Aiden Putra Setiawan
Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 10.30. Kelas sudah dimulai sejak 10 menit yang lalu. Aku telat dan pasti akan dihukum oleh dosen galak satu itu.
"Aduh, mati gue!" aku mempercepat langkah dan berlari di sepanjang lorong. Lorong ini sepi karena semua kelas sudah terisi.
Aku terus berlari sambil membagi dua pikiranku: melihat ke depan sambil terus mengecek jam tangan. Di pikiranku cuma satu: mempertahankan nama baik tanpa dipermalukan oleh kata-kata tajam dan hukuman aneh dari dosen galak bernama Bu Vera itu.
Ternyata, tanpa aku sadari, ada seorang laki-laki sedang berjalan ke arahku dengan santai sambil mendengar iPod. Dengan kecepatan tinggi, aku menabraknya.
BRUK! Badanku terlempar dan jatuh dengan keras ke lantai, sama halnya seperti laki-laki itu.
"Aduuh, sakiiiit!" aku meringis. Punggung dan pantatku rasanya sakit dan perih. Mungkin biru. Dan sekarang, waktuku juga terpotong.
Cowok yang ada di depanku meringis ngilu memegangi punggungnya. Kacamatanya terlempar ke depan kakiku dan aku memungutnya sambil menunggu cowok itu memperhatikanku, supaya aku bisa minta maaf. Tapi...
...aku menemukan ada novelku di sekitar buku-bukunya yang tercecer dari dalam tasnya.
Aku melongo cukup lama karena tidak percaya.
"Eh, aduh... kacamata gue... shhh..." cowok itu meringis sambil mengulurkan tangannya.
"Eh, iya, iya!" aku menyerahkan kacamata itu padanya dengan kikuk. Setelah menerimanya, cowok itu langsung memasangnya. Kemudian dia menunduk cepat dan merapihkan isi tasnya.
"Maafin gue ya?" kataku sambil meringis penuh rasa bersalah.
Cowok itu, setelah tasnya rapih, menatapku dan mengangguk sambil tersenyum. "Gak apa-apa. Kayaknya gue juga yang kurang hati-hati. Lo udah telat, ya?" tanya cowok itu. "Kelas siapa?"
"Errr, kelas Bu Vera. Udah mulai, ya?"
Cowok itu mengangguk. "Kelas si galak itu mah, udah mulai dari sejam yang lalu!"
Aduh, salah baca jadwal lagi! aku merutuki kebodohanku sambil menepuk jidat.
"Eh iya," aku teringat. "Tadi di tas lo... itu Breakeven, ya?" tanyaku.
Wajahnya langsung memerah, dan kemudian ia mengangguk pelan. "I... ya? Kenapa emang?" cowok itu mulai bertingkah kikuk. "Aneh ya, cowok baca novel kayak gitu?" tanya cowok itu mencicit.
Dengan cepat, aku menggeleng. "Enggak. Gak aneh, kok!" jawabku cepat. "Cuman... itu novelnya—"
"Jessica!" sapa kerumunan teman-teman Eriska dari kejauhan.
"Eh, iya!" jawabku sambil melambai balik ke arah mereka.
Saat mengetahui namaku, cowok itu terkesiap dan matanya membelalak heboh. "Elo... elo Jessica... penulis Breakeven?!" serunya sambil menunjukku. Dia buru-buru membuka tasnya dan mengeluarkan Breakeven. "Lo penulis ini, kan?" dia mengacungkannya.
Aku mengangguk pelan. "Iya. Gue penulisnya. Tadi gue mau ngomong itu, cuman takut lo ngira gue norak...." Aku tersenyum kecil, malu-malu.
Memang wajar bila cowok ini tidak mengenaliku. Novelku baru laris selama 3 bulan, dan di novel itu, fotoku hanya sebentuk siluet saat aku duduk di jendela apartemen Rerey saat sunset. Wajahku tidak jelas dan nama penaku hanya Jessica tok.
