They Were Different

Tas itu adalah tas yang sejak kelas 10 sudah dipakai Daniel. Sebelum aku betul-betul mengenalnya, aku sering menemuinya: di kantin, di parkiran, di halte, di lorong sekolah. Tas itu dipakainya 3 tahun tanpa diganti. Tidak pernah rusak atau jelek. Aksen hijau di tali tasnya yang selalu menempel di bahunya selalu terkenang dalam sudut pikiranku. Hijau neon.

Lebay? Iya. Aku berlebihan. Aku sungguh-sungguh berlebihan, norak, lemah, payah, pesakitan...

...tapi kalian tidak merasakan berjalan dengan sepatuku.

Bahuku menabrak pagar keras sekali. Aku meringis ngilu dan menutup pagar. Kemudian aku berjalan ke dalam rumah sambil menarik dan menghembuskan napasku yang terasa berat dan sesak, seakan penuh kabut.

"Jess? Jess, lo kenapa?" Rerey yang duluan menghampiriku ketika aku tiba di ruang tamu. Dia merangkum wajahku dan menghapus airmata yang ternyata deras mengalir di pipiku tanpa kusadari.

"Aiden kenapa? Jangan bilang dia jalan sama cewek lain!" cecar Mila dengan muka galak.

Aku menggeleng cepat. "Ini bukan soal Aiden. Ini...,"

"Terus soal siapa, Jess?" tanya Eriska.

Ini memang soal Aiden, tapi bukan salah Aiden. Tapi ini tidak sepenuhnya soal Aiden, tapi ada hubungannya dengan Aiden. Tapi Aiden...

Jess, ini cuma tas!

Tapi tas itu punya banyak kenangan. Dia ada di punggung Daniel saat dia mengantarku pulang jalan kaki karena ban motornya meletus di jalan, dia ada di punggung Daniel saat Daniel mengalungiku sebuah kalung berantai kecil dan berbandul permata palsu merah muda saat surprise ulangtahunku di akhir semester, dan dia ada di punggung Daniel saat selesai UN, saat dia berkata kalau dia menyukaiku.

Baiklah. Itu memang bukan sekedar tas.

"Jess, lo cerita sama kita, dong!" Eriska mengenggam tanganku.

Sejak tadi aku memang hanya diam. Sesengukan. Napasku sesak. Entah apa yang membuatku seperti ini.

Mila mendengus sebal dan menatapku tajam. "Ini soal Daniel lagi, kan?" tembaknya. "Ada sesuatu yang lo liat di luar sana, yang ngingetin lo sama Daniel. Iya, kan?" Nada bicara Mila terdengar marah.

Aku terkejut dengan nada bicara Mila. "Lo kenapa malah marahin gue, sih, Mil?" tanyaku lemah dengan sesak sambil menyeimbangkan sesengukanku.

"Karena lo, yang gak pernah mau move on, Jessica!" bentak Mila. "Lo adalah penulis novel yang menginspirasi banyak orang! Di jumpa penulis kemaren, lo ngaku kalau itu kisah nyata! Dan, gue tanya sekarang. Bagian mana yang nyata, Jessica? Bagian mana yang nyata kalau lo belum bisa relain Daniel?"

"Lo gak ngerti, Mila!" bentakku. Aku menutup mukaku dan menangis. "Lo gak ngerti! Lo gak ngerti!" aku menggumamkan kata itu berkali-kali.

"Apa yang gue gak ngerti, Jess? Gue ngerti semuanya. Gue ngerti semua kesedihan lo! Tapi lo, yang selalu hidup dalam kenangan! Menghidupi setiap komponen kecil yang ada hubungannya sama Daniel! Bahkan mungkin oksigen pun lo maknai sebagai kenangan! Karena lo lebay, Jess! Lo yang gak mau relain Daniel!"

Napas Mila tidak beraturan. Tarik, ulur, tarik, ulur. Dadanya naik-turun, dan dia menatapku dengan kesal campur sedih. Eriska memeluk bahuku, dan Rerey memeluk bahu Mila.

Aku menutup wajahku dan mulai menangis lagi. Aku berjalan menuju sofa dan duduk disana. Mengambil bantal dan menutup mukaku. Menangis sepuas-puasnya tentang kejadian ini-entah bagian tas Aiden, atau bagian bentakan Mila.

