16. Sakitku, Benciku, Cintaku...

Di setiap malam sejak Reza pulang dari kunjungannya, Karina selalu dilanda resah serta takut yang menyiksa tiap kali menatap wajah mantan suami yang terbaring lemah di kamarnya. Tiap kali menatap wajah itu, batin Karina seolah bergejolak hebat hingga membuat amarahnya meledak karena tak habis pikir dengan kebodohan hatinya sendiri. Edgar mampu dengan mudah melemparnya kembali ke masa lalu, masa indah dimana jantungnya selalu berdegup menyenangkan karena luapan cinta yang Karina rasakan. Dan secara tak langsung, pemakluman tanpa permisi pun kembali datang.

Ego bodoh Karina memaksa untuk kembali mengasihani Edgar seperti dulu kala, merawat pria itu dengan sepenuh hati, melupakan semua kesalahannya di masa lampau dan bahkan mungkin yang paling terbodoh adalah berniat kembali menyambut pria itu di kehidupannya lagi.

Namun di saat bersamaan, logika Karina selalu menampar dan menyadarkannya dari kenyataan. Semakin lemah ia di hadapan Edgar, semakin luluh pula hatinya untuk pria itu. Ia tidak mau, cukup sekali saja ia terjerat di dalam waktu yang menyakitkan baginya di masa lalu. Lagipula ada Reza yang berada di depannya untuk menopang segala kelemahannya. Hanya pria itu yang bisa membuatnya lupa akan cinta bodohnya yang masih tersisa.

Hanya saja... sebaik-baiknya Reza, secinta-cintanya pria itu dengan dirinya, apakah ia siap untuk membohongi dan menyiksa hatinya sendiri untuk hidup dengan Reza?

Malam ini, dan seperti malam-malam sebelumnya, Karina kembali menangisi sendiri nasibnya di kegelapan ruang tengah rumahnya. Mengapa... seakan-akan tersedia pemakluman yang menganga begitu luas di hatinya untuk mantan suaminya.

Bodoh! Tolol! Tak punya otak!

.

.

.

Kehidupan Karina tak berlanjut tenang setelahnya. Kegelisahan bahkan tak puas menghantuinya hingga ia harus merasa jijik dengan alam bawah sadarnya sendiri. Dan sialnya... ia mengingat dengan jelas apa yang ia lihat di dalam mimpinya.

Di malam ke sembilan Edgar kembali masuk ke dalam lehidupannya, ia bermimpi... bercinta dengan mantan suaminya.

.

Semuanya terlihat buram bagi Karina di ruangan itu. Ia bahkan tak dapat menebak dengan indera penglihatannya dimana ia berada. Tubuhnya hanya merasa ringan di hamparan selimut lembut serta tebal yang berada di bawahnya. Dan... ia merasa begitu kedinginan.

Namun semua rasa dingin itu menghilang saat Karina merasa tubuh seseorang yang lebih besar darinya merengkuh dari atas, dan membawa kepala Karina untuk merasakan betapa kuat serta lapangnya dada pemilik tubuh itu. Di antara semua mimpi buramnya, hanya dada itu yang Karina kenali. Dada lapang seorang pria yang selalu ia peluk di kala ia membutuhkan kehangatan untuk tubuhnya sendiri.

Sesuatu terasa menyentuh permukaan bibir Karina, dan memagut kuat bibir perempuan itu dengan geraman yang terdengar teredam di dalam tenggorokkan. Tak salah lagi, tanpa membuka matanya pun Karina tahu siapa yang kini menyentuhnya, mengalirkan hawa panas di sekujur tubuhnya yang sebelumnya menggigil. Tubuh itu, dada hangat itu, dan bibir itu adalah milik Edgar, seseorang yang sangat ia cintai.

Karina mencoba membuka mata, namun hanya kegelapan yang ia terima. Dadanya bergemuruh hebat, saat sentuhan demi sentuhan memanjakan seluruh tubuhnya. Kecupan Edgar terdengar begitu jelas, dan Karina turut membalasnya dengan desahan yang lugas.

