Emerald
Mata kuliah hari ini padat sekali, mentang-mentang besok libur. Rasanya badanku capek luar biasa. Padahal baru kemarin aku refreshing sambil ditraktir makan oleh Aiden. Mungkin inilah derita menjadi anak kampus—dimana banyak anak-anak SMP kebanyakan nonton FTV yang merasa bahwa memakai baju bebas dan punya jadwal kuliah yang 'fleksibel' itu gaul. Padahal, capek cuy!
Yang mengambil jurusan Hubungan Masyarakat hanya aku, Mila dan Rerey. Eriska mengambil jurusan Hubungan Internasional. Hal itu jelas membuat cewek yang juga bukan almamater SMA kami ini nampak seperti anak bawang di kumpulan kami.
Dulu, anak cantik satu ini seringkali nampak mencoba masuk dalam topik-topik kami perihal SMA dan keadaan kelas. Dia selalu berusaha mengerti kamu, dan begitu juga dengan kami yang tidak terlalu memahami betul latar belakang ceritanya.
Tapi akhir-akhir ini beda. Cewek ini seringkali terpaku dengan HPnya dan sibuk sendiri. Suka terlambat datang ke kantin setiap janjian, suka tidak muncul di perpustakaan, dan kami sering melihatnya celingukan di parkiran.
"Duh, sori ya, gue telat!" Eriska mengambil tempat duduk di sebelah Mila yang berhadap-hadapan dengan aku dan Rerey. Baru menempelkan pantatnya di bangku, Eriska langsung mengeluarkan HP dan asyik sendiri.
Kami bertiga langsung saling lirik. Saling mengirim sinyal, anak ini kenapa, sih?
"Eh, pada gak mesen?" Eriska menatap kami satu per satu.
Kami mengangguk dan memanggil Usep, anak penjual bakso di kantin kampus. Dia mencatat pesanan kami berempat dan pergi setelahnya.
Dari bakso dibuat sampai diantar ke meja kami, Eriska sama sekali tidak berhenti memainkan HPnya. Diam-diam aku khawatir, karena kecanduan HP bukan sesuatu yang mudah untuk diobati. Eriska harus sadar kalau kehidupan diluar dunia maya masih harus ia jalani, apalagi sekarang kami bukan anak SMA lagi. Tahun depan sudah wisuda.
5 menit setelah baksonya mejeng di depan muka Eriska, cewek itu mengantungi HPnya dan menarik mangkuknya mendekat. Kemudian dia sibuk menuang cuka, sambal dan saus. Eriska makan dengan suasana hati yang riang dan anteng. Sepertinya dia tidak sadar kalau kami bertiga getar-getir melihat kelakuannya yang mengkhawatirkan belakangan ini.
Bukan cuma kami yang nampak khawatir. Pak Joko pun ikut-ikutan khawatir melihat Eriska dan kerjaan barunya itu. Sejak dari kampus hingga di pertengahan jalan, Pak Joko memperhatikan Eriska dari spion tengah dengan khawatir.
"Mbak Eris, kok kayaknya sibuk banget sama hapenya?" Pak Joko akhirnya buka suara.
Eriska melirik Pak Joko tanpa melepas HPnya. "Iya nih, Pak. Lagi agak sibuk!" Pipi Eriska memerah. Dia tersenyum dan kembali sibuk dengan HPnya.
Kami bertiga saling lirik. Tidak biasanya Eriska cuek pada Pak Joko. Diantara kami berempat, Eriska seperti penggemar Pak Joko. Lelaki berusia hampir 49 tahun ini selalu berhasil membuat Eriska tertawa. Tapi kenapa sekarang dia lebih peduli pada iPhone-nya, daripada Pak Joko?
Karena besok libur, ritualnya adalah geng tak bernama kami ini menginap di rumahku dan movie marathon seperti biasanya. Tapi kami tidak perlu DVD, karena Fox Movies Premium sudah menyediakan apa yang kami mau. Tapi, film-film favorit kami baru start dari jam 6 sore. Sekarang baru jam 4 sore.
