9. Menyebalkan
Karina terbangun dengan nafas yang terasa sangat jauh dari jangkauannya. Mata dan mulutnya terbuka lebar seiring ia semakin merasa sulit untuk terus meraih nafas demi mengisi paru-parunya yang terasa nyeri dan begitu menyakitkan. Tak ada siapapun di kamar ini, sedangkan cahaya yang begitu minim membuatnya semakin merasa takut jika ia menghadap mati dengan keadaan sendirian seperti ini.
.
.
.
"Lihat bola lagi kamu?"
Kepala Reza menoleh, terpaku sesaat kala mendapati Ibunya menggerakkan kursi roda mendekatinya. "Acara malam, Bu."
Helda semakin mendekat, dan Reza reflek berdiri untuk membantu Ibunya untuk duduk di sofa yang ia duduki juga.
"Duh... Ibu selalu buat kamu susah, ya?"
"Ibu bilang apalagi sih malam-malam begini?"
Helda terkikik, mengusap lembut bahu Reza yang kini kembali duduk di tempatnya.
"Ibu mau wedang jahe?"
"Nggak usah, Za."
"Kok Ibu sekarang sering bangun tiap malam, sih?"
"Za?"
Reza menoleh, merasa aneh saat Ibunya malah memanggilnya saat ia bertanya.
"Karina..." Helda nampak berpikir sejenak. "Tadi Ibu dengar samar-samar dia menangis di kamar Sandra. Dia kenapa ya, Za? Nggak kerasan atau gimana?"
Reza mengalihkan pandangannya, memilih televisi di depannya untuk ia perhatikan.
"Kamu nggak nyakitin hatinya, kan?"
Sorot mata Reza berubah sendu. Mata teduh itu kini nampak kosong memperhatikan host acara malam yang nampak begitu seksi dengan gaun minimnya. "Kami baik-baik saja, Bu," lirihnya.
"Lalu?"
"Dia... sepertinya sedang merindukan Edgar."
Mata Helda melebar. "Lho kok bisa?"
Reza diam, dan Helda mulai menebak-nebak sesuatu yang tak ingin ia yakini.
"Karina... apa masih cinta ya sama Edgar?" gumam Helda pelan.
Entahlah, Reza juga tak ingin meyakini apa yang ditanyakan Ibunya. Sedari tadi sejak Karina mengakhiri pembicaraan mereka di dapur dengan mata berkaca-kaca, otak Reza tak henti-hentinya untuk menerka bagaimana perasaan Karina terhadap mantan suaminya sekarang. Tak dapat Reza pungkiri bahwa ia merasa takut, namun ia sendiri tak bisa menjabarkan rasa takut apa yang ia rasakan sedari tadi. Takut yang ia alami, menyebabkan resah yang lebih besar dari resah yang ia rasakan saat mengetahui ada pria lain di rumah Karina saat Reza menghubungi perempuan itu sekitar sebulan yang lalu.
Edgar, adalah kelemahan Karina.
Ah, sial!
"Reza!"
Kepala Reza menoleh, kedua matanya kembali terlihat fokus sekarang.
"Ya ampun, naaaaak... Kamu ini sebenarnya ada di mana sih dari tadi? Kalau lelah mending istirahat, deh."
Reza memejamkan matanya rapat, menghela nafas lalu kembali membuka mata. "Sorry, Bu. Reza-"
PRAAAAANGGG
Baik Reza dan Helda menoleh ke arah sumber suara. Sebuah kamar berpintu cokelat yang berada di samping kamar Helda.
"Karina!"
Dengan cepat Reza beranjak dari sofa dan menghampiri pintu kamar kakak perempuannya.
"Karina?" Tangan Reza mengetuk pelan pintu di depannya. Tak ada jawaban, ketukan Reza terdengar lebih besar setelah ia mengetahui pintu tersebut dikunci dari dalam. "Karina kamu di dalam?"
"Coba dobrak, Za," seru Helda yang masih duduk di sofa. Kekhawatiran membayang kental di kedua matanya.
"Karina?" Kali ini Reza berteriak dan menggedor pintu kamar. "Karina kamu dengar saya?"
"Dobrak langsung, Reza!"
Tanpa menunggu perintah ketiga dari Ibunya, Reza menendang keras-keras pintu di depannya. Dua tendangan telah ia layangkan, dan tendangan ketiganya berhasil membuat pintu kamar itu menjeblak terbuka.
