GOB-002
Tidak seperti kebanyakan gadis, yang mereka lebih tertarik pada lawan jenis dan mengabdikan hidupnya pada sejumlah lelaki tampan. Bagiku, itu semua tidak ada menariknya. Sekali lagi kujelaskan, aku bukan lesbian! Aku hanya takut pada mereka—laki-laki. Entah, sejak kapan ini terjadi.
Aku menyadari kekuranganku sewaktu berada di sekolah menengah pertama. Hari itu, secara terang-terangan seorang cowok mendekatiku. Dia bilang, dia menyukaiku. Dia memberiku setangkai mawar, sangat klasik. Cerita yang mudah ditebak, bukan? Hey, kami masih lah anak remaja yang hanya bisa meniru berbagai adegan lewat tayangan televisi.
"Mau jadi pacarku?"
Bayangkan, apa yang harus kujawab diumurku yang masih 12 tahun ketika mendapat pertanyaan itu? Mungkin tidak aneh jika di negaraku, para remaja dengan umur segitu sudah menggandeng pasangan. Namun, prinsipku berbeda. Aku tidak akan berhubungan dengan pria sebelum aku dewasa. Namun, kenyataannya malah berbanding 180°.
Saat tanpa sengaja, anak laki-laki itu mencium pipiku di hadapan teman-teman. Mereka bersorak, seolah mendukung sikap anak itu terhadapku. Aku diam membatu. Dia pikir aku tak malu? Dia pikir aku mau? Dia pikir aku menerimanya?
Tetapi, aku malah tak sanggup bicara. Bahkan sekadar menolaknya, aku tak tega.
Hingga, pak guru pun datang dan menjewer kedua telinga kami. Setelah itu, kami dihukum untuk membersihkan kamar mandi selama satu minggu.
"Kecil-kecil sudah sok bertingkah dewasa, kalian!" ucap pak guru yang sampai sekarang masih terngiang di kepalaku.
Masa lalu yang menyebalkan!
Sejak hari itu, aku tak berani berdekatan dengan pria. Pria itu selalu bertindak semena-mena! Aku tak suka. Tapi lebih ke takut, sepertinya. Sampai hari ini, aku tidak tau kabar anak laki-laki itu. Kami putus hubungan pertemanan, karena setelah masa hukumanku berakhir aku meminta agar mama memindahkan sekolahku.
Aku benci terus diolok-olok.
***
"Nah, sudah cantik anak Mama."
"Sana turun, nanti telat, loh."
Kakiku enggan melangkah. Inilah kampus baruku, sekolah baruku, tempat pendidikan baruku.
Aku tidak bisa membayangkan akan menjadi bagian dari Perth Glory. Kepalaku pening. Belum keluar mobil saja rasanya sudah sempoyongan. Mama terus berusaha menenangkanku. Ah, lupakan! Ia egois!
Bukannya mengantarku ke dalam atau apa, dia malah memperbaiki make up-ku. Katanya, "Kau harus kelihatan menawan di hari pertamamu."
Kenapa tidak sekalian mama saja yang kuliah?
Aku memang tertarik pada penampilan cantik, namun, itu sebelum aku tahu bahwa nasib akan mengantarku menuju ke 'neraka' ini. Aku lebih nyaman di sekeliling teman perempuanku. Terlihat paling cantik dan berbeda di antara yang lain. Tapi ini?
"Mama yakin mayoritas mahasiswa disini cowok?"
"Iya lah. Kalau nggak, Mama ya nggak jadi masukin kamu ke sekolah ini," ucapnya enteng.
"Sweetie, semua akan baik-baik saja. Kau mau sembuh kan? Jadi ikuti saja saran dari Dokter Sohee."
Dokter Sohee itu dokter pribadiku. Aku ragu, apa benar aku punya penyakit mental? Tidak, maksudku psikologis. Soalnya mama ngotot membawaku ke pskiater. Dan aku terima-terima saja.
