GOB-008


"Aku tau apa yang kamu alami, tapi kalau boleh ngasih pendapat, mungkin sebaiknya kau mencoba membuka diri pada laki-laki."

Aku yang merindukan sahabatku, Yena, maka pada akhir pekan pun kami memutuskan untuk bertemu di sebuah cafe. Kami memesan minuman yang menjadi favorit masing-masing, vanilla latte dan starwberry milkshake.

Pertama kalinya kami berdua bertemu setelah saling terpisah, Yena menyadari kemurungan di raut mukaku. Tak perlu diragukan lagi, ikatan di antara kami begitu erat. Yena tau setiap detail tersembunyi dari balik ekspresiku. Bahkan, sejak kubuka rahasiaku pada Yena, gadis itu secara suportif memberi dukungan dan semangat agar aku tak menyerah untuk menghadapi kelemahanku ini.

"Iya, Yena. Kau sudah beribu kali mengatakannya. Kau tau, telingaku sampai perih mendengar kalimat itu keluar dari mulutmu ...."

"Kau ini, menyebalkan sekali. Itu kan bentuk perhatianku padamu!"

Dan pembicaraan pun berlanjut. Aku mengisahkan banyak hal, terutama tentang bagaimana kesan pertamaku berkenalan dengan Yoojung dan Saeron. Serta bagaimana nasib buruk yang terus datang menghampiriku semenjak aku mengenal Hanbin, Eunwoo, dan juga—yang terparah, Lee Taeyong.

"Pokoknya sial banget! Mana aku harus berurusan dengan cowok berandal itu, bagaimana aku bisa bertahan hidup di sana?"

"Tenang, Sohyun. Tarik napas ...."

Aku menarik udara luar sebanyak yang aku mampu, menuruti saran Yena supaya perasaanku jauh lebih tenang dan kesal di dada yang mendesak ini akan segera terloloskan.

"Saranku, kau harus cari pacar supaya terlindungi dari cowok bernama Taeyong yang kau sebut tadi."

"Itu saran apa pemaksaan, sih? Kau lupa?? Aku takut pada semua jenis cowok, ya, nggak mungkin lah aku milih satu. Apalagi buat aku jadiin pacar. Mustahil!"

"You know, nggak ada yang mustahil di dunia ini. Everything is possible."

***

Semburat langit yang menjadi kuning-kemerahan memaksa kami berdua untuk berpisah. Yena tak dapat menemaniku pulang sebab ia harus segera mengantar ibunya ke bandara sambil menunggu keberangkatan beliau ke Hongkong untuk urusan kerja.

Aku berdiri di tepi jalan, menunggu taksi datang. Karena mendadak, ponselku mati—low battery—aku tak dapat menghubungi Pak Yoon. Salahku juga. Aku jarang sekali mengecek persentase baterai ponsel kalau sudah asyik memakainya. Aku menyesal berkali-kali namun tetap saja kemalangan semacam itu tak bisa kuhindari.

Setelah cukup lama berdiri, taksi yang kutunggu tak kunjung datang. Di saat aku mulai menyerah, dua titik cahaya tertampakkan. Bibirku pun menyunggingkan senyuman.

"Akhirnya ...."

Aku bergegas menghentikan taksi itu dan masuk ke dalamnya.

Seperti yang kalian tau sebelumnya, aku takut pada sosok lelaki. Namun, dalam kondisi yang darurat, aku masih bisa mengendalikan diri secara terpaksa. Termasuk saat harus menumpang pada taksi yang disetir oleh seorang bapak berusia sekitar 50-an ini.

"Jalan, Pak," pintaku lirih.

"Tunggu!!"

Dan kala itu juga, aku dikagetkan oleh kedatangan seorang lelaki berjaket merah. Saking terkejutnya, tubuhku sampai terantuk ke pintu mobil di sisi kiriku. Dan dengan tangan yang gemetar, aku berhasil membuka pintu mobil tersebut dan malah lari terbirit-birit keluar.

"M-maaf, Pak. Taksinya nggak jadi!"

Lelaki yang di mobil terdiam beberapa saat. Ia memandang aneh padaku, gadis yang barusan duduk di sebelahnya, yang tiba-tiba keluar tanpa alasan dengan wajah ketakutan bak dikejar hantu.

Wajahnya yang tampan itu terlihat menakutkan bagiku. Bagaimana dia bisa tiba-tiba masuk? Padahal, taksi itu sudah kupesan duluan.

Refleks, lelaki itu menggerayangi pipi, hidung, serta mulutnya sendiri. Aku melihatnya dari kaca jendela yang transparan oleh lampu di dalam mobil.

***

"Ya ampun, Sohyun! Kaki kamu kenapa?? Kok bengkak gitu?"

Yoojung menyambut pagi hariku dengan penuh kebisingan. Ah, jangan salah paham. Aku sama sekali tidak membenci etiket Yoojung yang menurutku terlalu berlebihan itu. Justru tanpa sahabat semacam Kim Yoojung, mungkin kisah hidupku akan menjadi sangat garing dan membosankan.