Memang aku belum bisa merelakan Daniel. Memang itu fakta yang ada.

"Udah dong, Jess. Cerita sama kita. Mila juga gak seneng liat lo gini terus. Kita semua gak seneng liat lo kayak gini!" Rerey tiba-tiba sudah duduk disampingku dan memelukku dari samping.

Akhirnya aku menceritakan semuanya pada mereka. Jelas sekali hasilnya adalah mereka bertiga tepuk jidat dan menggeleng tak percaya.

"Tas kayak gitu tuh banyak kali, Jess," ujar Rerey. "Jadi bukan kebetulan kalau Aiden juga punya."

Eriska mengangguk mengamini ucapan Rerey. "Tapi... tapi pasti sesek sih, mengingat kalau si Daniel suka banget tas itu dan dipake terus selama 3 tahun. Sampe sekarang juga gue masih inget aksen hijau neon di bagian tali yang mencolok di antara warna abu-abu. Memorable meski cuma liat dia pake sekali pas futsal. Wajar sih, kalau lo nangis."

Aku melihat dengan ekor mataku kalau Mila mendengus sambil memutar mata. Cewek ini memang judes kalau sudah tegas.

Aku menghela napasku. Mengalah. "Mil, sini duduk di sebelah gue."

Mila berjalan ke arah sofa dan duduk di sebelahku dengan tak niat.

"Maafin gue ya, kalau gue ngerepotin lo dengan drama hidup gue. Kalau lo udah capek, lo bisa cuekin gue, kok!"

Mila menghela napas dan memutar menghadapku. "Jess, lo kok childish banget, sih? Bukan itu maksud gue!" Mila meraih kedua tanganku dan mengenggamnya. "Cuma lo, yang bisa bikin diri lo bangkit! Pilihan ada di tangan lo!"

Salahkah kalau pilihan gue adalah nunggu Daniel? Salahkah kalau gue percaya masih ada kesempatan?

"Lo mending naik ke atas, deh. Sekarang lo mandi dulu yang seger. Nah, gue bikinin lo ice cream milkshake kesukaan kita berempat. Gimana?" Mila menatapku lembut.

Aku mengangguk. "Makasih ya, Mil!" aku menariknya ke dalam pelukanku.

Mila mengelus-elus punggungku. "Anytime, darling!"

Aku meninggalkan mereka bertiga dan naik menuju kamarku. Kemudian aku menyalakan shower dan mandi dengan air dingin, dengan baju di badan. Kebiasaan lama yang kulakukan sejak SMA. Kemudian aku duduk di lantai, memeluk lutut.

Setelah berlama-lama di kamar mandi, akupun menyelesaikan mandiku dan memilih baju di lemari. Aku memilih kaus longgar warna kuning bergambar beruang dan celana pendek berbahan katun favoritku. Aku menuruni tangga sambil menggosok-gosok rambut dengan handuk.

"Hei, Jess! Ditungguin dari tadi!" seru Rerey.

Saat aku mulai bisa melihat keadaan ruang tamu, aku menemukan Aiden duduk di sofa, bersama teman-temanku. Dia disuguhkan teh oleh Mila. Jelas aku kaget, kenapa dia bisa ada disini?

"Loh, Aiden?" Aku mempercepat langkahku dan menghampiri mereka berempat yang duduk di sofa. "Lo kenapa kesini?" tanyaku.

Aiden tersenyum padaku. "Gue khawatir sama lo. Tadi lo keliatan pucet banget dan lo langsung lari. Gue pikir omongan gue ada yang nyakitin lo, atau semacamnya. Tapi gue tunggu agak beberapa lama untuk lo nenangin diri, baru gue kesini," jelas Aiden.

"Oooh," aku duduk di sofa tunggal di sebelah sofa panjang tempat mereka berempat duduk. "Miko gak apa-apa ditinggal?" tanyaku.

"Dia lagi sibuk sama Gundam. Biarin aja!" jawabnya enteng. "By the way, lo baik-baik aja, kan?" tanya Aiden sambil tersenyum ke arahku.