Tak ada satupun hal yang Karina pikirkan saat itu. Tak ada penghianatan, tak ada masa lalu yang kelam, tak ada sakit hati, serta tak ada benci. Yang Karina tahu, ia hanya mencintai pria ini, pria yang kini tengah menghantarkan kenikmatan padanya yang bertubi-tubi.

"Mh-mas..."

Karina tersengal oleh desahannya sendiri. Nafasnya tercekat saat ia kembali merasakan hantaman memabukkan dan dahsyat. Dadanya bergerak naik turun, mencoba menghirup udara sebanyak apapun. Tangannya menggapai ke udara, menarik pria di atasnya agar lebih erat memeluk punggungnya.

Edgar menundukkan kepala hingga dapat Karina rasakan bulu-bulu kasar di rahang dan dagu pria itu menggesek lembut kulit lehernya. Tak lupa, Edgar memberikan kecupan panjang dan mesra di sana.

"Sheryl..."

Demi apapun kenikmatan yang Karina rasakan saat itu, Karina merasa jantungnya berhenti seketika saat Edgar menggeram nama lain di lehernya.

"Aku mencintaimu, Sheryl..."

Mata Karina terbuka, dan pandangan yang berada di depannya adalah bagaimana panasnya Edgar bercinta dengan perempuan lain yang sangat dibencinya.

Kebencian Karina merangkak naik. Kepalanya berdenyut luat biasa sakit seketika. Nafasnya terengah, dan telinganya terasa sakit saat mendengar desahan putus-putus dan terkutuk yang menggema keras di telinganya.

.

.

.

"AAAAAARGHHHH..."

.

.

Langkah kaki Karina menggema kuat di lantai rumahnya saat ia berlari dari ruang tengah menuju kamar mandi. Karina dengan segera mengguyur badannya, dan membiarkan shower membasahi pakaian yang masih dikenakannya. Tak peduli dingin, tak peduli teengah menggigil, Karina merosotkan tubuh di bawah shower seraya menumpahkan semua air mata yang ia punya.

Menjijikkan, sangat menjijikkan.

Tangis Karina teredam di kedua lututnya yang ia tekuk. Kekecewaannya telah mengalahkan semua dingin dan rasa sakit yang ia rasa.

.

.

Hentikan, Mas. Jangan siksa aku seperti ini.

.

.

.

.

.

Mobil Karina berhenti dengan mulus di halaman rumahnya. Seperti biasa, menuju akhir pekan, Karina pulang lebih awal dari biasanya karena ingin berbelanja bahan makanan untuk menyambut kedatangan Reza besok pagi. Sejak kedatangan Reza minggu lalu saat pria itu sudah berstatus sebagai pemilik hatinya, Karina membuat agenda kencan rutin dengan jalan-jalan di hari Sabtu, dan memasak bersama di hari Minggu. Sederhana memang, karena Karina ingin cintanya tumbuh secara alamiah.

Saat membuka pintu rumahnya, Karina tak melihat Yati yang terbiasa menyambutnya. Karina perlu melangkahkan kaki lebih dalam lagi untuk menemukan pengasuh Bias itu. Dan saat melewati ruang tengah, dapat Karina lihat Yati tengah duduk dengan kursi meja makan menghadap ke kamarnya.

"Mbak Yati?"

Yati menoleh, lalu tersenyum seraya berdiri. "Mbak Karina baru datang? Saya nggak tahu, Mbak."

Karina melangkah lebih dekat. "Lihatin apa, Mbak?"

"Itu." Yati menunjuk ke arah ranjang kamar Karina. "Bias lagi uyel-uyel Papanya."

Hati Karina mencelos seketika melihat pemandangan di depannya. Tampak di atas ranjang itu, Bias memukul-mukul ringan wajah Edgar dengan tangan mungilnya seraya menggumam sesuatu yang tak terdengar jelas. Perasaan hangat dan sendu kini mengalir dan mencubit Karina.

"Kata Marsha tadi siang Mama Linda ke sini?" tanya Karina.

"Iya, Mbak. Cuma dua jam." Yati memperhatikan Karina lamat-lamat. "Mbak Karina kok akhir-akhir ini bawah matanya hitam? Kurang tidur, ya?"

Karina menoleh Yati lagi. Kedua alisnya menaut. "Masa, sih?"

