How Can I Become a Writer

Waktu itu aku sudah punya account Wattpad. Aku hanya suka membukanya di waktu senggang dan membaca cerita-cerita yang bagiku judul dan covernya bagus. Library-ku juga tidak terlalu banyak.

Kemudian setelah mengalami semua tentang Daniel ini, aku mengikuti perkataan The Script: take that rage, put it on a page... dan aku menaruh semua 'rage' ku di 'page' bernama Wattpad itu. Aku memberi judul dari lagu yang Daniel post ke Path-nya kala itu: Breakeven. Setelah aku mendengarnya, aku baru mengerti arti dari post itu. Dan lucunya, keisenganku tiba-tiba saja digandrungi banyak orang, dibaca, dan sampai di telinga penerbitku saat ini.

Malam itu aku sedang ngantuk-ngantuk mengerjakan makalah. Tiba-tiba sebuah email masuk ke inboxku.

To: [email protected]
From: [email protected]om
Subject: Hai, Jessica!

Hai Jessica, kami dari Penerbit Mentari berminat untuk menerbitkan cerita kamu (Breakeven: What Am I Supposed to Do when The Best Part of Me was Always You) dalam sebuah novel yang akan kami masukkan dalam genre baru kami, TeenLove.

Kamu tidak akan dipungut biaya apapun dalam penawaran ini.

Bersamaan dengan email ini, kami ingin menanyakan kesediaan kamu untuk menerbitkan novel kamu bersama penerbit kami. Jika kamu berminat, silahkan replyemail ini. Dan apapun keputusan kamu, akan kami terima dengan sepenuh hati. Kami akan merasa terhormat kalau kamu mau bekerjasama dengan kami.

Cheers,

Ratu Fauziah

Pemimpin Redaksi Penerbit Mentari

Dan seketika itu, mataku yang kusut langsung melek. Penerbit Mentari, cuy! Penerbit Mentari yang lagi dihujani naskah-naskah oleh para penulis amatir dan langsung mengangkat nama penulis amatir setinggi langit dengan profesionalisme dan ketajaman mata mereka menarik potensi penulis-penulis!

Aku langsung membalas email itu. Kemudian aku dipertemukan dengan Mbak Ratu, dan diperkenalkan dengan Mbak Hillary yang akan membantuku selama proses pembuatan novel. Aku menyatukan potongan-potongan chapter Wattpadku dalam bentuk Word, mengeditnya sedikit, memberinya pada penerbit, melalui proses editing lagi, hingga memilih kover dan sebagainya. Kemudian, novel itu terbit dan langsung menjadi best seller. Semuanya nampak mudah dan lancar.

Tapi aku tidak tahu bahwa resikonya seberat ini. Kontraknya memang tidak berat; aku hanya harus membuat sesedikitnya 3 novel bersama penerbit mereka. Seterusnya, terserah mau memperpanjang kontrak atau tidak.

Memang, menulis 2 novel lagi untuk melanjutkan kontrak adalah sesuatu yang cukup berat bagiku. Tapi yang paling berat adalah perasaan di dalam perutku setiap melihat wajah-wajah riang dan mention-mention penuh terimakasih yang menghujaniku.

Padahal aku sendiri masih diam di tempat.

Menunggu Daniel memberiku kabar.

Menangis setiap malam mengingat suaranya dan membaca BBM-BBM darinya.

Mendengarkan VN darinya yang kukumpulkan di satu folder.

Memandangi foto-foto kami semasa SMA sampai sekarang.

Dan aku masih tidak bisa melupakannya.

Masih mengharapkan Daniel untuk kembali dan mengatakan bahwa dia tidak menemukan siapapun yang cocok dengannya, kecuali aku.

Aku ingin itu terjadi.

Dan setitik airmata meluncur di mataku saat ini.

Tuhan, seandainya aku bisa... seandainya aku bisa.... Dia udah gak sayang lagi sama aku. Dia mau mencari kedewasaan itu. Dia mau memperjuangkan kebahagiaannya sendiri. Aku harus menghargai itu. Semua udah gak bisa diulang lagi...

Aku menutup wajahku dengan bantal. Dan tiba-tiba wajah Aiden melewati kepalaku.

Cowok tinggi yang agak gemuk dengan rambutnya yang ikal tak teratur dan matanya yang agak sipit penuh semangat itu terus-menerus memuji-muji tulisanku. Terus berterimakasih atas motivasi palsu yang kubuat dalam novel itu.

Seandainya aku bisa merelakan Daniel seperti Aiden merelakan Adelia.

Aku membuka laptopku dan mulai menuliskan semua yang aku rasakan.

Mungkin terdengar norak. Tapi aku punya satu folder bernama Journal to Daniel yang memuat diary-diary yang kutujukan pada Daniel. Aku menceritakan semua yang aku alami hari ini seakan aku bercerita pada Daniel. Rasanya pilu karena tidak bisa bercerita langsung pada dirinya.

Aku merindukan waktu dimana aku bisa meneleponnya dan menceritakan semuanya pada Daniel. Aku merindukan waktu dimana aku bisa bercerita padanya sampai aku bisa tertidur pulas. Dan saat ini yang aku lakukan adalah bercerita pada Daniel semu yang mungkin tidak akan pernah membaca cerita ini.