"Gara-gara kemarin lari–"

Aku mengatupkan kedua bibirku secepat kilat. Jangan sampai rahasiaku bocor karena membicarakan pengalaman terburukku semalam—satu taksi dengan makhluk yang paling kuhindari .Bahwa aku lari terbirit-birit dari taksi yang sudah kutumpangi hanya karena seorang lelaki asing masuk dan ikut duduk bersamaku.


Memalukan sekali! Bahkan setelah berhasil keluar taksi pun keburukan yang mengejarku belum juga hilang. Aku tersandung di trotoar, melangkah terseok-seok sepanjang jalan, dipandangi aneh oleh orang-orang.

Semua itu cuma gara-gara seorang lelaki asing masuk ke dalam taksi dan ikut duduk di sampingku, titik!

"Em, maksudku ... aku lari ke kamar mandi di rumah, dan terjatuh."

"Astaga, aku kirain kenapa. Makanya, walaupun dalam keadaan kebelet, jalan atau lari juga harus hati-hati biar nggak jatuh."

Aku tertawa ringan, menyadari bahwa Yoojung berhasil aku tipu daya.

"Oh iya, semalam aku menelponmu, kenapa kau tak angkat-angkat?!"

Yoojung berkacak pinggang, memperagakan kemarahannya.

"Telepon? Tel–"

Eh, kenapa aku baru sadar kalau sejak semalam aku tak pegang ponsel? Di mana benda itu??


Bersamaan dengan itu, ponsel yang Yoojung genggam berdering. Fokusku dan juga Saeron sekarang teralih pada si gadis 'tarzan' tersebut.

"Halo?"

"I–iya, ini Yoojung. Siapa, ya? Kok kamu ngehubungi pakai nomor teman saya?"

Yoojung melirikku tajam.

"Oh?! Benarkah?" kagetnya. "Baiklah, saya akan mengabari teman saya. Terima kasih banyak."


Yoojung menutup teleponnya dan beralih padaku.

"Siapa?" Tanya Saeron penasaran.

"Begini, aku dapat telepon dari seseorang yang menemukan tas Sohyun semalam. Dan kalau Sohyun mau mengambilnya, ia harus datang ke perpustakaan Fakultas Kultur dan Bahasa pukul satu siang. Tepat waktu."

Yoojung menekankan intonasi pada dua kata terakhir.

"Ya Tuhan, aku ingat! Semalam aku tak sengaja meninggalkan tasku di dalam taksi!" celetukku sambil menepuk jidat.


Artinya ....

Artinya laki-laki itu lah yang menemukan tasku!! Apa aku benar? Yah, gimana dong kalau sampai benar? Aku malu. Dan takut kalau harus ketemu sama orangnya langsung.


Aku mencebikkan bibirku dengan ekspresi seperti ingin menangis

"Kok nangis? Seneng dong, untung ponselmu ketemu!"

"Ahaha ...."

Lagi-lagi aku tertawa renyah, menutupi kegundahan hatiku.

"Saeron, ini aku nangis karena saking terharunya. Masih ada, ya, ternyata orang sebaik itu di dunia ini," kilahku.

Mereka berdua memaklumi. Memang sulit menemukan kejujuran di zaman globalisasi ini. Individualistik cenderung mendominasi, kejahatan merajalela dan nggak sedikit orang pun yang tergerak hatinya untuk menjadi sosok yang sosialis. Semua sibuk pada diri masing-masing. Tentu saja, kecuali orang yang telah menemukan dan mengembalikan tasku beserta isinya secara utuh.


***

Di sinilah aku, berdiri di pusat Fakuktas Kultur dan Bahasa.

Aku hanya sanggup menggigit jari. Walaupun ditemani Yoojung dan Saeron, hatiku tetap tidak tenang.

"Tunggu apalagi, ayo kita cari perpustakaannya," ajak Saeron dengan berani.

Kami pun menyusuri koridor demi koridor, menaiki lift, hingga akhirnya sampai pada lantai lima gedung fakultas itu. Sebuah tulisan 'perpustakaan' terpampang nyata.

"Hei! Kok melamun! Ayo, masuk! Kami disini nggak buat liat wajah kamu yang pucat itu, loh!"

Yoojung lantas menarik tanganku karena ia sudah tidak sabar. Kabarnya, ambassador dari fakultas tersebut sering berkunjung ke perpustakaan. Yoojung tak sabar menemukan keberadaan lelaki yang terbilang paling tampan nomor satu se-Perth Glory.

Ting.

Notifikasi ponsel Yoojung menyala. Ketika di buka, sebuah pesan dari si penemu tas menyatakan bahwa ia menunggu di meja baca nomor 12.

"Itu! Di sana!!" tunjuk Yoojung yang lihai menemukan objek yang kami cari.

"Wow, matamu jeli sekali, ya," puji Saeron.

"Pasti dong, apalagi kalo udah urusan cowok. Aku paling jago, hehe."

