Alan Itu Masih Polos

Sejatinya perihal jatuh cinta itu mudah jika dicerna secara nalar. Hatimu akan menghangat tatkala melihat senyum orang yang kau suka.

--Alan

****

Suara rintik mengetuk kaca jendela membuat Ghea menggeliatkan tubuh yang terbalut selimut bermotif Doraemon, senada dengan tembok kamarnya yang berwarna biru. Ia mengerjap beberapa kali, sebelum tangannya bergerak untuk mematikan jam weker--yang sejak 30 menit lalu terus menerus berdering. Kebiasaan yang tidak pernah berubah, mengatur alarm pukul lima pagi, tetapi akan ia matikan berulang kali sebelum jarum jam bergerak menuju pukul enam pagi.

Mata sipit itu kembali terpejam, sembari mengembuskan napas secara perlahan. Rasanya hari ini ia ingin mangkir dari sekolah. Apalagi ia di rumah seorang diri, tidak akan ada yang berteriak memintana untuk lekas bangun dan bergegas ke sekolah.

Di luar, hujan turun semakin menjadi, membuat Ghea menggulingkan tubuhnya ke sisi kiri sembari menarik selimut hingga menutupi kepala. Ia berusaha memejamkan mata, tidak peduli bahwa waktu semakin siang. Keputusannya untuk bolos sudah bulat.

Kapan lagi bisa terbebas dari pelajaran matematika dan bebas bangun siang, batinnya.

Baru saja hendak terlelap, getaran dari ponselnya membuat kedua kelopak mata Ghea terbuka, samar-samar ia membaca siapa yang menelepon pagi-pagi seperti ini. Ia terbelalak melihat nama yang tertera di layar berukuran 6 inci tersebut.

Ibu Negara
In comming call ....

Tanpa dikomando, Ghea langsung menggeser ikon berwarna hijau.

“G, ini sudah siang. Kamu nggak mau bangun?!” ucap sebuah suara.

Ghea langsung mendudukan tubuhnya, lantas bersandar pada punggung ranjang. Ia jadi berpikir, bagaimana ibunya bisa tahu jika ia sedang bermalas-malasan di atas tempat tidur. “Masih nggak mau bangun? Mami hitung sampai tiga, masih malas-malasan jatah liburan hari raya kamu Mami batalin!”

Napas Ghea tercekat mendengar ancaman yang ibunya ucapkan. Tidak, ia akan melakukan apa pun agar ia jadi pergi liburan sebelum akhirnya sibuk menjadi siswi tingkat akhir.

“Mami tahu dari mana?” tanya Ghea.

“Satu ...”

Bukannya menjawab pertanyaan sang putri, wanita berusia awal 30 tahunan itu justru mulai berhitung. Ia kenal betul tabiat anak semata wayangnya jika tidak ada siapa-siapa di rumah. Sifat urakan yang entah menurun dari siapa itu, jelas ada di dalam tubuh Ghea.

Oke, Ghea mandi sekarang. Tapi janji nggak ada pembatalan. Semua udah fix!” tukas Ghea.

Ia memilih mengikuti permintaan sang ibu, dan mengurungkan niatnya untuk membolos. Padahal sudah lama ia tidak masuk ke dalam ruang BP. Dan ia rindu memenuhi buku catatan Pak Agus.

Ghea mematikan sambungan telepon itu secara sepihak, sebelum ia turun dari ranjang empuknya.

***

Ghea menarik resleting sweater yang ia pakai, dinginnya hujan yang sedari tadi bertambah tatkala ia berdiri di halte dekat komplek perumahan yang ia tinggali, pada saat yang sama pula tanpa sengaja ia melihat sepasang remaja sedang memadu asmara tak jauh dari tempatnya berdiri. Ghea mendengus, ia bahkan melupakan bahwa sekarang sudah hampir pukul tujuh--hanya kurang tiga menit saja.

“Ghea Anastasya!” panggil sebuah suara.

Ghea memutar kepalanya, searah dengan sumber suara itu berasal. “Eh, hai!” Ghea melambaikan tangannya sembari tersenyum.

“Kalau aku panggil Ana, boleh?” tanya cowok itu.

“Nggak boleh. Nanti gue dikira Ana yang ada di film Frozen.”

Cowok itu terkekeh pelan saling bersahutan dengan suara rintik hujan yang belum punya tanda-tanda ingin berhenti.

“Lo kok ada di halte ini? Rumah lo dekat sini?” tanya Ghea.

Alan menunjuk sebuah bengkel yang terletak di ujung jalan. “Ban motor aku bocor. Tadi mau nunggu di sana aja, tapi pas lihat ke sini ada kamu, jadi aku nyamperin kamu, deh.”

