Aiden dan Tulus
Setelah panjang-panjang mengobrol dan bercanda di dalam mobil Aiden saat keliling mencari tempat makan yang enak, tetap saja obrolan kami berlangsung heboh saat makan. Kami akhirnya memilih untuk pergi ke Kota Kasablanka dan makan di Gokana.
"Ramen katsunya satu ya, Mbak!" pesan Aiden. "Lo apa, Jess?"
"Gue beef ramen aja!" jawabku.
Pelayan itu pun pergi setelah mencatat pesanan kami.
"Oke, now tell me...," Aiden menatapku. "Lo beneran mual-mual setiap keinget sosok 'Randy'?" tanya Aiden.
Tanpa ragu, aku mengangguk. "Yep. Sampai saat ini udah agak berkurang. Tapi pada stage awal kepergian dia, setiap gue inget dia, perut gue bergejolak, dada gue sesak, dan gue akan mual luar biasa dan bisa muntahin apapun yang gue makan. Dan saat gue cek ke psikiater-di novel, Angel juga pergi ke psikiater, kan?-dia bilang gue ada di tingkat stress yang cukup parah sampai menggangu pencernaan gue."
Aiden mengangguk paham. "Emang bener. Itu side effect dari stres yang lu alami." Dia mengangguk-anggukan kepalanya lagi. "Ternyata separah itu ya, luka yang laki-laki bisa buat ke perempuan?" ucapnya pilu.
Aku mengangguk menyahuti ucapannya. "Yep. Sometimes, cowok ngomong hal-hal indah seperti 'akan bertahan selamanya', 'bakal rela menghadapi orangtua', 'gak peduli sama yang dunia bilang'... tapi ketika logika mereka kambuh, mereka akan mikirin hubungan itu pake otak mereka dan matahin hati perempuan dengan alasan 'semua ini udah kupikirin mateng-mateng dan kita gak bisa lanjut'." kataku.
Aiden terdiam.
"Eh, sori. Gue lupa... lo juga cowok."
Aiden menggeleng. "It's okay. Gue gak tersindir. Itu fakta. Gue banyak menghadapi teman seperti itu. I hate that kind of guy." Aiden tersenyum.
"And then? Kenapa lo diem? Keinget pacar lo?" tanyaku.
Aiden menghela napasnya berat. "It's just... sebenernya Adelia bukan pacar gue," katanya. "Dia adalah pacar dari temen deket gue yang udah mencampakkan Adelia setelah... ya... janji-janji manis kayak yang barusan lo bilang. Dan gue selama ini, cuma jadi orang ketiga yang berusaha jadi sahabat buat Adelia. Dia tumpahin semua cerita soal gombal-gombalnya Leo-pacarnya-ke gue dengan mata berbinar-binar... dia cerita soal bunga-bunga yang Leo kirim ke rumah sakit. Padahal, gue ada sama Adelia sebelum dia sakit. Bahkan jauh, jauh sebelum Leo kenal sama Adelia.
Kemudian, pas Adelia sakit. Leo masih disana. Masih sering jenguk dia, sering tidur di sebelah kasurnya, bahkan gue pernah liat mereka ciuman. Rasanya waktu itu gue merasa useless. Sampai akhirnya Leo mutusin Adelia dengan... yah, alasan mikir matang-matang itu, Jess. Dan kemudian Leo pergi gitu aja."
Aku mendesah menatap Aiden dengan nanar. "Kalau boleh tahu, Adelia meninggal kapan dan kenapa, Den?" tanyaku.
Aiden tersenyum pahit. "6 bulan lalu. Leukimia." Dia menghela napas, melepaskan memori sedih itu. "Novel banget, ya? Kayaknya dikit lagi gue bakal nulis novel dan jadi kompetitor lo, deh!" candanya, masih dengan muka sedih yang mungkin sengaja tak ia sembunyikan.
Aku merasakan ngilu di dadaku. Seakan aku bisa merasakan perasaan Aiden, yang tentunya lebih merasakan sakit dibanding apa yang aku rasakan. Perlahan, aku meraih tangannya di meja dan mengenggamnya. Tangan Aiden menegang, seperti disentuh oleh setruman listrik.
"Eh, sori." Aku melepasnya.
Dia tersenyum sedih. "Maaf, bukan gue gak mau disentuh, Jess. Gue cuma, belum siap disentuh sama orang yang bukan Adelia." Dia meraih welcome snack di depan kami. Ciri khas restoran Gokana.
Lebih baru daripada aku, lebih pilu daripada aku. Tapi dia bilang dia berhasil dan percaya move on karena novelku. Dengan antusias dia berkata kalau novelku yang membuatnya percaya kalau dia bisa dan dia harus merelakan.
"Namanya Daniel Adiwijaya."
Aiden menengok.
"Dia bilang gue adalah cinta pertama dia. Sejak kelas 7, dia selalu ketemu gue setiap pulang sama temen-temen gue. Katanya, gue yang riang dan selalu ketawa sama temen-temen gue, itu berbinar, cantik, bersinar dan menawan. Dia selalu gak berani ngungkapin perasaanya ke gue. Sampai, kami berdua satu SMA, dan sekelas pas kelas 12.