"Ya sudah, masuk sana! Ini sudah hampir terlambat."
Mama turun dari mobil dan membukakan pintu untukku. Ia menggeret lenganku sehingga tubuhku terpaksa bergerak keluar dari mobil.
Mama merapikan rambutku sejenak.
"Sudah beres. Sekarang kau tampak cantik, siap berburu, Sweetie?"
"Ma!!"
Mama tergelitik. Lagi pula, apa yang lucu? Apakah mama senang melihat anaknya yang cantik ini pucat pasi setiap hari?
Oh, tidak. Aku benci Perth Glory dan seluruh penghuni cowoknya!
Dalam sekejap, mama meninggalkanku. Maklum, jadwalnya yang kebetulan juga sibuk membuat kami dengan cepat harus segera berpisah. Kedua lututku gemetaran. Aku mengambil hoodie abu-abu dari dalam tas, dan sebuah kapas juga cleanser tak lupa aku siapkan.
Aku hapus semua make up yang tersusun rapi di wajahku. Aku menutup kepalaku dengan hoodie. Mengeratkan tali yang ada di tudungnya sehingga wajahku tersembunyi.
Aku berjalan kecil, penuh ketidakpastian. Yang benar saja? Aku akan sekolah di sini?
Baru sampai gerbang saja suara para anak laki-laki yang heboh terpajan ke telingaku. Ya Tuhan, tolong aku dari musibah ini.
Bruk.
Seseorang menabrakku dari belakang. Aku memeluk erat tubuhku dengan kedua tangan, semakin menunduk, semakin menyembunyikan rupaku. Walau rasa pedih menjalar sudah ke sekujur tubuhku, lututku terluka karena mencium tanah.
"Kau tidak apa-apa?"
Tunggu, ini bukan suara cowok.
"Sini, aku bantu berdiri."
Tanganku diraih oleh seorang gadis. Aku dibantu bangkit. Namun, kedua mataku masih terlalu takut untuk mengenali wajahnya.
"Maaf ya, aku buru-buru," ujarnya.
"Kenapa? Kau aneh, buka penutup kepalamu, aku ingin lihat wajahmu!"
Ada apa dengan gadis ini? Tidak sopan sekali!
Ia mencoba menurunkan tudung hoodie-ku. Dia pikir aku penjahat?
"Ck, buka! Aku penasaran!"
"Tidak!" teriakku lantang dan sukses membuatnya terkejut.
"Wah, kau bisa bicara juga ternyata. Makanya, speak up dong daritadi ...."
Ternyata dia cuma memancing agar aku bersuara.
"Namamu siapa? Kau anak baru, ya? Apa kau berniat cari calon suami?"
Astaga, apa tidak ada pertanyaan lain? Kenapa gadis ini ceplas-ceplos sekali? Dengan orang asing saja, pertanyaannya sudah tidak bisa ditoleransi. Ikut campur urusan orang itu tidak baik, andai dia tahu.
"Kenalin, aku Kim Yoojung."
Dia mengulurkan tangan padaku. Aku tak berniat menjabatnya, tetapi gadis bernama Yoojung ini lah yang mengambil tanganku dan membuatku seolah-olah menjabat tangannya—seenaknya!
"Siapa namamu?" tanyanya sekali lagi.
Biarkan saja dia sampai pegal-pegal menantikan aku membuka mulut. Aku sangat sensitif jika menyangkut orang asing.
"Kau ini! Jawab, dong? Jangan bikin penasaran. Tadi bisa ngomong, kok sekarang bisu lagi?"
"Kim Yoojung, jangan keterlaluan!"
Seru gadis lain yang aku tidak kenali.
"Kenapa? Apa salahku? Aku hanya ingin berkenalan dengannya tapi dia tidak mau. Huh!"
"Bukan begitu caranya ...."
"Hei, kau. Kelasmu apa? Mau kami antar?"