Ghea menganggukan kepalanya. Ia melirik arloji yang melingkr di pergelangan tangannya. Gerbang udah ditutup pasti, batinnya. Tak lupa ia mengecek ponsel yang ia simpan pada saku sweater, iris cokelat terangnya membaca pesan yang singgah pada aplikasi Chatting. Setelah memastikan tidak ada yang penting, ia melongokan kepala--menatap langit yang masih diselimuti awan hitam.

“Lan, bolos, yuk!” ajak Ghea pada Alan yang sedang membaca buku setebal lima senti.

“Kamu ngajak aku bolos?” tanya Alan skeptis. Ia membasahi bibir bawahnya, sembari mengusap bagian belakang kepala.

Ghea mengangguk mantap, sembari menarik lengan Alan meninggalkan halte. “Iyalah. Yang satu sekolahan sama gue kan cuma lo, masa iya gue ngajak mas-mas yang tadi, nanti malah gue diamuk sama pacarnya dong,” ucap Ghea sembari berjalan di bawah gerimis.

Alan menghentikan langkahnya, membuat Ghea ikut terhenti. Ia menoleh, menatap Alan dengan kedua alis yang hampir menyatu.

“Kamu serius?” tanya Alan memastikan.

“Atau jangan-jangan lo takut cewek yang waktu di kantin itu marah, ya?” tebak Ghea.

Merasakan rintik yang berubah menjadi agak deras, Alan memasangkan tudung sweater milik Ghea. Ia menggeleng sebagai bentuk jawaban dari pertanyaan Ghea sebelumnya.

“Bukannya kamu lagi ada persiapan olimpiade? Nanti kalau ketinggalan simulasinya gimana?” Alan kembali mengajukan pertanyaan.

Cewek yang memakai sweater kuning itu dibuat gemas dengan Alan yang begitu ragu untuk diajak bolos. “Lo juga ada simulasi, kan? Jadi kita seimbang, oke? Dengar, ya ... tuan Alan, ini udah mau setengah 8, dan gue yakin gerbang utama udah di tutup. Ya, kalau lo mau disuruh bersihin WC anak kelas 12 sih. Kalau gue jelas, big no! Baunya nggak nahan, man!” terang Ghea. “Kalau nggak ada kalimat bantahan lagi, kita fix bolos!”

Ghea kembali menarik lengan Alan, tangan kirinya ia gunakan untuk memberhentikan angkutan berwarna biru yang melintas di depannya. Kendaraan umum itu berhenti, hanya ada satu penumpang dan duduk di sebelah supir.

“Lan, lo biasanya kalau bolos ke mana?” tanya Ghea sembari mengusap pipinya yang sedikit basah oleh air hujan.

Alan menggeleng pelan, ia turut membersihkan kacamatanya yang  buram karena air yang membasahi lensanya. “Aku belum pernah bolos,” sahut Alan dengan polosnya.

Ghea terkejut bukan main, di saat anak cewek sepertinya saja sudah sering mangkir dari sekolah, justru masih ada cowok yang belum pernah bolos dan itu adalah Alan, cowok yang sedang duduk di hadapannya.

“Demi apa, Lan? Ya Tuhan ... gue ngerasa berdosa udah ngajakin anak baik-baik buat bolos,” kata Ghea sedikit bersalah.

Alan tersenyum saja.

“Kenapa nggak bilang, sih?” tanya Ghea penasaran.

“Kan kamu langsung narik tangan aku.”

Kali ini Ghea yang tersenyum kikuk, ia menyadari bahwa yang menarik Alan pada hal ini adalah dirinya sendiri. “Sorry, ya.” Ghea menangkupkan kedua tangannya.

Alan mengangguk seraya tersenyum.

“Lo gemesin tahu, nggak sih, Lan!” ucap Ghea sembari menepuk pelan lutut Alan.

“Biar masa SMA lo nggak datar banget, gue ajarin caranya menikmati masa-masa ini. Ya, minimal lo punya catatan merah di bukunya Pak Agus. Atau, kelak lo bisa ceritain ke anak-anak lo, kalau lo pernah diajak bolos sama cewek cantik.” Ghea mengakhiri perkataannya dengan tawa yang memenuhi angkutan yang mereka tumpangi.

Alan hanya menatap Ghea dengan mulut yang sedikit terbuka. Ia merasakan ada sesuatu yang perlahan tumbuh dalam benaknya setiap kali melihat tawa Ghea yang menular.

🐒🐒🐒

Mereka gemesin banget nggak sih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top