5. Sakit
Reza sedikit terkesima menatap bangunan di depannya dari lubang seukuran kepala pria dewasa. Selama beberapa saat sembari menunggu pagar besi yang menjulang tinggi di depannya ini dibukakan, pikiran pria itu malah disibukkan dengan pertanyaan siapa Edgar sebenarnya.
"Cari siapa, Mas?" Seorang pria berseragam hitam-hitam memandangnya heran.
"Saya ingin bertemu Pak Tito."
"Sudah ada janji?"
Reza menggeleng.
"Mas ini siapa?"
"Saya Reza Prayoga. Ada yang ingin saya bicarakan dengan Pak Tito. Ini penting."
Pria di depan Reza kini menautkan kedua alisnya. "Ini sudah setengah sepuluh loh, Mas."
Reza menghela nafas. Setelah macet berjam-jam, inilah halangan kedua yang ia terima. Baru saja Reza membuka mulut, suara wanita di belakangnya menginterupsi.
"Pak Suryo?"
Pria di depan Reza melongokkan kepalanya. Matanya menyipit, memperhatikan wanita berkacamata yang menyembulkan kepalanya dari jendela mobil. "Mbak Karina?"
Reza turut memutar tubuhnya, mengikuti arah pandang pria yang ternyata bernama Suryo itu.
"Mbak ini... Mbak Karina, toh?" ucapnya lagi seraya mendekat, seolah ingin memastikan.
"Iya saya Karina," jawab Karina dengan senyum ramahnya. "Mama sama Papa di dalam, kan?"
"Oh iya, Mbak. Bapak tadi jam 6 sudah sampai di sini."
"Saya ingin ketemu mereka. Boleh saya masuk?"
"Oh... silakan silakan, Mbak." Suryo sedikit berlari menuju gerbang, dan memberi komando dua pria berseragam serupa dengan dirinya untuk membuka pintu. "Silakan masuk."
Reza membuang muka kesal. Dengan segera ia kembali masuk ke dalam mobil dan menjalankan mobil untuk masuk ke dalam. "Tau gitu kamu saja yang dapat tugas birokrasi."
Karina mendengus geli. Matanya melirik ke arah Reza yang kini sudah mengambil ancang-ancang untuk parkir. "Kalau kamu bilang dari kepolisian, pasti dari tadi langsung dibukakan."
Hanya kekehan geli yang meluncur dari bibir Reza.
.
"Mbak Karina ya ini?"
Karina tersenyum. "Iya, Yuni. Ini saya Karina."
Gadis bernama Yuni tersebut membekap mulutnya sendiri. Sepasang matanya nampak dihiasi air mata yang belum tumpah.
"Gimana sekolah kamu?"
Yuni mengangguk, alhasil air matanya terjatuh karena gerakan itu. "Saya sudah mau lulus, Mbak."
"Oh ya? Nggak kerasa loh, Yun."
"Mbak Karina masuk dulu, silakan duduk." Yuni menggeser tubuhnya dan membuka pintu lebih lebar. "Yuni panggilkan Ibu sama Bapak dulu, Mbak."
Karina mengangguk. "Mereka sudah istirahat belum?"
"Belum, Mbak. Ibu sedang lihat tv di atas, Bapak tadi Yuni lihat ada di ruang kerjanya," ucap Yuni seraya menjauh.
Reza yang sedari tadi berdiri diam di belakang Karina sambil menggendong Bias yang tertidur berjalan mengikuti ajakan wanita itu untuk masuk. "Kamu sepertinya sangat dicintai di sini," ucap Reza saat baru saja duduk di samping Karina.
Karina tersenyum. Matanya menerawang ke arah pigora foto kedua mantan mertuanya berukuran super besar yang dipajang di ruang tamu. "Saya menganggap semua pegawai di rumah ini seperti keluarga saya sendiri."
Bibir Reza merapat. Pria itu mengangguk setuju. "Kelihatan sih dari cara Yuni melihat kamu."
