6. Kehidupan Baru
Karina memulai aktivitasnya lebih awal pagi ini. Dua laki-laki yang menginap di rumahnya semalam membuatnya harus bersikap layaknya tuan rumah yang baik.
Tangan Karina menabur penyedap rasa pada adonan perkedel yang ia buat. Menu pagi ini adalah sayur sup, telur mata sapi, perkedel, lengkap dengan sambal kecapnya. Setelah merasa adonan perkedelnya siap goreng, Karina menghentikan kegiatannya sejenak dan mematikan kompor supnya yang sudah matang.
Oke, tinggal menggoreng perkedel.
Kepala Karina menoleh jam dinding dapurnya, sudah pukul enam pagi. Satu jam lebih ia berada di sini. Mencuci tangannya, Karina memilih untuk meninggalkan dapur untuk menengok Bias. Bayi itu masih terlelap, dan Karina hanya menengahkan posisi anak mantan suaminya itu yang hampir berada di pinggir ranjang. Gila, saat tidur bayi itu aktif juga ternyata.
Semalam, dalam suasana hati yang sakit karena kembali mengingat masa lalu, Karina menelaah semua keputusannya satu per satu. Wajah damai Bias di kala terlelap tentu saja membuat Karina tak cukup memiliki banyak kebencian untuk turut membenci bayi itu. Apa salah bayi tampan itu? Kesalahan yang dilakukan Edgar di masa lalu padanya, seharusnya bukan tanggung jawab Bias juga. Dan ketika tak ada yang mau menerimanya, Karina rasa ia harus menyingkirkan sisi emosional di masa lalunya.
Mungkin Tuhan tak serta merta memberikan garis takdir seperti ini tanpa tujuan apa-apa. Bertemu kembali dengan Edgar saat pria itu dalam keadaan koma dan memilih untuk menampung anaknya, Karina yakini sebagai sebuah jalan lain yang mungkin saja akan mengubah hidupnya. Karina harus berdamai dengan kenyataan, ia juga harus berdamai dengan hatinya sendiri. Mungkin setelah ini, semuanya akan lebih baik lagi.
Langkah Karina tak langsung menuju dapur setelah itu, melainkan ruang tengah rumah mungilnya. Dari jarak dua meter, Karina memperhatikan Reza yang terlelap di atas sofa. Reza begitu pulas hingga mengeluarkan dengkuran halus dalam tidurnya. Ternyata benar ucapan pria itu semalam, bahwa pria itu merasa lelah, apalagi ditambah perbincangannya dengan Karina hingga dini hari tadi.
Karina mendekat untuk membenahi selimut Reza yang hampir jatuh. Sejenak, matanya memandang wajah Reza yang nampak damai. Karina heran, mana ada orang yang percaya bahwa pria yang memiliki tatapan serta wajah seteduh Reza ini adalah kepala sektor kepolisian?
Karina menghela nafas. Jika ia terus di sini, perkedelnya tak akan matang-matang.
.
Reza mengusap-usap rambut basahnya dan menatap hidangan di depannya seraya berkali-kali menelan ludah. Entahlah, ia merasa langsung merindukan masakan Ibunya sekarang. Terlalu emosional bagi pria berumur sepertinya.
"Kenapa nggak makan?" Karina datang seraya menggendong Bias yang baru saja mandi dan berganti baju.
Aroma bedak bayi seketika langsung menyeruak di hidung Reza. "Saya nunggu tuan rumah."
Karina memutar bola matanya, dan Reza tertawa.
"Saya ada kaos ini." Karina menyerahkan sebuah kaos berwarna abu-abu. "Ukuran pria itu."
Reza menatap kaos di tangannya, lalu beralih ke Karina yang sudah duduk. "Setelah ini bagaimana?"
Karina balas menatap Reza, sebelum wanita itu kembali menunduk dan melanjutkan aktifitasnya menyuapi Bias. "Bagaimana lagi, Reza? Biar Bias ikut saya."
Kening Reza berkerut dalam. "Kamu yakin?"