Di dapur, aku dan Mila sibuk menyiapkan persiapan movie marathon kami. Lays, milkshake, popcorn, Walls Selection, nugget, kentang goreng... kayaknya dikit lagi kami tahu nama geng kami—The Obesitas Girls.
"Lo khawatir gak sih, sama si Eriska, Jess?" tanya Mila sambil mengangkat kentang dengan saringan.
Aku mengangguk. "Jelas khawatir, lah. Tuh anak kan suka gitu. Terlalu polos dan cepet suka sama sesuatu. Gampang banget kedistract. Kasian kalau sampe kuliahnya keganggu, ya, Mil? Dia kan cerdas!" komentarku.
"Gue setuju sama lo, Jess," Mila mengeluarkan nugget dari kulkas. "Tapi kita harus apa, ya?" tanya Mila sambil mengeluarkan nugget satu-satu dari bungkusnya.
Aku mengedikkan bahu. Belum tahu cara yang pas untuk menolong cewek itu. Kami saja belum tahu kenapa cewek itu tiba-tiba kecanduan HP.
"Hei!" Rerey muncul tiba-tiba dan merangkul bahuku. "Kalian lama, ah! Gue laper!" Rerey meraih kentang goreng di saringan dan memakannya.
"Eh, Rey, menurut lo kita apain si Eriska?" tanya Mila.
"Buang HPnya!" jawab Rerey enteng.
"Yeee, sarap! Itu iPhone 6, kocak!" Mila dongkol. "Gue serius, ah!" gerutunya.
Rerey melepas rangkulannya dariku dan berjalan menuju kulkas untuk mengambil Yakult. "Gue gak tahu. Kayaknya cari waktu yang pas aja untuk interogasi dia!" usulnya.
Aku dan Mila saling berpandangan. Sepertinya memang itu cara satu-satunya yang bisa kami lakukan pada Eriska.
Setelah semua makanan siap, kami bertiga naik ke lantai atas sambil membawa makanan kami. Aku membawa plastik berisi Lays dan popcorn, Rerey membawa kentang goreng (yang dia gerayangi sambil jalan) dan Mila membawa Walls Selection Hershey Kisses kesukaan kami berempat.
Saat pintu kamar terbuka, kami melihat Eriska ngakak sambil mengibas-ngibas kaki di udara, dengan HP di telinganya. Dia asyik ngakak sampai dia melihat kehadiran kami. Kemudian dia langsung menaruh tangan di mulut dan berbisik, lalu telepon diputuskan.
"Hei, udah pada balik aja!" Eriska menyapa kami dengan muka yang dipaksakan wajar. Tapi semburat itu masih ada. Sisa-sisa telepon misterius barusan. Ekspresi entah apa yang aku juga tidak mengerti.
Mila melirikku cemas. Tapi aku mengangkat bahu dan memberinya isyarat untuk bersikap wajar. Rerey juga menangkap isyarat itu. Kami bertiga pun berjalan ke arah kasurku dan menata makanan-makanan yang kami bawa.
"Nih, dari tadi Wreck-it Ralph udah mulai!" Eriska menunjuk TV.
Kami bertiga saling pandang. Seperti memberi sinyal satu sama lain, yang kurang lebih sama. Tapi kami bertiga mengangkat bahu dan mencoba cuek. Dalam waktu dekat ini, kami pasti akan mengetahui apa yang terjadi pada anak bawang satu ini.
Kegiatan menonton pun kami lakukan seperti biasa. Seperti biasa berarti ketiga kebo yang mengaku ini sleptover sudah tertidur sebelum jam 11. Cemen dasar.
Ditemani oleh suara televisi yang menayangkan The Exodus, aku mengeluarkan laptop dan mengetik sambil rebahan di sebelah Rerey yang udah ngences sampe bikin sungai.
Ide pertamaku untuk novel ini (yang Mbak Hillary bilang kurang kuat) menceritakan tentang seorang cewek SMA yang suka dengan cowok ketua PMR yang cool, yang ternyata menyukai sahabat dekatnya sendiri.
