Shopping!

Aku merasa seperti sudah kenal Aiden selama ribuan tahun. Cowok ramah dengan pembawaan baik ini benar-benar cepat membuat orang merasa nyaman berteman dengannya. Padahal kalau dihitung-hitung, aku dan dia baru dua minggu mengenal.

Aku dan Aiden sudah makan dan keliling-keliling Tebet sejak jam 5 tadi. Kuliah selesai lebih cepat karena dosen mata kuliah terakhir tadi dapat telepon dari istrinya kalau anak mereka kecelakaan. Kebetulan, Aiden juga sudah kosong sejak jam 2.

Mobil Aiden bau mentega campur Toblerone karena martabak yang barusan kami beli. Kotak itu licin tandas dan perut kami berdua sama-sama mual. Aiden terbahak-bahak melihat mukaku yang teler, sementara aku cuma bisa manyun.

"Eh, lo tadi bilang mau ke distro, ya, Jess?" tanya Aiden. Matanya tetap fokus ke jalanan.

Aku mengangguk. "He-eh, Den. Mau beli baju baru." Tapi aku berpikir, tidak ada salahnya membelikan Aiden sebuah baju pilihanku, atau sebuah topi untuk rambut ikalnya yang mumbul berantakan di atas kepalanya. Pasti lucu.

Aiden memutar setirnya. "Lo mau kemana?"

"Bloop aja."

Aiden mengangguk patuh. Mobil melaju lurus mengikuti padatnya lalu lintas Tebet (padahal ini Kamis sore). Kemudian, Aiden memutar setir ke kanan dan memarkir mobil di depan Bloop.

Aiden memutar kunci dan mesin mobil mati. "Yuk," ajaknya. Dia keluar dari mobil, disusul olehku yang keluar dari mobil.

Aku berjalan keluar menjajari langkah Aiden yang cukup lebar. Aku agak kewalahan menjajari langkah cowok bongsor itu karena tasku masih agak berantakan.

Sialnya, bukannya memperlambat langkahnya, Aiden malah tetap dengan langkah cepatnya. Kemudian dia berhenti di depan pintu dan menahan pintu untukku yang kerepotan. Dia terkekeh geli melihat tingkahku yang kikuk.

Aiden menyusulku yang sudah masuk ke distro sambil terkikik-kikik geli. "Lo tuh lucu banget, tau! Jalan lo patah-patah kayak boneka mainan!" Aiden sibuk tertawa.

PLAK! Sebuah pukulan sukses mendarat di punggung Aiden. Aku merengut sebal dan melewati dia. Tapi tentu saja itu cuma pura-pura. Meski sebenarnya aku agak dongkol karena Aiden mengusiliku. Setelah dihajar, cowok itu malah ngakak dan merangkul bahuku. "Yuk, kita shopping-shopping, cyn!" Aiden berkata dengan nada dibuat sok imut.

Selama hampir setengah jam, aku dan Aiden sibuk berkeliling distro yang berukuran tak terlalu luas itu. Pilihan bajunya cukup banyak, meski pilihan baju untuk perempuan tidak terlalu banyak. Aiden malah sibuk menempelkan baju-baju di badannya sambil bercanda. Setengah malu, aku tertawa dan memukul Aiden setiap ia melakukan hal-hal aib diluar akal nalar manusia (contoh: memakai sebuah kacamata bergaya jadul dan lipsync ala John Lennon di depan rak baju).

"Udah ah! Capek ketawa mulu!" aku mengatur napasku yang tak beraturan karena tingkah Aiden. Cowok ini memang kadang suka bikin malu, tapi menghibur.

Aiden ikut-ikutan tertawa. Entah karena aku, atau karena sadar dia sudah membuat si kasir distro ingin mengusirnya dari tadi. Terakhir, Aiden meraih sebuah baju berlengan merah marun dengan warna abu-abu dominan.

"Gue suka nih, yang ini. Bagus gak, Jess?" Aiden menempelkan baju itu di badannya dan menggerakkan badan ke kiri dan ke kanan. "Bagus gak menurut lo? Modelnya juga bagus. Bisa gue pake ke kampus, nih!" Aiden nampak suka dengan pilihannya.

Tapi aku kurang suka dengan pilihannya.

Itu baju Daniel.

