Apalagi, bangku-bangku yang berjejer rapi menghadap ke arah barat. Tepat, menampilkan pemandangan jalanan Magelang sore hari.
Untuk kafenya sendiri, mereka menggunakan konsep lesehan--duduk di atas lantai yang beralaskan tikar yang bentuknya beragam. Mulai dari hewan, benda langit, dan sebagainya.
Di sudut ruangan terdapat pohon palem, yang tingginya sekitar satu meter.
Nyaman. Satu kata yang mewakili perasaan Ghea saat ini.
Apalagi, melihat Alan yang sedang berdiri di depan rak buku.
Cewek bertubuh pendek itu menghampiri Alan yang tinggi badannya 25 cm di atasnya.
"Duduk dulu, aku udah pesan minum sama singkong keju, di sini juara rasanya." Alan mendudukan tubuhnya terlebih dulu.
Ghea hanya mengangguk. Dia duduk di depan Alan, membelakangi sinar matahari yang mengintip di sela-sela bangunan. Cahaya kuning bersemu oranye menerpa wajah Alan yang berwarna sawo matang.
Lagi-lagi Ghea dibuat terpesona dengan sosok di hadapannya. Mata legam itu bergerak ke kanan dan ke kiri, membaca setiap huruf dari buku yang kertasnya sudah berwana kuning keruh. Setiap sudutnya sedikit terlipat, apalagi ada bekas terkena air di bagian pojok atas.
"Kenapa lo suka baca buku?" tanya Ghea setelah pesanan mereka dihantarkan oleh pramusaji.
"Ya sama kayak aku suka senja. No more reason." Alan meminum cokelat hangatnya.
"Hm, pantes lo ngajak ke sini. View langitnya cantik banget."
Alan tersenyum, kemudian menutup buku yang tadi dia baca. "Tapi, ada lagi yang aku suka dan lebih cantik dari matahari sore."
Cewek itu menyelipkan rambutnya ke telinga. Sepasang iris cokelat terangnya menatap Alan dengan binar tertarik.
Alan melepaskan kacamata yang sedari tadi bertengger di hidung mancungnya. Cowok yang mempunyai tahi lalat di atas bibirnya itu tersenyum, seperti biasanya.
"Apa?"
"Kamu."
***
Double update.
To be continue♥️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top