Tak ada jawaban dari Karina, wanita itu terus menyuapi Bias dengan tenang.
"Karina, saya tidak..." Perkataan Reza menggantung begitu saja, dan tatapan menunggu dari Karina membuat Reza semakin bingung harus berkata apa.
"Kamu tidak?" desak Karina.
"Saya tidak ingin membebani kamu," lirih Reza.
"Saya hanya merawat Bias sampai Edgar sadar dari komanya. Hanya sampai sana."
Permasalahannya adalah, mereka berdua tidak tahu kapan Edgar akan membuka mata.
"Setelah ini bisa kamu antar saya?"
"Kemana?" tanya Reza.
"Kantor."
.
.
Lebih dari lima belas menit Reza duduk memangku Bias di ruangan kerja Karina. Ruangan kerja ini begitu nyaman dan modis. Reza bisa melihat jalanan dari sini. Sebuah jendela kaca yang berada di belakang meja Karina bisa memantulkan cahaya alami dari langit kapan saja. Pasti indah, dan jauh berbeda dari ruang kerjanya sendiri yang hanya dikelilingi tembok bercat krem tanpa jendela.
Tanpa sadar, Reza terkekeh menyadari betapa kakunya ruang kerja miliknya.
Tiba-tiba pintu terbuka, menampakkan seorang gadis berambut panjang yang terkejut menatap Reza.
"Em..."
Reza tersenyum ramah dan berdiri dari duduknya.
"Mas nya... cari siapa?"
"Saya datang bersama Karina."
Gadis itu mengangguk-angguk pelan. "Lalu Mbak Karina?"
"Dia bilang ingin menemui bosnya."
"Oh..." Gadis itu mendekati Reza seraya mengamati Bias yang turut memandangnya. "Saya Anggi, asisten Mbak Karina."
Reza menerima jabatan anggi. Senyum ramah masih belum pudar dari wajahnya.
"Mau minum sesuatu?" Anggi berjalan mendekati lemari es mini di sudut ruangan itu. "Kopi, teh, lemon tea?" ucap Anggi mengabsen minuman kemasan yang ia lihat di dalam lemari es tersebut.
"Tidak usah, terima kasih."
Pintu kembali terbuka, menampakkan Karina yang memandang Anggi heran. "Kamu baru datang?"
Anggi buru-buru meneggakkan punggungnya, dan memamerkan cengirannya.
"Jadi kalau saya lagi izin kamu datangnya jam segini?"
Wajah Anggi berubah muram. "Aku kesepian Mbak kalau datang pagi dan ruangan ini kosong."
"Alasan kamu nggak masuk akal, Anggi." Karina berjalan mendekati Reza, dan mengambil alih Bias dalam gendongannya. "Lama ya?"
Reza tersenyum seraya menggeleng.
"Yuk."
"Mbak Karina mau kemana?"
Karina menoleh Anggi. "Hari ini saya izin lagi. Tolong kamu handle semuanya ya."
Walaupun cemberut, Anggi toh tetap menganggukkan kepalanya.
.
.
Hari sudah sore ketika mobil Reza memasuki pelataran rumah Karina. Berkeliling menemani Karina membeli keperluan bayi selama beberapa jam untuk Bias nyatanya tak membuat Reza merasa waktu berlalu lama untuk ia lewati.
"Taruh di ruang tengah saja ya, Reza."
Reza menuruti perkataan Karina dan meletakkan sebuah kardus berukuran besar di ruang tengah. Pria itu kembali menuju mobil, dan mengambil kereta dorong bayi.
"Terima kasih, ya."
Ada perasaan senang menyapu benak Reza melihat Karina tersenyum tulus saat mengatakan itu. "Sama-sama," ucap Reza seraya menerima cangkir dari Karina.
Karina duduk di sofa ruang tengah, dan membenahi posisi Bias yang sedari tadi ia gendong. Sesekali Karina mengajak Bias bercanda, dan itu merupakan pemandangan yang indah bagi Reza.
"Apa kamu akan bawa Bias berkunjung?"
