DAHLAN

"Yang kalem emang bikin adem."

***

Ghea mengentakkan kakinya, dia kesal karena di keluarkan dari kelas oleh Mr. Alex. Ini memang salahnya yang ceroboh, tidak membawa buku tugas Bahasa Inggris.

Bodo amat! Pusing-pusing amat, mikirin bahasa Inggris, dia aja kagak mikirin gue, batinnya menggerutu.

Dia mulai menyusuri koridor sekolah yang sepi, karena kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Sebenarnya, dia juga bingung akan pergi ke mana, kalau dia berleha-leha di kantin pasti akan terjaring razia guru BK—yang selalu semangat untuk menghukumnya, tidak peduli itu kesalahan sekecil upil sekali pun.

Pernah suatu hari, dia dihukum menjadi tukang cleaning service dadakan selama satu hari full, karena ketahuan tidak mengikuti upacara. Bukannya dia malas untuk mengikuti kegiatan yang rutin dilakukan setiap hari Senin itu, hanya saja saat itu dia benar-benar mengantuk, efek maraton menonton drama Korea yang berhasil membuat dia terjebak dalam zona gundah gulana.

Kaki mungil Ghea terus melangkah, sampai dia tidak menyadari bahwa langkah kakinya berhenti tepat di depan perpustakaan. Tanpa berpikir lebih lama lagi, dia memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan yang berisi buku. Mungkin membaca buku atau sekadar cuci mata karena melihat cogan Einstein di sini, bisa membuat mood-nya kembali baik.

Ghea melepaskan alas kaki yang dia pakai sebelum memasuki kawasan 'jangan berisik'—perpustakaan yang cukup sepi. Yang terlihat hanya ada beberapa murid yang tengah sibuk mengerjakan tugas atau sekadar membaca buku.

Dia kembali mengayunkan kakinya untuk menyusuri rak buku, dia juga merasa bingung melihat jejeran buku yang begitu banyak, namun tidak ada yang menarik perhatiannya selain cowok yang sedang terduduk di bangku pojok.

Mata cokelat terangnya tidak mau lepas sedetik pun dari sosok berkacamata itu. Ingin rasanya dia menghampiri, kemudian mengajaknya berkenalan. Tetapi, dia merasa malu serta takut dikira sok kenal. Ah, memang sejak kapan seorang Ghea Anastasya mempunyai rasa malu?

"Hai," sapanya setelah berada di samping tempat duduk cowok itu.

Ghea menghela napas perlahan, dia menyunggingkan sudut bibirnya ke atas, membentuk sebuah senyuman manis.

Dilihatnya cowok itu mendongakkan kepalanya, membuat mata cokelat terang Ghea bertemu dengan bola mata legam yang begitu meneduhkan itu.

"Hai juga," sahut cowok itu diiringi seulas senyum.

Entah sudah berapa kali dalam sehari, Ghea terhipnotis dengan tatapan serta senyuman dari makhluk yang ada di hadapannya.

Gugup. Itulah satu kata yang mampu menggambarkan perasaannya. Bukan hanya jantungnya yang bekerja dua kali lipat, namun keringat dingin juga mulai membasahi telapak tangannya.

Sungguh. Ghea merasakan gugup yang berlebihan, padahal saat dia akan mengikuti berbagai macam lomba, tidak pernah merasakan kegugupan yang seperti ini.

"Mau duduk?" tawar cowok itu.

Ghea hanya bisa tersenyum kikuk, karena ketahuan sedang menatap cowok itu tanpa berkedip. Entah kenapa, pipinya juga ikut memanas layaknya gadis yang sedang jatuh cinta.

Apa benar dia terjangkit virus merah jambu? Menggelikan rasanya jika dia benar-benar jatuh cinta, padahal dia pernah mengatakan bahwa pacaran adalah sesuatu hal yang merepotkan.

Eh, kok jadi mikir kejauhan sih, aduh sadar G, sadar. Kenal aja kagak, masa mau langsung pacaran?

Namun, mau bagaimana lagi? Pesona cowok itu berhasil membuat hatinya bergetar, menciptakan sebuah perasaan baru yang menyusup masuk tanpa permisi, dan sialnya ini pertama kalinya dia merasakan debaran yang seperti ini.

Ghea langsung duduk di sebelah cowok itu, tidak mengacuhkan rongga dadanya yang terus menciptakan suara dentuman yang khas.

Hening. Yang terdengar hanya suara embusan udara yang keluar dari lubang hidung masing-masing. Dia memerhatikan sosok berkacamata yang berada di sampingnya dengan seksama, terlihat begitu sibuk, dahi yang mengerut tanda bahwa sedang berpikir, tangannya sesekali membetulkan kacamata yang melorot, padahal hidung itu mancung, serta tahi lalat yang berada di ujung indera penciumannya menambah aksen manis pada laki-laki yang berhasil meruntuhkan benteng hatinya.

