Suara kursi digeser itu berasal dari keempat remaja yang sejak tadi menghabiskan waktu istirahat di kafetaria, dan hendak beranjak pergi. Ghea membersikan rok kotak-kotak merah yang ia kenakan. Sebelum meninggalkan kantin, ia sempatkan untuk membeli susu kotak rasa pisang yang ada di lemari pendingin.
Ia berjalan paling akhir, di saat kedua temannya sudah berada beberapa meter di depannya. Oh, Ghea ternyata melupakan Jonathan, ia memutar kepalanya 180 derajat dan mendapati cowok itu sedang menjilati es krim dengan satu tangan yang masuk ke dalam saku celana.
Jonathan mengangkat sebelah alisnya mendapati Ghea yang menatapnya sedemikian rupa. Ia menyodorkan es krim yang sejak tadi ia jilati ke arah Ghea, ia berpikir jika cewek itu menginginkan benda yang sedang ia pegang.
Melihat hal itu, Ghea hanya menatap jijik ke arah Jonathan. Ia memutar tubuh dan bersiap melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Saat pandangannya sudah kembali ke depan, sorot matanya tertumpu pada seorang cowok yang memakai hoodie hitam dengan tangan yang memegang nampan berisi bakso.
Pandangan mereka bertemu, Ghea melambaikan tangan sembari tersenyum dan dibalas dengan senyuman pula. Hanya beberapa saat saja mereka saling memandang, sebelum suara panggilan Rachel menginterupsinya.
“G, Jo! Buruan!” seru Rachel, membuat beberapa pasang mata menatap ke arah mereka.
Ghea hanya memutar bola matanya. Tanpa diduga, sebuah lengan kokoh tersampir di bahunya. Wangi parfum Cool Water menggelitik hidung bangir milik Ghea. Sama dengan parfum yang selalu dipakai Damian, dan ia selalu suka aroma ini, membuat ia betah menghirupnya lama-lama.
Itu tangan Jonathan, batinnya.
Ghea membiarkannya, dan kembali melangkah keluar dari area kafetaria. Meski tak bisa menampik, beberapa pasang mata menatap mereka berdua dengan tatapan berbagai macam. Mereka berdua tidak memedulikannya, dan terus melangkah sampai melewati pintu kafetaria.
Masih dengan susu kotak di tangannya, dan es krim yang hampir mencair membuat Jonathan kesulitan menjilatinya.
“Eh, bentar lagi ulangan kenaikan kelas, kan?” tanya Rama entah pada siapa, “Gimana kalau sebelum UKK kita having fun dulu?”
Rachel menyambutnya dengan antusias, cewek itu sampai memutar tubuhnya membuat berhadapan dengan kedua temannya. Menilik bagaimana ekspresi Ghea dan Jonathan.
“Gue, sih, oke,” sahut Rachel. “Lo berdua gimana?” imbuhnya.
“Ke mana dulu. Kalau tempatnya asyik gue mau, aja.” Jonathan kembali menjilati sisa-sisa es krimnya.
“Kalem, Jo. Lo tahu kan gimana selera gue?” Rama menaik-turunkan alisnya. “Nah, kita punya waktu 10 hari sebelum ulangan. Lo gimana, G? Yaelah kebanyakan mikir lo!”
Ghea masih bergeming. Mereka berempat berhenti di tengah koridor, yang sesekali membuat beberapa murid mengumpat karena mereka sudah menutup jalan. Ia menggigit sedotan, entah apa yang sedang ia pikirkan.
“Sebelum lo olimpiade juga, G. Ayolah. Tahun depan kita udah bakal sibuk sama persiapan UN. Kita nggak punya jaminan setelah lulus bakal sering nongkrong bareng.” Rama terus membujuk.
“Mau ke mana emang?” tanya Ghea akhirnya.
“Ke mall. Kita main di time zone seharian!” Rachel berteriak heboh.
“No!” ucap Ghea dan Jonathan bersamaan.