Akupun mulai menulis. Kunamai file ini Journal for Daniel (03-04-2015)

Daniel,

Hari ini gue telat ikut mata pelajaran Bu Vera! Gilaaa! Bu Vera gitu loh! Dosen tergalak sepanjang usia-nya Sammy Simorangkir!

Dan pas telat, gue mikir kalau gue cuma telat 10 menit. Ternyata 1 jam!

Dan akhirnya, gue bolos deh, sama cowok yang baru gue kenal. Gue tabrak pas lari-lari ke kelas. Namanya Aiden. Dan dia suka novel gue.

Iya, Daniel. Novel gue tentang betapa munafiknya gue dan bilang kalau gue udah melupakan lo. Gue mengandaikan bagaimana caranya melupakan lo, bagaimana ceritanya kalau gue udah melupakan dan bisa meninggalkan lo.

Novel gue best seller, lho. Entah lo akan baca atau enggak.

Lo kapan pulang?

I know that I'm your ex... but am I wrong if I still in love with you?

Please comeback home, Daniel Adiwijaya. Gue kangen lo.

Air mataku mulai mengalir membasahi keyboard. Rasa sesak menjalari hatiku. Bukannya lega karena menulis diary ini, perasaanku malah semakin sakit dan semakin ngilu karena perasaan rindu. Aku bukan siapa-siapa dia lagi. Mantan, iya. Tapi aku bukan seseorang yang bisa mengharapkan dia lagi.

Sudah ada setahun setelah kepergiannya.

Siapa cewek yang dekat dengan Daniel sekarang? Apa dia cantik? Apa dia bisa sabar saat Daniel tidak mengangkat telepon karena sibuk main futsal? Apa dia tahu kalau Daniel paling suka kopi luwak? Apa dia sering mengingatkan Daniel kalau tasnya belum diresleting? Apa dia bisa mengelap wajah Daniel yang selalu berkeringat setiap makan?

Aku menutup laptopku dan menjatuhkan badanku ke kasur. Kelelahan. Dan akupun jatuh tertidur dengan sebuah mimpi.

Daniel berdiri di bandara. Duduk sendirian. Aku menghampirinya dan berlari ke arahnya. Tapi saat aku hampir mendekatinya, seorang perempuan tanpa wajah datang membawa koper dan menggandengnya pergi dari sana.

Saat sudah agak jauh, Daniel berbalik dan membisikkan kalimat yang anehnya dari jarak sejauh itu masih terdengar jelas bagiku.

"Jess, dialah kedewasaan yang gue cari."

Dan di luar, sebuah pesawat meledak, memporakporandakan bandara dan ledakannya membuatku terjungkal ke tembok. Dan akupun terbangun.

Wajahku basah karena keringat bercampur airmata.

Tuhan, sampai kapan aku bisa jadi seperti Angel yang bisa merelakan Randy pergi?

Seandainya saja aku tidak sepalsu ini dan mengakui kelemahanku. Seandainya aku benar-benar bisa melupakan semua yang Daniel perbuat kepadaku. Seandainya saja aku bisa bangkit dan hidup seperti seharusnya.

Kapan?

***

Mimpi semalam membuatku kelelahan. Kelelahan itu membuat tidur 8 jam-ku terasa sangat kurang. Seperti kata para ahli, mimpi mengurangi kualitas tidur. Apalagi bila kamu memimpikan mantanmu ada dalam bandara yang meledak.

Pagi itu aku datang ke kampus dengan wajah mengantuk dan suntuk tanpa semangat yang membuat Eriska, Mila dan Rerey langsung mengetahui apa yang terjadi.

"Mimpi buruk lagi, Jess?" tanya Mila langsung.

Aku mengangguk lemah sambil mengaduk-aduk bubur ayamku. Sarapan pagi dan menu favorit di kampus yang paling mantap, kedua setelah bakso.

"Mimpinya gimana?" tanya Eriska.

Aku mendesah dan menceritakan mimpiku pada mereka. Mimpi yang sama abstraknya dengan mimpi-mimpi lain. Semuanya cuma berganti latar dan waktu. Tapi semuanya bermuara pada ketakutan yang sama: Daniel akan meninggalkanku selamanya dan sudah menemukan kedewasaan itu.

Setelah ceritaku berakhir, Mila yang duduk di sebelahku langsung memelukku erat-erat, sementara Rerey dan Eriska meraih tanganku dan menggengamnya.

"Jess, udah ya. Lo harus bisa kuat!" kata Eriska dengan prihatin.

"Jess," Mila mengusap-usap kepalaku. "Mimpi itu memang gak bisa diatur. Itu datang dari pikiran terdalam lo. Sekarang saatnya kalahkan monster di dalam pikiran terdalam lo itu dan lo pasti bisa berhenti mimpiin hal-hal itu!"

Aku mempererat pelukanku pada Mila. Mereka bertiga memang selalu ada setiap aku seperti ini. Pernah sekali mereka menginap di rumahku, dan aku berteriak pada jam 2 malam dengan penuh keringat akibat mimpi Daniel. Mereka bertiga langsung memelukku. Rerey menyenandungkan Make You Feel My Love hingga aku jatuh tertidur lagi. Mereka memang sahabat-sahabatku yang terbaik.

Hari ini Mbak Hillary sudah mengabariku kalau akan ada acara jumpa penulis di Matraman. Dengan semangat, mereka bertiga mengiyakan permintaanku untuk menemani mereka, karena badanku terasa lelah dan aku merasa bisa pingsan kapan saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top