"Karina!"
Reza berlari menghampiri Karina yang tersungkur lemas di samping ranjang. Nafas perempuan itu terengah, sedangkan matanya tertutup seperti menahan sakit. Beruntung pecahan gelas yang tercecer di sekitarnya tak ada sedikitpun yang melukainya.
"Kamu kenapa? Hei!" Reza membalik dan mendekap tubuh Karina di sela lengan dan dadanya. Sebelah tangannya yang bebas menepuk-nepuk pipi perempuan tersebut. "Karina!"
Hanya isakan dan lenguhan penuh sakit yang Karina keluarkan dari mulutnya.
"Bawa kesini, Za!"
Diselimuti kekhawatiran yang membuncah, Reza segera mengangkat tubuh Karina dan membawanya ke Helda. Dengan penuh protektif, Helda memeluk dari belakang kepala dan punggung Karina yang berada di pangkuannya.
"Karina? Sayang?" panggil Helda lirih seraya mengusap keringat di dahi dan leher Karina. "Jangan panik, buka matanya."
Reza menatap Helda frustasi. "Kita bawa ke dokter saja, Bu!"
Namun Helda memilih untuk tak menghiraukan putranya. Satu tangannya menggenggam tangan Karina yang terasa dingin, sedang satunya lagi meraba pengait bra Karina untuk dibuka. "Ada Ibu di sini, jangan panik. Pelan-pelan buka matanya. Ayo."
Dengan sangat pelan, kedua mata Karina terbuka. Butiran air dengan cepat lolos dari kedua matanya saat Karina berhasil membuka matanya dengan sempurna.
"Mana yang sakit, Nak?"
Karina kembali memejam, namun satu tangannya yang bebas meraba dada dengan gemetar.
"Sesak atau sakit?"
"...sakh," bisik Karina di sela nafasnya yang masih terputus-putus.
Helda mendongak menatap Reza. "Panaskan air, dan coba cari obat asma di kotak obat. Kalau tidak ada cepat belikan di minimarket atau apotik 24 jam."
Reza menurut, ia mengerjakan apapun yang Ibunya pinta walaupun otaknya sedikit tak bisa mengontrol gerak tubuhnya. Ia panik tentu saja, melihat Karina dengan keadaan seperti tadi bukanlah hal yang ia inginkan sama sekali.
.
.
.
Pagi harinya, Helda baru akan selesai mengupas siung bawang putih terakhir saat ia mendengar derap langkah pelan mendekatinya. Helda mendongak, dan tersenyun saat melihat Karina berjalan pelan ke arahnya.
"Mbak Marni mana, Bu?" Karina menarik kursi dan duduk di samping Helda. "Kok masak sendiri?"
"Kalau sarapan Ibu biasanya memang masak sendiri. Kalau lagi malas atau capek, Ibu suruh Reza beli soto daging atau bubur ayam di depan komplek."
Karina mengangguk kecil. Tangannya meraih cabai di depan Helda, lalu memisahkan tangkai dari buahnya.
"Kamu sudah baikan?"
Bibir Karina yang masih terlihat sedikit pucat terangkat tipis. "Maaf Bu tadi malam sudah merepotkan."
"Halah... gini-gini Ibu ini pernah ikut PMR waktu SMA. Kalau menangani orang sesak nafas, Ibu masih bisa."
Karina tertawa kecil.
"Lain kali, kalau tidur jangan dalam keadaan sedih atau menangis, ya? Sepertinya itu yang memicu sesak kamu. Kamu nggak punya riwayat asma kan?"
Kepala Karina menggeleng. Ia menunduk sejenak sebelum kembali berani menatap Helda. "Tangisan saya keras ya, Bu?"
Helda terkikik singkat. "Keras kalau didengar perempuan."
"Maksudnya, Bu?"
Senyum Helda terlihat ditahan. Perempuan itu memilih melanjutkan mengupas daripada membalas tatapan penuh tanda tanya dari Karina. "Yang paham tangis perempuan kan, kaum sejenisnya sendiri. Mau itu tangis bahagia, sedih ataupun menyakitkan, hanya perempuan yang bisa paham."
Karina terdiam. Ia sedikit mulai tidak merasa nyaman dengan pembicaraan ini. Helda yang mengetahui apa yang ia tangisi semalam, adalah hal terakhir yang ia inginkan saat ini. Dan Karina sama sekali belum siap jika sebentar lagi Helda menguliknya lebih lanjut.