Mereka berempat kembali berjalan, Rachel dan Rama berada di depan, meninggalkan Ghea dan Jonathan yang masih sibuk dengan apa yang ada dalam genggaman masing-masing.
Rachel dan Rama kompak menoleh, hanya dalam hitungan detik mereka memutar bola matanya dan kembali menatap ke depan.
“Chel, gue rasa gaya hidup lo perlu diubah sedikit,” kata Jonathan.
Rama dan Ghea mengangguk dengan setuju. Pasalnya, mereka meresa tidak mampu mengikuti gaya hidup Rachel yang kelewat kekinian. Tidak bisa lepas dari Handphone barang satu menit saja, coba bayangkan ketika duduk di atas kloset, tetapi Rachel masih sibuk menggulir layar ponselnya. Atau, di saat mereka sedang berkumpul pasti yang dibicarakan oleh Rachel hanya seputar Feeds apa yang menarik untuk di-posting di akun Instagramya.
Selain jengah dengan topik pembicaraan yang selalu Rachel katakan, mereka merasa bahwa ponsel hanya akan mendekatkan yang jauh. Namun, tanpa disadari justru menjauhkan yang dekat.
Tidak ada jawaban dari Rachel atas perkataan Jonathan tadi. Mungkin saja, gadis itu tersinggung dan mencoba memikirkan tentang apa yang sudah ia lakukan sampai sahabatnya sendiri mengatakan hal seperti itu. Ataukah mereka sudah tak nyaman lagi berkawan dengannya? Rachel menghela napas panjang.
“Gue, sih lagi pengen hiking, lihat milyaran bintang pas malem, sunrise pas pagi. Seru nggak, sih?” tutur Ghea.
Jonathan menyambutnya dengan antusias, Rama mengangguk-anggukan kepalanya, tanda setuju. Berbeda dengan Rachel yang terdiam dengan alis yang hampir menyatu. Sudah bisa ditebak, bahwa cewek itu tidak setuju.
“Eh gila lo, G! Di antara kita belum ada yang berpengalam hiking, terlalu berisiko. Lagi pula di atas gunung nggak ada sinyal. Ogah, ah gue.” Rachel bersungut-sungut.
Mereka bertiga kompak memutar bola mata sembari mendengus kesal. Jaringan selalu saja menjadi alasan Rachel enggan beraktivitas jauh dari keramaian kota, dan jawaban Rachel selalu saja mudah ditebak. Tidak ada sinyallah, tempatnya nggak menarik buat foto, atau nanti kalau gue kehabisan baterai dan segala tetek-bengek dengan perentelan sebuah ponsel.
“Yaelah, Chel. Nggak ada sinyal lo juga nggak bakal mati. Coba, deh lo pikir sesekali kita perlu menjauh dari bisingnya kehidupan kita. Nenangin diri, biar kita sanggup kasih suggesti ke diri sendiri tentang hal positif. Emang lo mau diperbudak zaman? Dikit-dikit, update di sosial media, bentar-bentar upload foto. Muka lo bakal keriput kalau nggak foto satu menit aja? Lo tahu, ‘kan? Orang yang benar-benar menikmati hidup adalah mereka yang enggak mikirin, mau upload foto apa nanti siang; atau bikin feed apa, ya yang menarik. Sebanyak apa pun pujian yang lo dapat dari sosial media, enggak bakal ada yang benar-benar diri lo selain lo sendiri. Lagian, kalau lo ulangan nggak tau jawabannya, mereka bakal kasih lo sontekan?” tutur Ghea.
Rachela bergeming, ia tidak pernah mendengar Ghea berbicara sepanjang itu. Memang benar jika cewek itu cerewet, tetapi tetap saja apa yang baru saja sahabatnya katakan sedikit mengusik egonya.
“Oke, gue ikut,” putus Rachel.
Ghea mengibaskan tangan. “Nggak usah kalau lo terpaksa.”
Rachel hanya mendengus kesal, tidak berniat menjawab sindiran sahabatnya itu.
“Nah, karena Rachel udah setuju, dan ini juga masalah siapa yang berpengalam tentang mendaki gunung, lo pada ada kenalan?” tanya Rama.