"Pasti." Karina menatap Reza lamat-lamat. "Bagaimanapun Bias harus bertemu Ayahnya."
Reza tersenyum. Pria itu menggeser tubuhnya mendekati Karina dan mengambil Bias dari pangkuan wanita itu. "Kayaknya saya yang bakal sering kangen Bias."
Karina tertawa, dan lagi-lagi Reza bersyukur ia sempat melihat itu semua.
"Jangan lupa mobil saya di rumah sakit, ya?"
"Siap."
"Thanks." Karina semakin mengembangkan senyumnya. "Jam berapa kamu balik?" tanyanya.
"Setelah ini." Reza mengembalikan Bias ke pangkuan Karina. "Saya takut macet kalau pulang lebih malam."
Kepala Karina mengangguk-angguk kecil. "Makan dulu, yuk?"
Reza menyambutnya, karena pria itu tahu ia tak ingin melewatkan sisa waktunya begitu saja.
.
.
.
.
.
"Karin!"
Karina mendongak frustasi, ingin rasanya ia mencerca pemilik suara yang sudah mengganggu konsentrasinya dengan teriakan tiba-tiba itu, sebelum ia menyadari siapa yang tengah berdiri di ambang pintu. "Ya, Pak Frans?" sapanya menahan malu.
Frans mendekat. "Nggak ada Anggi di sini." Pria itu duduk di depan meja Karina. "Harus berapa kali lagi aku bilang?"
Karina menarik nafas, mengatur emosinya. "Ada apa? Aku lagi kerjain deadline kamu, nih."
Frans terkekeh geli, dan memperlihatkan lesung di pipi kirinya. "Makan siang bareng, yuk?"
"Nggak bisa, Frans." Karina mulai melanjutkan pekerjaannya.
"Karin, deadline-nya tiga hari lagi. Jangan berlebihan deh."
"Jam makan siang aku harus pulang."
Frans mengerutkan kening kesal. "Sejak ada bayi itu-"
"Bias." Mata Karina tajam menghentikan perkataan Frans.
"Oke oke." Frans menegakkan punggungnya dan menatap Karina lekat-lekat. "Sejak ada Bias kamu mulai nggak perhatikan kesehatan kamu, Karin. Tidur larut, ada kesempatan istirahat kamu curahkan untuk Bias, dan sekarang kamu rakus sama deadline." Frans berhenti, memberi kesempatan Karina untuk mencerna perkataannya. "Kalau kamu sakit kan kasihan juga Bias."
Karina menyandarkan punggungnya dan menghembuskan nafas keras-keras. Ia tak bisa menyangkal perkataan Frans. "Resiko, Frans."
"Bullshit, Karin! Kamu nggak seharusnya menggantikan resiko Edgar."
"Ini untuk Bias, Frans. Bukan untuk Edgar." Nada Karina berubah dingin.
Frans memundurkan badannya. Kepalanya menggeleng-geleng lemah, tak mengerti apa yang dipikirkan wanita di depannya.
.
Pada akhirnya Frans berhasil menghabiskan jam makan siangnya bersama Karina. Pria itu memaksa masuk ke dalam mobil Karina saat wanita itu hendak menjalankan mobil.
"Kita makan siang di rumah kamu. Nggak ada penolakan."
Mau tak mau Karina mengalah. Berdebat dengan Frans hanya semakin menyita waktunya.
"Kalau siang aku nggak pernah masak, Frans. Mending kamu dellivery aja deh," ucap Karina saat memberhentikan mobilnya saat lampu merah.
"Kamu ceplokin telur aja aku ikhlas. Kalau ada kecap ya syukur."
Karina menaikkan salah satu alisnya. Ia tak mengatakan apa-apa lagi, dan hanya mendengar suara Frans yang bersenandung mengikuti musik dari pemutar musik mobil yang pria itu nyalakan sendiri.
Mobil Karina tiba lima belas menit setelah itu. Memilih rumah tak jauh dari tempat kerja memang memiliki keuntungannya tersendiri. Setelah menutup pintu mobil, Karina masuk terlebih dahulu ke rumahnya meninggalkan Frans.