Kepala Karina menoleh Reza, sebelum tatapannya turun memperhatikan Bias yang tidur begitu pulas di pangkuan Reza. Tangan wanita itu terulur untuk mengusap setitik keringat di dahi anak mantan suaminya tersebut.
Giliran Reza yang memperhatikan sekitarnya. Bangunan bernuansa krem yang ia lihat dari luar tadi ternyata memiliki interior yang tak kalah mewahnya di dalam. Ruang tamu ini memiliki ukuran luas yang hampir menyamai ukuran rumahnya. Deretan sofa yang memanjang mengingatkan Reza pada ruang tamu istana kepresidenan. Sedangkan beberapa ornamen lampu bernuansa kristal yang menggantung di atasnya menambah kesan ruangan itu lebih berkilau terang.
"Karina?"
Panggilan itu menyadarkan Reza dan Karina dari kegiatannya masing-masing. Keduanya sontak berdiri dan menyambut wanita berumur pertengahan lima puluhan dan berpenampilan anggun yang berjalan pelan menghampiri mereka.
"Anakku..." Wanita tersebut meraih tubuh Karina dan memeluknya erat. Pendar kebahagiaan jelas terpancar dari matanya yang nampak sayu. "Bagaimana kabar kamu, sayang?"
Karina membalas pelukan hangat tersebut. "Baik, Ma. Mama Linda sehat?"
Linda melepaskan pelukannya cepat dan menatap Karina serius. "Cukup Mama, Karina! Jangan ada embel-embel lain!"
Baru saja Karina membuka mulutnya, suara lain yang terdengar berat turut memanggil namanya dan membuat semua orang dewasa yang ada di sana menoleh.
"Papa," sapa Karina sopan.
Sesuai dugaan Reza, Tito Bastian sukses menurunkan paras tegasnya ke wajah Edgar. Pria paruh baya itu bahkan terkesan sedikit lebih angkuh dari anaknya yang kini terbaring koma tersebut.
"Kamu kurusan, Karina," ucap Tito saat Karina baru saja mencium punggung tangan kanannya. "Kabar kamu baik?"
"Baik, Pa."
Mata Tito mengarah ke belakang punggung Karina. Mata yang sudah terhalangi oleh kacamata tersebut melihat Reza penasaran. "Suami dan anak kamu?" tanyanya pada Karina.
Reza mendekat, mengulurkan tangannya untuk menjabat Tito. "Pak Tito Bastian, saya Reza Prayoga."
"Reza ini dari kepolisian, Pa," jelas Karina. "Bukan suami Karina."
Tito mengerutkan keningnya. Setelah menatap istrinya, pria itu menghela nafasnya. "Kita bicarakan di ruang tengah."
Keempat orang itu berjalan menuju ruang tengah yang terletak lebih dalam dari ruang tamu rumah itu. Reza mengartikan bahwa ruang tengah yang ia masuki ini adalah ruang keluarga. Walaupun tak semewah ruang tamu, ruang keluarga ini tetap memiliki aura mahal dari furnitur simpel nan elegannya.
"Jadi... untuk apa seorang polisi datang ke rumah saya malam-malam begini?" Tatapan Tito turun ke bayi yang berada di atas pangkuan Reza. "Bawa bayi pula."
Reza menatap Karina, meminta izin kepada wanita itu untuk membuka suara. "Pak Tito, sebelumnya saya meminta maaf karena datang pada waktu yang tidak tepat untuk bertamu. Kendala di perjalanan menyita banyak waktu kami." Reza membuka pembicaraan dengan penuh berhati-hati. "Tiga hari yang lalu, anak Bapak, Edgar Bastian mengalami kecelakaan mobil di sektor wilayah yang saya naungi."
Dapat Karina rasakan perubahan wajah Linda. Mantan Ibu mertuanya tersebut membuka mulutnya, nampak tak percaya dengan ucapan Reza.