Yati mengangguk. "Ya, walaupun nggak sepucat Mas Edgar." Setelah itu, Yati nampak teringat sesuatu. "Oh iya, tadi perawat Mas Edgar titip pesan kalau brewok Mas Edgar mending dicukur saja, Mbak. Katanya biar terlihat bersih."

Alis Karina yang pada awalnya menaut, mengendur perlahan. Ia mengangguk.

"Dan saya mau izin juga, Mbak. Sepupu saya di kampung mau melahirkan, kalau boleh saya mau izin seminggu. Mau bantu dia di sana, Ibunya sudah terlalu tua untuk bantu-bantu dia."

"Oh iya, Mbak. Nggak apa-apa kok, nanti biar Bias ikut saya kerja." Karina merogoh sesuatu di dalam tas nya. "Kapan berangkat, Mbak?"

"Besok subuh."

Karina meraih tangan Yati untuk ia salami beberapa lembar uang yang ia tekuk.

"Loh ini-"

"Buat anak sepupu Mbak Yati."

"Mbak Karina?"

Tangan Karina terkibas, pertanda ia tak mau dibantah. "Saya sudah pulang, silakan kalau Mbak Yati mau siap-siap untuk berangkat besok pagi."

Sesaat Yati memandang Karina penuh haru. "Terima kasih ya, Mbak. Saya pulang dulu."

Kepala Karina mengangguk, ia memandang punggung Yati hingga pintu sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Bias yang masih terlihat asyik dengan kegiatannya. Dihampirinya bayi tersebut tanpa ingin menatap Edgar barang sedetik.

"Ayo mandi sebelum belanja! Badan kamu asem!"

Bias pada awalnya nampak terkejut saat Karina secara tiba-tiba mengangkat tubuhnya. Namun setelah ia tahu siapa yang membuatnya seolah-olah terbang di udara, bayi itu seketika tertawa.

.

.

.

Bias tertidur di dalam gendongan Karina saat mereka pulang dari belanja. Setelah meletakkan Bias di box bayi, Karina kembali ke mobil untuk mengambil barang belanjanya.

Ponsel Karina berdering saat perempuan itu akan mengangkat kantung belanja. Menjepit benda pipih itu di antara bahu dan telinga, Karina melanjutkan kegiatannya yang tertunda.

"Halo?"

"Sedang apa?"

"Baru pulang belanja." Karina menutup mobil dan berjalan ke rumah. "Kamu?"

"Tiduran saja di kamar."

"Enak sekali?"

Pemilik suara di seberang sana hanya mendengus. Karina mengunci pintu rumahnya dan berjalan menuju ke dapur.

"Bias tidur?"

"Iya, sejak di perjalanan tadi." Karina sampai dapur dan meletakkan kantung belanjanya di atas meja makan. "Saya baru beli lobster. Kamu nggak ada alergi lobster, kan?"

"Saya alergi kalau nggak telepon kamu sehari."

Giliran Karina yang mendengus, namun ia lebih keras. "Makin lama makin jago juga nih, Pak Polisi. Ingat usia, Pak. Mau nikah kok masih seperti anak SMA?"

Di seberang sana, Reza tertawa begitu lepasnya. "Bakat saya apaaaaa yang bisa saya pamerkan sama kamu, ya? Kamu susah sekali sih terkesima sama ucapan saya? Oh iya, terus... apa tadi? Mau nikah? Sudah bisa jawab nih sekarang?"

Karina terkikik sambil memilah belanjaannya. "Kenapa nggak bisa? Sama Mbak Marni, kan?"

"Astaga, sayaaaaaang."

Tawa Karina meluncur begitu saja.

"Kalau nggak mau nikah sama saya cukup tolak saja, nggak perlu jodohin saya juga."

"Berarti nggak masalah ya kalau ditolak?"

"Karina? Kamu serius?"

Susah sekali bagi Karina untuk tidak tertawa. Ia menutup mulutnya sendiri, sadar betul jika intonasi suara Reza berubah.

"Kita harus ketemu dulu, baru bicarakan ini semua dengan kepala dingin." Suara Reza jelas sekali menunjukkan jika pria itu gugup. "Jangan mengambil kesimpulan du-"

"Kamu tumben cerewet banget sih, Za?"