"Mbak Yati?"
Muncul seorang wanita bertubuh mungil dari dapur saat Karina memanggil nama itu. Senyum Karina merekah.
"Mbak Karina baru datang? Yati nggak dengar suara mobilnya."
"Bias mana?"
"Tidur, Mbak. Dari jam sebelas tadi."
Karina membuka pintu kamarnya, dan merasa damai melihat bayi itu tidur dengan tenangnya.
"Saya pulang dulu ya, Mbak Karina? Ghofar habis ini pulang."
"Iya, Mbak. Terimakasih." Karina merogoh sebatang cokelat dari dalam tas nya. "Ini tolong kasihkan Ghofar, Mbak."
"Terimakasih, Mbak. Jam setengah dua saya kesini lagi."
Karina mengangguk seraya tersenyum.
Yati berjalan keluar, dan berpapasan dengan Frans di ruang tamu. Dengan penasaran, Frans memperhatikan punggung Yati hingga pintu keluar, sebelum memperhatikan Karina yang terdiam di depan pintu kamar wanita itu.
"Itu tadi siapa?"
"Warga kampung belakang," ucap Karina tanpa melepas pandangannya pada Bias.
"Dia pengasuh Bias?"
"Hanya ketika aku kerja."
"Terus kok dia pulang?"
Karina mendengus karena merasa Frans terlalu banyak bertanya. Wanita itu meninggalkan Frans dan berjalan ke dapur. "Anaknya pulang sekolah kalau jam segini. Setelah mengurus anaknya, nanti dia kesini lagi. Biasanya sama anaknya."
"Suaminya?" Frans mengikuti Karina.
"Kerja di luar pulau."
Frans yang sudah duduk di meja makan mengangguk-angguk paham. Matanya memperhatikan punggung Karina yang begerak kesana kemari di kitchen set. Tak lama kemudian, Karina membawakan beberapa mangkuk dan piring untuk Frans.
"Kamu masak ini buat aku?"
Karina mengangkat satu alisnya dan terkekeh geli. "In your dream."
"Bilang 'iya', kek."
"Itu sisa masakan tadi pagi."
Suara rengekan Bias menginterupsi dua orang itu. Dengan cepat Karina menuju kamarnya, dan menemukan Bias membuka lebar-lebar matanya.
"Hei, udah bangun kamu?"
Bias memamerkan senyumnya, dan Karina tak tahan untuk tidak mencium kedua pipi gembil bayi itu.
"Karin! Ponsel kamu bunyi." Frans yang masih di dapur sedikit berteriak.
Karina berhenti mencium Bias. Sebagai gantinya, ia menggendong bayi itu dan membawanya keluar. "Yuk ketemu Om Frans."
Frans hanya diam memperhatikan Karina yang datang lalu duduk di sampingnya. Mata pria itu kini turun dan memperhatikan Bias yang turut menatapnya.
"Halo?" sapa Karina lewat ponselnya. "Saya di rumah."
"...."
"Ada, ini baru bangun."
"...."
"Tunggu."
Adu tatap antara Frans dan Bias tertutup saat Karina secara tiba-tiba menyerahkan Bias ke pangkuan atasannya.
"Tolong pegang sebentar."
Frans hanya menurut, termasuk ketika tangan Karina menuntun tangannya untuk merengkuh tubuh Bias secara sempurna.
Karina mengarahkan ponselnya ke arah Bias dan tersenyum. "Tuh. Muka bantalnya masih terlihat, kan?"
"Ahahahaha. Iya."
"Siapa sih?" tanya Frans heran saat mendengar suara laki-laki dari ponsel Karina.
Karina hanya melihat Frans sekilas, namun tak menjawab pertanyaan pria itu.
"Ya sudah kalau begitu. Saya matikan ya."
Karina mengangguk. Ia sudah mengubah kamera mode depan pada panggilan video itu. Tak lama kemudian, wanita itu menutup panggilan dan meletakkan ponsel ke dalam tas nya kembali.
