Gue Jenius!
Akhir-akhir ini aku sering dibuat bingung dengan semesta. Kenapa jika ia tak mengizinkan kita bersama, justru membuat sandiwara agar kita semakin dekat?
--gadis abu-abu.
Happy Reading ♥️
🐒🐒🐒
Minggu pagi, yang seharusnya aku gunakan untuk bermalas-malasan, justru berakhir di sini. Bersama sederet alat bersih-bersih rumah--sapu, pel, penyedot debu dan kawan-kawannya.
Rasanya sangat tidak cocok ketika hari libur justru diharuskan bangun pagi. Oh, yang benar saja. Bukankah selama hampir enam hari aku selalu bangun pagi? Berhadapan dengan dinginnya air, lalu terjebak macet sepanjang perjalanan ke sekolah. Rutinitas yang saat ini terasa membosankan, ya bisa jadi akan akan aku rindukan saat sudah tak berseragam putih abu-abu.
"Mi, ini yang buat ngelap kaca mana?" teriak David yang sedang memegang alat pembersih kaca.
Aku mendengus saat mendengar suara teriakan itu. Kenapa laki-laki berambut cepak itu tampak semangat sekali, bahkan sebelum sibuk dengan kegiatannya sekarang, beliau sudah melakukan olahraga pagi--lari memutari komplek dan push up.
Ah, aku hampir saja lupa. Bahwa laki-laki yang memakai kaus berwarna hijau army adalah prajurit negara, yang bangun tidur pun sudah ditentukan waktunya. Semua kegiatannya terjadwal, mempunyai urutan waktu yang pas. Harusnya aku tidak heran jika beliau--ayahku sangat bersemangat. Apalagi minggu pagi. Katanya, tidak bagus jika hanya digunakan untuk bermalas-malasan.
"Itu yang di botol, rasa apel." Suara teriakan lainnya terdengar.
Kusumpal lubang telingaku dengan headset, aku sedikit menaikkan volumenya. Aplikasi pemutar musik milikku sedang memutar lagu milik Isyana Sarasvati—Kau adalah.
Entah kenapa, aku merasa lagu itu begitu pas dengan suasana hatiku. Ya, anggap saja iya. Karena, kemarin sepulang dari toko buku, Alan mengajakku untuk pergi ke pasar malam.
Aku hanya mengamini, mana bisa aku menolak permintaannya?
Aku senang mendengar suaranya, terlebih saat dia tengah tertawa. Rasanya renyah, seperti sedang mengunyah kerupuk. Dia manis, punya senyum memikat. Kulitnya yang sawo matang, menambah kesan manis pada dirinya.
Rambutnya lurus, terkadang menutupi sedikit bagian pelipisnya. Matanya yang bulat juga akan semakin menggemaskan saat aku melihatnya sedang tertawa. Tuhan sudah menganugerahkan purnama hitam di matanya.
"Hah? Rasa apel? Ini adanya yang rasa anggur." Pria yang masih memegang penyedot debu itu kembali bersuara.
Suara decakan bersamaan dengan datangnya wanita yang rambutnya pendek itu, membuat aku menoleh.
Dan sialnya, tanpa aba-aba wanita yang wajahnya belum ditumbuhi banyak keriput itu merebut botol yang sedang kupegang.
"Botol segede gini masa nggak lihat sih?" Wanita itu berdecak kesal.
Kemudian, mata sipitnya menelisik lantai yang baru saja aku pel. Melihat pekerjaanku dari bawah sampai ke atas.
Aku yang ditatap sedemikian rupa, mendadak salah tingkah. Layaknya tersangka maling sandal di masjid saat shalat Jumat.
"G, kamu ngepel pakai ini?" Wanita itu menunjuk botol yang isinya cairan berwarna hijau.
Aku mengangguk polos.
"Ya Tuhan. Ini itu pembersih kaca, masa kamu buat ngepel?"
Aku ternganga, begitu pula ayahku yang saat ini sedang menahan tawa.
"Kamu nggak bisa bedain mana pembersih kaca sama lantai? Anak siapa kamu?" Wanita itu berkacak pinggang.
"Anak cewek satu-satunya dari Tuan David dan Nyonya Irene yang terhormat. Lahir pada tanggal, 1 April 2002."
