Al-Awalun

'Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?' Rupanya itu kalimat yang sudah lengkap, untuk menggambarkan rasa manis dari senyumanmu, sesuatu yang tidak mampu aku dustai.

-Ghea

***

Aku sesekali melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Waktu sudah menunjukan pukul 06.48 WIB, yang artinya sebentar lagi bel masuk akan berbunyi, dan sialnya sekarang aku masih terjebak di dalam angkutan.
Aku mengembuskan napas berat, ingin rasanya aku memaki siapa pun yang menciptakan kemacetan ini. Kenapa macet harus disaat yang tidak tepat?

"Saya turun di sini aja deh, Pak." Aku menyerahkan dua lembar uang seribu rupiah, kemudian aku melangkahkan kakiku untuk turun dari angkutan.

Aku-Ghea Anastasya, salah satu siswi di sebuah sekolah elit, dengan kualitas cogan yang tidak perlu diragukan lagi. Di usiaku yang mendekati 17 tahun, tetapi aku masih betah dengan status single-ku.
Entahlah, aku hanya merasa bahwa pacaran itu tidak ada gunanya, kalau ada yang bilang mempunyai pacar, bisa dijadikan moodboster sekaligus penyemangat, teriakin aja kata 'Hoax' di telinganya.

Bukannya menjadi semangat belajar, yang ada justru semakin malas membaca buku, karena lebih asik membaca pesan yang dikirim oleh sang pacar.

Ah! Sudahlah, aku mendadak emosi jika harus membahas tentang kejomloanku yang entah kapan akan berakhir. Bukannya sirik, hanya saja aku bosan menjadi tokoh yang selalu ternistakan di sini.

Aku melirik sekali lagi jam tangan berwarna cokelat yang melingkar di pergelangan tangan mungilku. Embusan napas lagi-lagi keluar dari hidung bangirku. Nampaknya aku harus pasrah jika nanti aku dihukum oleh si gendut-Pak Agus, karena terlambat datang ke sekolah.

Jarak dari tempatku turun dari angkutan, sampai ke sekolah memang tidak terlalu jauh, namun tetap saja, jika berjalan kaki akan terasa jauh.

Kenapa pula aku harus jomlo? Padahal, jika aku mempunyai pacar, aku bisa memintanya untuk mengantar-jemput, dan untungnya aku jadi hemat uang jajan.

Aku mulai melangkahkan kaki seraya menendang bebatuan kecil yang ada di sepanjang trotoar. Bisa kurasakan, tidak sedikit pasang mata melihatku dengan tatapan berbagai macam. Entah itu menilai wajahku yang mulai berkeringat, atau menelisik seragam sekolah yang kupakai.

"Biasa aja dong lihatnya, gue emang cantik, jadi matanya biasa aja coy." Aku berdialog seorang diri, dengan suara yang sengaja sedikit aku keraskan.

Aku menyeka keringat yang mulai membasahi sekitar pelipisku, jarak sekolahku masih sekitar 2,3 km lagi, membuat aku berhenti sejenak untuk mengumpulkan sisa-sisa tenagaku yang terkuras karena berjalan kaki, ditambah terpapar mentari pagi yang lumayan terik.

"G! Cepet naik!"

Aku tersentak kala mendengar suara seruan dari seseorang yang sedang duduk di atas jok motor.
Aku mendongak dan tersenyum lebar melihat siapa yang sedang berada tidak jauh dari tempatku berdiri.

Senyum sejuta dollar andalanku masih menghiasi bibirku, seiring dengan langkah kakiku, "Dari tadi kek, gue kan jadi gak perlu capek-capek jalan kaki," ucapku setelah berada di atas jok motor Daniel.

Daniel Anantha Wijaya adalah sahabatku sejak TK, cowok dingin mirip dengan pino ice cup itu hanya menatapku dengan tatapan datar saat mendengar gerutuan yang baru saja terlontar dari bibirku.

Suara knalpot motor Daniel, mulai meraung membelah jalanan macet pagi ini. Sesekali mulutku berteriak saat motor Daniel melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, belum lagi saat motor menyalip kendaraan roda empat yang tidak bergerak, berlagak seperti Valentino Rossi di atas aspal balap.

Dalam hati, aku merapalkan semua doa-doa yang kuhapal, tidak sadar jika itu adalah doa mau tidur sekali pun.
Tidak. Aku tidak mau mati konyol seperti ini, apalagi aku belum menemukan siapa tersangka yang menghamili kucing Bu Anne, tetanggaku.

Selang beberapa menit, motor yang kutumpangi berhenti di depan gerbang sekolah yang sudah ditutup.
Aku berdecak kesal, lalu untuk apa tadi si kutub melajukan motornya dengan kesetanan jika akhirnya akan tetap terlantar di depan gerbang layaknya orang yang sedang meminta sumbangan?

Menyebalkan sekali!

"G, mau ke mana?" tanya Daniel saat melihat aku sudah turun dari jok motornya.

Aku menoleh sekilas sebelum melanjutkan langkahku, "Mau ketemu Brandon Salim." Kakiku kembali melangkah menjauh dari gerbang sekolahku.

