4. Rindu
Pada akhirnya, Reza memilih pujasera di area taman kota sebagai tempat untuk sekedar melepas dahaga. Air mineral untuknya, dan es kopi untuk Karina tersaji di atas meja yang sekaligus menjadi penyekat di antara mereka. Karina yang masih tak banyak bicara sejak tadi, ditambah Bias yang malah semakin terlelap membuat Reza yang memang tidak memiliki banyak kemampuan untuk mencairkan suasana, merasa mulai semakin tenggelam.
"Kamu kerja apa, Karina?" Reza memulai basa-basinya dengan pertanyaan sestandar ini.
Karina menoleh. Wajah datar perempuan itu sedikit menceloskan hati Reza. "Majalah," jawab Karina.
"Reporter?"
"Editor."
Reza mengangguk-angguk kecil, dan suasana kembali hening.
"Kamu... punya kontak kerabat Mas Edgar?" Reza menunggu respon Karina yang nampak berpikir. "Mereka pasti butuh kabar Mas Edgar dan Bias."
"Saya ragu."
"Maksudnya?"
Karina menatap Reza resah. "Hubungan Edgar dan keluarganya tidak baik."
Reza kini menangkap alasan mengapa tidak ada nama keluarga Edgar di ponsel pria itu, bahkan sekedar nama 'Ayah' atau 'Ibu'. "Sebenarnya saya hanya perlu orang atau tempat untuk mengurus Bias, karena saya tidak mungkin terus-terusan meminta tolong sama kamu, sedangkan sampai sekarang belum ada tanda-tanda Mas Edgar akan sadar dari komanya." Reza menarik nafas dalam-dalam. "Tapi saya juga tidak mau kalau Bias diurus oleh orang yang kurang tepat."
Bias yang menggeliat menurunkan pandangan Karina. Wanita itu memilih diam karena ia sendiri juga tidak tahu bagaimana setelah ini nasib bayi yang ada dipangkuannya.
"Gerimis. Kita pulang?"
Reza sudah berdiri dan mengibat-kibatkan jaket kulitnya. Karina yang baru saja turut berdiri cukup terkejut dengan sentuhan jaket Reza yang memayungi kepala dan punggungnya. Reza memegang kedua pundak Karina dan membimbing wanita itu untuk berjalan di sela gerimis yang mulai membesar. Tak ada percakapan lagi yang terjadi di antara keduanya saat Reza membukakan pintu mobil untuk Karina, hingga mereka melalui perjalanan yang membawa mereka menuju rumah sakit.
.
.
.
Hanya suara detik jam dinding, mesin pendeteksi denyut jentung, serta ketukan sisa hujan di jendela yang mendominasi ruangan itu. Di antara ketiga orang, hanya tersisa satu yang memegang kesadaran di sana. Namun tetap saja, ia tak ingin membuka suara karena pria yang terbaring di hadapannya kembali mengingatkan batinnya kepada luka.
Ya, Karina selalu terluka saat menatap wajah Edgar, mantan suaminya. Tidak di masa lalu, tidak pula di masa sekarang.
Menghapus setitik air yang menggantung di kedua matanya, Karina memilih untuk keluar dari lingkaran luka tersebut. Karina berjalan mendekat, lalu membaringkan tubu mungil Bias di samping Edgar tanpa berniat menatap wajah pria itu sekali lagi.
Setelah Reza mengantarkannya ke depan rumah sakit beberapa saat yang lalu, Karina tanpa sadar melangkahkan kakinya menuju ruang rawat Edgar. Tak ada alasan pasti, Karina hanya merasa Bias harus tahu keadaan ayahnya, dan begitu pula sebaliknya. Setidaknya masing-masing dari mereka harus tahu jika ada anggota keluarga yang tersisa untuk mereka.
Pintu ruangan terbuka. Sosok yang pernah Karina jumpai saat pertama kali bertemu dengan Reza kemarin menyambutnya dengan sedikit terkejut.
"Oh, maaf. Saya tidak tahu kalau ada orang."
Karina menyunggingkan senyum tipis dan berjalan mendekati Bias. "Saya pikir Bias harus tahu keadaan ayahnya,Dok. Makanya saya baringkan dia disini," jelasnya seraya kembali menggendong tubuh Bias.
Pria berjas putih tersebut tertawa kecil. "Tidak apa-apa. Pak Edgar juga harus tahu kalau anaknya sedang menunggunya untuk membuka mata." Mata pria itu menatap Karina dengan hangat. "Saya Burhan kita belum berkenalan saat itu."
"Saya Karina."
Karina lalu mundur, dan berdiri mengawasi bagaimana dokter tersebut memeriksa keadaan Edgar. Ada perasaan miris yang kembali hinggap di batinnya saat melihat pria yang dulu sangat ia cintai terbaring lemah tanpa daya seperti saat ini.
