GOB-038 (LAST)

Cinta memang butuh pengorbanan, kan? Di dunia ini, kita tidak dapat mendapatkan sesuatu dengan mudah. Butuh usaha, butuh tenaga, juga mungkin ... butuh sedikit keikhlasan. Merelakan memang sesuatu yang berat, tetapi jika kau mencintaiku, Taeyong, kuharap kau bisa melepasku untuk lebih bahagia bersama Taehyung.

Sebenarnya aku tidak ingin sebegini kejam. Aku hanya membuatmu kesal dan jengkel kepadaku, hingga pada akhirnya kau menyerah untuk terus mengejarku. Alasannya satu, karena aku telah menetukan pilihan. Dan aku ingin masa depan yang terbaik untukmu. Bahagiamu bukanlah bersamaku, aku sadar itu. Ketika Taehyung telah mengorbankan kebahagiaan hidupnya dengan meninggalkan keluargamu. Juga ibunya yang harus bercerai demi melindungi Taehyung. Aku jadi tahu, dan semakin yakin dengan pilihanku.

Kau pria yang baik. Seandainya kau bisa sedikit mengontrol emosimu. Seandainya kau tidak gengsi dan meninggalkan kebiasaan merokok dan membullymu. Kau pria yang tampan dan mampu menarik perhatian para gadis di luar sana. Sejak kau kuliah dan aku mengenalmu, kau memang terlihat mengerikan. Namun, begitu kita dekat dan tanpa sadar menjadi teman, aku melihat sisi dari dirimu yang berbeda. Ketulusan cintamu. Aku harap ada gadis lain yang mampu menyadarinya selain aku. Ya, tapi ... sepertinya kau sudah menemukannya. Menemukan takdirmu.

"Sohyun, kau memikirkan apa?"

"Nggak ada, kok."

"Jangan bohong. Hati kita sekarang ini terhubung, loh. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal di benakmu. Apa ini soal Taeyong?"

Benar. Benar sekali. Taehyung selaku tahu apa yang aku khawatirkan.

Tujuanku fitting baju pengantin jadi terbelah dua. Aku kehilangan fokus. Gaun berwarna putih yang indah ini seolah dapat kutangkis. Aku tak merasa tertarik menatapnya.

Taehyung padahal sudah rapi dengan tuxedo yang aku pilihkan. Dia selalu tampan dan menawan. Tapi kenapa? Aku merasa sangat kecewa.

"Gara-gara kabar berita tadi pagi?"

Aku mengangguk. Tak bisa kupungkiri, Taehyung mengatakan kebenarannya. Iya, berita tadi pagi terlalu menyita isi otakku. Aku tak habis pikir. Setelah beberapa hari lalu aku menolak perasaan Taeyong dan mengatakan padanya bahwa aku akan menikahi Taehyung, kami hilang kontak. Lalu, muncul sebuah berita secara tiba-tiba. Taeyong dikabarkan akan menikahi seorang model bernama Nancy. Bukan karena cinta, aku yakin itu! Sebab, tersiar desas-desus yang memperbincangkan soal kehamilan Nancy yang sudah mendekati dua minggu. Apa itu anak Taeyong?

"Apa menurutmu, Taeyong yang menghamili model itu?" tanyaku pada Taehyung spontan.

"Kau jangan cemas, Sohyun. Semua sudah kehidupan yang direncanakan Tuhan untuknya. Mungkin dengan ini, Taeyong bisa berubah menjadi lebih baik."

"Jadi, maksudmu model itu memang hamil anak Taeyong?"

"Iya," angguk Taehyung. "Taeyong sudah mengkonfirmasinya. Janin di kandungan Nancy memanglah benih yang sudah ditanamnya."

"Bagaimana kau tau?"

"Semalam. Semalam anak itu menyambangi rumahku. Ia ingin bertemu dengan ibuku dan meminta maaf atas perlakuannya kasarnya dulu. Kebetulan aku di sana. Dia menceritakan semua masalahnya, kekacauan yang ia buat hingga berita itu muncul tadi pagi."

"Oh, astaga," pekikku.

"Sudahlah, Sayang. Jangan khawatir. Taeyong akan baik-baik saja. Lagi pula dia sudah dewasa, kan? Pasti dia mengambil keputusan dengan matang."

"Entahlah, aku hanya sedikit syok saja. Ini semua gara-gara aku kan? Karena aku meninggalkannya, dia berubah jadi penjahat wanita seperti itu."

