That Gray Bag

Hari ini mata kuliahku memang hanya satu. Tapi dosennya, si dosen haus absensi. Siapa lagi kalau bukan Bu Vera. Dan dia langsung menanyakan ketidakhadiranku kemarin, lalu dia tidak puas dengan jawabanku, dan memblacklist namaku.

"Sabar, Jess. Kalau lo baik sama dia, dia bakal berubah kok, sama lo!" hibur Aiden sambil berjalan keluar kelas.

Aku menghela napas. "Tapi gue gak mau cari masalah, Den. Ini udah semester 4!" kataku.

Aiden tergelak. "Terus kenapa?"

"Ya harus serius! Tahun depan wisuda!" aku mengingatkan.

Dia mengangguk-angguk santai. "Iya, iya, iya... bolehlah. Lo itu tipe-tipe orang rajin, ya?" Aiden tersenyum ke arahku.

Aku menggedikkan bahu. "Gak tahu. Seneng aja kalau kuliah ini bisa sukses."

Aiden tergelak dan mengangguk-angguk. "Udah ya, gue pamit! Mau ke rumah temen!" Aiden tersenyum. "Sori ya, kemarin gak bisa nganter lo pulang!"

"Woles, Den!" aku tersenyum.

"Ya udah, lain kali kita makan-makan lagi. Gue pergi, ya! Udah ditunggu soalnya!" pamitnya.

"Oke. Hati-hati, Den!"

Dan Aiden pun menghilang dibalik kerumunan mahasiswa lain.

"Woy!"

Aku terhenyak hingga bahuku tersentak. Dari belakangku, Eriska, Mila dan Rerey menepuk bahuku secara bersamaan. Ternyata dari tadi mereka mengikutiku dari belakang.

"Kantin yuk!" ajak Mila sambil menarikku kedalam rangkulannya.

Di kantin, mereka bertiga saling melempar senyuman aneh yang aku tak mengerti apa. Saling lirik, terkekeh, dan melihatku dengan kilatan usil.

"Kalian kenapa sih, hah?" Aku tidak tahan lagi.

Mila menyemburkan tawanya keras. Kemudian tawa itu menular ke Eriska dan Rerey. Cuma aku di meja itu yang diam melongo seperti sapi ompong.

"Lo lagi in love ya, Jess?" tanya Mila.

Karena tidak merasa seperti itu, aku menggeleng dengan muka pongo seperti semula. "Enggak. Sama siapa, lagi?" tanyaku polos.

"Sama Aiden lah! Siapa lagi?" Rerey terkekeh usil. "Jalan sampe malem, makan, nonton Tulus di La Piazza! Lo sadar gak sih, ini pertama kalinya lo jalan sama cowok tanpa kita bertiga setelah sekian lama?"

Mereka bertiga memperhatikan aku dengan tatapan ala remaja-remaja haus kisah romantis. Ekspresi mereka seakan mereka siap menangkapku dengan pipi memerah dan tingkah kikuk karena malu. Tapi aku tidak merasakan apapun. Sama sekali tidak.

"Lo bertiga kenapa sih? Gue gak suka sama Aiden. Beneran!" Aku mengacungkan dua jariku, membentuk swear.

Kemudian mereka bergumam 'oooh' bersamaan dengan muka kecewa yang kusut.

"Gue kira, lo suka sama Aiden." Rerey membuka kesunyian.

Aku menggeleng. "Cuman seneng aja main sama dia. Soalnya dia penggemar novel gue, terus deket sama gue. That's all. Kenapa emang? Kalian pengen gue cepet-cepet move on?" tanyaku retoris. Jelas itu harapan sahabat-sahabatku.

"Seandainya bener lo deket sama Aiden dan bisa ngelupain Daniel... kan bagus, Jess." Eriska bergumam. Antara gumaman dan cicitan.

Aku melihat tiga orang itu murung. Rasanya tidak enak memupuskan harapan mereka kalau aku sudah berpindah hati ke Aiden dan melupakan Daniel. Mereka bertiga sudah banyak berjuang untuk kemajuanku. Akan sangat mengecewakan bagi mereka bertiga kalau mereka tahu aku masih menunggu Daniel pulang dari Swiss.