"Menantu Bapak, Sheryl Tambunan meninggal di tempat. Sedangkan anak Bapak kini sedang koma di rumah sakit."
Kini Linda membekap mulutnya, sedangkan Tito hanya menarik nafasnya dalam-dalam.
"Penumpang lain yang selamat adalah cucu Bapak." Kepala Reza menunduk menatap Bias. "Namanya Bias, berumur enam bulan."
Isakan kecil lolos begitu saja dari mulut Linda. "Edgar," gumamnya lirih.
"Saya kesini, dengan meminta bantuan dari Karina, ingin memberitahu tentang info tersebut sekaligus menyerahkan Bias, Pak." Reza menunduk, kembali menatap Bias. "Karena Bias butuh keluarganya."
Hening selama beberapa saat menyelimuti ruangan itu. Reza memilih diam, karena memang hanya itu yang ingin ia katakan. Ia menunggu respon dari Tito, namun pria paruh baya itu nampak seperti tidak ingin barang sedikitpun mengeluarkan suaranya.
"Pa?" Suara Linda begitu lirih memanggil Tito. "Kita ke Edgar, Pa."
"Untuk apa?"
Reza dengan cepat menunduk saat ia merasa tangan lain yang lebih kecil dari tangannya menggenggam tangannya yang sedari tadi memeluk Bias dengan hangat. Pria itu lalu menoleh, dan melihat Karina yang menatap kedua orang tua Edgar dengan cemas.
"Edgar koma, Pa."
"Lalu apa hubungannya dengan kita, Ma?
"Pa!"
Tito berdiri tiba-tiba. Matanya menajam menatap Reza. "Dengan segala hormat, Pak Reza Prayoga." Suara Tito terdengar sarat akan keangkuhannya. "Terima kasih telah menemui saya dan menyampaikan kabar tidak penting malam-malam begini."
Reza nampak ingin menyela, namun getaran tangan Karina yang masih menggenggam tangannya mengurungkan niat tersebut.
"Yang perlu anda ketahui, ayah dari bayi itu bukanlah anggota keluarga kami," tegas Tito seraya menunjuk tepat ke arah Bias. "Dan apa anda bilang tadi? Menantu? Perlu anda ketahui juga, bahwa tidak pernah ada menantu seperti pelacur itu, terdaftar sebagai anggota di keluarga ini. Selamanya."
"Papa!" seru Linda.
"Kita masuk, Ma." Tito menarik tangan Linda, dan membawa istrinya pergi.
"Tapi bagaimana nasib Bias, Pak?"
Tito yang sudah mulai berjalan berhenti. Pria itu membalikkan badan, dan mendekati Reza. "Masih banyak panti asuhan di kota ini. Perlu saya bantu untuk mencari?"
Tangis Linda benar-benar tumpah mendengar ucapan suaminya, sekujur tubuh Reza menegang menahan amarah, sedangkan Karina tak bisa melakukan apa-apa selain menatap nanar mantan Ayah mertuanya.
.
.
Rumah yang ditinggal penghuninya lebih dari dua hari itu tiba-tiba berubah terang saat Karina menyalakan saklar lampu. Perlahan, Karina yang menggendong Bias berjalan di depan Reza, dan menuntun pria itu menuju dapur.
"Saya tidurkan Bias di kamar dulu. Silakan kalau ingin membuat minuman, semuanya ada di rak dapur."
Sepeninggal Karina, Reza tak melakukan apa-apa selain duduk di salah satu kursi makan. Matanya menerawang ke arah jendela, memperhatikan langit malam yang berwarna merah dengan diam.
Ah... Reza tak menyangka apa yang baru saja ia alami. Memang apa yang tela diperbuat Edgar sedemikian rupa hingga orang tuanya sendiri memperlakukan pria itu seperti ini?