"Siapa itu?" tanya Frans lagi.
"Reza." Karin kembali mengambil Bias dan memangkunya.
Frans tak berkomentar. Ia kembali melanjutkan makan siangnya.
.
.
Di belahan wilayah lain, Reza mengusap-usap wajahnya frustasi. Gagal sudah ia menanyakan kapan Karina dan Bias akan berkunjung ke kotanya lagi. Apa susahnya bertanya 'Kamu kapan kesini, Karina?' tiap kali ia menghubungi wanita itu? Tak dapat Reza pungkiri, tidak bertemu Karina dan Bias membuatnya tidak bisa tenang selama lebih dari dua minggu ini. Semua pekerjaan yang ia lakukan selalu terbayangi oleh dua sosok itu.
Reza menyandarkan penuh leher dan punggungnya ke kursi kebesarannya. Matanya terpejam, mau tak mau otaknya memikirkan hal lain yang baru saja mengusik dasar hatinya.
Siapa laki-laki yang menggendong Bias tadi?
.
.
.
.
Jum'at, hari di mana Karina selalu ingin sampai di rumah secepat mungkin akhir-akhir ini. Menghabiskan waktu selama weekend dengan Bias merupakan kegiatan rutinnya yang sangat menghibur. Mulai mengajak bayi itu berbelanja, jalan-jalan, atau bahkan sekedar duduk-duduk sore di taman kota.
Seperti saat ini. Setelah memastikan pekerjaannya telah usai, Karina membereskan semua barang-barangnya dengan segera. Sebenarnya jam pulangnya masih setengah jam lagi, tapi karena pekerjaannya telah usai, ditambah Frans yang tidak ada di kantor karena harus tugas keluar kota sejak dua hari yang lalu, situasi ini membantu melancarkan aksi pulang cepatnya.
"Anggi, saya pulang dulu ya?"
Anggi melirik jam dinding, lalu menatap Karina jengkel. "Mbak, ini masih setengah empat."
"Iya saya tahu. Tapi kerjaan saya sudah selesai semua. Lagian tidak ada naskah yang masuk lagi kan hari ini?"
Kepala Anggi mengangguk. "Iya sih." Kedua tangan Anggi menyangga kedua pipinya sendiri, dan matanya berkilat tertarik. "Besok mau bawa Bias ke mana, Mbak?"
Karina mengedikkan bahu. "Belum ada rencana."
"Kalau berkunjung ke Mas Edgar, Anggi boleh ikut nggak, Mbak?"
Bola mata Karina beputar. "Siapa sebenarnya yang ingin kamu kunjungi?"
Anggi hanya memamerkan cengiran khasnya.
"Sudah ya, Anggi. Kamu kalau pulang hati-hati."
"Iya, Mbak."
Bagi Karina, Anggi adalah orang terdekatnya setelah Frans. Anggi tentu paham dan tahu lika-liku kehidupannya, karena Anggi dan Frans adalah orang yang selalu siap menampung dirinya bagaimanapun keadaanya.
Ah... Sudah lama Karina tidak bersyukur atas orang-orang terbaik yang dimilikinya.
.
.
Mobil Karina berhenti di depan gerbang rumah mungilnya. Lamat-lamat ia memperhatikan mobil yang sudah terparkir di halamannya. Ia kenal siapa pemilik mobil itu. Setelah mematikan mesin, Karina berjalan perlahan mendekat untuk memastikan perkiraannya.
Benar, itu mobil yang Karina kenal. Dadanya tiba-tiba bergemuruh, dengan segera ia melesat masuk ke dalam rumahnya dan berteriak. "Mbak Yati? Mbaaak?"
Yati muncul di ruang tengah saat Karina menginjakkan kakinya di ruang tengah. "Mbak Karina?"
"Bias mana?"
"Itu Mbak, ada di dapur sama tamunya Mbak Karina."
Karina kesulitan menelan ludah. Tiba-tiba ia merasa takut. "Berapa orang?"
"Dua, Mbak. Perempuan semua."