Reza tak terdengar mengucapkan satu kata pun di sana.

"Iya, kita memang harus ketemu. Besok kita bicara mengenai rencana enam bulan lagi."

"Enam bulan lagi?"

"Nikahi saya enam bulan lagi atau kamu nggak usah ke rumah saya lagi sama sekali?"

"Ha?"

Karina tak menyahut, memberi kesempatan Reza untuk mencerna perkataanya.

"Karina?" Jika tadi suara Reza terdengar gugup, kali ini suara pria itu terdengar bergetar. "Kamu... kamu nggak bohong, kan?"

"Enggak, Za. Saya mau menikah sama kamu. Enam bulan lagi nggak masalah kan?"

"Bisa dipercepat lagi?"

Tawa Karina kembali tumpah. "Memangnya kamu siap?"

"Minggu depan pun saya siap."

"Kamu keburu nikah sekali, sih?"

"Saya keburu untuk bahagiakan kamu."

Bibir Karina menipis menahan senyum. "Rencananya saya mau kasih tahu besok. Tapi lihat kamu sepolos tadi saya jadi nggak tega." Karina menarik nafas dalam-dalam. "Ibu... bakal setuju ngga, ya?"

"Alasan apa yang buat Ibu nggak setuju?"

"Yaaah... terlalu cepat mungkin?"

"Andai kamu tinggal di sini, kamu akan tahu betapa bosannya saya ditanyai kapan saya dan kamu menikah." Reza terdengar mendecakkan lidah. "Kamu sukses buat saya lebih kangen kamu tahu, nggak?"

"Saya juga rindu kamu."

"Jangan pingsan kalau besok saya peluk kamu lama, ya?"

"Nggak akan. Saya tambahkan ciuman mau?"

"Ya ampun... ngantuk saya langsung hilang."

Karina tertawa, tangannya mengeluarkan peralatan cukur beserta foamnya. "Ya sudah sana tidur! Biar besok fresh kalau datang kesini."

"Siap, Ndan. Love you, Ndan."

Saat melepas pembungkus alat cukur, tangan Karina terhenti. Susah payah ia mengambil nafas. "Iya."

Hanya 'iya' yang dapat karina ucapkan. Memang mau apalagi? Membalas ucapan cinta Reza? Haha, yang benar saja. Mana bisa Karina melakukannya.

Sambungan telepon terputus, Karina membawa peralatan cukur beserta baskom yang baru ia isi dengan air menuju kamarnya. Tak ada rasa takut, tak ada rasa gundah dan resah seperti biasanya saat kakinya memasuki kamar. Entahlah, Karina juga sedikit heran dengan apa yang ia rasakan. Meletakkan peralatan dan perlengkapan yang ia bawa di atas meja di samping ranjang tidurnya, Karina duduk di samping ranjang seraya menatap dalam-dalam wajah pucat dan kurus seseorang yang berbaring di sana dengan mata yang masih terpejam.

"Hai, Mas." Sapaan itu meluncur mulus begitu saja dari bibir Karina saat ia membasahi jambang Edgar. Tenang, dan tanpa beban. "Masih betah bikin aku repot kamu, ya?"

Karina meraih foam cukur, membuatnya berbusa di tangannya sendiri, lalu mengusapkannya perlahan di sepanjang garis wajah Edgar.

"Waktu kamu meninggalkan aku malam itu, aku belum bilang betapa bencinya aku sama kamu, kan? Yah... lagian kamu pergi begitu saja setelah main peluk, kan? Brengsek kamu memang!"

Tangan Karina bergerak di sisi rahang satunya.

"Waktu itu aku nggak sepenuhnya marah dan benci sama kamu. Aku lebih marah dan benci sama jalang yang sekarang sudah mati itu. Bisa-bisanya dia nggak punya hati, padahal dia sendiri juga perempuan."

Dagu Edgar yang sebelumnya tertutupi bulu lebat, kini berubah putih karena Karina mengusapkan foam cukur di sana.

"Padahal... logikanya aku tuh harus benci sama kamu saja, Mas. Bukan sama perempuan itu. Kamu pembohong, pengkhianat, dan apapun sebutannya... kamu pantas dijuluki pria paling brengsek saat itu."