Suara pintu yang menabrak dinding karena hembusan angin kencang dari arah ruang tamu membuat Reza menoleh. Perlahan, pria itu berjalan dan menutup pintu rumah. Saat baru saja ia kembali ke dapur, kakinya berhenti di ruang tengah. Reza memperhatikan seksama ruangan mungil dengan sofa panjang dan lebar, serta televisi yang diapit beberapa pigora kecil di hadapannya.
Reza memajukan tubuhnya, memperhatikan satu per satu foto dalam pigora tersebut.
"Siapa yang kamu cari?"
Kepala Reza mendongak, mendapati Karina tersenyum kecil seraya berdiri dan membawa dua cangkir berbeda isi. Dapat Reza tangkap sisa air mata yang membuat mata wanita itu berkaca-kaca.
"Saya penasaran kenapa tidak ada foto kamu di sini."
Karina duduk dan meletakkan cangkir yang ia pegang di atas meja. "Untuk apa? Tidak ada yang perlu diabadikan dari diri saya."
Reza duduk tepat disebelah Karina, melirik apa yang wanita itu bawakan untuknya. Namun kedua mata Reza malah terpaku pada bungkus rokok yang berada yang nampak menyembul sedikit di bawah meja.
"Kamu pasti akan memilih itu kan kalau saya tawari yang lain?"
Kepala Reza terangkat cepat. Ia lalu meraih cangkir tesebut dan meminumnya hingga tandas. "Tidak ada yang lebih baik dari air mineral."
Karina mengangguk-angguk bosan.
"Kamu... tinggal sendiri di sini?"
"Apa rumah ini terlihat memiliki penghuni lain?"
"Bukan begitu." Reza tertawa kecil dan memilih membuang jauh-jauh rasa ingin tahunya. "Oh ya di mana hotel yang murah di kota ini?"
"Untuk apa cari hotel?"
Reza menyandarkan punggung dan lehernya. "Saya lelah, seharian ini cukup banyak menyita tenaga."
"Apa ada yang salah dengan rumah saya?"
"Maksud kamu?"
"Menginap saja di sini."
Reza terdiam, berusaha sekuat tenaga menghalau radiasi panas yang tiba-tiba merambat perlahan di kedua pipinya.
Karina meletakkan cangkir kopinya, dan turut menyandarkan punggungnya seperti yang Reza lakukan. Kedua manusia itu saling terdiam dengan pemikiran yang berbeda satu sama lain.
"Maaf atas kejadian tadi."
Reza kembali menoleh.
"Maaf sudah menyeret kamu dalam permasalahan ini."
"Saya tidak menyesal. Sama sekali," sahut Reza cepat.
Karina menoleh, membalas tatapan Reza. "Tapi kamu orang lain dalam lingkaran ini, Reza."
"Ini semua untuk Bias, Karina. Saya tidak menyesal."
Mata Karina terpejam, menghalau air mata yang mulai terkumpul. Tenggorokkan wanita itu mulai terasa perih. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa."
Reza menahan perkataannya dan memberi waktu bagi Karina untuk menenangkan diri serta mengatur nafasnya. Secara seksama Reza memperhatikan kedua mata yang kini tidak terhalangi kacamata itu terpejam erat. Dapat Reza rasakan banyaknya emosi yang terakumulasi di sana. Mata lembut yang selalu mencoba menunjukkan ketajamannya itu kini nampak tak berdaya. "Mungkin kamu bisa membujuk mantan Ayah mertua kamu?" tanya Reza perlahan.
Karina membuka mata, dan meloloskan butiran air yang sedari tadi ia tahan mati-matian. "Papa jauh lebih keras dari Edgar. Dia nggak akan merubah pendiriannya secepat yang kita harapkan."
Mata Reza menyipit, menatap penuh tanya. "Sebenarnya apa yang membuatnya seperti itu?"
Selama beberapa saat Karina terdiam. Ia memalingkan wajahnya dan menerawang menatap ke depan.
.
.
.