Aku terkejut saat Taehyung melingkarkan lengannya pada pinggangku. Memelukku dari belakang dengan posesifnya. Ia menyandarkan dagunya di atas pundak kiriku, lalu berbisik, "Kalau perlu, akan kuminta Taeyong datang dan mengatakan segalanya agar kau tidak cemas. Aku jadi cemburu tahu, kau terlihat sangat peduli padanya dan mengabaikan acara fitting baju pengantin kita."

Aku terkekeh. Bukan begitu, Taehyung. Kau dan Taeyong dulu sama-sama sahabatku. Dengan memilihmu, bukan berarti aku melupakan Taeyong. Karena kalian telah menjadi orang penting dalam sejarah hidupku, maka aku tidak bisa tenang jika sesuatu terjadi pada kalian. Tak terkecuali Taeyong.

"Baiklah, baiklah. Tidak perlu kau lakukan itu. Aku akan lebih fokus pada rencana pernikahan kita. Kau puas?"

Aku balas menggenggam lengannya. Menggesekkan kepalaku ke kepalanya. Kami berdua menatap cermin yang tegak berdiri di depan. Hah, Taehyung benar-benar tampan dengan tuxedo itu. Sementara aku belum ganti baju. Belum mencicipi gaun pengantin yang Taehyung pilih. Aku merasakan basah, juga perasaan geli di perut saat Taehyung mencium bahuku yang terekspos. Aku memakai dress yang mempertontonkan separuh bahuku. Apa aku terlalu menggoda sampai dia tak tahan ingin mencium pundakku di tempat umum begini?

"Hentikan, Taehyung. Geli!"

Aku menyuruhnya berhenti. Tapi, lelaki itu kini malah asyik bermain di ceruk leherku. Manja. Dia seperti seekor kucing yang selalu ingin dimanja majikannya. "Ya ampun, Tae! Aku bilang hentikan, kita sedang berada di tempat umum."

"Lalu apa masalahnya? Mau masuk ke ruang ganti sekarang?" kata Taehyung sambil melayangkan tatapan mesumnya.

"Astaga, Tae, siapa yang mengajarimu begini?"

Lelaki itu malah tertawa. Dia melepaskan pelukannya dan berakhir mencuri cium dari bibirku. Aku memukul pantatnya gemas. Benar-benar anak kecil yang manja.

***

"

Wih, yang udah mau nikah, ditraktir kan nih?"

"Iya deh. Kalian bebas pesen apapun sepuasnya. Kan sekarang aku punya kantong berjalan," ucapku membalas gurauan Yoojung sambil melirik lelaki bermasker hitam dengan kacamata yang menggantung di bagian belakang kepalanya itu. Ah benar, tadi aku memintanya untuk memesan es krim bersama Hanbin.

"Lihat, deh Sohyun. Sok kegantengan banget itu suamimu," ejek Yoojung.

"Banyak yang ngelirik tuh." Saeron menimpaliku.

Oh, ya ampun! Benar juga! Taehyung jadi pusat perhatian. Hal ini membuat hatiku panas, tak akan kubiarkan gadis manapun mencuri pandang ke arahnya. Mereka boleh saja melakukannya, itupun kalau mereka berani menghadapi tinjuku. Akan kurontokkan gigi mereka semua agar mereka tak bisa tersenyum di hadapan pria manapun lagi.


Kali ini aku berkumpul dengan teman-temanku. Kami mengunjungi sebuah kedai es krim terlezat yang ada di Seoul. Di cuaca yang panas ini, ditambah hatiku yang ikutan panas melihat pemandangan ini. Aku pun bangkit dari kursi dan menyusul Taehyung. Aku menarik lengan Hanbin agar dia menjauh.

"Kembalilah ke meja. Biar aku dan Taehyung yang pesan!" seruku pada Hanbin.

"Loh, kenapa?"

"Udah sana! Jangan banyak tanya!"

"PMS ya, kamu? Dasar cewek!"

Aku melihat Hanbin menggerutu di sepanjang langkahnya. Hanbin, kau tidak tahu saja bagaimana kalau cewek sudah merasa cemburu pada pasangannya. Mereka bisa berubah jadi singa betina yang ganas.

"Hei, kamu di sini? Bukannya tadi Hanbin ya?"

"Kenapa? Masalah ya buat kamu? Jadi kamu nggak mau kalau bersamaku? Kamu lebih suka jadi pemandangan menggiurkan para gadis itu?"

"Apa sih, Sayang?"

"Sayang, sayang! Nggak usah ngerayu deh. Kamu tahu maksudku, kan?"