Dia nembak gue pas habis UN, dan kami pacaran sampai kuliah akhir semester 2-kira-kira genap setahun. Semuanya rasanya baik-baik aja, Den. Dia cowok sporty but nerdy yang cuek, kaku, dingin, cool dan pemalu. Sementara gue, cewek aktif yang cerewet, semi-posesif-ah, nggak, nggak... gue MEMANG posesif... dan perhatian. Gue adalah cewek yang cerewet, dan dia adalah cowok pemalu yang sekalinya romantis, rasanya bikin gue terbang. Dan itu, hal yang bikin gue sulit ngelupain dia. Karena momen-momen romantis itu, jarang terjadi. Soalnya, kami bukan pasangan romantis yang setiap jalan, lagaknya kaya Romeo dan Juliet.
Kemudian dia mutusin gue, persis kayak yang gue tulis di novel. Sejujurnya semua yang gue tulis itu semuanya nyata. Gak ada yang gue lebih-lebihkan. Cuma nama yang gue ubah. Dan bagi gue, dia adalah orang pertama yang bikin gue percaya sama yang namanya cinta."
Giliran Aiden yang terpaku karena ceritaku. Takut-takut, dia meraih tanganku dan mencoba mengenggamnya serileks mungkin.
"Pesanannya, Mbak!" kata pelayan itu dengan ramah. Aku langsung menarik tanganku dengan kaget.
Kemudian kami berdua pun makan dalam diam. Entah canggung karena cerita sedih kami, atau genggaman tangan itu.
Saat pulang, aksi diam yang sama tetap terjadi. Mobil Aiden yang saat berangkat tadi penuh tawa karena kami berdua menikmati siaran Danang dan Darto kini lenyap seakan tidak pernah terjadi. Aku tidak tahu mau bicara apa, dan sama halnya seperti Aiden.
"Maafin gue, Jess."
Aku menengok. "Maaf kenapa?"
Aiden menghela napas. "Padahal lo susah payah ngelupain Daniel sampe kayak sekarang. Tapi karena cerita gue, gue bikin lo sedih lagi dan bikin semua memori lo terkuak. Maaf banget, ya? Gue egois dengan nyeritain semua tentang Adelia. Padahal, gue udah komit, untuk relain dia pergi."
Seandainya Aiden tahu, kalau gue sama sekali belum lupa.
Akhirnya gue hanya menggeleng dan tersenyum. "Gak apa-apa. No big deal kok, Den!" jawabku. "Lagian, ini gue ceritain karena gue percaya sama lo as my biggest and special reader!" Aku tersenyum pada Aiden.
Dia terkekeh. "Yes. I'm your biggest and luckiest fans ever!" ujarnya. "Karena gue adalah fans pertama yang bisa bawa lo dinner! Hahaha!"
"Yep, bener tuh! Kalau fans lain, dinner harus buka kupon di pembelian novel terus masukin lucky number yang akan diundi di akhir periode!" candaku.
Aiden terbahak-bahak. "Ini Popmie atau apa sih?" tawanya.
"Gak tahu!" Aku tertawa lepas.
"Eh, what time is it?" tanya Aiden, memotong tawaku.
Aku melihat jam tanganku. "Jam 7 pas!" jawabku.
Aiden tersenyum usil dan memutar setirnya. "Kalau gue culik sampe jam 9 malem... boleh gak?" tanya Aiden.
Aku memutar mata. Besok aku ada mata kuliah jam 12 siang, dan itu satu-satunya mata kuliah untuk besok. "Hmmm... tergantung. Ke mana?" tanyaku.
Aiden tersenyum. "La Piaza! Ada Tulus!"
Aku mengangguk antusias. "Ayo! Ayo!" seruku.
"Takkan pernah berhenti..."
"...untuk slalu percayaaa...."
"...walau harus menunggu..."
"SRIBU TAHUN LAMANYA!" Kami berdua tertawa terbahak-bahak.
"Udah ah, gue mau denger yang aslinya aja. Suara lo sumbang!" ejekku.
"Ya maaf sih!" jawab Aiden sambil tertawa.
Malam itu, aku menikmati performance Tulus diantara kerumunan orang-orang bersama Aiden. Sebagai penggemar Tulus, aku menikmati penampilannya, dan menikmati waktu menyenangkan ditengah lelahnya aktivitasku.
Dan kemudian aku sadar, orang disebelahku adalah orang yang terhitung asing. Orang baru bagiku. Aku baru mengenalnya dan dia baru hadir kedalam kehidupanku. Tapi aku merasa seperti mengenalnya ribuan tahun. Dan aku bisa percaya padanya saat pertama dia mengajakku pergi. Aneh, kan? Dalam hati-sambil bergoyang ke kanan dan ke kiri mendengar musik berayun ala Tulus-aku mencari jawabannya.