"Ghea Anastasya. Nama lo siapa?" Ghea menjulurkan lengannya meski dia ragu.

Dia sendiri sudah tidak tahan merasakan suasana yang sepi, memang pada dasarnya dia adalah pribadi yang cerewet, dan mulutnya juga sudah gatal ingin tahu siapa cowok yang sudah membuat dia harus rela membayarkan Daniel makanan di kantin, tapi sialnya dia tetap tidak dapat informasi apa pun dari sahabat ter-anu-nya itu.

Persetan dengan gengsi dan harga diri, batinnya bersuara.

"Adam Ighfirlana, panggil Alan aja kalau bingung."

Ghea merasakan tubuhnya seperti tersengat aliran listrik, saat tangan mereka saling bersentuhan.
Belum lagi, sorot mata yang Alan tampakkan seolah menarik seluruh raganya agar masuk ke dalam bola mata hitam pekat itu.

Ghea melepaskan tangannya dari genggaman Alan, dia merasa tidak mampu lagi untuk mengendalikan detak jantungnya, efek dari sentuhan tangan tadi. Bayangkan saja, hanya sebuah sentuhan kecil, berhasil memporak-porandakan seluruh penjuru hatinya.

Setelah acara perkenalan singkat itu, suasana di antara mereka mulai mencair, tidak terlalu beku seperti detik pertama dia duduk di samping Alan.

"Lo anak Einstein, ya?" celetuk Ghea.

"Einstein?" Alan menaikan sebelah alisnya, "Maksud kamu IPA?"

"Iya, masa gak tahu sih julukan anak IPA, yang selalu berjibaku dengan rumus-rumus," cerocos Ghea, "buset, bahasa gue kayak murid bener aja deh, tapi serius nih ya, gue tuh kadang merasa bingung sama sekolah."

"Kenapa?" tanya Alan yang sudah menutup bukunya.

"Sabar dong, Mas. Gue lagi merangkai kata-kata biar enak didengar kayak suaranya Mbak Via."

Ucapan yang meluncur dari mulut Ghea membuat Alan terkekeh, padahal sudah jelas jika di sini tidak boleh berisik.

"Oh ya, gini, gue tuh bingung, kenapa gue harus mempelajari materi yang segitu banyaknya, belum lagi nih sejarah yang materinya panjang, kayak jalan kenangan. Eh! Gini loh, padahal kan ya, kalau gue lulus nanti, terus mau jualan sayuran di pasar, gak mungkin kan kalau gue kasih uang kembaliannya sambil bacain isi perjanjian Roem-Royen?" papar Ghea panjang lebar, "ngomong apaan sih gue, ya Tuhan."

Ghea menghirup napas sebanyak-banyaknya, dia merasa tenaganya terkuras habis karena berbicara panjang kali lebar ditambah tinggi badannya yang tidak mau bertambah lagi, lagian belum tentu juga yang diajak bicara paham apa yang sedang dia katakan.

"Jadi kesimpulannya?" Alan tersenyum tipis.

Bisa gak sih, kalau ngomong gak usah sambil senyum? Dedek gak kuat, Bang!

"Jadi, kapan bel pulang sekolah bunyi? Gue udah laper, Coy," kekeh Ghea. "Pokoknya gitulah, lo pahamin aja sendiri, gue capek ngoceh mulu."

Alan tersenyum kembali. Entah sudah berapa kali Ghea menikmati manisnya ciptaan Tuhan di hadapannya ini.
Penilaiannya tentang Alan tidak meleset sedikit pun, faktanya memang benar. Bahwa Alan adalah pribadi yang kalem, murah senyum tapi bukan murahan, dan tidak cerewet seperti abang sayuran yang sering lewat di komplek perumahannya.

Pada intinya, menurut Ghea, Alan yang kalem dan dia yang cerewet adalah sebuah kombinasi yang pas. Kalau kalian tidak setuju, silahkan mengadu pada costumer service.

***
Tbc
Jangan lupa tinggalkan jejak🌟🌟

Btw, ini udah panjang kan? Kurang panjang? Ambil tali rafia deh buat nyambung hubungan kita berdua😅
Masih mau nunggu cerita kriuk-kriuk ini? Jangan ditunggu, karena menunggu itu gak enak😅
Kadang tuh gue bingung, tapi gue juga mikir apa yang gue bingungin😅 gak paham? Udahlah gak usah dipahamin. Berat, kamu gak akan kuat, biar kuli panggul aja😋
Etdah ngomong apaan si gue, gaje bat. Pokoknya mah, anu ya jangan suka menganu-anu❤
Okey see u hari Rabu bosku!

Salam hangat,

Makhluk gabut dari Pluto🐼

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top