Burhan mengantongi senter kecil yang baru ia gunakan untuk memeriksa reaksi kedua pupil mata Edgar. Tak lupa pria paruh baya itu menaikkan selimut pasiennya dengan baik. "Ada yang sedikit ganjal dari keadaan Pak Edgar."
"Kenapa, Dok?"
"Sebenarnya semua sudah normal sejak tadi pagi. Harusnya Pak Edgar sudah siuman saat ini."
Karina terpaku sesaat mendengar perkataan Burhan. "Lalu? Kenapa dia masih belum bangun?"
"Akan kami lakukan pemeriksaan mendalam sekali lagi untuk mencari tahu." Burhan menoleh Karina. "Di lain sisi, harus ada stimulus yang baik untuk membuat semangat Pak Edgar bangkit."
"Stimulus?"
"Coba ajak berbicara. Buat Pak Edgar merasa kalau dirinya sedang ditunggu oleh orang-orang terkasihnya."
Terkasih? Rasanya Karina ingin tertawa sekarang. Yang benar saja...
"Kondisi Pak Edgar sekarang, seperti tidak ingin bangun dari tidurnya walau sebenarnya tubuhnya sudah mampu."
.
.
.
.
Reza mengusap rambutnya yang ternyata belum sepenuhnya kering saat ia berjalan menuju meja makan. Tampak di sana, wanita berambut sebahu sedang menunggunya dengan sorot mata penuh kelembutan.
"Kebiasaan kamu ini. Keringkan dulu rambutnya."
Tangan Reza malah menarik kursi dan duduk di sana. "Sudah tadi, Bu."
Helda, nama wanita itu. Wanita yang kini menopangkan sisa hidupnya di atas kursi roda. "Kemana lagi setelah ini? Patroli?"
Reza menggeleng dan menggigit tempe goreng di tangannya. "Ke rumah sakit."
Raut wajah Helda berubah cemas. "Nak Edgar belum sadar ya?"
"Belum, Bu. Reza kasihan sama anaknya."
"Kamu bilang sudah ada mantan istri Edgar yang mengurusnya."
"Ya tapi mau sampai kapan, Bu? Karina kan sekarang orang lain bagi Edgar."
Helda memilih menuangkan minum di gelas anaknya. "Jadi namanya Karina?
Reza mengangguk sambil mengambil sayur bening yang baru disajikan Marni, wanita yang menemani dan membantu Helda sejak wanita itu divonis tidak dapat berjalan lagi.
"Umur Edgar cuma lebih tua dua tahun dari kamu, tapi sudah pengalaman menikah dua kali." Helda menghindari tatapan Reza dengan menusuk dadar jagung di piring lauk. "Kok kamu satu aja belum ya, Za?
"Kasihan nanti istri Reza, Bu. Ibu mertuanya galak."
"Istri Andika nggak pernah bilang tuh kalau Ibu ini galak," sahut Helda tak terima. "Mas mu malah bilang kalau Anggi lebih sayang Ibu daripada Sandra."
"Ya nggak lah, Bu. Mbak Sandra ikut suaminya ke luar kota kan memang kewajibannya sebagai istri. Jangan banding-bandingkan anak sama menantu ah! Nggak enak didengar."
Helda mendengus. "Anak bungsu itu seharusnya selalu bikin Ibunya senang. Tapi kamu nggak pernah, Za."
Reza terkekeh, menoleh Ibunya dengan rasa sayang. "Ibu ingin apa sih?" tanyanya lembut.
Air muka Helda berubah sedih tiba-tiba. "Ibu cuma ingin kamu ada yang mengurusi. Ada yang menunggu kamu di rumah. Ada yang kamu perjuangkan dari hasil kerja kamu selama ini." Helda menghela nafas prihatin. "Umur kamu ini seharusnya sudah punya anak satu lho, Za."
Kali ini Reza tertawa. "Ibu memangnya nggak sedih kalau Reza sudah jadi milik perempuan lain?"
"Kamu ini bicara apa? Nggak ada Ibu di dunia ini yang punya pikiran seperti itu, Za."
Reza menahan senyum dan menarik nafas dalam-dalam. "Kalau begitu jangan putus do'ain Reza ya, Bu."
.
.
.
.
Karina menutup pintu kamar mandi ruang rawat Bias dengan perasaan yang lebih segar. Menidurkan Bias setelah memisahkan bayi itu dari Ayahnya ternyata lumayan sulit juga. Saat berada di dekat Edgar, Bias tertidur dengan begitu lelap. Namun saat Karina membawanya kembali ke rawat inap, bayi itu malah terbangun dan membuka matanya lebar-lebar.
