[9.27]
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Tanpa banyak bualan dan drama di dalamnya.”
—Ghea Anastasya.
***
Tanggal 15, tepat dua bulan lalu. Jemari mungilku dan telapak tanganmu saling menggenggam; saling menyebut nama masing-masing, diringi gemuruh hebat di jantungku. Tak bisa ku pungkiri, bahwa hari itu adalah hari yang paling menyenangkan selama aku duduk di bangku kelas XI.
Tidak pernah terbersit dalam benakku, untuk jatuh cinta. Apalagi itu kepadamu, pada kamu yang mempunyai embel-embel anak IPA. Pun yang selalu dibandingkan dengan aku--anak IPS. Jurusanmu selalu saja dielu-elukan, sangat berbanding terbalik dengan aku. Dipandang sebelah mata, rasanya sudah amat sangat biasa.
Anganku ingin kembali pada tanggal 15, dua bulan yang lalu. Saat kita masih bisa saling melempar senyum, bercengkrama tanpa rasa canggung. Tidak seperti sekarang, melihat siluet wajahmu saja, dadaku terasa sesak. Persis seperti yang aku rasakan saat aku gagal menjuarai perlombaan bela diri beberapa bulan yang lalu.
Hari ini, aku tidak terlalu banyak menguntitmu. Tak seperti hari-hari lalu--aku sangat senang mencuri pandang ke arahmu. Desis angin yang menelusup di ruangan berbentuk kubus, dengan deretan buku yang berjejer rapi, sudah tak lagi sama.
Rasanya asing, perasaan yang dulu menggebu-gebu kini perlahan mulai melebur, tepat di siang itu kala kamu nampak begitu dekat dengan seorang gadis. Tanganmu tanpa ragu, untuk merangkulnya; mengacak-acak rambut yang tergerai; kemudian bibirmu tertawa lepas. Seolah, bersamanya, duniamu akan selalu baik-baik saja.
Bagaimana dengan hatiku? Sempat kamu lambungkan, lalu kamu hempaskan ke dasar jurang begitu saja. Harusnya, aku jangan terlalu menjatuhkan hatiku pada sosokmu; harusnya aku menyisakan sedikit ruang di hatiku untuk momen seperti sekarang; dan harusnya aku tidak jatuh cinta karena seulas senyum.
Bodoh, ya aku ... dengan bibirmu yang selalu semringah saja aku bisa jatuh hati. Padahal aku tahu, kamu selalu bersikap ramah dengan siapa pun. Termasuk aku. Rupanya, aku saja yang terlalu percaya diri, bahwa kamu juga mempunyai rasa yang sama denganku; sama-sama ingin merasakan manisnya cinta di masa SMA.
Ternyata begini rasanya, jatuh cinta seorang diri. Tidak seenak bakso Mang Ojo; siomay Kang Dadang; dan tidak sehangat wedang ronde Pak Aziz.
“Ghea,” panggil sebuah suara.
Sekejap, hatiku menghangat dan sesak dalam waktu yang bersamaan. Aku mengenali suara serak ini; suara yang selalu berhasil membuat perutku seperti digelitiki.
Aku menoleh, tepat di samping tubuhku sosok jangkung dengan seragam yang dipakai rapi, sedang berdiri diringi seulas senyum. Kacamata yang biasanya bertengger di hidung mancungmu, hari ini tidak terlihat.
Aku masih bergeming, pandanganku terkunci pada netra teduh itu; senyuman yang selalu berhasil membuat hatiku melayang. Aku tidak bisa mengelak, semua yang ada di diri laki-laki ini sangat menentramkan jiwa.
Aku berdehem singkat, “Hai,” sapaku ramah.
Lelaki itu membalasnya dengan senyum andalannya--semanis madu teje, masih sama seperti pertama kali kita bersua. Hatiku kembali bergemuruh, perasaan itu kembali hadir. Puing-puing hatiku yang kemarin melebur, kini perlahan mulai menyatu. Ah, kenapa aku jadi selemah ini?
“Ngapain? Kok ngelamun?” tanyamu saat sudah duduk di bangku sebelahku.