Mengabaikan obrolan mereka yang tidak penting, aku justru sibuk menetralkan rasa takutku. Di kepalaku sedang berputar-putar, sebuah kejadian yang tak ingin kualami.

Tolong jangan pingsan hari ini, please.

Rapalku dalam hati. Kakiku melangkah rapat, sangat rapat sampai rasanya terbentang jarak ribuan kilometer dari posisiku ke seorang lelaki yang tengah duduk membalikkan halaman bukunya.

Kuat Sohyun ... kau pasti bisa!

Aku sudah sangat dekat. Tanganku menjadi sedingin es, bibir pun rasanya makin memucat.
Aku hendak menyentuh bahu si lelaki itu.

Sedikit lagi ....

"Mau ambil tas?"

Tubuhku terjatuh ke belakang saat suara berat milik si lelaki mendadak tertangkap oleh daun telinga.

Ah, kagetnya!

"Hati-hati."

Aku berusaha berdiri hingga sebuah uluran tangan menghampiri.

"Sini, kubantu."

"Wah!! Saeron!!!"

Sementara di belakang sana, Yoojung menepuk-nepuk pipinya sendiri, merasa apa yang ia lihat dengan mata kepalanya itu fiksi. But, it is real!

"Ng–nggak perlu ...."

Aku menolak, memilih untuk berdiri dengan kedua kakiku sendiri. Tanpa butuh bantuan.

Namun yang terjadi justru di luar dugaan, aku kembali terjengkang ke belakang dan tanpa sengaja, kedua tanganku bersentuhan—menerima uluran tangan lelaki tersebut, supaya aku tak lagi terjatuh dan membuat nyeri di pantatku.

"Sombong sih," sindir lelaki tersebut karena merasa bahwa gadis yang ia tolong—diriku— terlalu sombong dan gengsi untuk menerima bantuan dari kedua tangannya yang berharga.

"Bilang saja kau modus, sok jual mahal supaya aku sendiri yang menyentuhmu duluan. Iya, kan??"

Apa?! Dasar lelaki kurang ajar!

Kalau saja aku lebih agresif, sudah aku rusak wajah tampanmu itu dengan kuku jariku yang panjang!

"Kamu salah paham!"

Aku melepas sentuhan itu dengan kasar.

"Kemarikan tasku!" ucapku agak berteriak sembari memundurkan tubuhnya.

Lelaki itu memajukan wajahnya, memperhatikanku dari bawah ke atas.

"Katakan dulu, bagaimana bisa bukuku ada di dalam tasmu?"

Buku? Yang mana?

Seolah mengerti arah pikiranku, lelaki tersebut mengeluarkan sebuah buku dari belakang tubuhnya.

"Ini?"

Yeonjun sialan!

Buku itu kan yang kemarin aku tolak! Yeonjun memberikannya padaku supaya kuserahkan pada ambassador fakultasnya yang mau dijodohkan denganku!

Akh, anak itu pasti menyelipkannya diam-diam!

Tak bisa dipercaya, bagaimana bisa kebetulan begini?? Cowok ini yang menemukan tasku!

Kenapa harus dia???

"B–buku sejenis itukan ng–nggak cuma satu!" jawabku terbata.

"Aku selalu menandai bukuku dengan benda khusus. Dan ini jelas milikku," lelaki itu mempertajam kedua pengelihatannya padaku, lalu berkata, "apa kau sengaja mencurinya?"

"Sebab kau tau, Kim Taehyung, adalah ambassador Fakultas Kultur dan Bahasa yang terkenal karena ketampanannya. Kau berusaha mendekatiku. Benar begitu, Kim Sohyun?" Lanjutnya demikian.

Lelaki yang menyebut dirinya sebagai Kim Taehyung itu memberikan aura penuh intimidasi. Rasa-rasanya, tak ada bedanya, baik Lee Taeyong maupun Kim Taehyung. Sebab, kedua lelaki itu sama-sama memancarkan aroma yang buruk bagi masa depan Sohyun di Perth Glory.

Ya Tuhan, cobaan mana lagi ini?

Sudah cukup tiga pria yang menggangguku. Sekarang, tampaknya akan bertambah menjadi empat.

Aku mau mati saja!!!














To be Continued

Yup, kalian benar karena udah nebak Kim Taehyung.

Tinggi 178 cm itu identik sama dia ya, ditambah kulit yang tan, kelopak mata yang monolid sama double eyelid. Dan yang paling khas lagi, dia melihara anjing pomerian bernama Yeontan ^^

Welcome, bae~


Jadi cast cowoknya udah terekspos semua:

1. Si petakilan/lucu/humoris: Kim Hanbin, asal Fakultas Seni

2. Si romantis: Cha Eunwoo, asal Fakuktas Kedokteran (ambassador)

3. Si badboy: Lee Taeyong, asal Fakultas Bisnis dan Sosial Sains

4.Si dingin/cool: Kim Taehyung, asal Fakultas Kultur dan Bahasa (ambassador)

Kisah pun dimulai~

Get Out, Boys!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top