Aku menyilangkan tangan di depan dada. Taehyung tersenyum. Hei, dia mengejekku? Dia mengejekku karena aku ketahuan cemburu?!

"Kenapa senyum? Nggak tau apa kalau hati aku lagi panas banget!"

"Iya, aku tahu kok, Sayang. Aku juga tahu apa yang harus aku lakukan biar panasmu hilang."

"Apa? Memang apa yang bisa kamu lakukan? Heh, nggak akan bisa, ya! Aku udah terlanjur marah besar."

"Oh ya? Kalau aku lakukan ini," Taehyung menjeda kalimatnya lalu melumat bibirku tanpa ragu. Es krim yang tadi dipegangnya, ia letakkan di meja pesan. Jari-jarinya yang panjang dan lentik itu menekan tengkukku, membuat ciuman kami semakin dalam.

Ah, sial. Aku selalu kalah darinya dalam hal ini. Taehyung selalu tahu bagaimana cara membuatku luluh. Menyadari apa yang barusan kami lakukan, aku segera membuka mataku. Kudorong dada bidangnya pelan, lalu mendengkus.

"Kau ini! Selalu saja menciumku di tempat umum. Apa segitu terobsesinya kau dengan kejadian kita di perpustakaan waktu kuliah dulu?"

"Kalau iya?" goda Taehyung sambil menaikkan sebelah alisnya. Menyebalkan!

"Berciuman di tempat umum, disaksikan orang banyak, itu hal paling menyenangkan untuk dilakukan," tambahnya.

Dasar gila! Dengan sedikit kesal, aku berbalik meninggalkannya. Aku buru-buru berjalan menuju meja, di mana telah duduk Saeron, Yoojung dan Hanbin di sana. Mereka menatapku dengan penuh olokan. Bukan hanya mereka yang membuatku tidak nyaman, tapi ... para pengunjung kedai ini pun menatapku intens dan membuatku malu.

Sampai aku kehilangan fokusku, aku menabrak seorang gadis kecil dan membuat es krimnya jatuh. Ah, maafkan aku!

"Adik nggak papa? Maafkan kakak, ya?" ucapku selagi membantunya berdiri. "Kakak janji, kakak bakal ganti es krimnya. Yang lebih banyak, lebih besar, gimana?" tawarku melebih-lebihkan.

"Tante janji?"

Tante? Hei, aku telah memanggil diriku sendiri sebagai kakak. Dan gadis cilik ini terang-terangan menyebutku tante? Nak, aku masih muda. Belum juga nikah.

Lagi-lagi ini membuatku kesal.

"Janji dong. Itu! Kamu lihat Om yang itu? Yang berdiri di depan meja pemesanan?"

Kalau aku tante, maka Taehyung adalah om. Benar kan?

"Iya!"

"Nah, kau hampiri dia ya. Minta ke om itu buat belikan es krim yang baru. Kalau perlu minta yang harganya mahal, ya?"

"Beneran, Tante?"

"Beneran, dong!"

"Horee!" soraknya. "Daddy! Aku dibelikan es krim sama Kakak itu!" teriak anak kecil itu kegirangan.

"Loh, sebentar! Kok kamu panggil dia kakak sih?" protesku pada anak itu.

"Karena kakak itu lucu. Mirip seperti anggota boyband di TV yang sering aku tonton."

Apaan sih? Jadi aku nggak lucu?

Anak ini benar-benar ... bagaimana bisa dia mengatakan itu di depanku dengan sorot matanya yang polos? Iya juga, sih! Sorot matanya mengingatkanku pada Taehyung. Lelaki itu memang lucu dan kekanakan. Walaupun sifat aslinya sedingin es kutub.

"Euna? Kamu nggak papa, Sayang? Daddy khawatir, kamu tiba-tiba hilang."

Aku mendongakkan wajahku, terkejut seketika. Apa aku tidak salah lihat? Aku mengucek mataku beberapa kali. Oh, benar! Itu memang dia!

"Sunbae?"

"Hei ... Sohyun, kan?"

"Astaga, Sunbae! Lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu? Apakah Sunbae sekarang sudah menjadi dokter yang sukses?"

"Haha, kau benar! Aku sudah jadi dokter sekarang. Dan aku sangat sehat, aku baik-baik saja. Kau sendiri? Apa kau sudah menentukan pilihanmu?"

"Ya ... begitulah. Dua minggu lagi, aku akan menikah dengan seseorang."

"Siapa pria beruntung itu?"

"Dia...."

"Aku! Aku pria beruntung itu. Kenapa? Terkejut?"