Tepatnya, baju yang aku belikan untuk Daniel untuk hadiah ulangtahunnya.

Tik! Tik! Aiden menjentikkan jarinya di depan mukaku dan membuatku terhenyak. "Woy, Neng! Jangan bengong!" serunya, disusul cengiran khasnya. "Lo gak suka, ya?" tanya Aiden.

Aku menggeleng. Terserah dia mau mengartikan gelengan itu sebagai ya atau tidak.

"Harganya bagus nih, Jess. Mau ah!" Aiden membawa baju itu dengan cuek ke kasir. Dia meninggalkan aku yang masih berdiri di depan rak dengan membatu.

Tadi tas, sekarang baju. Ada apa dengan dunia ini?

Kepergian Aiden membuat cermin yang dari tadi ia punggungi memantulkan refleksiku. Aku melihat wajahku yang tegang, mataku yang melotot, dahiku yang berkerut dan alisku yang saling meraih satu sama lain. Seperti inikah ekspresiku setiap shock?

Dadaku kini sesak dan napasku tak beraturan. Lambungku bergejolak dan aku mual lagi. Tandanya, serangan stres itu kembali lagi. Menggangu pencernaanku. Menekan organ-organku dari dalam. Aku stres lagi untuk yang ke sekian kalinya.

"Jess? Lo gak jadi beli baju?" suara Aiden terdengar dari belakang punggungku. Dia masih berdiri di kasir, menunggu dua pembeli lainnya dalam antrian.

Suara itu seakan memanggilku dari keterkejutan yang aku alami. Iya, benar. Aiden adalah seseorang yang terinspirasi oleh novelku. Apa yang terjadi bila cowok ini menyadari kalau satu-satunya orang yang ia jadikan panutan untuk bangkit dari keterpurukannya, tidak seperti yang ia bayangkan? Bahwa orang itu hanya novelis mulut besar yang hidupnya penuh melodrama.

Tidak. Aku harus berjuang. Demi Aiden. Demi pembaca terbaikku. Dia temanku juga. Dia merasakan apa yang kurasakan, bahkan lebih parah dari semua yang kualami. Aku harus menjaga perasaannya.

"Bentar ya, Den!" seruku.

Aku menggeleng kuat sebelum berjalan ke rak yang pernah kulalui untuk mengambil baju yang kusuka tapi sempat kukembalikan. Biar cepat, sebaiknya aku membeli baju itu saja. Tee berwarna dasar coklat dengan banyak garis-garis putih. Entah kenapa sejak dulu aku suka dengan crop tee.

Di sebelah rak baju itu, ada sebuah rak berisi banyak topi dan snapback. Mataku tertarik dengan sebuah topi. "Eh, ini bagus," gumamku. Topinya berwarna putih dengan tulisan "Yes, I'm a Gentleman" dan bagian depan topi berwarna merah. Pasti serasi dengan baju pilihan Aiden barusan. Aku mengambil topi itu dan menutupinya dengan baju pilihanku, kemudian aku memasang muka polos dan berjalan menuju kasir.

Aiden menyadari kehadiranku dan berbalik. "Ih, lo pilih baju ini juga ya, akhirnya?" Aiden menunjuk crop teeku.

Aku mengangguk. "Biar cepet. Toh gue emang naksir ini dari awal." Aku tetap berusaha menyembunyikan topi itu. Atau... lebih baik kalau...

Pas dengan pelanggan di depan Aiden menyelesaikan transaksinya, aku mendapat ide bagus ini. "Den, bisa ambilin tab gue di jok mobil lo, gak? Tadi ada BBM dari temen gue, minta dibeliin baju model apaa... gitu, gue lupa. Buruan, ya. Please banget!" bohongku. Padahal tabku ada di tas.

Aiden mengangguk. "Oke. Bentar, ya! Sekalian aja baju lo gue yang bayar!" Aiden menaruh bajunya dan kartu debitnya di tanganku dan berlari kecil menuju mobil.

Baju itu sekarang ada di tanganku. Dadaku sesak setengah mati. Tahan, tahan, tahan... Aku menguatkan diriku. Tidak baik terlihat lemah di keramaian. Aku harus bersikap dewasa.

