GOB-022
Sebal sekali rasanya! Keakraban di antara aku dengan Taehyung seketika menjadi lenyap hanya gara-gara aku tahu dia adalah wujud dewasa dari anak laki-laki kecil yang dulu mempermalukanku. Bahkan sejak tadi pagi, aku terus menghindarinya. Mungkin dia juga sudah merasa aneh padaku, karena tak ada angin tak ada hujan, sikapku padanya berangsur berubah.
Dan sialnya, hari ini aku terpaksa berangkat ke kampus bersama Taehyung. Mama tak bisa mengantarku karena urusan pekerjaannya yang terlalu mendadak. Ketiga pria lainnya ada kelas pagi, jadi mereka berangkat lebih dulu daripada aku.
Berjalan beriringan dengannya membuatku berdebar. Aku tidak tahu, apa yang salah dengan jantungku. Aku pikir, ini hanyalah perasaan canggung yang berhasil mengambil alih seluruh aktivitas organku.
Satu kalimat yang ingin aku lontarkan, ah, dia benar-benar dingin! Bicara apa gitu, biar suasana kami tidak setegang sekarang? Tapi dia hanya menatap lurus ke depan, earphone terpasang indah di kedua telinganya.
Hai, bahkan suaraku jauh lebih mengesankan daripada suara penyanyi yang keluar dari ponselnya!
Satu fakta unik yang aku temukan hari ini adalah, apakah pesonaku sudah hilang? Logikanya, Taehyung mungkin masih memiliki ketertarikan padaku. Mengingat bagaimana dulu dia sangat tergila-gila olehku. Apa mungkin dia tidak ingat aku? Bodoh, wajah cantikku tidak berubah sejak aku kecil. Aku tidak pernah oplas, seharusnya dia mengenali aku.
Oh, apa karena perubahan drastisnya—yang membuatnya semakin tampan—dia jadi bertingkah congak dengan mengabaikan semua gadis, terutama gadis berparas malaikat sepertiku?
"Awas!"
Saat sibuk dengan pikiranku sendiri, aku mendengar suara klakson mobil, dan tiba-tiba Taehyung menarik lenganku. Membuatku jatuh tepat di pelukannya.
Oh, nyawaku yang berharga!
Baru saja aku selamat dari kecelakaan, kalau saja Taehyung tak menolongku, mungkin aku akan terbaring di rumah sakit hari ini.
"Ke mana matamu? Lampu merah untuk pejalan kaki menyala, tapi kamu malah berjalan begitu saja."
"Sorry," jawabku singkat.
Apa? Aku hanya berkata maaf? Ini sungguh bukan sikap seorang Kim Sohyun. Ke mana sifatku yang suka membalikkan umpatan? Taehyung baru saja menanyakan ke mana mata indahku ini, tapi aku cukup dengan mengucap maaf. Mengerikan! Ini perubahan yang tidak terduga.
"Kalau tidak berniat kuliah, sebaiknya tidak usah dipaksakan."
Aku membuka sedikit mulutku tanpa berkata apa pun, hell! Kenapa aku jadi selemah ini? Ribuan kata yang selalu sedia di otakku lenyap dalam sekejap. Argh.
***
"Apa kamu akan terus mengikutiku?"
Aku yang asyik berjalan, tanpa sadar menubruk punggung Taehyung yang berhenti mendadak di depanku.
Sambil mengusap keningku—karena menabrak punggungnya yang keras—aku berkata, "kalau mau berhenti bilang, dong! Sakit, nih!"
Dia tersenyum mengejek. Tangannya bergerak melepaskan earphone yang ia pakai.
"Sepertinya otakmu sedang tidak beres. Aku berhenti tiba-tiba karena kamu terus mengikutiku."
Mataku membelalak. Dengan spontan, segera kutatap sekeliling. Astaga! Ini Fakultas Kultur dan Bahasa! Aku meneguk salivaku kasar, menarik napas dalam dan mencoba mencari-cari alasan.
"Permisi ... apa kesadaranmu masih ada?"
"Ah ... haha. A-ku ke sini karena ... mau bertemu dengan sepupuku, Yeonjun."
Taehyung mengangkat sebelah alisnya. Ia mendekatkan wajahnya padaku, membuatku agak gugup berada dekat dengannya seperti ini.
"Apa kamu yakin? Kamu nggak denger kabar dia ikut pertukaran pelajar ke Jepang?"
"Apa?! Sejak kapan? Kenapa Yeonjun tidak bilang padaku?"
Perlahan, Taehyung berdiri tegap seperti sebelumnya. Jarak di antara kami mulai normal. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Kamu sepertinya kurang perhatian padanya. Lain kali, sering-sering hubungi sepupumu."