Aku tersenyum tipis, mencoba mengalihkan pandangan ke arah lain. Asal bukan pada matanya, yang sedang menarikku agar menatapnya lebih lama lagi. “Lagi mikirin akuntansi,” kilahku.
Kamu mengangguk, “Lagi ada masalah, ya? Kamu kelihatan beda soalnya.” Kamu kembali bertanya.
Aku mengernyit, merasa bingung kenapa kamu bisa menanyakan hal seperti ini? Harusnya kamu paham apa penyebabku uring-uringan beberapa hari ini. Tapi, sejak kapan kamu tahu perihal rasaku? Aku bahkan tidak pernah mengatakan bahwa aku jatuh hati padamu. Bodohnya aku, yang berpikir bahwa kamu akan dengan sadar diri mengatakan bahwa gadis yang bersamamu Tempo hari bukanlah siapa-siapa.
Aku seperti ditampar oleh semesta berkali-kali. Di sini, yang bukan apa-apa adalah aku, bukan dia--gadis berambut panjang.
“Hei! Ngelamun lagi.” Kamu menepuk pelan punggungku.
Aku terperanjat. Lagi-lagi yang aku lakukan hanya tersenyum tipis. Tidak seperti biasanya, aku akan bertingkah konyol agar kamu bisa tertawa. Dan aku bisa menikmati manis senyumanmu.
“Gak ada masalah, kok. Cuma gue kurang piknik aja,” kelakarku.
Kamu tersenyum lagi. Kemudian, hatiku kembali bergejolak setiap kali melihatmu melengkungkan bibir bak bulan sabit.
“Gue pernah baca tuh, di stiker motor punya siapa gue gak tau. Pokoknya ada di parkiran sekolah,” kataku berusaha bersikap biasa saja.
Seperti biasa, kamu menyimak apa yang sedang aku ceritakan. Tidak banyak berkata, kamu hanya akan menimpali seperlunya.
“Gini tulisannya; hati-hati kurang piknik bisa menyebabkan muka pucat, sensian, gampang baper, dan suka nyinyir. Oleh sebab itu, pikniklah selagi mampu,” sambungku.
Aku tertawa riang setelah mengatakan hal itu. Kamu pun ikut terkekeh mendengar selorohanku. Bisakah seperti ini seterusnya? Menikmati manis senyumanmu, dan aku adalah penyebabnya.
“Jalan sama aku, mau? Ke perpus daerah, sekalian cari referensi buat olimpiade ekonomi kamu.” Suaramu berhasil memberhentikan tawaku.
Kinerja saraf tubuhku mendadak berkerja lamban. Otakku pun ikut terkena dampaknya, tidak bisa memproses apa yang baru saja kamu katakan. Gendang telingaku menangkap dengan jelas. Namun, logikaku menolak apa yang baru saja kudengar. Jangan tanyakan bagaimana kondisi hatiku yang sedang berperang batin.
Aku bergeming, menatap lurus ke arah jendela yang menampakkan halaman belakang sekolah. Desau angin kembali berembus pelan, membawa sebuah harapan yang baru. Kamu pun ikut memandang ke arah yang sama, entah apa yang kamu pikirkan. Aku tidak tahu, apakah kita berdua memiliki pemikiran yang sama.
Hening. Yang terdengar hanya denting jarum jam. Aku dan kamu sama-sama tak lagi mengeluarkan sepatah kata. Kita berdua larut bersama angin yang membuat dedaunan kering itu berjatuhan. Kemudian, aku paham bahwa senyap bisa menyanyikan lagu sendu.
***
Aku menyusuri koridor dengan langkah lunglai. Kupikir, banyak dampak yang akan terjadi saat kita jatuh cinta. Mungkin, positifnya kita akan selalu semangat berangkat ke sekolah. Ada sisi baik, tentu saja akan ada sisi buruk. Seperti yang aku alami sekarang, aku merasa sangat malas untuk berlama-lama di sekolah.
