Ghea mengembuskan napas berat, kenapa kesialan terus saja menghampirinya? Apa perlu dia mandi air dari tujuh sumur, dicampur bunga tujuh rupa, agar dia tidak menjadi cewek ternistakan di sini?
"Kenapa selalu gue sih?" gerutu Ghea.
Dia terus melangkah menyusuri lorong penghubung antara ruang BK dan perpustakaan.
Embusan napas berat lagi-lagi keluar dari hidung bangir Ghea, ingin rasanya dia menolak, tapi dia tidak punya kuasa apa pun sebagai murid.
Gue mah apa atuh, cuma remahan gorengan yang mangkal di pertigaan komplek.
Begitu sampai di depan pintu yang mempunyai papan bertuliskan 'perpustakaan', dia langsung melepaskan sepatu yang dia pakai.
Matanya menelisik keadaan perpustakaan, cukup ramai.
Dia ingin segera menuntaskan kewajibannya sebagai murid baik-baik, rajin menabung di kantin, dan gemar dihukum Pak Agus karena melakukan penyusupan gelap. Intinya dia adalah murid baik-baik versi buku catatan guru BK.
Bola mata Ghea berhenti menatap sekitar, saat netra cokelatnya melihat tiga orang cowok yang sedang terduduk di dekat rak buku sastra.
Dia memutuskan untuk mendekati meja itu, niatnya untuk mengagetkan Daniel—sahabatnya terurungkan saat suara pertama yang dia dengar berasal dari mulut Satria.
"Hei, anak kecil," sapa Satria seraya mengedipkan sebelah matanya seperti orang cacingan.
"Najisun, Bang Sat."
Ghea duduk di samping Daniel yang entah sibuk atau menyibukkan diri dengan membaca buku.
Kalau anak kelas IPA 3 ada di sini, artinya si mata empat juga berada di tempat yang sama dengannya. Mata Ghea kembali meneliti seluruh penjuru ruangan, mencari-cari sosok yang sudah beberapa hari tidak dia temui.
"Ngapain anak IPS ke sini?" tanya Anton—teman sekelas Daniel dan Satria.
Ghea langsung menatap Anton dengan sinis, kala mendengar pertanyaan tang keluar dari mulut cowok yang mempunyai rambut ikal itu, yang seolah-olah melarang anak IPS untuk datang ke perpustakaan.
Mungkin saja, jika orang lain yang mendengar kalimat itu akan bersikap biasa saja, atau menganggap itu hanya sebuah candaan. Tetapi, tidak dengan telinga Ghea yang menilai itu adalah kalimat bernada sindiran.
"Emang ini perpus punya bapak lo?" tanya Ghea dengan nada sinis yang kentara, "terus, cuma anak IPA yang boleh ke sini? Lo pada sadar gak, sih!?" Suara Ghea naik satu oktaf, napasnya mulai memburu.
Dia berdiri dengan tangan yang mencengkram sisi meja, "Bukannya gue mau bangga-banggain anak IPS. Tapi, faktanya gue dan anak-anak yang kalian pandang sebelah mata itu, banyak yang mencetak sebuah prestasi. Coba bandingkan sama diri lo ...." Ghea menatap nyalang ke arah Anton, "Yang katanya anak IPA, tapi gak pernah buat bangga almamater sekolah."
Ghea berdecak pelan, "Oh, dan satu lagi ... Gak selamanya anak IPS itu adalah anak-anak pembuat onar, kayak yang mereka semua pikirin," sambung Ghea seraya berlalu pergi meninggalkan tiga orang cowok yang sedang memandangnya dengan berbagai macam tatapan.
Daniel dengan sebelah alis yang terangkat, Satria yang menampilkan sebuah senyuman bodoh di bibirnya, dan Anton yang menatapnya dengan mata membulat. Entahlah, mungkin saja dia merasa tercengang mendengar kalimat sarkas dari mulut Ghea.
***
Ghea memilih duduk di bangku pojok, tempat favoritnya, sekaligus tempat pertama kali dia berkenalan dengan Alan. Cowok yang sampai sekarang berhasil membuatnya tersenyum-senyum sendiri setiap kali mengingat interaksi mereka berdua.
Sejenak, emosi yang tadi sempat hinggap di hatinya, kini perlahan menguap, hanya dengan mengingat nama 'Adam Ighfirlana'. Memang sosok Alan, selalu berhasil membuat mood-nya kembali baik.
"Ngapain?" Suara seorang cowok yang baru saja meletakkan tumpukan buku matematika.
"Duduk," sahut Ghea yang masih saja sibuk dengan layar ponselnya. Tidak menatap cowok itu sedikit pun.
"Cuma numpang duduk?"
Ghea mendengkus kesal mendengar pertanyaan yang bertubi-tubi diajukan untuknya. Memang siapa cowok itu, berani-beraninya kepo dengan urusannya.