Suaranya yang sedatar jalan hidupku mulai terdengar semakin keras. Tandanya, ia semakin mendekat ke arahku.
"Jangan hiraukan dia. Dia itu seperti anak kecil, sekarang katakan, apa kau mau kami antar? Sepertinya kau anak baru."
Benar. Aku anak baru, dan aku tidak tau dimana gedung Fakultas Seni dan Humaniora.
"Jangan takut, kami orang baik. Kami cuma mau berbaik hati mengantar anak baru yang kesepian sepertimu."
Meski rasanya canggung, aku terpaksa mau menerima penawarannya. Aku sungguh asing dengan sekolah ini, kabar baiknya, untung mereka bukan laki-laki. Akhirnya, aku berjalan mengikuti kedua gadis berlainan sifat ini. Sudahlah, lagian hanya mereka yang bisa aku percayai.
"Jumlah mahasiswa disini ada 27.396 orang. Hampir 3/4 laki-laki, artinya 20.547 dari 27.396 adalah populasi mereka di Perth Glory."
Aku merinding. Mendengar jumlah yang sebanyak itu, kepalaku pusing. Rasanya jadi mau pingsan saja.
"Terdiri dari 12 fakultas, dengan empat fakultas utamanya adalah Seni dan Humaniora, Bisnis dan Sosial Sains, Kultur dan Bahasa, terakhir Kedokteran."
Gadis ini banyak tahu. Dia pandai menjelaskan dan membuatku sekali lagi mengusap tengkuk—merinding.
"Setiap fakultas memiliki perwakilan, kami menyebutnya ambassador," lanjutnya.
"Ini bagian yang paling menarik dari Perth Glory! Bagian, di mana para gadis akan menyukainya!" sahut dari seseorang bernama Yoojung tadi.
"Mereka adalah para cowok terpilih, yang bertugas untuk memberikan teladan bagi teman satu fakultasnya."
"Dan tampan," sahut Yoojung sekali lagi, memotong cerita si gadis bersuara datar.
"Kau akan berjumpa dengan mereka nanti."
"Aku tidak tertarik!" penolakanku keras, membuat mereka terkejut. Terutama si Yoojung.
"Kau serius? Mana mungkin kau menolak mereka? Kau pasti akan jatuh cinta!" kesal Yoojung mendengar pendapatku.
"Aku tidak suka cowok!"
"Maksudmu?"
Aku memberanikan diri, kuangkat wajahku dan kutunjukkan ekspresi risihku pada keduanya.
"Aku anti pada cowok."
"Hah?!!"
Yoojung menutup mulutnya yang menganga lebar dengan kedua telapak tangan. Sementara gadis di sampingnya, yang berwajah lebih kecil dengan bibir tipis, menatapku dingin dan terheran.
"Kau gadis satu-satunya yang tidak setuju pendapat Yoojung," ungkapnya.
"Tapi aku serius, aku tidak menyukai cowok dan aku bersekolah di sini juga karena terpaksa. Jadi, jangan golongkan aku seperti cewek genit lainnya."
"Hai! Kau pikir aku cewek genit, ya?!" Yoojung meresponku dengan nada tinggi.
"Tenang, apa yang dia katakan benar. Lain kali, jaga sikapmu pada laki-laki."
"Kok kau membelanya sih? Sekarang siapa sahabatmu, hah?"
"Kalau begitu, selamat datang anak baru! Karena kita sepemikiran, mari kita berteman."
"Apa?! Yak! Kim Saeron! Kau menghianatiku?"
Gadis itu terus menggerutu karena temannya lebih memilihku. Ah, apa ini serius? Gadis yang menjabat tanganku sekarang ini juga tidak menyukai cowok?
"Apa kau juga takut pada cowok?"
"Ha? Takut? Tidak. Hanya saja, bagiku cowok itu tidak berguna."
Wah, dia blak-blakan juga.
"Namaku Kim Saeron, kau?"