Jujur ya, ide dasarku memang lemah banget. Tapi aku sudah mencoba mengembangkannya sebisaku. Tapi dan tapi lagi, baru baca 3 bab, Mbak Hillary langsung say no dan bilang bahwa ideku kurang kuat. Meski dia benar, ideku ini kurang kuat untuk seseorang yang 3 bulan langsung menempati jajaran best seller.
Sejak tadi yang kulakukan adalah menghapus dan menulis. Menghapus dan menulis. Menghapus dan menulis. Aku mengacak-acak poniku dengan sebal. Kenapa susah banget sih mengulang kesuksesan yang pernah ada?
Tak beberapa lama, tanganku mulai mengetik.
Daniel,
Gue pusing banget nih. Ide novel kedua gue buntu luar biasa. Padahal, novel ini rencananya bakalan terbit tahun depan dan kalau gak dikerjain dari sekarang, adanya malah mundur dari deadline. Bukannya gak boleh, tapi gak baik.
Sebenernya gue ini suka nulis gak, sih?
Lo inget gak, pas SMA, pas gue dipuji di depan kelas karena PR novel 50 halaman gue dapet 95? Emang sebagus itu, ya? Lo baca sampe berjam-jam, terus malemnya lo telpon gue dan muji gue abis-abisan. Emang sebagus itu ya?
Waktu itu kalau gak salah ceritanya soal cincin. Cincinnya itu batu emerald warna hijau yang dikasih kakeknya Hera, si tokoh utama. Batu itu suka bercahaya kena matahari dan cahayanya nuntun Hera ketemu orang yang jadi jodohnya. Steven. Iya kan, kalau gak salah gitu?
Tau gak sekarang apa yang gue pikirin?
I think that you need that emerald to lead you home. Back to me.
I still miss you.
Kapan lo pulang? Apa lo udah baca novel buatan gue? Atau Wattpad gue?
Gue kangen banget sama lo.
Aku menyeka sudut mataku yang basah. Aku jadi ingat masa-masa itu. Bisa dibilang, novel Emerald untuk tugas Bahasa Indonesia itu adalah tulisan resmi dan utuh pertamaku. Hobiku memang menulis, dan itu sudah kulakukan sejak kecil. Tapi hanya berdasarkan iseng-iseng, bukan jadi mata pencaharian seperti sekarang.
Seingatku, novel itu masih ada di laci ketiga lemariku. Baru berlalu hampir 2 tahun, kok, dari terbentuknya novel itu. Jadi bundelan kertas A4 bolak-balik itu pasti belum buluk-buluk amat.
Aku bangkit dan berjalan menuju laci meja belajarku. Benar, bundelan itu masih ada disana. Dijilid rapih dengan tulisan 95 dan tanda tangan Bu Ratu. Aku meraba kertasnya dengan jariku dan menyibak cover polos bertuliskan judul, namaku, nomor absenku dan kelasku. Halaman pertamanya menarik. Aku membawanya dan membacanya sambil rebahan.
Tiba-tiba aku merasa seperti awan-awan di kepalaku tersibak. Ada sesuatu yang terangkat dari keruwetan kepalaku tentang novel kedua ini. Aku melirik laptopku yang terbuka dan tersenyum miring. Pelan-pelan aku bersingsut dan mulai mengetik.
Emerald.
Prolog.
***
"Sekarang Mbak penulis kita ini jadi sering bawa-bawa laptop dan ngacangin gue, ya?"
Aku mendongak dan melihat Aiden yang baru tiba. Mukanya nyebelin abis. Aku menoyornya dan terkekeh pelan. "Apaan, sih, Den?" jawabku.
Sudah sebulan ini aku sibuk mengulik novel baruku yang kusadur dari novel lamaku semasa SMA itu. Ide dasarnya sama saja seperti yang lama, tapi kuperluas dari 50 halaman A4 menjadi 120 halaman (targetku). Tokoh-tokohnya kutambah, konfliknya diperluas... ya gitu deh.