Aku mencoba tersenyum, dan aku melempar senyuman itu pada mereka bertiga. "Udah dong, jangan galau gitu. Urusan kampus bikin gue sama sekali gak sempet mikirin Daniel, kok! Kalian kan tahu, semua koneksi sosmed ke Daniel udah gue putus! Lagian... kita gak tahu masa depan. Mungkin emang gue bakal end up sama Aiden. Siapa yang tahu?" Aku mencoba menghibur mereka. "Lagian..."

"Lagian apa?"

Aku menggeleng. Belum saatnya mereka tahu soal Adelia. "Emmm... lagian kalian juga udah kebanyakan ngurusin Daniel things gue. Udah saatnya gue bangkit sendiri!" Gue terkekeh usil.

Mereka bertiga mengangguk lemah. Aku rasa mereka tidak bisa dibohongi semudah itu.

"Iyaaa... kalian tahu kalau gue bohong dan gue emang boong!" Aku mendesah. "Tapi kalian gak usah khawatir soal move on gue. Secepatnya, gue berusaha kok. Dan move on gak harus selalu ke cowok, kan?" Aku mengedipkan sebelah mata.

Mila, Eriska dan Rerey langsung meraih tanganku dan mengenggamnya bertiga.

"Udah ah! Drama abis!" aku menepis tumpukan itu. "Ke rumah gue, yuk!" ajakku.

"Ayo!" balas Eriska bersemangat.

Rerey langsung menoyor kepala Eriska. "Yeee! Lo mah cuman numpang makanan gratis! Dasar anak kos!" sembur Rerey.

Setelah menghabiskan bakso kami, aku dan tiga cewek sableng ini naik ke mobilku. Pak Joko langsung melempar senyum gantengnya pada mereka bertiga. Kalau sudah ada 3 orang ini, mobil akan ramai karena jenakanya Pak Joko. Kadang aku suka menyesal karena pernah ketus padanya waktu di taksi dulu.

"Pak Jo, masa kemarin aku nemu orang mirip Bapak!" Eriska tiba-tiba berkata.

"Waduh, ciyus, Mbak? Dimana?" tanya Pak Joko antusias.

"Di mall, Pak! Sama istri sama anak! Saya pikir itu Pak Jo!" jawab Eriska. "Rambutnya sama, kumisnya sama, batiknya sama... aku pikir Bapak lagi jalan-jalan sama keluarga."

Pak Joko tertawa dan menggeleng-geleng. "Ndak toh, Mbak! Saya belum pernah ngajak keluarga ke mall! Mbak Ris salah lihat, itu!" jawabnya.

"Ih, tapi mirip tahu, Pak!" Eriska ngotot.

"Yoo pasti ndak ada yang mirip aku! Aku ini kan de wan en onli, Mbak! Takkan terganti, kalau kata Marcell!" canda Pak Joko.

Sampai setengah jam perjalanan, Eriska masih tetap sibuk memaksa Pak Joko soal kemiripannya dengan pria berkeluarga itu. Sampai kami akhirnya memutuskan kalau: itu doppleganger Pak Joko yang sukses masuk Indonesian Idol dan kehidupannya bertolak belakang dengan Pak Joko. Supir tersayangku itu cuma bisa tertawa pasrah mengingat mimpinya yang tidak kesampaian itu.

"Eh, itu mobilnya Aiden!" seruku sambil menunjuk ke depan. Kami baru sampai di depan pagar rumahku.

Rerey bangkit dan mencondongkan badannya ke sela-sela jok depan. "Yang mana, deh?" Rerey memicingkan matanya.

"Itu, itu! Yang Toyota Rush!" Aku menunjuk sebuah Toyota Rush yang nangkring di depan pagar tetanggaku. "Kok bisa di rumahnya Om Tio, ya?" tanyaku keheranan.

"Tadi Aiden bilang mau kemana, Jess?" tanya Mila.

