It's Not A Date!
Sepeninggalan Aiden, aku berjalan ke dapur, menyusul ketiga temanku sekaligus mengambil ice cream milkshake yang Mila buat. Pasti dia taruh di kulkas.
"Aiden udah pulang, Jess?" tanya Mila sambil mencuci piring.
Aku mengangguk. "Udah, kok." Aku mengambil ice cream milkshake dan meneguknya. "Ih, enak! Pake hershey kisses ya?" tanyaku sambil melirik Walls Selection kesukaanku di freezer.
Mila mengangguk. "Kan, kayak kesukaan kita biasanya!" Mila tersenyum. Dia menyelesaikan piring terakhirnya dan mengelap tangannya. "Yuk, ke kamar lo. Rerey sama Eriska udah bawa popcorn sama Lays ke atas!" Mila menggandeng tanganku, seakan tadi kami tidak saling membentak.
Aku memperhatikan Mila. Apa dia masih marah? Atau dia pura-pura baik untuk menghormatiku? Atau dia memang sudah tidak marah lagi? Cewek moody yang jutek dan keibuan satu ini memang selalu begitu setiap tuas juteknya ditarik.
"Mil?" panggilku.
"Iya, Jess?" jawabnya.
Aku meneguk ludah sedikit. "Masih marah, ya?" tanyaku takut-takut.
Mila melirikku sedikit, dan menggeleng sambil tersenyum. "Udah enggak, kok. Jangan khawatir. Lagian, gue juga keterlaluan tadi ngebentak lo." Dia merangkul bahuku. "Maafin gue, ya?" pintanya.
Senyumanku muncul begitu saja. Aku menyandarkan kepalaku di bahu Mila. "Maafin gue juga, tapi!" jawabku.
Mila terkekeh dan mengelus-elus bahuku. "Tenang aja. Kita berempat pokoknya gak boleh kelamaan berantem!" titahnya.
"Siap, Bu Bos!" Aku memberinya hormat.
"Dasar lebay!" celetuk Mila. Kemudian Mila tertawa dan menarikku masuk ke dalam kamarku.
Di dalam kamar, Rerey dan Eriska sudah rebahan di kasur sambil memegang remote DVD. Di depan mereka, televisiku memutarkan Cinderella lewat DVD. Rerey sibuk memelototi adegan Cinderella yang bajunya dikoyak-koyak oleh ibu tirinya, sementara Eriska sibuk main HP.
"Woy!" aku sengaja mengagetkan Eriska.
"Eh, Jess." Eriska menyahut cuek sambil mengetik di HP-nya. "Aiden udah pulang?" tanya Eriska.
Aku mengangguk. "Udah, kok. Dari tadi. Lo kenapa malah sibuk main HP, sih? Bukannya nonton." Aku menghampiri mereka dan membanting badan ke kasur, di sebelah Rerey.
Eriska tidak menjawab. Tumben. Tapi aku menggedikkan bahu dan ikutan sibuk menonton dengan Rerey. Setahun lalu juga Rerey sangat antusias saat film ini tayang di bioskop. Alasannya, karena Rerey memang sangat suka Cinderella sejak kecil. Katanya, dulu dia sering menontonnya bersama mamanya, sehingga dia jatuh cinta pada Cinderella.
Setelah melepas kunciran rambutnya dan menyisir di depan kacaku, Mila bergabung bersama kami di kasur. Aku bergeser supaya Mila dapat space di kasur.
"Eh, Jess," Mila membuka pembicaraan.
Aku menengok. "Ya?"
Cengiran aneh muncul di wajah Mila. Matanya berkilat usil. "Tadi diajakin pergi sama Aiden, ya?" Mila menyenggol-nyenggol lenganku.
"Eh, serius?!" Eriska akhirnya beranjak dari HPnya. Cewek itu membelalak dan bersingsut mendekat. "Diajak pergi lagi lo?" tanya Eriska antusias.
Rerey yang cinta mati pada Cinderella bahkan menengok. "Diajak kemana, Jess?" tanya Rerey.
"Diajak ke Tebet. Keliling cari makanan. Kalian lebaynya jangan kambuhan deh!" aku pura-pura cuek menonton Cinderella.
Saat aku melirik reaksi mereka bertiga, yang kudapati adalah cengiran-cengiran yang saling mereka lemparkan satu sama lain. Rerey bahkan senggol-senggolan dengan Mila. Kenapa mereka bertiga jadi norak begini, sih?
Aku menghela napas. Berat. "Guys, gue gak ada perasaan sama Aiden. At all!" aku mencoba menjelaskan sekali lagi pada mereka.
Tapi anehnya sahabat-sahabatku ini, bukannya mengerti, atau berubah ekspresi... mereka tetap saja mempertahankan ekspresi mereka itu.
"Yaaa... ngerti koook... lo... gak sukaaa... sama Aiden... iya, iyaa...." Rerey tersenyum misterius.