Mencoba menenangkan diri, Karina memilih jam dinding di dapur tersebut untuk ia perhatikan. Jarum terpendeknya yang masih berada di sela angka lima dan enam, membuatnya secara tidak sadar berhitung berapa jam lagi ia harus berada di rumah sakit nanti.
"Nanti tolong bangunkan Reza jam tujuh ya? Dia baru tidur jam tiga tadi, dua jam setelah kamu tidur. Kasian kalau dibangungkan sekarang."
Karina meringis, ia jadi merasa semakin serba salah terhadap keluarga ini. "Saya jadi nggak enak juga sama Reza, Bu. Maaf..."
Helda terkekeh. "Karina, kamu tau nggak kalau cinta adalah hal di dunia ini yang tidak memerlukan ungkapan maaf atau terimakasih?"
Tatapan Karina terpaku pada Helda, ia semakin tak merasa nyaman kala perempuan paruh baya di sampingnya kembali berucap.
"Hanya diri kita sendiri yang tahu siapa orang yang benar-benar kita cintai dan sayangi. Perjuangkan jika dapat diperjuangkan, namun lepaskan jika sudah tidak ada harapan. Hati kita harus tahu batas kemampuan kita untuk mencintai seseorang." Helda mendekatkan kepalanya dan menyunggingkan senyumnya. "Tak ada salahnya untuk membuka harapan baru jika harapan lama tak juga membuat kamu bahagia, Karina."
.
.
.
Reza menepati perkataannya, menjemput Karina dan membawa perempuan itu untuk menemui dokter penanggung jawab Edgar saat makan siang. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, tak banyak hal yang mereka bicarakan. Kecanggungan yang tercipta di antara keduanya saat sarapan bersama tadi rupanya terbawa hingga sekarang. Karina tentu yang merasa lebih canggung. Walau sudah meminta maaf karena telah merepotkan Reza, ia tetap tidak merasa semua hal langsung berubah baik-baik saja. Entah mengapa, ia merasa Reza tak ingin terlalu banyak mengajaknya berbicara seperti biasa. Alhasil, Karina yang memang tak memiliki banyak keahlian untuk berbasa-basi, memilih untuk mendiamkan suasana seperti ini menyelimuti keduanya.
Selagi Reza tak mengutarakan permasalahannya, ia menganggap tak ada hal yang perlu diluruskan atau dibicarakan di antara mereka.
.
"Saya sudah dengar rencana ini dari suster yang merawat Pak Edgar tadi pagi. Jujur, saya merasa senang dengan hal tersebut."
Karina sedikit mengerutkan dahi, sedangkan Reza memilih untuk menyandarkan punggungnya di sandaran kursi setelah mendengar ungkapan Burhan di ruang kerja dokter itu.
"Memangnya kenapa, Dok? Apa ada masalah dengan kondisi Edgar sekarang?" tanya Karina.
Burhan menipiskan bibirnya. "Permasalahannya adalah, Pak Edgar stuck pada kondisi yang sama sejak terakhir kali beliau melewati masa kritis."
Karina melemaskan punggungnya. Bola matanya bergerak tak tentu arah mengamati permukaan meja di depannya. "Lalu rumah sakit yang seperti apa yang harus saya rujuk demi kepulihan Edgar, Dok?"
Burhan menggeleng pelan, namun wajahnya diselimuti penolakan yang kuat. "Bukan rumah sakit yang Pak Edgar butuhkan, Bu Karina. Itu prioritas kedua." Mata Burhan menatap lurus Karina yang menunggu perkatannya. "Prioritas pertama adalah keluarga yang menunggu kesadarannya."
Mendadak Karina merasa sedikit pening. Perempuan itu memilih untuk mengikuti Reza menyandarkan punggungnya. Matanya menatap Reza pasrah, sebelum menunduk dalam.
"Keadaan Pak Edgar sekrang seharusnya sudah mampu membuatnya untuk sadar. Selama dirawat di sini, Pak Edgar tidak mendapatkan komunikasi yang intens dari orang-orang terdekatnya." Burhan menarik nafas dalam. "Mungkin... jika untuk sementara Pak Edgar dirawat di rumah keluarganya dengan alat yang memadai, hal itu bisa memancing semangatnya untuk sadar dan menemui keluarganya, terutama anaknya."