Aku mengingat-ingat. "Katanya sih mau ke rumah temennya...," jawabku.

"Si Om Tio itu temennya dia?" tanya Rerey.

Aku menggedikkan bahu. "Tapi Om Tio punya anak, namanya Miko. Gue cukup deket sama dia pas masih kecil. Tapi namanya gue cewek dan dia cowok, sejak kelas 6 SD, gue sama Miko jarang main lagi. Setelah lama gak ketemu, yang gue tahu Miko juga anak komunikasi. Itu doang."

Mereka bertiga ber-ooh bersamaan.

"Mau samperin Aiden?" tawar Pak Joko. "Siapa tau dia seneng disamperin sama Mbak!" Pak Joko terkekeh usil.

"Adanya kaget kali, kalau tahu saya tinggal di kompleks ini dan kenal Miko!" Aku menyandang tas dan membuka pintu. "Kalian masuk duluan aja, oke?" Aku pun berjalan keluar menuju mobil Aiden.

Bertepatan dengan diriku yang berdiri di pintu mobilnya, Aiden keluar menyandang tas ranselnya. Dia kelihatan terkejut menemukan aku ada disini.

"Eh, Jess?! Kok lo ada disini?" Aiden membelalak.

Aku tertawa melihat ekspresi si gembul ini. "Tadi gue liat mobil lo dari depan rumah gue. Tuh, yang itu rumah gue!" Aku menunjuk rumahku. "By the way, lo ngapain ke rumah Miko?" tanyaku.

"Lo kenal Miko?!" Aiden memekik antusias. "Wah! Seru nih, kalau lo kenal Miko! Dia kan, temen satu jurusan gue! Udah dari kapan kenal Miko?" tanya Aiden.

Aku memutar mata, mencoba mengingat. "Hmm... dulu pas kecil suka main bareng. Terus beranjak dewasa-yah namanya juga gue cewek dan dia cowok-kita mulai jarang main bareng! Tapi dia masih maniak dan lebay gak, kalau suka sesuatu?" tanyaku sambil mengenang masa-masa bermain dengan Miko.

Tawa Aiden meledak, kemudian dia mengangguk kuat. "Masih banget! Sekarang dia lagi gila Gundam! Makanya, gue kesini buat nganterin Gundam dia!" jawab Aiden.

"Gundam itu apa?" tanyaku.

"Itu robot platik rakitan gitu. Mahal sih, tapi sebagai cowok, itu worthed sama harganya. Mau lihat?"

Aku mengangguk kecil. Penasaran dengan satu lagi hobi aneh kaum pria satu ini.

Aiden kemudian memutar tasnya dari punggung ke depan, kemudian membuka resletingnya untuk mengeluarkan sebentuk kardus.

Dan aku terperanjat.

Tas yang dia pakai sekarang beda dengan ransel gunung yang biasa dia pakai ke kampus.

Tasnya abu-abu dengan aksen hijau pada talinya.

Mereknya sama dengan milik Daniel. Sama persis.

Napasku sesak.

"Nih, Gundam punya Miko!" Aiden mengacungkan kardus robot rakitan itu. "Loh, Jess? Lo kenapa?" Aiden mendeteksi gelombang gugup yang aku rasakan. Wajahku sekarang pasti pucat pasi.

Kenapa dengan hanya tas saja, aku bisa seperti ini?

Jawabannya, karena seluruh kenangan dalam tas itu terlalu pahit untuk kembali kuingat.

"Jess? Lo sakit? Ayo, gue anter ke rumah lo!" Aiden meraih bahuku.

Dengan defensif, aku menepis tangan Aiden. "No, Aiden," aku berkata dingin. "I'm okay." Aku menunduk dan berlari pergi begitu saja. Kakiku mengayun cepat, menjauh dari Aiden yang masih melongo keheranan.

Tidak seharusnya aku seperti itu. Itu tidak ramah, tidak beretika. Aiden hanya bermaksud baik padaku. Tidak lebih.

Napasku sesak dan memburu. Jantungku berdebar kuat dan kepalaku terasa berat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top