Perempuan pemilik nama Irene itu melotot, kulitnya yang putih itu memerah. Aku masih menatapnya dengan tatapan polos, bak anak berumur lima tahun, yang baru saja tertangkap sedang bermain hujan.
David—ayahku, sudah tertawa terbahak-bahak melihat kami berdua. Apalagi ekspresi ibuku yang siap mengamuk kapan saja.
Bukankah aku sudah menjawab pertanyaan ibuku dengan benar? Beliau bertanya aku anak siapa bukan? Memangnya jawabanku salah?
"Tapi ini lantainya bersih kok, Mi." Ayahku melakukan pembelaan.
"Yes! Berarti gue jenius. Ngelakuin perubahan, ngepel lantai pakai pembersih kaca." Aku bertepuk tangan.
Ibuku semakin melotot. Kemudian memutar tubuhnya 180 derajat. Ia melangkah ke arah dapur, sembari mengucapkan berbagai sumpah serapah yang masih bisa kami berdua—aku dan ayahku—dengar.
***
11.092♥️
G.Ansty_ Minggu = Libur sekolah = Libur mandi. Right?😋
Ghea dengan sengaja mematikan kolom komentar pada akun Instagram-nya.
Setelah tadi pagi sampai siang ia gunakan untuk membantu bersih-bersih rumah, sekarang ia sedang menikmati semilir angin di atas beranda jendela kamarnya.
Sembari menunggu jam empat, cewek itu mencari kesibukan dengan bermain ponsel. Bermain game online, melihat postingan yang ada di Instagram. Dan bolak-balik scroll-up beranda Twitter-nya.
Sesekali, ia melirik tumpukan kertas yang ada di meja belajar miliknya, ia mendengus, ia butuh jeda untuk kesehatan otaknya.
Olimpiade itu bukan buat dijadiin beban, pikirnya.
Matahari semakin bergerak ke arah barat, semilir angin yang berembus semakin kencang itu membawa ingatannya kemarin sore di toko buku bersama Alan.
Cukup empat huruf sudah berhasil membuat detak jantungnya kembali bekerja tidak normal, apalagi waktu yang seolah berhenti.
"Tapi ada lagi yang aku suka dan lebih cantik dari matahari sore."
"Apa?" Ghea bertanya dengan binar tertarik.
"Kamu."
Pada saat itu pula, semburat merah jambu kembali terbit pada pipinya. Kejadian serupa pun kembali terulang, gadis itu memegang wajahnya yang memanas.
Entah, kenapa hanya karena memikirkan Alan saja, hatinya sudah sebahagia ini. Layaknya bunga sakura yang sedang bermekaran.
"Besok aku mau ngajak kamu ke satu tempat lagi," ucap Alan saat mereka melangkah ke luar dari toko buku.
"Ke mana?"
"Mau, emang?"
Ghea mengangguk, lagi pula besok hari Minggu. Ia bisa gunakan hari liburnya untuk refreshing sebelum kembali berkutat dengan segala sesuatu tentang sekolah.
"Besok aku jemput jam empat sore, oke?"
Lagi-lagi Ghea menganggukkan kepala, seolah tidak perlu tahu ke mana Alan akan mengajaknya pergi.
Suara getaran dari benda pipih yang sedang ia pegang membuat lamunannya tentang Alan menghilang. Berganti dengan pesan singkat yang baru 15 detik yang lalu menghampiri ponselnya.
Mata Empat🐒
Udh mandi?
Ghea tersenyum membaca pesan itu. Belum sempat ia mengetikkan pesan balasan, chat lainnya kembali hadir di ruang pesannya.
Mata Empat🐒
Alamat rumah km belum pindah kan?
Me:
Blm nih, gue Lg duduk di jendela cari hidayah wkwk
Nggak, emg gue pernah kasih alamat palsu sma Lo?🐒
Ghea terkikik sendiri, ia tahu Alan berniat untuk menggodanya.
Cewek itu lekas menyudahi acara melamun di beranda jendela, setalah membaca pesan yang mengatakan Alan akan menjemputnya sedikit lebih awal.
Gadis itu lekas bersiap mandi, dan akan memulai menikmati jalanan Magelang di hari Minggu. Tepat bersamaan dengan matahari yang mulai bergerak turun.
🐒🐒🐒
To be continue....
Next part, di-posting 5 menit lagi. Selamat menunggu🐒
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top