Jika dulu aku hanya malas karena mata pelajaran yang tidak aku sukai, kini aku merasa sungkan menetap lebih lama di sini. Alasannya sederhana, karena aku takut melihatmu sedang bercengkrama dengan gadis tempo hari.
Aku tidak ingin menyalahkan kamu, aku paham di sini tidak ada yang salah. Rasa itu anugerah, mana mungkin aku menyalahkanmu atas perasaanku. Mungkin, di benakmu untuk membuatku jatuh hati saja tidak pernah terbersit sedikit pun.
“Hai, Bocil!” sapa seorang cowok dengan dasi yang tidak terpasang dengan benar.
Aku mendongak, menatap malas ke arah dua cowok yang sedang berhadapan denganku.
“Muka lo kusut amat? Setrika di rumah lo rusak, ya?” Dia kembali bersuara.
Aku memutar bola mataku dengan malas, aku melirik ke arah laki-laki yang sedang menatap lurus ke arahku. Air mukanya tidak bisa ditebak apa yang sedang dia pikirkan.
Aku mendengus, “Minggir, deh. Gue lagi males ngebacot. Daripada lo nyinyir kayak ora kurang piknik, mending lo ajak temen lo ke psikiater,” ujarku malas.
Satria terkekeh, sedangkan Daniel masih setia dengan ekspresi datarnya. Sudah bertahun-tahun aku berkawan dengan Daniel, entah kenapa dia selalu menampakkan wajah yang seperti itu. Seolah-olah dia kehabisan stok untuk sekadar tersenyum sedikit saja.
“Ajakin dia les privat ekspresi, sana! Itu muka apa papan triplek? Datar amat,” sambungku sembari melangkah pergi ke arah gerbang.
“Besok-besok, kalau lagi patah hati gak usah sekolah. Bikin makin suram aja,” ujar Daniel.
Aku berhenti melangkah kala mendengar kalimat Daniel. Aku tertohok. Cowok itu selalu diam, tetapi sekalinya mau berkata-kata justru yang keluar adalah kalimat pedasnya.
Embusan napas kasar keluar begitu saja dari hidung bangirku. Aku sedang tidak ingin berdebat. Rasanya percuma saja, berbicara masalah hati dengan mereka berdua.
Kaki mungil milikku kembali melangkah, menyusuri koridor yang mulai sepi. Perkataan Daniel kembali berputar di otakku. Aku tidak marah padanya, justru aku merasa apa yang dia ucapkan itu benar.
Tentang aku yang sedang patah karena kamu. Rasanya dua bulan seperti dua hari saja. Bergerak begitu cepat saat kita masih berbagi tawa. Namun, dimensi mendadak melaju dengan lamban kala aku dan kamu sama-sama terjebak dengan sesuatu yang bernama 'canggung'.
Semula, mata yang hanya mau menatap hampa. Kini, terbuka lebar. Menyorot penuh debaran ke arah parkiran sekolah. Tubuhku membeku, aku mengerjapkan sekali lagi kelopak mataku. Berusaha memastikan apa yang aku lihat itu nyata atau sekadar halusinasi.
Aku kenal betul, postur tubuh siapa yang sedang berdiri di parkiran. Motor matic yang dia gunakan pun aku tahu siapa pemiliknya.
Untuk kedua kalinya aku dibuat patah olehmu. Bukankah ini resiko yang harus aku terima karena sudah menyukai kamu secara diam-diam?
Aku merasa de javu, kemarin aku melihatmu sedang berdiri bersama dia. Gadis yang kamu rangkul saat pulang sekolah. Dan, hari ini kejadian itu terulang kembali. Namun, tidak ada rangkulan seperti hari lalu, sekarang yang kulihat kamu sedang memasangkan pengait helm yang dia pakai.
Anganku kembali terbang, membayangkan bahwa aku yang sekarang ada di posisi gadis itu. Menikmati setiap inci wajahmu dari jarak yang dekat.
Bukankah, baru beberapa jam yang lalu kamu mengajakku pergi bersama? Kenapa siang ini kamu kembali menghempaskan hatiku ke dasar palung?
Menyukaimu, haruskah sesesak ini?
🐼🐼🐼
To be continue ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top