Dia menggeleng cepat, masih dengan muka bersinar. "Justru gue akan nyesel setengah mati kalau lo gak bilang!" serunya bahagia. "Jessica, gue suka banget sama tulisan lo!" sambungnya tiga kali lebih antusias.
"Oh ya?" senyumku merekah. "Kenapa suka?" tanyaku.
Cowok itu berubah ekspresi. Entah kenapa tiba-tiba matanya jadi sendu dan senyumnya berubah jadi senyuman layu. "Karena novel lo, gue jadi percaya kalau gue harus merelakan dia pergi," jawabnya. "Gue percaya kalau suatu saat nanti, cinta itu bakalan ada meski dia pergi."
Aku tercenung. Lagi-lagi kedok palsuku berhasil mengubah hidup seseorang, sementara diriku sendiri masih belum bisa melupakan Daniel.
"Oh iya, nama gue Aiden Putra Setiawan. Panggil aja gue Aiden!" Cowok itu mengulurkan tangannya, dan aku membalasnya.
"Lo jurusan apa?"
"Broadcast."
"Ooh... pantesan kenal Bu Vera. Berarti mata kuliah yang kita ambil, sama dong?" kataku. "Tapi... kok gak ikut kelas?" tanyaku.
Aiden mengeluarkan sebuah cengiran. "Hehehe. Gue bolos!" jawabnya tanpa rasa bersalah. "Soalnya lagi... ngantuk... karena baca novel lo semaleman!" akunya malu-malu.
"Ya ampun!" aku tergelak. "Gue sebagai penulis sama sekali gak setuju sama keputusan lo!" candaku. "Masa novel gue dijadiin alasan bolos mata kuliah?"
Aiden tersenyum dan menggeleng. "It's not your fault. Novel lo keren banget!" pujinya. Nathan diam sebentar, kemudian memutar matanya. "Okay, maybe that's your fault for being cool!" candanya. Kemudian tawa kami berdua pecah. "Eh, kantin, yuk. Gue traktir!" ajaknya tiba-tiba.
Tanpa menolak rezeki, aku mengangguk dan berjalan bersama Aiden menuju kantin kampus. Sepanjang perjalanan menuju kantin, Aiden terus-terusan berceloteh tentang bagian-bagian favoritnya pada novel. Aku hanya mendengarkannya dengan setengah hati. Melihatnya begitu antusias dan menaruhku sebagai pahlawan hanya membuatku semakin tertekan dalam perasaan bersalah.
"Tadi, yang lo maksud 'dia' itu siapa?" tanya gue setelah kami memilih meja dan memesan bakso andalan kantin kampus kami.
Aiden meraih sedotan di meja dan membengkok-bengkokkannya dengan lesu. "Namanya Adelia. Gue sayang banget sama dia. Tapi... gue harus merelakan dia pergi meski gue gak mau...."
"Dia kemana?" tanyaku pelan dan takut-takut.
Aiden menghela napas. "Ke surga, Jess."
Tenggorokanku tiba-tiba kering. Pergi ke surga lebih jauh dibanding pergi ke Swiss. Pasti apa yang dirasakan oleh Aiden jauh lebih sakit dibanding apa yang aku rasakan.
"Dan dia mati pelan-pelan. Di depan mata gue. Penyakit menggerogoti dia dari cewek tembem periang dan semangat, menjadi cewek kerempeng, botak, yang di matanya cuma ada rasa semangat palsu... yang sebenernya udah lenyap entah sejak kapan. Dia cuma mau bertahan hidup karena gue."
Tenggorokanku semakin kering.
"Dan gue adalah orang yang berterimakasih atas novel lo, karena ini," dia mengangkat novelku. "Ini bikin gue percaya kalau gue bisa dan gue mampu merelakan orang yang gue cintai. Karena cinta berarti merelakan." Aiden tersenyum padaku dan menatapku penuh ucapan terimakasih.
Tolong siapapun alihkan pembicaraan ini!
"Jess!"