Dengan bingung, aku melirik Eriska dan memberi kode dari tadi kalian gak cerita apa-apa? Kemudian Eriska membalas kode itu dengan gelengan. Aku menghela napas lega melihat gelengan Eriska. Aiden tidak boleh tahu yang sebenarnya.

"Gue baik-baik aja, Den. Cuman tadi gak enak badan aja. Pas sempet, gue lari. Gak mau ngerepotin lo aja!" Aku berbohong dengan lancar. Lancar sekali. Seperti novelku yang adalah kebohongan yang lancar beredar di pasaran.

Aiden nampak lega dan mendesah. "Gue sempet panik. Salah apa gue, sampe lo lari. Entah lo benci Gundam atau semacamnya! Hahaha, konyol banget, ya?" candanya.

Aku tertawa hambar. "Hahahaha." Bukan Gundam yang salah. Tapi tas lo!

TING! POP! POP! POP!

"Ah, popcorn kita udah jadi!" seru Mila. "Yuk, Ris, Rey, bantu gue ngambilnya!" Mila mengomandokan kedua cewek itu untuk bangkit. Kemudian mereka menghilang ke dapur secepat kilat.

Aku mendengus karena mengetahui rencana licik ketiga sahabatku itu. "Emang ambil popcorn harus bertiga, apa?" dengusku sinis.

"Hahahaha. Si Mila takut kecolok popcorn kali!" canda Aiden.

Aku tertawa kecil. "Dia mah udah biasa ngurusin perdapuran. Kan dia yang paling emak-emak diantara kami berempat!" candaku balik. Tapi, itu memang kenyataannya, sih...

Aiden tersenyum menanggapi celotehanku. "Lo tuh gak ada bedanya sama Angel, ya, Jess?" ujarnya. Aiden menatapku dengan pandangan entah apa. "Lo bisa jadi diri sendiri, cuek, dan jujur."

Ya, seandainya saja aku bisa seperti Angel yang bangkit dari keterpurukannya.

"Eh, Jess... besok ada berapa mata kuliah?" tanya Aiden.

Oh iya ya, besok kuliah. Aku mengingat-ingat jadwal kuliahku besok. "Hmmm...," Aku memutar mata ke atas. "Besok ada tiga, sih. Bakalan sampe sore karena masuknya agak siang. Kenapa emang, Den?" tanyaku.

"Makan, yuk? Daerah Tebet aja, gak usah jauh-jauh. Gue yang traktir! Lo harus coba martabak Toblerone disana. Enak banget!" ajak Aiden.

Menurutku sih, tidak ada salahnya jalan-jalan ke Tebet setelah kuliah besok. Tumpangan gratis, martabak gratis, dan kebetulan aku ingin beli baju baru. Mungkin Aiden mau kuajak sebentar ke distro di sekitar sana.

"Boleh, kok! Asal transportasi dan martabak ditanggung panitia yang bersangkutan!" jawabku jenaka.

Aiden langsung memberi hormat ala prajurit. "Siap, Bos!" serunya semangat. "Gue tunggu di parkiran, ya! Abis kuliah, langsung aja cari mobil gue."

"Okedeh!" jawabku.

"Gue ke rumah Miko lagi, ya? Nanti dia ngamuk kalau gue kelamaan balik." Aiden meneguk tehnya hingga habis. "Nanti gue salamin ke Miko. Gue bilangin biar jangan sombong lagi sama lo!"

Aku tertawa kecil dan mengiyakan tawaran Aiden. Kalau diingat-ingat, aku dan Miko tak lagi berteman bukan karena berkelahi atau saling menjauh. Lucu juga bagaimana orang yang saling dekat bisa menjauh hanya karena bertambah dewasa. "Hahaha. Salam deh, buat Miko. Bilangin, nanti gue ke rumah dia bawa makanan!" Aku jadi kangen juga dengan teman kecilku satu itu.

Aiden mengacungkan jempolnya. "Sip! Gue pergi ya. See you tomorrow, Jess!" Dan Aiden pun keluar dari rumahku tanpa kuantar ke depan.

Aku benar, kan? Tidak ada salahnya jalan-jalan ke Tebet sepulang kuliah?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top