"Kamu pasti tahu kenapa aku nggak bisa sebenci itu sama kamu. Dulu aku selalu bilang itu tiap kali kamu minum kopi buatanku waktu sarapan."

Karina tak ingin mengelak bahwa hatinya sedikit merasa sesak saat ini. Diraihnya pencukur jambang yang tadi ia beli, dan mulai memangkas jambang di rahang hingga dagu Edgar.

"Tapi... kok bisa-bisanya sih Mas kamu masih merasa kurang walaupun sudah ada aku? Kalau kamu bilang kurangku apa, aku pasti bisa memperbaiki semuanya sebelum terlambat, Mas. Sebelum kamu menjadi satu-satunya orang yang aku benci seperti saat ini."

"Kalau kamu tahu betapa bencinya aku sekarang sama kamu, kamu pasti nggak akan mengenaliku. Aku benci sama kamu bukan hanya karena pengkhianatan kamu."

Air mata Karina menetes tanpa perempuan itu sadari. Tanganya bergerak memangkas jambang di sisi wajah Edgar yang lain.

"Aku benci sama kamu, juga karena cinta bodohku yang masih ada untuk kamu."

Karina menghentikan tangannya karena sekujur tubuhnya gemetar saat ini. Ia memandang lurus ke arah mata Edgar, berharap bisa menemukan manik hitam pria itu yang terbiasa menatapnya dengan tatapan posesif seperti di masa lampau.

"Bangun, Mas. Buka mata kamu." Karina meraih handuk kecil, dan membersihkan sisa foam yang masih tersisa di wajah mantan suaminya. "Aku ingin lihat kamu menggendong Bias. Memandikan Bias. Ajak Bias bicara. Lihat Bias bisa jalan. Dan... Bias... Bias butuh kamu, Mas."

Tangis Karina benar-benar pecah setelah itu. Ia membiarkan dirinya menangis keras di atas tubuh Edgar. Segala gundahnya luruh, semua takutnya musnah, setiap resah yang ia rasakan sebelumnya hilang entah kemana. Ia lega. Mengungkapkan semua yang ia rasa di hadapan Edgar adalah penyebabnya. Tak ada lagi beban batin yang ia simpan, tak ada lagi siksaan menyakitkan di relung hatinya yang paling dalam.

Jemari Karina menyusup di helaian rambut tebal Edgar, mengecup lama kening pria itu, lalu menyatukan keningnya. Air matanya terus menetes, membasahi kedua mata seseorang yang masih tak bergerak di bawahnya. Namun Karina tak peduli, ia memang ingin Edgar bangun karena mungkin terasa terusik. Ia ingin Edgar benar-benar melakukannya.

"Aku yang bodoh, atau kamu yang terlalu jahat sih, Mas?"

Bibir Karina kembali mengecup kening mantan suaminya.

"Kamu itu sakitku, benciku... tapi juga masih menjadi cintaku. Bangun, aku mohon. Aku ingin lihat kamu sehat dan gagah seperti dulu. Bangun, Mas... aku masih cinta sama kamu."

Karina membaringkan tubuhnya di samping Edgar, memeluk tubuh pria itu dengan erat. Membiarkan keinginannya yang paling dalam mengambil alih kewarasan serta logika yang selama ini ia junjung tinggi-tinggi. Karina tak peduli, biarlah logika mencemoohnya sedimikan rupa hingga kembali menyakiti hatinya. Ia benar-benar tak peduli. Ia hanya ingin melakukan ini sekali.

.

.

.

.

"Jadi ini gudangnya?"

Karina mengangkat Bias dari baby walker dan meletakkan bayi itu di pingganya. "Yap," jawabnya seraya mendekati Reza yang berdiri di depan gudang rumahnya.

"Nggak terlalu kecil untuk kalian?"

"Kan hanya sementara."

Reza menoleh Karina, menatap perempuan itu lembut. "Jalan-jalan hari ini ditunda saja, ya? Kita ganti dengan agenda bersih-bersih bersama."

"Nggak asyik."