Masih segar dalam ingatan Karina masa-masa terkelam dalam hidupnya membuatnya hampir gila menjalani sisa kehidupannya. Belum puas takdir menyiksanya dengan perselingkuhan suaminya, kehidupan bayi di dalam kandungannya seolah-olah menjadi ancaman tersendiri tiap kali ia bergerak memperjuangkan kebahagiaannya.
Saat itu, di siang yang tidak terlalu terik, saat Karina merasakan hantaman kuat di relung terdalam hatinya. Ia menangis sejadi-jadinya di dalam batinnya. Ia mencoba terlihat tegar dan tak membiarkan siapapun melihat air matanya. Yah... ia sudah lemah sejak lama sebenarnya, dan pemandangan bagaimana Edgar mencium wanita yang pernah ia panggil jalang dengan penuh perasaan di ruangan kantor pria itu, dengan cepat meluluhlantakkan semua yang ia pegang. Kepercayaan, kasih sayang, bahkan sebuah perasaan bernama cinta.
Tak ada yang tahu betapa hancurnya Karina saat wanita itu berjalan terhuyung keluar dari bangunan yang terlabel marga pria yang ia cintai itu dengan tatapan kosong tak bernyawa. Bahkan, Karina tak tahu bahwa sesaat setelah itu, nyawanya nyaris pula terangkat dari jiwanya karena hantaman mobil yang membentur tubuhnya.
Karina tertabrak, menabrakkan diri lebih tepatnya. Tak ada lagi sumber kekuatannya di dunia ini, dan satu-satunya orang yang selama ini ia percaya dan ikuti telah membakar itu semua hingga tak bersisa. Ia pikir, dengan melakukan ini semua, setidaknya ia tak akan merasakan lagi sakit yang bertubi-tubi di dunia ini.
Namun ternyata Tuhan menyiapkan kesakitan yang lebih hebat dari yang Karina bayangkan. Saat ia diberi kesempatan lagi untuk membuka mata dan menyadari semuanya.
"Karina?"
Karina hanya terdiam saat Linda memeluk tubuhnya yang banyak terbalut perban dengan pelukan yang begitu hangat. Linda menangis saat itu, dan sosok lain yang Karina tangkap adalah Tito yang menatapnya iba. Tak ada yang bisa Karina ucapkan saat itu, ia berharap semua yang ia alami tidaklah nyata. Namun saat Linda kembali bersuara, ia seakan ditampar untuk menyadari kenyataan yang menimpanya.
"Yang kuat ya, anakku." Linda membelai puncak kepala Karina dengan sayang. "Semua yang diambil pasti memiliki pengganti."
Hanya air mata yang sanggup Karina jawab. Sekujur tubuh dan hatinya terlalu lelah untuk menerima semua sakit yang bertubi-tubi ini. Ia bahkan hanya sanggup mendengar samar-samar Tito bertanya dengan penuh emosi kepada Linda dimana anak lelakinya berada.
"Pria macam apa anak itu?"
"Mungkin Edgar sibuk, Pa. Daritadi Marsha juga terus hubungi dan cari Edgar kemana-mana, tapi nggak ada hasil."
Tito menggeram. "Kamu selalu bela anak itu, Ma!" desis Tito.
"Mama nggak bela Edgar, Pa! Bisa saja kan-"
"Apa yang sudah pernah Papa bicarakan tentang objektif terhadap anak sendiri, Ma? Kamu nggak pernah bisa lakukan itu."
Sungguh Karina ingin meminta supaya ia segera disuntik mati saja. Karina kembali menutup matanya, berharap Tuhan menarik keputusan-Nya dan mengizinkannya untuk pergi dari dunia ini.
Namun Tuhan lagi-lagi tidak membiarkan Karina mendapat apa yang ia minta hingga ia menghadapi permintaan cerai dari suaminya.
"Maaf, Karina. Maaf," ucap Edgar pada suatu malam saat Karina sudah pulih dari kecelakaannya. "Aku mencintai dia."
Karina menggigit bibirnya, menahan tangis yang sebenarnya sudah lelah ia tuangkan. "Lalu cinta kita?" tanyanya lirih.