Kepala Karina menengok arah jam dinding. Pukul sembilan lewat. Menurutnya ini tidak terlalu malam, tapi mengapa tubuhnya sedikit menggigil? Apakah karena ia mencuci rambutnya malam ini?
Pintu ruangan diketuk tiga kali dari luar sebelum terbuka. Karina bahkan belum menyuruh pengetuk itu untuk masuk.
"Dokter Burhan bilang kamu ke kamar rawat Mas Edgar siang tadi."
"Hm... Bias butuh ketemu Papanya."
Reza memperhatikan sejenak bagaimana perempuan itu mengeringkan rambut. "Lalu keadaan Bias sendiri bagaimana?"
"Dokter bilang Bias sudah pulih total. Besok Bias boleh keluar rumah sakit."
Kepala Reza mengikuti arah mata Karina, dan nampak lega menemukan Bias yang tidur di atas ranjang rawat mungilnya. Reza kembali menatap Karina "Saya sempat mengira kamu pulang."
Karina tersenyum tipis. "Belum."
"Sudah makan?" Reza mengangsurkan tas kain yang sedari tadi ada di tangannya.
"Apa itu?"
Reza mendekat. "Nasi, sayur bening, dan beberapa lauk."
Mata Karina tak lepas dari tas yang diangsurkan Reza. Ada sedikit kebingungan yang kini hinggap di benaknya. "Ini untuk saya?"
"Buat siapa lagi? Mas Edgar? Bias?" Reza menutup pertanyaannya dengan kekehan kecil. Tangannya yang terulur kembali mengkode Karina untuk mengambil tas yang masih ia pegang. "Cepat makan, nanti keburu dingin."
Karina menerima tas tersebut. Dibukanya sedikit, ternyata sebuah rantang besi berwarna putih dengan motif bunga. "Terima kasih."
Reza tersenyum. Begitu tulus di mata Karina. "Sama-sama."
"Duduk dulu." Karina meletakkan rantangnya dan berjalan menuju nakas di samping ranjang Bias. "Mau kopi kaleng? Tapi sudah tidak dingin."
"Air mineral saja. Ada?"
Karina mendengus. "Hidup kamu sehat sekali ya?" Karina berjalan dengan membawa botol mineral dan kopi kaleng di tangannya. Wanita itu duduk di sofa panjang bersebelahan dengan Reza.
"Bagaimana perkembangan Mas Edgar?"
"Kata dokter, Edgar sudah membaik. Bahkan seharusnya sudah siuman."
"Nyatanya?"
"Belum," sahut Karina santai. Wanita itu mencuil sedikit ayam goreng dan memakannya.
Lama Reza terdiam. Matanya menatap lekat-lekat Bias yang terlelap. Terlintas sejenak di pikirannya untuk menitipkan Bias kepada Marni. Namun Reza segera menggeleng pelan. Marni cukup sibuk dengan pekerjaannya. Menitipkan Bias hanya akan mempersulit kerja wanita itu. Atau Ibunya saja? Oh... otak Reza pasti sakit kalau ia menyetujui hal itu.
Sesekali Reza memperhatikan Karina yang makan dengan lahapnya. Entahlah, Reza rasa ada sedikit sisi angkuh dari perempuan tersebut. Padahal jika Karina menghubunginya untuk sekedar meminta bantuan membelikan makanan, Reza pasti akan melakukannya dengan senang hati?
Pasti dengan senang hati? Memang siapa dia?
Reza menggeleng tak percaya dengan perang kata di otaknya. Tak ayal, senyum kecil muncul di bibir pria itu.
"Kamu sakit kepala?"
Kepala Reza menoleh Karina. "Nggak."
Karina memperhatikan Reza sesaat sebelum kembali menekuni makan malamnya yang kini tinggal separuh.
"Em... Karina?" Panggilan Reza kembali membuat Karina menoleh. "Saya rasa saya benar-benar butuh kontak kerabat Mas Edgar."
Belum ada sahutan dari Karina.
"Saya tidak tahu lagi ke mana harus mencari pengasuh Bias selama Papanya dalam kondisi seperti ini. Saya ragu kalau menitipkan Bias pada karyawan Mas Edgar. Selama ada keluarganya, kenapa harus orang lain?"
Karina menghelas nafas dan memandang Bias. "Nggak gampang untuk kasih pengertian kepada keluarga Edgar."
"Setidaknya akan saya coba terlebih dahulu."
"Kalau mereka menolak?
"Dicoba dulu Karina. Bias adalah keluarga mereka juga. Apa iya mereka tega membiarkan Bias begitu saja?"
"Kalau begitu sama saya."
Kening Reza berkerut mendengar Karina menyelanya cepat. "Sama kamu?"