Oh, aku tahu. Aiden adalah orang yang sangat hangat, ramah, dan bisa membawa seseorang untuk cepat mengenalnya. Pembawaannya pun baik. Dia bukan sekedar orang yang mau berteman denganku karena aku penulis terkenal. Tapi dia benar-benar tulus berterimakasih atas tulisanku. Tulisan palsuku.
Haaah... lagi-lagi beban itu menimpa punggungku.
***
Aku dan Aiden masih menikmati sisa-sisa euforia Tulus yang kami rasakan di La Piazza barusan. Di mobil, kami dengan bodohnya mematikan radio dan bernyanyi-nyanyi ala orang stres.
"Kiiitaaaa adalah sepasang sepatuuu..."
"Selalu bersamaaaa...."
"Tak bisa bersatu....."
"Kiiitaaaaa...."
"Mati bagai tak berjiwaaaa...."
"Bergerak karenaaaa.... kaki manusia!"
Aiden yang dari tadi bernyanyi dengan emosi jiwa, langsung menyemburkan seluruh tawanya ke setir mobilnya. "HUAHAHAHAHA!" tawanya meledak. "Sumpah, kita tuh gak ada bakat nyanyi sama sekali, ya?" komentarnya.
"He-eh, sumpah gak ada bakat sama sekali!" timpal gue. "Mending kita stop nyanyi sebelum-"
"Persetan dengan suara jelek! TAKKAN PERNAH BERHENTIIII!!"
Aku ngakak. "UNTUK SLALU PERCAYAAA!!"
"WALAU HARUS MENUNGGUUU-"
JDAR!
Kami berdua terperanjat dengan muka mangap yang tak terkatakan. Tangan Aiden membeku di setir dan handphoneku jatuh dari genggamanku.
Suara ledakan tadi, setelah diselidiki, adalah mesin Aiden yang entah kenapa terlalu panas dan meledak. Masih dengan muka shock, Aiden menelepon mobil derek dan kami berdua duduk di trotoar daerah Sunter.
"Nih, Jess." Aiden menyodorkan teh botol dingin padaku.
"Thanks."
Kami berdua duduk dalam diam di trotoar, melihat mobil Honda Jazz Aiden yang masih mengepulkan asap di mobilnya. Asap putih yang membumbung di tengah malam itu menjadi satu pemandangan menarik sekaligus miris bagi kami.
"Den?"
"Yep?"
"Promise me, there will be no more duet for us."
Aiden mengangguk setuju. "Yep. We have to admit that we're suck."
Aku mengangguk lemah. Kami berdua tenggelam dalam pikiran kami masing-masing sambil menyeruput teh botol dingin milik kami.
"PFFFFTT... HAHAHAHAHAHAH!!" Aiden tiba-tiba meledak dalam tawanya sendiri.
"Gak usah ketawa lo, kampreeeet!!" Aku memukul bahu Aiden sepuas-puasnya. "Nyadar suara lo jeleeek!!" semburku.
Aiden tertawa sambil menghindari pukulan-pukulanku. "Yeee, apa bedanya coba gue sama lo?" tudingnya langsung.
Kami berdua berakhir salah-salahan akibat suara kami yang terduga menyebabkan mesin apes itu meledak seperti sekarang. Orang-orang memperhatikan kami dari kejauhan, dan kami berhenti bertingkah seperti bocah ngelem lantaran terlalu malu ditonton banyak orang.
Malam itu, karena mobil derek tak kunjung tiba, Aiden memaksa untuk memanggil taksi dan mengirimku pulang duluan.
"Gak apa-apa?" tanyaku khawatir. Cowok ini pun bisa celaka bila sendiri dengan mobilnya dalam waktu yang lama. Bahaya pembegalan masih membayangi banyak daerah di Indonesia.
Aiden menggeleng sambil tersenyum. "Gak pa-pa. Sampe besok di kampus ya!"
Aku tersenyum dan melambai pada Aiden. Sungguh, dia pria yang baik.
***
Hola, readers! It's been forever hahahaha xD
Kenapa gue lama gak update sementara gue bikin cerita baru terus? Karenaaa eh karenaaa... gue melihat pembaca Get Over You masih dikit, huhuhu :( tapi untungnya pembaca Breakeven terus bertambah xD semoga mereka cepet nyelesain Breakeven, terus Man On A Wire, terus baca Get Over You, deh! Hehe!
Oh iya, kenapa gue ubah nama Nathaniel Putra Setiawan jadi Aiden Putra Setiawan?
Karena temen gue ada yang namanya mirip dan gue gak mau diceng-cengin sama dia, dan yang kedua... nama Aiden kalau dibalik jadi Daniel kurang L alias Danie xD iseng aja, biar Jessica lebih nyesek jahahaha...
Btw jangan lupa vomments, dan jangan lupa terus promote Breakeven sampe pembacanya 15k untuk membuka kontes Breakeven Songfict Contest, yak!
Thanks for reading, guys :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top