Edgar memeluknya erat. Membisikkan sesuatu tepat di telinga Karina. "Maaf, seharusnya aku bilang lebih awal kalau perasaan itu sudah hilang sejak lama."
Perceraian itu terjadi, dan Tito sama sekali tak menyukainya. Pria itu berang terhadap apa yang dilakukan anak sulungnya. Ditambah lagi kenyataan di balik perceraian itu, membuatnya menolak mentah-mentah kehadiran Edgar dan pasangan barunya di keluarganya sendiri. Tito sama sekali tak peduli bagaimana kehidupan Edgar setelah itu. Secara tidak langsung, ia mencoreng Edgar yang merupakan darah dagingnya sendiri dari kehidupan keluarganya.
Tito dihantui perasaan bersalahnya kepada Karina selama beberapa hari setelah pengusiran Edgar dari rumahnya. Berhari-hari pria itu mengurung dirinya sendiri di dalam kamar untuk menyesali dosa apa yang sudah ia lakukan dalam hidupnya di masa lalu hingga mendapat balasan perlakuan seperti ini dari anak laki-lakinya yang selalu ia banggakan. Kesehatan Tito bahkan menurun dan mengharuskannya dirawat di rumah sakit. Mendengar kabar mantan Ayah mertuanya yang jatuh sakit, Karina datang untuk menjenguk. Dan apa yang didapat wanita itu setelah datang adalah, Tito yang menangis tersedu seraya terus mencoba untuk berlutut di depannya.
"Maafkan Papa, Karina. Maaf."
Karina mengangkat tubuh Tito. Kepalanya menggeleng kuat. "Tidak, Pa! Bangun! Jangan seperti ini!"
"Papa gagal mendidiknya."
"Pa, ayo bangun!" Berkali-kali Karina mengangkat tubuh Tito yang berlutut sempurna di depannya.
"Papa menghancurkan hidup kamu."
"Tidak perlu seperti ini, Pa!"
"Maaf."
Karina turut berlutut dan memeluk Tito, pria yang ia anggap sebagai Ayah yang tidak pernah ia miliki tersebut dengan lembut. Tangisnya jatuh melihat pria yang selalu nampak tegas di depannya ini terlihat begitu bingung dan rapuh.
"Ini bukan salah Papa. Papa harus sembuh, harus seperti dulu." Karina menarik nafas dalam menyiapkan harapan di hatinya. "Karina pasti baik-baik saja nanti, Pa. Karina pasti akan bahagia. Papa, Mama, dan Marsha juga."
Tito hanya membalas dengan pelukan untuk Karina seorang. Tekad Karina menyadarkannya saat itu, bahwa apa yang sudah terjadi tidak perlu disesali secara berlebih. Apa yang sudah terjadi, seharusnya bisa membuatnya lebih optimis lagi.
.
.
.
Entah apa yang mendorong tubuh Reza mendekat saat ia melihat Karina bercerita dengan mengurai air mata yang mengalir deras. Reza tak memikirkan hal lain saat ini, selain ia hanya tak ingin melihat Karina menangis. Dengan cepat, pria itu meredam tangis Karina di dadanya, karena kini Reza tengah memeluk wanita yang membuatnya sedikit kacau akhir-akhir ini.
Tak ada kata-kata yang terucap dari dua orang tersbut. Karina yang merasa sakit saat mengingat masa lampau, menyambut pelukan Reza dan menumpahkan air mata yang lagi-lagi gagal untuk ia tahan. Sedangkan Reza yang terdiam, sadar bahwa setelah ini, ia tak ingin melihat Karina menumpahkan air matanya lagi.
Secara tidak sadar, pria itu telah bertekad di dalam hatinya sendiri.
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Met malming man-teman. Waktu saya republish chap ini kebetulan Surabaya lagi hujan. Wkwkwk...
Betewe Mbak di atas itu Karina yaw... bukan saya. Ehe
*pembacaautolemparhujatan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top