.
.
Mobil hitam Reza berhenti di halaman rumahnya yang asri karena berbagai jenis tanaman bunga yang ada di sana. Awalnya Karina ingin berpamitan langsung di dalam mobil, tapi ketika melihat Reza keluar, ia pikir lebih baik berpamitan di dalam rumah.
Reza baru akan meraih gagang pintu rumah sebelum berbalik dan hampir membuat Karina menabraknya.
"Saya antar kamu pulang setelah maghrib. Tak apa kan?"
Mata Karina melebar. "Saya pulang sendiri, Za."
"Nggak." Kedua alis Reza sedikit menaut. "Biar saya antar."
"Nanti kamu capek perjalanan bolak-balik."
"Saya nggak capek."
"Perjalanannya tiga jam-"
"Dua jam kalau lancar."
Karina menahan napas. "Kalau begitu saya nggak bisa pulang sehabis maghrib."
"Kamu mau pulang sekarang? Saya antar."
"Buat apa sih? Saya nggak mau ngerepotin kamu lagi."
Reza menipiskan bibirnya. Tepat setelah itu, pintu rumah terbuka dan menampilkan Marni yang berdiri memandang Reza dan Karina bergantian. "Ditunggu Ibu di dalam, Mas."
Reza mengangguk, lalu Marni berlalu dari sana. Pria itu memunggungi Karina, berjalan pelan masuk ke rumah, lalu kembali berhenti dan menoleh. "Jangan pulang tanpa saya," ucapnya lirih, namun sanggup membuat Karina terdistraksi.
.
"Karina, tadi lancar?"
Karina yang meletakkan tasnya di meja makan, menoleh Helda lalu tersenyum. "Lancar, Bu. Sudah ada izin dari dokter."
"Syukurlah."
Ekor mata Karina menangkap sosok Reza yang baru saja keluar dari kamar mandi, namun hanya sedetik karena kini Karina mulai malas untuk berinteraksi dengan pria itu.
Reza menjadi aneh, dan Karina tak suka.
"Lalu kapan dipindahkan?"
Perhatian Karina kembali teralih ke Helda. "Belum tau, Bu. Saya juga ingin mendiskusikan hal ini dengan Mamanya dulu."
Helda mengangguk-angguk pelan. "Kamu pulang kapan?"
"Habis maghrib Bu, sama saya."
Karina menoleh Reza cepat, memberi tatapan protes pada pria itu karena telah mencuri kesempatannya berbicara.
"Oh ya sudah kalau diantar Reza. Ibu jadi tenang, Nak. Kasian kamu kalau naik bis untuk pulang, transportasi umum itu sekarang sudah tidak aman."
Alhasil Karina urung mengeluarkan pembenaran sedikitpun dari mulutnya. Tak mungkin juga dirinya membuat Helda khawatir dan memikirkan dirinya. Sepanjang sisa waktu Reza berada di dapur tersebut, Karina hanya diam sambil sesekali melempar tatapan tak suka kepada Reza.
... walaupun pria itu sama sekali tak balas menatapnya.
.
.
.
Sepanjang perjalanan, baik Reza dan Karina memilih untuk diam. Keduanya terpaku pada jalanan gelap di depan mereka yang terlihat lengang. Karina bersyukur di dalam hati, karena tak butuh waktu yang begitu lama baginya untuk duduk di sebelah Reza yang kini kembali terlihat santai dengan mengenakan atasan kaos maroon berlengan tiga perempat.
Karina hanya memandang ke depan, sesekali menoleh ke kiri jika ia bosan. Menoleh ke kanan adalah hal yang paling tidak ia inginkan saat ini. Entahlah, mungkin Karina sudah kurang ajar karena tidak memiliki rasa terimakasih terhadap pria yang banyak membantunya beberapa waktu belakangan ini. Reza adalah pria yang begitu baik, dan memiliki inisiatif tinggi untuk membantu Karina jika Karina dalam kesusahan.
Catat! Kesusahan!
Namun hampir setengah hari ini, pria baik itu berubah menjadi pemaksa. Dan Karina tak suka dipaksa. Karina tidak berada dalam kondisi susah ataupun memerlukan bantuan, dan Reza yang memaksa membantunya, ternyata berdampak buruk pada perilakunya terhadap Reza.