Itulah kalimat terakhir yang Taehyung katakan padaku sebelum melengos pergi tanpa sedikit pun menyambut tatapan penuh harapku. Penuh harap, ya? Aku sangat berharap dia menatapku balik, karena aku masih yakin, PESONAKU BELUM HILANG. Dan sepertinya aku yang salah paham.
"Ke mana akal sehatmu, Sohyun? Apa yang bisa kamu harapkan dari laki-laki sepertinya? Ck. Jadi saja bujangan sampai tua, sifat dinginmu itu ... aku yakin, tak akan ada gadis yang betah bertahan," tekanku pada diri sendiri sampai-sampai semua orang melirikku gila. Aku bicara sendirian dan mereka bisik-bisik menahan tawa.
Oke, aku gila!
***
"Aduh, ngapain, sih ngajak aku ke sini? Aku tuh paling males kalau di ajak ke tempat ramai."
Aku terus saja mengeluh saat Hanbin menarik-narik tanganku untuk ikut bekerja bersamanya. Jangan lupakan, Hanbin sekarang adalah asisten pribadi mama. Setelah kuliah pun, Hanbin harus menuju ke gedung lokasi syuting mama dan menyiapkan segala yang mama butuhkan. Termasuk makanan, dan vitamin hariannya.
Kebetulan, kelas terakhir kami sama. Jadi, Hanbin berniat mengajakku bersamanya. Jutaan kali aku menolak, lelaki itu bersikukuh untuk tetap menggeretku bersamanya.
"Hanbin, kamu tahu kan kalau aku–"
"Aku tahu. Ada aku, jangan khawatir. Tidak akan kubiarkan seorang lelaki pun mendekatimu."
"Bagaimana caranya? Itu mustahil. Kamu tahu, kru yang bekerja bersama mama itu orangnya suka penasaran, mereka pasti menerka-nerka, hal apa yang membawaku sampai ke sana. Karena, selama ini aku selalu menolak saat diajak mama untuk menemani syutingnya!"
"Udah, deh. Ikut aja, yuk. Daripada sendirian di rumah. Dan, aku tidak akan membiarkanmu berduaan dengan si preman atau dokter kecentilan itu."
"Maksudmu, Taeyong dan sunbae? Wah, sepertinya kamu dendam dengan mereka, ya? Haha."
Tidak tahu, ekspresi Hanbin itu paling lucu di antara yang lain. Dia terus saja menghiburku, tidak peduli situasi dan kondisi. Tanpa berbicara pun, raut muka Hanbin sudah cukup membuatku tertawa geli. Mungkin benar, Hanbin yang paling lemah di antara empat pria yang tinggal di rumahku. Tapi, kelebihan yang dimiliki anak ini adalah, dia selalu berhasil membuat orang di sekitarnya bahagia. Hanbin itu istimewa.
"Nah, Sohyun. Duduklah. Aku akan segera kembali. Cukup lihat aku bekerja dari sini, ya? Jangan ke mana-mana kalau kamu ingin selamat."
Aku tersenyum menerima pesannya. Dia memintaku duduk salah satu sofa—di ruang make up mama. Masker yang menutupi sebagian wajahku, sukses membuat mereka tidak mengenaliku. Hanya mama, wanita yang telah melahirkankulah yang mengetahui kalau aku putrinya. Mama melihatku dengan senyum merekah di seberang sana. Aku tahu, mama pasti senang menyadari aku berada di lokasi syutingnya. Ini momen langka, tentu saja! Kapan lagi aku mau diajak ke tempat ramai dan sesak begini? Mama, berterima kasihlah pada asisten barumu itu.
Hampir satu jam aku duduk di sini, rasanya bosan juga. Aku hanya melihat orang mondar-mandir di hadapanku, sementara aku hanya termenung sendirian dengan pikiran yang sibuk mau memikirkan sesuatu apalagi. Ada beberapa hal yang aku tangkap hari ini, salah satunya yang paling menonjol adalah, Hanbin menjadi orang yang berbeda saat sedang serius dan bekerja keras. Tak kudapati sosoknya yang sering bercanda. Ia fokuskan seluruh jiwa dan raganya untuk sigap jika sewaktu-waktu mama membutuhkan dirinya.
Aku lihat beberapa kali kru marah, karena Hanbin yang terus saja melupakan properti yang seharusnya dipersiapkan untuk mama. Dan hal ini sudah pasti menganggu berlangsungnya syuting. Syuting yang harusnya kelar setengah jam yang lalu, terpaksa mundur sampai sekarang ini. Dan yang kusaksikan sekarang adalah perdebatan kecil antara wanita yang memegang sebuah script dan Hanbin yang berdiri menunduk tanpa memberikan pembelaan sedikit pun.