"Kim Sohyun."
"Wah, kita bertiga bermarga sama."
Aku tersenyum pada akhirnya, namun Yoojung menyilangkan kedua tangannya dan membuang muka. Aku yakin, dia kesal padaku dan juga Saeron.
"Jadi sekarang kita teman?" tanyaku polos.
"Tentu saja. Mari kita ke kelas."
"Kau juga Fakultas Seni?"
"Tepatnya dia juga."
Saeron melirik ke arah Yoojung. Hebat! Jadi kami bertiga satu fakultas dan satu kelas. Tapi ingat, Sohyun ... tantanganmu lebih berat dari ini. Kau akan bertemu dengan 3/4 penduduk cowok Perth Glory.
Sial.
***
Di kelas, mereka tiada henti menatapku. Para cowok. Kupikir kelas seni banyak diminati oleh para gadis, hei aku hanya lupa. Hanya ada 1/4 mahasiswi cewek dan mereka menyebar tidak hanya di kelas seni. Artinya, kemungkinan untuk bertemu dengan banyak cowok itu masih sangat tinggi.
"Bukankah dia Sohyun?"
"Oh ya? Si cantik dari Universitas Sookmyung?"
"Putri dari Son Yejin? Presenter berita hot itu? Serius? Dia sekolah disini?"
Mereka cerewet. Kenapa tidak berbisik-bisik saja? Padahal aku duduk tidak jauh dari tempat mereka bergosip.
"Hei, Sohyun. Apa benar kata mereka? Kau putri dari Son Yejin?" tanya Yoojung memastikan.
"Apa itu hal yang perlu dibanggakan? Toh, Sohyun hanyalah gadis biasa di sini."
Kalimat Saeron sedikit menyinggung, tetapi aku setuju padanya. Tidak ada yang perlu dibanggakan. Mereka pikir aku mau terkenal hanya dengan bersembunyi di balik kepopularitasan mamaku? Aku hanya ingin dikenal sebagai Kim Sohyun. Bukan sebagai Kim Sohyun putri dari Son Yejin.
"Aku permisi dulu ke toilet," pamitku pada mereka.
"Mau kami antar?" tawar Saeron.
"Tidak perlu. Lagian deket kan?"
Bodoh kau Sohyun! Lagi-lagi kau lupa kalau isi dari sekolah ini adalah kaum adam. Kau cari mati ternyata!
Alhasil, berjalanlah aku seorang diri di lorong. Suasana agak sepi, karena mungkin banyak kelas di Fakultas Seni yang memulai jam belajarnya.
"Hei anak baru!" seru seorang cowok, suaranya yang berat membuatku tercekat.
Aku merapatkan kedua kakiku, bersiap-siap untuk lari.
"Kau anak baru kan?"
"Kau harus berkenalan dulu denganku!"
Masa bodoh! Apa penting berkenalan dengannya? Ayolah! Denyut jantungku mulai melemah setiap kali seorang cowok mendekatiku.
Aku menutupkan tudung ke kepalaku. Menghindari kontak mata dengannya sebagai bentuk persiapan.
"Aku ambassador disini."
Siapa peduli! Mau ambassador kek, mau apa kek, terserah! Aku nggak mau berkenalan dengan satu cowok pun!
Aku bergegas mengangkat kedua kakiku, walau rasanya berat. Aku hampir berlari, kalau saja cowok itu tidak menarik tudung yang aku pakai dan membuatku tergeret ke belakang menubruk tubuhnya.
"Namaku,"
Tbc.
Yuhuu, akhirnya publish satu chapter lagi. Kira-kira siapa ambassador dari Fakultas Seni dan Humaniora? Hmm, jangan lupa temen-temen. Nanti akan ada empat tokoh pria utama disini. Jadi pastikan kalau pilihan kalian masuk semua. Hehe..
Siapa cowok pertama yang akan terekspos? Nantikan kelanjutannya.
:))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top