Dalam kurun waktu sebulan, kalau disandingkan dengan tugas kuliah, makalah, ini dan itu... tulisan ini sih baru sampai 3 bab. Itu juga belum ada apa-apanya, belum ditambahin apapun. Baru tok dari naskah lamaku.
Aku asyik mengetik sambil menunggu mata kuliah selanjutnya dimulai. Lumayan, masih ada satu setengah jam. Daripada ikut Vella dan Novi ke Mas Mono (belum lagi harus ikutin habits gosip mereka yang buang waktu), lebih baik disini sambil menunggu Mila dan Rerey yang lagi sibuk di perpus. Eriska sih, gak usah ditanya...
Si cilik itu masih sering menghilang. Masih sering sibuk sendiri dengan HP dan masih sering membatalkan janji dengan kami bertiga. Sekarang bahkan posisinya seakan digantikan oleh Aiden yang mulai berbaur dengan teman-temanku.
"Woy!"
"Aduh!" Aku memegangi pipiku yang dingin.
"Jangan kacangin gue gitu dong!" Aiden meneguk Coca-Cola dingin yang barusan dia tempelkan ke pipiku.
Aku merengut. "Lagi seru, tau. Ini novel kedua gue dan ekspektasi penerbit tuh bagus! Minggu depan, editor gue mau minta ketemuan. Gue bakal ngasih semua arsip dan mentahan novel gue, dan dia akan bantu gue brainstorming. Kan gue deg-degan, Aiden!" kataku berentetan.
"Editor lo siapa?" tanya Aiden.
Aku meneguk Coca-Colaku. "Hillary Clarissa. Tau kan?"
Aiden membelalak lebar. "Mmmh!" Aiden menghabiskan Coca Cola di mulutnya. "Gila! Dia tuh novelis idola gue pas gue SMA! Penulis sosialita yang suka nulis novel tentang dunia metropolitan! Gue sampe sekarang masih gak terima dengan kenyataan bahwa dia berenti nulis! Sumpah!"
Antusiasme Aiden membuatku tergelak. "Bookworm banget ya, lo? Dari SMA udah baca novelnya Mbak Hillary. Gue aja cuma punya satu novel dia!" Aku menggeleng tak percaya. "Minggu depan mau anterin gue ketemuan sama dia, gak? Biar lo bisa ketemuan juga sama dia."
"Ide bagus!" serbu Aiden. "Dengan senang hati! Ke ujung dunia pun gue jabanin!" Aiden mengacungkan botolnya.
Aku terkekeh dan menampar Aiden. "Lebay lu, dasar, fanboy!" ledekku. "Apa bedanya coba, lo sama Miko?" tanyaku.
Aiden langsung membelalak. "Sialan. Beda lah! Gue lebay sama sesuatu yang nyata dan penting. Kalau Miko easily impressed sama APAPUN! Sama Gundam aja lebay banget. Pas ngeliat Gundam baru pas jalan sama gue, dia narik-narik lengan gue dan nunjuk-nunjuk heboh. Apaan tuh?"
Aku langsung terbahak-bahak. "Lo antara dikira bapaknya, sama dikira pasangan homo dia!"
"Sialan!" sembur Aiden.
"Beneran nih, temenin gue minggu depan?" tanyaku lagi.
"Emang ketemuannya dimana?"
"Di PIM. Soalnya deket rumah dia!"
"Ya, kalau PIM doang mah, gampang!" jawab Aiden. "Kan gue udah bilang, ke ujung dunia pun gue ikut!" tambahnya.
"Dasar lebay!"
To be continued
***
A/n: Halo halo! Sepi banget ya di sini. Padahal di Breakeven rame banget pembacanya. Pada males baca cerita Jessica selama 6 tahun tanpa Daniel kali ya, karena udah tahu endingnya? Hahaha, kenalan dulu dong, sama Aiden! Aiden baik kok!
See you, folks! Dont forget to vomments!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top