Belum juga menjawab, Taehyung muncul di hadapanku. Dia menghadang di depanku, menghalangi aku dan sunbae saling bertatapan.

"Taehyung, kau menghalangiku! Menyingkirlah!"

"Kau menghalangi setiap gadis yang melirikku, Sohyun. Jadi aku akan menghalangi setiap lelaki yang juga melirikmu. Fair kan?"

Konyol! Taehyung konyol! Ini situasi yang berbeda bodoh!

"Daddy? Daddy kenal siapa mereka?" serobot anak kecil tadi. Tangan mungilnya tampak menggapai kemeja Eunwoo dan menarik-nariknya.

"Daddy?!" seruku dan Taehyung berbarengan. Hah, hanya dalam hal ini kami kompak. Menyedihkan sekali.

"Eh, Sohyun, Taehyung, ini Cha Euna. Putri kecilku."

"Kau sudah punya anak?" seruku dan Taehyung, LAGI.

"Iya. Dia putri tunggalku. Aku menikah di Jerman setelah lulus kedokteran."

"Lalu, siapa ibunya? Dia pasti cantik. Sangat cantik seperti Euna. Lihat, mata Euna begitu besar dan indah."

"Bagaimana dengan mataku? Kau tidak pernah memujiku, kau selalu memuji orang lain!"

Aku memarahi Taehyung. Dia selalu berbuat salah. Sekali dia memujiku, pasti hanya ketika aku merajuk. Tapi, di luar itu, dia tak pernah lupa untuk memuji setiap gadis yang ia jumpai di jalan.

"Apa sih, Sayang? Kau kan selalu cantik di mataku. Apa itu kurang cukup?"

"Huh, gombal."

"Istriku tiada," sela Eunwoo. Menghentikan perdebatan kecilku dengan Taehyung.

"Begitukah? Kalau begitu, tolong maafkan kami, Sunbae," kataku dengan menyesal.

"Tidak masalah. Sekarang, hanya putriku, Euna, yang kumiliki. Istriku meninggal setelah melahirkannya, bahkan dia sama sekali belum merasakan bagaimana memeluk bayinya yang baru lahir."

"Eunwoo, pasti ada nasib baik di balik semua kejadian ini. Kau yang kuat, ya."

"Terima kasih, Taehyung. Tapi, berkat Euna, aku bisa jadi lebih kuat."

"Oh, ya Tuhan! Sunbae?! Ini beneran kau? Ah, rasanya jadi kangen tidur sekamar lagi denganmu!"

Hanbin, disusul Saeron dan Yoojung, muncul entah dari mana. Hanbin tiba-tiba saja memeluk Eunwoo erat. Pria itu sampai susah bernapas.

"Kau berlebihan! Aduh! Aku tidak bisa bernapas! Kau mencekikku!"

"Ah, maaf! Maaf! Aku terlalu senang bertemu denganmu di sini!" ucap Hanbin. "Oh, siapa gadis kecil ini? Dia lucu sekali!"

Hanbin tergerak untuk menggendong Euna. Mengangkat tubuh gadis itu tinggi-tinggi seolah sedang memainkan pesawat terbang. Euna memberi respon positif. Gadis berusia sekitar lima tahunan itu tertawa terbahak-bahak dengan tingkah Hanbin. Sepertinya, Hanbin tidak sabar ingin punya anak. Ya, tiga hari yang lalu, Hanbin dan Yoojung resmi menikah.

"Yoojung, sebaiknya kita ke dokter kandungan setelah ini. Aku lihat kau mual-mual tadi pagi."

"Heh, bodoh! Kau pikir secepat itu janinku terbentuk!" Yoojung memukul kepala Hanbin dengan gemas.

Aku ikut tergelitik. Dasar pasangan kocak itu!

"Sst, Sayang...."

Aku rasa, Taehyung baru saja menyiku perutku.

"Apa?" bisikku. Aku tidak ingin mengumpat, membalas panggilannya dengan sebuah teriakan, dan akhirnya merusak momen bahagia mereka.

"Nanti, kita buat 3 anak ya, 1 perempuan, dua laki-laki. Kalau aku nggak sibuk sama novel baru dan pekerjaanku yang lain, kita buat 5. 1 perempuan dan empat laki-laki."

"Wah, nggak kebanyakan?! Lima?! Kau yakin bisa cari nafkah buat enam anggota keluarga??"

Aku terbatuk-batuk saat diriku sadar. Rupanya, semua temanku tengah memperhatikan obrolan Taehyung. Dan kini aku merasa malu.