Entah sudah berapa kali pagi ini aku mengembuskan napas berat, lelah sekali rasanya hari ini.

Kakiku berhenti melangkah begitu sampai di gerbang samping, mataku menelisik sekitar, takut jika ada yang memergoki aksi penyelundupan gelap ini. Aku menatap pagar yang menjulang di depanku, tidak terlalu tinggi memang, kuhirup napas dalam-dalam dan bersiap untuk melompati besi yang tingginya kira-kira 148 cm itu.

1 ...

2 ...

3 ...

Bughh

Tubuhku tersungkur di atas dedauan yang hampir mengering, "Aw!" pekikku merasakan perih di siku serta lututku.

Aku langsung bergegas bangkit, takut jika ada yang melihat posisiku sekarang, akan sangat memalukan jika ada paparazi, kemudian akan mengunggahnya di Instagram, dengan caption; Seorang siswi yang mengaku dirinya sebagai kembaran salah satu personel JKT48, ditemukan sedang tersungkur di bawah pohon pete.
Famous, sih. Tapi rasa malunya itu loh yang akan membekas di kenangan masa SMA-ku.

Aku menepuk-nepuk rok sekolahku yang sedikit kotor, untunglah seragamku tidak tersangkut di pagar besi tadi.

Rasanya kesialan terus saja menyergapku sejak bangun tidur, mungkinkah ini akibat aku mengambil uang yang tergeletak di atas kulkas tadi pagi? Atau ini karena aku meninggalkan Daniel seorang diri di depan gerbang? Aku bahkan tidak mengucapkan 'terima kasih' karena dia telah memberi tumpangan gratis, padahal mah biasanya boro-boro.

Aku kembali melangkahkan kakiku, meski rasa perih mulai terasa di lutut serta siku.
Karena terlalu sibuk mengusap goresan luka yang ada di lutut, aku menabrak bahu seseorang sampai buku-buku yang orang itu bawa berjatuhan di lantai. Bersyukur, koridor sekolah sedang sepi, jadi aku tidak perlu takut, kalau akhirnya aku dimaki-maki oleh seseorang yang kutabrak ini.

"Duh, sorry. Gue gak lihat," ujarku bersiap membantu memunguti buku yang tergeletak di atas lantai.

"Gak usah, biar aku aja," sahut cowok itu.

Aku menghela napas pelan, beruntung cowok itu tidak marah-marah karena aku sudah menjatuhkan tumpukan buku itu. Aku mendongak, membuat mata kami bertemu.
Untuk beberapa saat, aku dibuat termenung dengan ciptaan Tuhan yang sedang berdiri di depanku ini, dengan diiringi seulas senyum yang menghiasi wajahnya.

Duh, kok manis sih senyumannya, kayak madu TJ, batinku.

Cowok itu berdehem, membuat aku mengalihkan pandanganku dari mata legam yang memikat itu. Yang bisa kulakukan hanya tersenyum kikuk, dan bersiap membantu membereskan kekacauan yang kubuat pagi ini.

Suara ketukan sepatu dari belakang tubuhku, membuat tanganku yang sebentar lagi akan menyentuh benda yang tergeletak di atas lantai itu terurungkan.
Bau-bau tidak enak mulai tercium oleh indera penciumanku, serta aura negatif juga mulai menyeruak, di sekelilingku.

"Ghea Anastasya! Lagi-lagi kamu!" Suara berat milik Pak Agus menggema di seluruh koridor sekolah yang sepi.

"Mampus!" gumamku.

Aku tidak memedulikan cowok itu akan mendengarku mengumpat atau tidak, yang sedang aku pikirkan adalah mempersiapkan tenagaku untuk lari. Sebenarnya tidak susah, hanya saja dengan keadaan kaki yang seperti ini pasti akan membuat kecepatan lariku berkurang.

"Jangan mencoba buat kabur, kamu!" teriak Pak Agus.

Aku hanya bisa mengembuskan napas berat, pasrah saja jika harus dihukum, "Hehe, Bapak peka banget kayak tumbuhan putri malu."

Aku menatap guru gempal yang sedang berdiri dengan penggaris kayu andalannya, dengan senyuman yang kubuat semanis mungkin. Mungkin jika Daniel atau Rachel melihat ekspresiku sekarang, mereka akan meledekku habis-habisan.

"Ikut saya ke ruang BK!"

Sebelum aku pergi meninggalkan tempat di mana aku tertangkap oleh Pak Agus gara-gara melakukan penyusupan gelap, ekor mataku melirik cowok itu, yang ternyata juga sedang menatapku diiringi seulas senyum, yang membuat hatiku semakin meleleh seperti es krim.

Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang panjang untukku. Dihukum oleh Pa Agus dan sialnya akan dilanjutkan dengan mata pelajaran ekonomi yang memusingkan. Apa lagi, senyuman cowok itu membuat aku dihantui rasa penasaran, siapa cowok itu?

***
Tbc. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Updatenya malam Minggu, khusus menemani kalian yang jomlo😅 Eh canda tjoyy..

Gimana masih mau baca cerita kriuk-kriuk ini? Baca aja dulu, siapa tahu nanti jatuh cinta😅

See you

Orang gabut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top