Dia mendongakkan kepalanya, mengalihkan bola matanya dari layar ponsel ke arah cowok yang sedang duduk di sampingnya, seraya tersenyum tipis.
Mata Ghea membulat sempurna, detak jantungnya kembali bekerja tidak normal. Bagaimana tidak terkejut jika saat ini yang duduk di sebelahnya adalah seorang Alan si mata empat?
Memang betul, semenjak acara perkenalan singkat itu, intensitas pertemuannya dengan Alan bisa dibilang cukup sering. Entah itu disengaja, atau Ghea yang berusaha agar bisa melihat Alan, bahkan dari jauh sekali pun tidak apa. Namun, tetap saja, debaran itu kembali muncul setiap kali melihat Alan tersenyum.
Ghea tidak tahu, saat Alan di dalam kandungan mendapat kadar kemanisan berapa persen, yang dia pahami, senyuman Alan selalu berhasil menggetarkan relung kalbunya.
"Ya Allah, ya Tuhanku ... kenapa lo muncul gak bilang-bilang sih? Padahal gue gak nyebut nama lo tiga kali loh," ujar Ghea dengan nada jenaka.
"Ngapain?" Alan mengulang pertanyaannya.
Ghea mengernyit, dia mendadak lupa tujuannya ke perpustakaan untuk apa. Ini semua salah Anton yang berhasil menyulut emosinya.
Dia terdiam sejenak, mencoba mengingat kembali apa maksud kedatangannya ke sini.
"Ghea, ke perpustakaan sekarang, ya ... Ditunggu Pak Joko," ujar Bu Alline—wali kelasnya, sekaligus guru sejarah.
"Ngapain, Bu? Saya gak punya janji sama Pak Joko," sahut Ghea dengan malas.
"Ada yang mau beliau bicarakan sama kamu, sekarang temui dulu."
Ghea berdiri dari tempat duduknya, sebelum melangkah keluar kelas, dia sempat melirik Rachel yang sedang menahan tawa.
Ghea mengembuskan napas berat, dia malas sekali bertemu dengan guru ekonominya itu. Bukan karena galak, justru guru itu terkenal dengan candaannya yang garing. Bahkan, sering kali, dia dijuluki sebagai anak emas Pak Joko. Hal itulah yang membuat dia malas untuk menemui guru itu di perpustakaan. Pasti, nanti dia akan diejek oleh teman-teman kelasnya.
"Bego! Gue lupa!" Ghea heboh sendiri, "Gue tadi disuruh ketemu, Pak Joko."
Mata Ghea celingak-celinguk mencari keberadaan guru botaknya itu.
"Aduh gimana, ya? Pake lupa segala etdah!" racau Ghea.
"Mau apa?" tanya Alan sambil memerhatikan ekspresi Ghea yang sedang kebingungan.
Ghea hanya mengendikkan bahunya tak acuh. Dia kembali menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi.
"Lo sendiri ngapain?" tanya Ghea saat melihat tumpukan buku yang dibawa oleh Alan.
"Duduk juga, sama kayak kamu."
"Dih! Maksudnya itu, bawa buku segitu banyaknya buat apa?"
"Oh, ini buat persiapan olimpiade matematika."
Ghea terdiam, memerhatikan Alan yang mulai membuka buku yang tadi dia bawa.
"Lo sering ikut OSN gitu, ya?" Ghea bertopang dagu, memandangi wajah manis Alan dari samping.
"Baru beberapa kali, kalau kamu?"
Ghea menggelengkan kepalanya sebagai bentuk jawaban dari pertanyaan Alan, "Gue sih prinsipnya, kalau gak bisa berprestasi dibidang akademik, artinya gue harus punya nilai plus dibidang non akademik."
Mendengar jawaban Ghea, Alan langsung menatap gadis yang sedang duduk di sampingnya itu dengan seksama.
Berbeda dengan Ghea yang langsung mengalihkan pandangannya, selain tidak mampu menatap netra legam itu terlalu lama, dia juga merasakan emosi yang kembali tersulut, mengingat perkataan Anton tadi sebelum bertemu dengan Alan.
Kenapa harus ada pembeda antara anak IPA dan IPS? Padahal mereka semua sama, memakai seragam yang sama, bersekolah di tempat yang sama pula. Tidak semua anak IPA itu pandai, ada pula yang suka buat keributan, sama halnya dengan anak IPS. Lalu perbedaan mereka di bagian mana?
"Kedip, woy kedip." Ghea mengibaskan tangannya di depan wajah Alan.
Alan hanya membalas dengan sebuah senyuman, yang selalu berhasil membuat dunianya meleleh dalam sekejap.
***
Ghea berjalan dengan langkah ringan, ditambah senyum merekah menghiasi bibir mungilnya.