"Kamu yang cekatan dong! Jadi asisten kok pelupa, tau nggak dampaknya gimana? Syutingnya kacau! Aduh, ngeselin deh! Kamu tahu, agendaku hari ini masih banyak! Nggak bisa buat terus-terusan bekerja kayak gini! Di luar sana, pacar aku udah nunggu supaya hari ini kami bisa kencan! Cuma gara-gara pekerja ceroboh sepertimu, semua agendaku hancur!"
Wah, marah-marah karena nggak bisa kencan? Heran, deh.
"Permisi, Nona. Sebaiknya Nona pikirkan kembali, apakah kencan atau pekerjaan yang jauh lebih prioritas? Kalau Nona lebih memilih kencan, sebaiknya mengundurkan diri saja dari kru. Sangat tidak profesional."
Wanita itu memelototiku. Mulutnya hampir terbuka dan membalas ucapanku. Tapi, aku lebih dulu menyingkirkan masker di wajahku. Wanita itu pun langsung mengurungkan niatnya. Dia tampak terkejut.
"Gampang, saya tinggal bilang ke mama supaya producer memberikan keleluasaan untuk Nona bisa pergi berkencan. Atau ... kalau perlu, saya minta mama buat bilang, kalau beliau merasa tidak nyaman punya kru yang mementingkan kencan seperti Anda. Bagaimana?"
Wanita itu terdiam cukup lama. Matanya bergerak mengalihkan pandangan dariku.
"Jangan lupa, bahwa Son Yejin adalah presenter yang jadi kesayangan bosnya," ucapku menambahi. Kulihat wanita itu pun semakin gelisah.
"T-tolong, lupakan apa yang saya sampaikan pada anak ini sebelumnya. Saya minta maaf, saya akan bekerja dengan baik. Permisi."
Wanita itu pun pergi, tapi kentara sekali kekesalannya. Dia menghentakkan kaki dan sedikit meremas naskah yang dipegangnya tadi. Salah sendiri main-main dan sok jadi senior dengan salah satu teman dari putri seorang Son Yejin. Dipecat, baru tahu rasa.
"Keren!"
Hanbin bertingkah seperti kesadarannya kembali. Dengan wajahnya yang ekspresif, dia mengacungkan kedua jempolnya padaku. Kagum pada tindakanku barusan. Oh, ayolah! Bagaimana bisa seorang gadis menyelamatkannya berkali-kali?
"Hanbin, kamu nggak bisa terus-terusan lemah begini. Ada saatnya kamu bersikap tegas. Kamu selalu diam saja saat anak-anak menjauhimu, mem-bully-mu karena kabar miring tentang keluargamu. Kamu diam ketika deb collector menganiayamu sampai kamu babak belur. Dan sekarang, kamu diam saja setelah seorang kru memperlakukanmu begitu. Aku nggak bisa terus-terusan bantuin kamu, ada saatnya kamu harus berani melawan."
"Iya ... maaf, udah ngerepotin. Aku cuma nggak mau cari masalah."
"Nggak mau cari masalah bukan berarti terus diam seperti orang bodoh saat kamu diinjak-injak. Mengerti?"
"Baiklah, lain kali aku akan lebih menjaga diri sendiri."
Wajah berserinya perlahan meredup. Apa kalimatku melukainya? Aku hanya khawatir pada kondisi Hanbin, aku simpati padanya. Makanya tidak segan-segan mengucapkan kalimat pedas sekali pun.
"Terima kasih," kata Hanbin.
"Untuk apa?"
"Untuk motivasimu yang membuatku merasa menjadi orang paling berharga."
"Sama-sama, itulah gunanya teman."
"Sohyun?"
"Iya? Apalagi yang mau kamu sampaikan? Jam kerjamu sudah berakhir, 'kan?"
"Bagaimana kalau aku mau kita lebih dari teman?"
Aku tercengang mendengar penuturan Hanbin. Lebih dari teman, memangnya seperti apa hubungan yang dia maksud?
"Sohyun, aku suka sama kamu."
***
How are you? Lama tak berjumpa. Mungkin aku double up hari ini. Sebagai ganti karena aku jarang menyapa kalian belakangan.
Pertama, karena aku sibuk nyelesaiin cerita yang aku buat untuk kepentingan challenge. Dan kedua, aku mulai disibukkan kuliah di semester lima. Sekali lagi, maaf ya. Dan makasih udah sabar menunggu kelanjutan cerita ini.
Saranghae❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top