Aku menaruh belanjaan di meja kasir. Hanya baju Aiden yang kubayar dengan kartu debit itu. Bajuku dan snapback untuk Aiden, kubayar dengan kartu debitku sendiri. Topi itu hadiah dariku, harus pure pakai uangku. Ini ucapan terimakasih atas kebaikan Aiden padaku selama ini.

"Mbak, topinya gabung sama baju ini aja." Aku menunjuk bajuku.

Kemudian aku berjalan menenteng belanjaanku menuju mobil. Pas sekali, Aiden keluar dari mobil dengan muka agak panik.

"Jess, tab lo gak ada. Gimana nih?" Aiden mengacak-acak rambutnya. Aku jadi merasa bersalah sudah membohonginya.

Aku langsung memasang muka menyesal. "Sori, ya. Ketinggalan di rumah! Nanti aja gue beliin pesenan temen gue. Sekarang kita pulang aja, yuk!" Aku menggamit tangan Aiden dengan tanganku yang tidak membawa kantung belanjaan.

Setelah satu jam perjalanan, mobil Aiden terparkir di depan rumahku.

"Gak mau mampir dulu, Den?" tanyaku.

Aiden menggeleng. "Udah jam 9, nih. Takut macet di daerah rumah gue!" Aiden tersenyum.

"Oh, oke deh!"

"Thanks for today ya, Jess. Lo adalah penulis sekaligus temen terbaik yang seru diajak hangout dan berhasil bikin mood gue jadi lebih baik setiap ngabisin waktu sama lo!" Aiden menatapku dengan tulus. Terlalu tulus sampai hatiku mencelos.

Gue bukan penulis kayak yang lo pikir, Aiden. Aku menelan ludah karena tenggorokanku terasa kering.

"Ya-ya udah ya, Den. Gue pulang dulu. Makasih banget hari ini!" Aku menyampir tas di bahu dan membuka pintu mobil. Badanku keluar setengah dari mobil saat aku ingat soal topi itu. "Eh, iya, lupa!" Aku menarik diriku ke dalam mobil lagi.

"Lupa apa lagi, Jess?" tanya Aiden. Dia mematikan mesinnya.

Aku merogoh kantung belanjaanku dan memegang topi itu dari dalam plastik. "Gue beliin sesuatu buat lo tadi!" Aku tersenyum misterius, sementara Aiden menatap dengan penuh penasaran. Dalam satu gerakan, aku menarik topi itu dari plastik. "Ta-da!" seruku. Aku melambai-lambaikan topi itu ke kanan dan ke kiri sebelum memasangnya di kepala Aiden.

Aiden memegangi topi di kepalanya dan melihat ke atas. Dia melepaskan topi itu dan membaca tulisannya. "Hahaha. Lucu juga. Pas juga sama baju gue barusan. Makasih ya, Jess!" Aiden memasang lagi topi itu di kepalanya.

"Dan gue gak bayar pake kartu debit lo, kok!" candaku.

Aiden terkekeh. "Kalau lo bayar pake debit gue sih sama aja gue beli sendiri, ya?" ujarnya. "Ya udah, Jess. Bukannya mau ngusir sih... tapi...," Aiden memberi isyarat yang aku mengerti.

"Oh, oke, oke!" Aku membuka pintu dan keluar. "Makasih ya, Aiden!" Aku tersenyum sebelum menutup pintu.

Kemudian mobil Aiden melaju menjauh dari rumahku. Aku menghela napas capek dan masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, sudah ada Mama dan Papa yang asyik menonton berita di ruang televisi.

"Abis dari mana, Jess?" tanya Papa. Sejak setengah tahun lalu ia kembali dari Solo, suara bass yang cuek tapi perhatian itu selalu menyapaku setiap aku pulang telat sedikit dari jam pulang kuliah.

Aku berjalan menuju dapur. "Abis jalan sama temen, Pa!" jawabku sambil mengisi gelasku dengan air es.

"Tumben, bukan sama Eriska, Mila sama Rerey." Sepertinya Mama tahu kalau aku bilang 'teman', berarti obyek itu bukan satu dari tiga, atau teman-temanku yang cantik-cantik itu.

Aku memilih untuk tidak menceritakan lebih jauh. Aku menaruh gelas di dekat dispenser dan beranjak naik ke kamarku di lantai dua. Rasanya ngantuk luar biasa setelah seharian ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top