Rachel jelas menggeleng, disusul oleh Jonathan, jika hanya sekadar camping saja mungkin ada beberapa kenalannya yang biasa melakukan di alam terbuka.
“Damian?” tanya Rama.
Ghea menggeleng, bahkan jika cowok itu saja pernah melakukan hiking, tidak mungkin ia meminta agar Damian menemaninya dalam waktu dekat. Bukan takut Damian akan menolak, tetapi ia saja tidak tahu keberadaan saat ini. Kemarin saat ia dan Alan membolos dan mampir di warnet biasa Damian bekerja paruh waktu, tidak ada cowok itu di sana.
Mereka berjalan dalam hening, sibuk berpikir siapa sekiranya yang bisa menjadi pemandu saat melakukan pendakian. Sebenarnya bisa saja mereka berangkat sendiri, tanpa memerlukan tour guide, istilahnya. Namun, ini sebagai bentuk antipasi, takut kejadian yang tidak diingankan terjadi. Hipotermia, misalnya.
“Gimana kalau kita camping di pantai aja. Sama kok, kita juga bisa lihat bintang sama sunrise. Cuman esensinya aja yang beda. Gimana?” usul Jonathan.
Mereka mengangguk setuju. Lagipula ide Jonathan tidak buruk juga, dan yang paling penting medan yang akan ditempuh tidak terlalu berbahaya. Mereka bisa menempuhnya dengan menggunkan mobil pribadi.
“Kita punya waktu 10 hari dari sekarang. Gimana kalau kita ambil weekend terkahir sebelum ulangan? Hari sebelum itu kita gunain buat cari perlengkapan, kayak kita mau ke pantai mana, mobil, tenda sama perentelannya. Gimana?” tanya Rama.
“Atau kalian boleh ngajak anak kelas, kalau mereka mau aja, sih.”
Mereka mengangguk setuju. Langkah mereka berberok ke arah gedung IPS, kelas XI ada di lantai dua. Melewati koridor yang sudah tidak terlalu ramai, memang bel istirahat akan berbunyi sebentar lagi. Namun, empat remaja itu masih saja melangkah dengan santai.
“Gue pengen ke pantai Goa Cemara,” ujar Rachel.
“Yaelah itu jelek kali, Chel,” tolak Rama.
Ghea dan Jonathan hanya diam saja, mereka sudah tahu dalam kesempatan apa pun kedua temannya itu akan selalu berdebat.
“Ke Indrayanti, aja gimana?” tawar Rama.
“Gue udah pernah ke sana, Rama-Rama!”
“Gue nggak nanya sama lo, Chel-eng!”
“Itu kan lo! Bukan kita!”
“Ya Tuhan, lo belum pernah ke sana? Kasihan banget hidup lo kurang piknik!” pekik Rachel, sembari berkacak pinggang. Ia mulai naik pitam.
Rama mundur satu langkah saat melihat Rachel yang mulai terpancing emosi. Tanpa disengaja, ia menyenggol bahu Jonathan yang sedang berdiri di belakangnya. Hal itu membuat stik es krim yang masih ada di dalam mulut Jonathan terpelanting keluar karena terkejut. Karena itu pula berdampak pada tubuh mungil Ghea yang terpepet di dinding, kedua tangan Jonathan bertumpu pada tembok dan tanpa disadari mengurung Ghea.
Jarak mereka berdua sangat dekat. Bahkan Ghea bisa mendengar deru napas Jonathan yang tidak beraturan efek terkejut tadi. Pun dengan Jonathan yang bisa menilik iris cokelat terang milik Ghea. Hanya dalam waktu satu menit, hal itu mampu membuat kedua wajah remaja itu memerah.
Rachel dan Rama yang melihat itu hanya diam dengan mulut terbuka, saat tersadar Rachel langsung menarik lengan kokoh Rama menjauh dari kedua temannya.
“Terlalu dekat,” gumam Ghea.
“Jantung gue deg-degan, G.”
🐒 G H E A 🐒
To be continue ♥️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top