Entah apa ekspresiku sekarang, yang membuat mereka tidak menghilangkan raut iseng dan menggoda itu. Apa pipiku merah? Aku tidak merasa pipiku panas. Apa aku salah tingkah? Dari tadi, bukannya salah tingkah, aku cenderung bertindak cuek. Lalu apa yang membuat mereka tidak percaya padaku kalau aku tidak menyukai Aiden?
Aku memilih untuk cuek dan meraih bungkus Lays Salmon Teriyaki di lantai dan membukanya. Aku memakannya sambil menonton, mencoba untuk mengabaikan ketiga temanku yang ngebet melihatku move on. Masalahnya, mereka pasti sangat kecewa kalau tahu aku memang bukan hanya belum move on, tapi TIDAK MAU move on.
Pasti mereka sangat-sangat kecewa.
Haaah... aku menghela napasku berat. Apa salah? Apa aku memang harus move on dan tidak boleh menunggunya lagi?
Apa kabar Daniel saat ini? Sudah setahun aku tidak menghubunginya. Sudah setahun aku tidak mendengar kabarnya. Kami berdua putus kontak di semua sosial media, bahkan Facebook sekalipun. Tapi Daniel tidak heran, marah, meng-add kembali atau mencari-cari aku. Karena ini sudah jadi komitmen tersirat antar kami berdua, bahwa kami tidak usah berkomunikasi lagi.
Karena aku pun tahu kalau melakukan kontak dengannya, aku akan semakin berat melupakan dia. Memang, aku harus melupakan dia. Tapi, setidaknya dia tidak perlu tahu kalau aku masih menunggunya. Malu. Siapa tahu dia sudah punya pacar lagi disana.
Lamunanku membuatku tidak sadar kalau dari tadi film Cinderella sudah selesai. Rerey dengan sigap mengeluarkan DVD itu dari DVD player dan mencari DVD pengganti di tumpukan dekat DVD player.
"Hmmm... Fast and The Furious 7... Insidious 2... hmmm... Mockingjay... hmm... Insurgent—" Rerey langsung menunduk. Bahunya terlihat kikuk. Cepat-cepat, dia menaruh kembali Insurgent ke rak DVD dan menarik Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh dari rak.
"Supernova aja, ya?" Rerey mengacungkan DVD itu ke arah kami bertiga, yang disambut oleh anggukan kami.
Kemudian Rerey memasang film itu. Film favoritku sebagai penggemar novel-novel Supernova karya Dewi Lestari. Tapi, aku hanya penggemar biasa. Maniaknya adalah Mila. Dia yang mengenalkan kami pada Dewi Lestari dan karya-karya manisnya. Sayangnya, Eriska antipati, serta Rerey kurang suka membaca novel-novel yang berbahasa agak 'berat'. Hanya aku yang nyantol dan ikutan cinta pada Dewi Lestari.
Jam di dinding baru menunjukkan pukul 9. Tapi memang dasar sialan ketiga kebo satu ini. Baru filmnya berputar setengah jalan, mereka bertiga tidur pulas.
Iya, aku tahu betul kenapa tadi Rerey langsung mengembalikan Insurgent ke rak DVD ku. Film itu adalah film terakhir yang kutonton bersama Daniel sebelum dia pergi ke Swiss. Dan sejujurnya, mengingat hal itu saja sudah membuat lambungku sakit dan dadaku sesak. Hari itu. Kopi luwak beruap itu. Sekumpulan kalimat itu. Pernyataan Daniel tentang hubungan ini. Semuanya.
Mual yang kurasakan setiap mengingat memori sesak bersama Daniel pun kembali. Aku buru-buru menahan keinginanku untuk muntah dan menutup mulutku rapat-rapat. Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya. Aku harus kuat.
Aku mengambil laptopku di meja belajar dan membukanya. Novel keduaku ditargetkan terbit tahun depan. Memang masih lama, tapi kalau sekarang belum menemukan ide yang pas, bisa-bisa aku mampus karena keteteran mengejar deadline.
Dan aku mulai mencari-cari ide.
Hmmm... apa yang enak dijadikan ide novel, ya?
TeenLove adalah sebuah genre novel dari Penerbit Mentari. Seperti PeLit (personal literature) milik Bukune atau TeenLit dari Gramedia. Di dalam kontrakku, aku harus menulis setidaknya 3 novel bergenre TeenLove bersama Penerbit Mentari.
Aku memutar mataku sambil sesekali meraih Lays dan ngemil. Kira-kira apa yang enak untuk dijadikan ide dasar novel?
***
Author Note: tolong ingetin aku yah kalau masih ada 'Nathan-Nathan' menyelip di cerita ini xD soalnya susah ganti namanya satu-satu, jadi pake Replace di Word. Dan kalo Nathan-nya panjang kayak "NATHAAAN" itu suka gak keganti xD
Tapi menurut kalian bagusan Nathan atau Aiden? Aku sih mikirnya Aiden xD
Dont forget to vote and comment, okay? :3 thanks for reading!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top