Sesekali dia melemparkan senyum ke arah siswa yang berpapasan dengannya di koridor.
Sampai di depan kelasnya, senyum yang sejak tadi menghiasi bibirnya masih bertengger di wajahnya. Lekukan bibir itu membuat beberapa siswa yang berada di dalam kelas, menatap Ghea dengan heran. Tidak biasanya dia mengumbar senyuman seperti itu, apa lagi sorot matanya menampakkan binar bahagia.
"Kesambet apa lo? Senyum-senyum sendiri," tanya Rachel—sahabat sekaligus teman satu bangku Ghea.
Bukannya menjawab, Ghea justru tersenyum semakin lebar, membuat matanya menyipit, menciptakan sebuah satu garis di wajah putihnya.
Senyuman itu malah membuat Rachel bergidik ngeri, takut jika sahabatnya ini kesambet 'jin senyum' atau ini adalah dampak Ghea bertemu dengan Pak Joko. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.
"G, lo kesambet beneran, ya?" Ghea masih saja terdiam.
"Woy! Setan keluar lo!!" teriak Rachel seraya menggebrak meja, membuat Ghea tersentak.
Dia menatap Rachel dengan pandangan yang sulit diartikan.
Beberapa murid yang sedari tadi sibuk dengan urusannya sendiri, kini mendadak mengalihkan semua bola matanya ke arah Ghea setelah mendengar suara cempreng Rachel, yang berpotensi merusak gendang telinga orang yang mendengarnya.
"Ghea, kenapa?" tanya Rico.
"Kesambet." Rachel menatap Ghea dengan iba.
Sebagian siswa mental Ghea dengan takut-takut, beberapa lagi memandang Ghea dengan tatapan iba. Kenapa makhluk halus berani mendekati seorang Ghea? Padahal cowok saja jarang yang kuat jika melakukan PDKT dengannya. Itulah sebabnya, dia masih setia dengan status ngenes-nya.
"Panggil Bu Norma, cepet!"
"Itu jin senyum yang nempel di tubuh Ghea, makanya dia senyum mulu."
"Panggil Mbah dukun aja biar setannya mau keluar."
"G, lo gak pernah ngaji, ya makanya kesambet gitu?
"Ini setan pohon pete di belakang sekolah kayaknya."
Semua suara-suara itu saling bersahutan di dalam kelas XI IPS 3. Ghea hanya diam, pandangannya tertuju pada layar ponselnya yang sedang menampilkan foto candid seseorang yang dia ambil secara diam-diam di perpustakaan tadi.
Dia tidak menyahuti semua ocehan yang keluar dari mulut teman-temannya.
"Minggir! Ustaz Jo mau lewat." Jonathan datang membawa sebuah tasbih.
Dia berjalan membelah kerumunan yang mengerubungi tempat duduk Ghea.
Mulut Jonathan terus berkomat-kamit, entah apa yang dia baca.
"Oke, teman-teman kita berdoa untuk Ghea saja, sebab, ini setan sudah jatuh cinta dengan sosok ratu upil," ujar Jonathan setelah selesai berkomat-kamit, layaknya mbah dukun yang sedang baca mantra.
Ghea mendengkus, sudah cukup dia mendengar semua omong kosong yang mereka katakan. Ini semua salah bule KW—Rachel yang telah mendiagnosa bahwa dirinya kesambet.
Ghea berdiri, kemudian mengibaskan rambut sebahunya, "Lo semua gila, ya? Kalian kali yang kesambet," ketus Ghea.
Dia melangkahkan kakinya keluar kelas, meninggalkan teman-temannya yang masih menatapnya penuh dengan tanda tanya.
Ghea tidak peduli dengan mereka, dia kembali menatap foto Alan yang ada di ponselnya dengan senyum yang kembali merekah. Andai bisa digambarkan, pasti di dalam hatinya seperti sedang musim semi di Jepang. Penuh dengan bunga sakura yang sedang bermekaran. Sangat indah.
***
To be continue gengs💜 Jangan lupa tinggalkan jejak. Mari jadi pembaca yang Budiman, jangan jadi pembaca gelap🌟🌟🌟
Oke ini panjang asli, sepanjang jalan kenangan dengan dia yang pergi meninggalkan tanpa alasan. Eyak😅 Maafkan jika ada typo yang berceceran. Selagi masih bisa dipahami, mari dimaklumi😊
Masih ada yang setia menunggu? Sabar ya, ini cerita emang garing, kriuk kriuk banget. Tapi percayalah, aku menulisnya dengan sepenuh jiwa dan raga😅😅
Baca pelan-pelan, siapa tahun nanti kalian jatuh cinta. Dari mata turun ke hati😋
Okelah, see u hari Sabtu❤
Tertanda,
Makhluk imut dari Mars.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top