Tepat setelah itu, Karina dibuat membeku di tempatnya oleh kemunculan Linda yang menggendong Bias, diiringi adik Edgar yang mengikuti dari belakang.
"Mbak Karina."
Karina mengacuhkan pelukan hangat dari perempuan yang lebig muda. Kedua matanya hanya terpaku pada Bias yang juga turut menatap langsung matanya.
"Mbak Karina kurusan sekarang. Apa kabar?"
Kepala Karina menoleh. Ia memaksakan senyumnya. "Baik, Marsha."
Marsha turut tersenyum, bersyukur bahwa Karina masih menerimanya.
.
Nampan berisi minuman itu Karina letakkan di atas meja ruang tengah. Linda dan Marsha telah lebih dulu duduk di sofa panjang ruang itu lebih dahulu. Sebelumnya, Karina mempersilahkan Yati untuk pulang, walaupun Karina tahu wanita yang lebih tua lima tahun darinya itu berat untuk meninggalkan dirinya bersama keluarga Edgar.
"Nggak apa-apa Mbak Yati, mereka tamu saya," ucap Karina beberapa saat lalu yang mencoba untuk menenangkan Yati.
Pada akhirnya Yati pulang, dan tersisa dirinya, Bias, dan kedua tamunya di ruang tengah ini.
"Kapan datangnya?" tanya Karina seraya menurunkan kedua cangkir untuk tamunya.
"Nggak lama kok, Mbak."
Karina menegakkam tubuhnya, mengawasi Bias yang sedari tadi tak melepas pandangan darinya. Ingin sekali Karina mengambil alih bayi tersebut dari neneknya sendiri.
"Maaf untuk malam itu, Karina. Mama nggak bisa berbuat banyak."
Lagi-lagi Karina memaksakan senyumnya walau tipis. "Lalu tujuan kalian kesini untuk?"
Marsha menoleh Linda, seakan meminta izin kepada Ibunya untuk membuka suara. "Mbak, kami kesini untuk minta maaf atas perlakuan Papa. Setelah lebih dari dua tahun, kami tidak menyangka kalau Papa masih seperti ini kepada Mas Edgar."
Karina hanya diam, memahami kalimat Marsha satu per satu.
"Sudah lama kami ingin kesini, Mbak. Kami menunggu waktu yang tepat untuk kesini tanpa sepengetahuan Papa." Marsha diam sejenak, menoleh Bias lalu menarik nafas. "Kami ingin bertemu dengan darah daging Mas Edgar. Anaknya."
Tak tahu mengapa, Karina merasa sesuatu seakan menggerus ulu hatinya.
"Dimana Edgar sekarang, Karina?" Kali ini Linda yang membuka suara. Kesedihan tak dapat wanita itu tutupi dari suara dan raut mukanya. "Bagaimana keadaannya? Apa dia bisa sadar lagi? Siapa yang mengurusnya sekarang? Si-siapa yang menemani dia di saat seperti ini?"
Perkataan Linda terhenti karena wanita itu tak sanggup lagi berbicara. Linda menangis tersedu, dan Marsha turut terisak seraya memeluk erat bahu Ibunya.
Karina tergugu. Linangan air matanya menggantung melihat mantan Ibu mertuanya seperti ini.
"Ma-mama tahu Edgar melakukan kesalahan yang besar. Sangat besar." Linda mencoba untuk terus berbicara di sela tangisnya. "Tapi tetap di-dia anak Mama. Dia tetap bagian jiwa Mama. Mana ada Ibu yang bisa tenang di dunia ini kalau mendengar anaknya ko-koma?"
Air mata Karina meleleh. Dengan segera ia menghampiri Linda dan memeluk wanita itu.
"Ba-bawa Mama ke Edgar, Karina. Mama mohon."
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Gimana, gengs? Di kalian masih acakadut ngga part-nya?
Well... enjoy yak. Saya lagi sibuk-sibuknya menjajal hal baru di tengah pandemi, jadinya jarang banget bisa apdet. Maapin 😚
#nggajugasihding
#alasanaja
#sibuknetflixanwoy
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top