Hah, sepertinya aku tertipu oleh kepribadiannya sewaktu kuliah dulu. Taehyung yang ini sangatlah konyol!

***

Hari di mana kami dipersatukan pun tiba. Aku dan Taehyung berdiri berdampingan saling bergandengan tangan. Lalu, seorang pendeta meminta kami saling berhadapan dan mengucap janji suci pernikahan.

Pernikahan kami sederhana. Rumahku yang letaknya berada di dekat pantai, semakin mendukung suasana wedding avenue yang aku ciptakan ini. Ada tiang-tiang kayu yang kami pasang, letaknya berjajar lurus ke depan. Ke tempat kami berada. Tirai-tirai putih berbahan transparan tampak berkobar tertiup angin darat. Aku meminta mama untuk menghias tiang-tiang itu dengan berbagai bunga, dominan warna merah muda. Para tamu duduk bersisian, di kanan dan kiri jalan kecil yang Taehyung dan aku lewati untuk menghadap pendeta.

Selesai kami berikrar, Taehyung mencium bibirku dengan lembut. Kemudian, kudengar sorakan para tamu. Mereka bertepuk tangan meriah, menyambut pasangan baru yang siap menempuh hidupnya.

Aku dan Taehyung tersenyum. Lalu, kami berpose dengan beberapa teman. Terutama teman-teman terbaikku, Yoojung, Saeron, Hanbin, sunbae dan ... ah, sayang sekali. Tidak ada Taeyong. Raut wajahku langsung berubah sedih. Bagaimanapun, Taeyong tetaplah sahabatku. Mengetahui dia tidak datang—padahal sudah kuberi undangan—membuatku kecewa. Namun, tak lama kemudian...

"Sohyun, selamat ya. Semoga bahagia bersama ... saudaraku, Taehyung."

Kami semua langsung menatap pria yang baru datang itu. Kulihat, seorang wanita berdiri berdampingan dan menggaet lengannya. Oh, itukah Nancy? Dia jauh lebih cantik dari yang ada di foto majalah.

"Kau datang?"

Aku tidak bisa menahan senyumku. Aku berhambur dan memeluknya. Membuat Nancy cemburu. Hah, biarlah. Aku menyesal berkata seperti sebelumnya pada Taeyong.

"Maafkan aku, kata-kataku hari itu sangat kejam. Kau pasti sakit hati."

"Tidak apa-apa, kau pantas memakiku. Dulu aku juga sering berteriak memakimu kan? Kurasa kita impas."

"Taeyong," aku melirik Nancy. "Kau serius menikahinya?"

"Kenapa? Kau pikir aku tidak bisa move on darimu?" candanya.

"Oh, ayolah, aku serius menanyakannya." Aku lalu menyeret Taeyong agak menjauh dari kerumunan. Terpaksa Taeyong meninggalkan wanita dengan tatapan selidiknya itu di sana. "Dia benar hamil anakmu?"

"Ya. Kami melakukannya penuh cinta," responsnya.

"Kau ini! Bisa serius sedikit tidak?! Aku marah loh!"

"Iya, Sohyun. Aku menikahinya karena dia hamil anakku. Memang benar, aku ini laki-laki bajingan yang tidak bisa melupakanmu waktu itu. Aku melampiaskan semua hasratku pada wanita yang kutemui. Namun, sebejat-bejatnya aku, aku masih punya rasa tanggung jawab."

"Lalu bagaimana dengan papamu?"

"Selama ada keuntungan baginya, maka pernikahan ini tidak ada masalah. Orangtua Nancy adalah pemilik perusahaan besar. Kau tau kan maksudku?"

"Aku khawatir. Tapi, semoga pernikahan kalian lancar seperti pernikahanku, ya. Kau tau Taeyong, kau sahabat baikku. Dan aku tidak ingin membuangmu begitu saja. Terima kasih sudah hadir." Aku menggerakkan kedua lenganku ke depan. Aku ingin memeluk Taeyong untuk yabg terakhir kali. Namun, gagal.

"Eitss, Nyonya Kim, sepertinya kau lupa kalau sudah punya suami."

"Taehyung! Turunkan aku!"

Dan pria kekanakan itu langsung memanggulku seperti karung beras. Membawaku pergi diiringi tawa semua orang.

"Waktunya melakukan malam pertama!"

"Kau gila Taehyung! Laki-laki tergila yang pernah kukenal!"


End.

Oke. Tunggu bonus chapter-nya wkwk. Maaf atas segala ke-typo-an yg ada, author juga manusia yg punya urusan mendesak di kehidupan nyata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top