.
.
"Terima kasih atas tumpangannya."
Awalnya, Karina pikir Reza akan segera pulang setelah ia berpamitan seperti itu di dalam mobil. Namun ternyata tidak. Reza memilih untuk membuka pintu mobil, dan keluar dari sana.
Karina menghela nafas tertahan. Apa sih sebenarnya yang diinginkan Reza? Jika seperti ini, apa sopan baginya jika tak mempersilahkan pria itu untuk masuk?
.
"Eh itu Bunda datang."
Karina melambaikan tangan kepada Bias yang berada di dalam gendongan Yati. Mempercepat langkahnya di halaman, Karina menghampiri Yati yang berdiri di teras rumah, lalu mengambil Bias dan menciumi pipinya gemas.
"Barusan minta keluar, Mbak. Mungkin tahu kalau Bundanya mau datang."
Karina melepaskan cengkeraman tangan mungil Bias di rambutnya. "Sudah makan belum dia, Mbak?"
"Sudah Mbak. Tadi Bu Linda juga ke sini."
"Mama Linda pulang jam berapa?"
"Jam 6 tadi."
Seorang anak laki-laki berusia sekitar delapan tahun berlari dari dalam rumah Karina menuju teras. Baik Karina dan Yati menyadari kedatangannya.
"Eh Mas Ghofar... Terima kasih ya sudah ikut jaga adek Bias."
Bocah kecil bernama Ghofar itu mengangguk malu, lalu bersembunyi di balik daster Yati.
"Ya sudah kalau begitu saya balik dulu, Mbak."
"Oh iya Mbak Yati, terimakasih ya."
Yati mengangguk, lalu berjalan. Karina mengamati punggung wanita itu, sampai ia teringat bahwa ia memiliki tamu saat tamunya tersebut menyapa sopan Yati yang sedang berjalan.
.
"Bisa minta tolong jagakan Bias sebentar? Saya mau ambilkan minuman."
Reza mengamati bagaimana Karina meletakkan Bias yang sedari tadi memandangnya di baby walker. Penuh hati-hati dan penjagaan yang tinggi. "Tentu."
"Tunggu sebentar."
Bias masih memandangi Reza sepeninggal Karina ke dapur. Tak butuh waktu lama, kaki mungil bayi tujuh bulan lebih itu bergerak dan membuat baby walker yang menopang tubuhnya menabrak kaki Reza. Tak tahan dengan tingkah dan perkembangan Bias, ditambah rasa rindu terhadap bayi tampan itu, Reza mengangkat Bias ke udara dengan gemas.
.
"Jadi... penambahan televisi di ruang tengah?"
Reza pada dasarnya tak tahu untuk apa ia bertanya. Ia hanya teringat bahwa di depan sofa di ruang tengah mungil yang ia duduki sekarang, dulunya hanyalah sebuah tembok bercat tosca.
"Untuk hiburan Mbak Yati, Ghofar dan Bias kalau saya lagi kerja."
Kepala Reza tertunduk saat ia merasa Bias yang berada dalam pangkuannya mulai meremas-remas hidungnya.
"Dan... Bunda?"
Mulut Karina terbuka, namun ia tak mengeluarkan suara. Beruntung Reza tak melihat tampang bodohnya karena pria itu tengah menyurukkan hidungnya ke Bias.
"Panggilan saja. Biasa."
Bel rumah terdengar nyaring di dalam rumah Karina. Sejenak kemudian, kentukan pintu lah yang mendominasi suara.
Reza menyerahkan Bias dari pangkuannya, namun terhenti saat Karina menahannya.
"Biar saya saja, Za." Karina berjalan ke arah pintu, dan Reza sedikit merasa janggal dengan tingkah tamu itu. Ia mengikuti Karina sambil meraih Bias dalam gendongannya.
Bertamu semalam ini, dan tak cukup hanya memencet bel.
Saat Karina membuka pintu, Reza berada dalam posisi yang strategis untuk melihat siapa yang datang. Dan ketika pintu terbuka, seorang laki-laki yang membawa kantung kresek putih makanan cepat saji mengecup singkat pipi Karina sebelum memeluk tubuh wanita itu di depan pintu.
.
.
Brengsek
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
.
Ngantuk bet waktu mau republish chap ini. Enjoy deh yak...
.
.
.
"Gws ya Mas Edgar..." 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top