Yes! Thanks God!
Mila menatapku bingung. "Lo kok gak ikutan mata kuliah Bu Vera?" Mila langsung mengambil tempat di sebelahku. Ketika melihat Aiden, dia langsung heran. "Siapa, Jess?" tunjuknya.
"Eh, ini Aiden. Tadi ketemu di lorong!" aku mengenalkan Aiden pada Mila. "Dia penggemar gue, lho!" tambahku sambil tersenyum tak niat.
"Iya! Novel Jessica bener-bener menginspirasi gue banget!" Nathan berkata antusias. Perkataan itu semakin menekan perasaan dalam perutku.
Kemudian bakso kami pun tiba. Mila yang disusul oleh Eriska dan Rerey ikutan memesan bakso. Dan entah kenapa, mereka bertiga pun cepat akrab dengan Aiden. Obrolan asyik diantara kami berlima pun tak terelakkan. Aiden adalah orang yang antusias, hangat dan bersahabat.
Tapi setiap Aiden mengungkit 'kehebatan' novelku, aku hanya bisa menunduk dan memberi cengiran pada Nathan yang terus menghujaniku dengan tatapan kagum yang sangat berbinar-binar.
Sesak.
***
Setelah makan bakso, aku, Mila, Rerey dan Eriska berjalan bersama Aiden ke parkiran. Disana Pak Joko sedang asyik mencabut kumis dengan kancing kemeja terbuka semua.
"Panas, Pak?" godaku.
Pak Joko kaget dan mengantungi pencabut jenggot usangnya dan mengancing semua kancing kemejanya.
"Maaf yo, Mbak Jess! Iki panas tenan!" Pak Joko merapihkan diri dan membuka pintu belakang mobil untuk tiga sahabatku masuk.
"Jessica!" panggil Aiden yang badannya sudah setengah masuk ke dalam mobil. "I'll wait for our next conversation!" Aiden tersenyum lebar, memperlihatkan barisan giginya yang rapih.
Aku tertawa kecil melihat sikapnya. Kemudian aku mengangguk dan melambaikan tanganku padanya. "Bye, Aiden!" Kemudian aku pun masuk ke dalam mobil.
Di dalam mobil, obrolan heboh antara cewek-cewek dan seorang supir gaul tidak terelakkan. Pak Joko dan Eriska adalah pasangan ter-akur abad ini. Mereka berhasil membuat kami terpingkal-pingkal dari sini sampai rumah Eriska (yang paling dekat dari kampus).
"DADAH BEBEB JOJO!!" Eriska melambai hiperbolis dan melayanglan kissbye pada Pak Joko, yang dibalas tawa menggelegar khas Pak Joko.
"Istriku bisa bunuh aku kalo dia lihat ini!" celetuk Pak Joko, mengundang tawa kami.
Setelah ketiga temanku diantar pulang, akupun sampai di rumahku dengan selamat. Aku langsung merebahkan badan karena kecapekan... padahal aku sudah bolos satu mata kuliah terpenting.
Pikiran melankolisku pun tiba saat aku berbaring menatap langit-langit kamarku.
Pertemuan pertama dengan seseorang tak terduga selalu menjadi hal unik untuk dialami, diingat, dan dibicarakan. Contohnya saja pertemuanku dengan Aiden ini.
Siapa sangka dia penggemarku? Dan apa yang terjadi bila waktu bergeser sepersekian detik saja sehingga aku berlari melewatinya tanpa tertabrak? Mungkin aku tidak akan pernah mengenal sosok imut bak Bear temannya Masha itu.
Tapi kalau dipikir-pikir...
...apa jadinya kalau waktu kugeser sedikit, supaya seluruh alur kehidupanku berubah?
Jawabannya adalah... mungkin aku tidak akan pernah jadi penulis, bahkan tidak akan pernah kenal siapa Daniel Adiwijaya.
Selesai.
Itulah jawaban jelasnya.
Entah aku harus sedih atau bahagia, aku tidak tahu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top