Karina mengangguk, lalu menatap Reza mantap. "Kita temui mereka bersama."
Entahlah. Reza kini berusaha meredam sensasi aneh di perutnya. "Besok sepulang saya bekerja. Bagaimana?"
"Oke."
.
.
Esok sorenya, Karina berkemas dengan perasaan resah tiada ujungnya. Berkali-kali wanita itu menghela nafas berat hingga menjadi pusat perhatian Bias yang berbaring di sebelahnya. Tatapan Karina beralih ke Bias, memikirkan bagaimana nasib anak itu setelah ini. Di sampingnya, Bias menunjukkan senyum dan tawanya.
Karina menyandarkan punggungnya di sofa. Ia takut tentu saja. Sudah lebih dari dua tahun Karina tak menemui mereka, apakah mereka akan menerimanya hadir di sana? Apakah mereka juga akan bisa menerima Bias. Astaga, Karina sedikit menyesali keputusannya mengikuti Reza untuk pulang ke kotanya.
Tidak tidak.
Kepala Karina menggeleng. Setidaknya kalau Karina pulang, perempuan itu memiliki kesempatan untuk menemui Frans dan merundingkan hal ini.
Ponsel Karina berdering, nama Reza tertera di sana.
"Saya sudah di parkiran."
"Oke, tunggu lima belas menit."
Setelah mematikan sambungan, Karina menyampirkan tas dan menggendong Bias ke dalam pelukannya. Langkah perempuan itu menggiringnya menuju kamar rawat Edgar. Selama beberapa saat Karina menatap wajah damai pria yang berara di ambang batas kehidupan itu, satu tangan mungil Bias terarah ke ayahnya, dan berusaha mencari perhatian dari sosok yang berbaring tak sadarkan diri itu.
Untuk beberapa saat, tak ada ungkapan yang sanggup Karina ucapkan. Sejak pertama kali Karina menginjakkan kakinya ke rumah sakit ini untuk melihat keadaan mantan suaminya dengan seksama, momen inilah yang membuat Karina terpaku sekaligus tak tahu harus berbuat apa.
Sapuan perasaan rindu menghampirinya secara menggebu-gebu. Wajah tampan yang kini terhiasi goresan luka serta jambang tipis itu tak mengurangi aura angkuh namun hangat yang terpancar dari sana. Khas Edgar sekali, dan Karina menghafal aura tersebut saat keduanya masih bersama.
Dulu... saat Karina begitu mencintai Edgar dan bermimpi untuk hidup bersama dengan pria itu hingga tua.
Karina memejam dan menggeleng kuat. Tak ayal setetes air matanya menetes karena gerakan tersebut. Sebisa mungkin Karina mengatur nafasnya. Dipandangnya lagi wajah Edgar. Hatinya kini kembali siap untuk berkomunikasi dengan pria itu.
"Aku akan ke rumahmu, Mas." Lirih, namun cukup bisa didengar oleh Bias yang langsung mendongak menatap Karina. "Berdo'alah supaya Bias diterima di sana."
Kaki Karina berlalu dari sana. Wanita itu tak ingin berlama-lama tenggelam oleh kenangannya.
.
.
Selama perjalanan, diam-diam Karina memperhatikan Reza yang menyetir di sampingnya. Pria itu mengenakan setelan celana jeana, kaos dan jaket hitam yang membuatnya tampak ingin menghadiri sebuah pemakaman.
"Semoga kita nggak terlalu malam untuk bertamu," ucap Reza karena pasrah menyadari kemacetan di depannya. "Paling tidak kesempatan kita hanya sampai besok."
"Besok kamu libur?"
Reza mengangguk. "Saya minta ganti libur."
Karina mendengus. "Enak ya jadi kepala sektor wilayah?"
Giliran Reza yang mendengus. "Nggak juga. Sebelumnya saya nggak pernah meminta ganti libur."
Percakapan mereka diinterupsi oleh rengekan kecil Bias. Bayi itu bergerak tak nyaman di dalam pangkuan Karina.
"Reza?"
Sensasi aneh kembali hadir di dalam tubuh Reza saat Karina pertama kali memanggil namanya. "Ya?" Sebisa mungkin Reza fokus dengan jalanan di depannya.
"Bisa cari rest area? Pampers Bias harus diganti."
Reza mengangguk. "Oke, kita cari dulu."
.
.
.
Bersambung...
.
.
.
Sepanjang checking cerita ini sebelum publish tadi saya kepikiran satu hal yang mau saya sampaikan kepada readers. Tapi menjelang akhir part, saya benar-benar lupa.
Ya sudah lah... kalau begitu saya mau bilang selamat membaca aja.
.
.
.
"Ya ampun... apakah ini yang dinamakan spoiler surga? 😚"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top