Kekehan Reza meluncur. Pria itu membelai puncak kepala Karina, lalu mengecupnya lembut. "Atau kamu siapkan makan malam saja, biar saya yang bersihkan gudang."

"Nggak. Saya ikut bersihkan gudang, makan malamnya nanti kita bisa delivery ojek."

"Terserah Ibu Negara saja."

Reza dan Karina memulai bersih-bersih gudang dengan bahu membahu mengeluarkan semua barang yang ada di sana. Lebih tepatnya, Reza mengangkat box-box atau peralatan yang besar, sedangkan Karina barang-barang yang lebih kecil dan ringan. Lima kali angkatan, Reza menyuruh Karina berhenti mengangkat dan meminta perempuan itu untuk menyapu lantai gudang saja.

"Biar lengan kamu nggak sebesar saya," ucap Reza seraya melewati Karina yang hendak melayangkan protes.

Bias yang kembali berada di baby walkernya, hanya mengamati dua orang dewasa yang ia kenal sambil memakan biskuit bayi dengan tenang. Sesekali, Reza yang keluar masuk gudang mendaratkan kecupan singkat di pipi dan kening bayi itu karena merasa begitu gemas dengan wajah tembamnya yang belepotan biskuit.

Butuh waktu tak kurang dari tiga jam sebelum gudang rumah Karina benar-benar bersih dan terlihat baru karena cat gudang itu yang juga diperbarui. Awalnya Karina tak ingin Reza mengecat dinding gudang supaya agenda bersih-bersih mereka cepat selesai. Namun setelah Reza membujuknya dengan alasan agar Bias lebih betah berada di sana, Karina luluh pada akhirnya.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar, dan Reza mencegah Karina untuk membukanya.

"Saya saja, sepertinya itu pesanan kamu. Kamu mending siapkan piring-piringnya."

Karina mengangguk seraya berjalan ke arah konter dapur. Sebelum mengeluarkan piring, dilihatnya Bias yang kini nampak sibuk dengan buku kecil berwarna yang tadi Karina temukan di gudang. "Lihat apa kamu? Serius sekali sampai air liurnya netes gini nggak sadar."

Bias tak merespon saat Karina mengusap air liur serta serpihan biskuit yang masih tersisa di sekitar mulutnya. Ia lebih tertarik dengan warna-warna yang ada pada buku kecil di tangannya.

"Makan malam datang." Reza meletakkan kantung plastik di depan Karina.

"Bisa tolong carikan lilin di rak ruang tamu? Terus nanti nyalakan di atas meja makan."

Sudut bibir Reza terangkat. "Romantis sekali?"

"Ya tetap harus romantis walaupun makan malam di rumah."

"Tapi saya cuma pakai celana pendek sama kaos. Mana bisa romantis?"

Karina menoleh Reza. "Kamu nggak lihat saya? Saya cuma pakai daster, nggak lebih romantis dari apa yang kamu pakai."

Reza tertawa. Diacak, lalu dikecupnya puncak kepala Karina lembut. "Kamu pakai daster gini tetap sexy."

"Aduh gombalnya mulai."

"Saya serius. Kalau nggak ada Bias dari tadi sudah saya habisin kamu jadi makan sore."

Karina tertawa dan mendorong tubuh Reza menjauh. "Sudah sana cepat ambil lilinnya. Cari sampai ketemu, ya? Saya lupa taruh di sebelah mana, yang pasti ada di rak itu."

Tangan Karina lanjut menuangkan kuah rawon ke dalam mangkuk besar di depannya saat Reza mulai mencari lilin yang ia maksud. Saat menuangkan kuah, Karina melihat Bias menjalankan baby walkernya menjauh di belakangnya.

"Bias, hayo kemana Sayang?"

Setelah selesai, Karina mengangkat mangkuk besar tersebut untuk ia pindahkan ke meja makan. Namun apa yang ia lihat membuatnya dengan reflek menjatuhkan mangkuk besar tersebut begitu saja.

.

.

.

"M-mas?"

.

.

.

.


.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Nah... enjoy aja ya. Saking berdebunya ini cerita, saya jadi bingung mau ngomong apa. Ga tau kesambet apa tiba-tiba ingat punya cerita ini. Hahahahaha...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top