15. Sampai... (2)

Reza tak pernah merasa begitu sesenang ini saat sendirian mengendarai mobilnya keluar kota. Di antara deretan kendaraan lain yang menciptakan kemacetan dan penuhnya jalanan, Reza masih memasang binar mata yang dapat dengan mudah dinilai orang jika ia sedang bahagia.

Yah, bahagia karena ia akan mengunjungi kekasihnya.

Kekasih? Reza tertawa sendiri di tengah mobil-mobil serta motor yang merayap si samping kanan dan kirinya. Agak geli sebenarnya, tapi Reza menyukainya. Segala hal yang berbau tentang hubungannya dengan Karina selalu dapat membuat dadanya menghangat dan bergetar tanpa sebab. Begitu menggelikan, namun juga sangat menyenangkan.

Ah, siapa yang menyangka pada awalnya jika seorang Reza Prayoga, Kepala Kepolisian Sektor yang sebelum-sebelumnya tak terlihat menunjukkan niatan lebih untuk menjalin hubungan, kini malah bertingkah layaknya pemuda kasmaran yang terlalu bersemangat pada kencan pertama?

Lagi-lagi Reza tertawa. Ia tak tahu harus bersyukur atau bagaimana.

.

.

Karina mengusapkan minyak wangi bayi di sekitar leher Bias dengan menahan hasrat untuk tak mencium bayi tampan itu sebelum ia selesai memasangkan kaos kaki pada kedua kaki mungilnya. Senyum Karina tak henti-hentinya mengembang memandang tingkah Bias yang sedari tadi tak henti menggigit botol minyak telon.

"Gusi kamu gatal, ya?" Karina meraih botol minyak telon, dan memberi Bias teether bayi sebagai gantinya.

Bias tak protes. Liurnya menetes saat Karina menggodanya sedikit dengan kembali menarik teether tersebut. Dan pada akhirnya, Karina mengalah dengan keinginannya untuk tak mencium Bias terlebih dahulu. Kedua pipi gembil bayi itu terlalu empuk untuk ia lewatkan begitu saja.

Suara ketukan pintu rumah Karina membuat perempuan yang kini berada di ruang tamu itu menoleh. Setelah menggendong Bias yang masih memakai satu kaos kaki, ia berjalan untuk menemui siapa tamu yang datang.

"Hai."

Karina nampak terkejut, namun itu hanya beberapa saat sebelum senyumnya yang sanggup melelehkan hati pria di depannya mengembang. "Kukira kamu datang waktu makan malam."

Giliran Reza yang terdiam di tempatnya. "Apa jam lima sore tidak bisa dijadikan jam makan malam?"

"Kamu terlalu cepat datang. Saya bahkan belum siap-siap."

"Apa saya harus berkeliling dulu dan kesini lagi jam tujuh?"

Tawa Karina meluncur mulus, tak habis pikir bahwa Reza bisa sekaku ini. "Kamu ini." Karina menghampiri Reza dan mengecup pipi kanan pria itu. "Selamat datang."

Detik itu, hanya detik itu Reza merasa begitu sulit untuk mengambil nafas.

"Berangkat dari kantor?" tanya Karina seraya menahan bobot Bias yang mencondong ke arah Reza.

"Enggak. Saya dari rumah." Reza mengangkat tangannya yang membawa sebuah tas kain yang berisi kotak persegi. "Ini dari Ibu."

"Waaah..."

Reza meraih tubuh Bias dalam gendongannya dan memberi Karina kemudahan mengintip isi tas tersebut.

"Kue apa ini?"

Kepala Reza menjauh dari pipi Bias dan menggeleng. "Kata Ibu namanya kue Cinta ala Helda."

Karina tertawa. Lalu mempersilakan Reza untuk masuk ke dalam rumahnya.

"Tolong pasangkan kaos kaki Bias yang satu lagi, ya? Ada di atas sofa." ucap Karina saat mereka melewati ruang tengah. "Saya mau taruh ini dulu di dapur."

Reza menurut, namun hanya mengambil kaos kaki bayi tersebut dan mengikuti Karina di dapur. Saat melewati kamar Karina, Reza berhenti sejenak mengamati pintu kamar yang tertutup. Hatinya gamang, antara ingin membukanya atau tidak. Alhasil, Reza pun lebih memilih mengikuti Karina.

"Mau minum?" tawar Karina.

"Boleh." Reza mendudukkan Bias di atas meja makan dan mulai memasangkan kaos kaki.

Karina meletakkan segelas air mineral di depan Reza, lalu duduk di sebelah pria itu dan mulai mengiris kue pemberian Helda.

"Terima kasih." Reza meneguk air tersebut hingga tandas tak bersisa.

"Kamu kehausan atau bagaimana?"

"Saya haus. Di jalan macet, jadi nggak sempat menepi untuk beli minum."

"Kamu sih, ke sini saat weekend."

"Kalau saya juga bisa ke sini hari kerja, saya rela tiap hari pulang pergi menemui kamu."

Tangan Karina berhenti mengiris. Ia menoleh dan mendapati Reza menatapnya lembut.

"Kamu apa kabar, Karina?"

"Baik." Senyum Karina mulai mengembang. "Kamu sendiri?"

"Saya juga baik."

"Ibu sehat?"

Reza hanya bisa mengangguk karena mulutnya tersumpal jemari kecil Bias.

"Syukurlah." Tangan Karina mengambil sepotong kue dan menggigitnya. "Hm..."

"Enak?"

Karina mengangguk dan menyuapkan potongan lain untuk Reza. "Masakan Ibu kamu selalu enak."

"Jelas. Dulu Ibu punya usaha catering. Tapi sudah nggak jalan setelah kecelakaan."

"Kapan-kapan saya ingin belajar masak kue sama Ibu."

"Itu artinya kamu mau main ke rumah?"

Lagi-lagi Karina mengangguk. "Kenapa memangnya?"

Reza tersenyum dan menggeleng. "Cuma senang."

"Karena?"

"Saya bisa hemat bensin kalau kamu yang ke rumah."

Karina memukul lengan Reza dan tertawa. "Apaan sih? Kamu nih nggak romantis."

Reza berkelakar. "Iya, saya ngggak ada bakat memang."

"Sudah ah, saya mau siap-siap. Kita jalan-jalan aja dulu sambil nunggu makan malam."

"Kamu nggak mandi?"

Langkah Karina terhenti. "Saya sudah mandi loh! Nggak kelihatan, ya?"

Reza menggeleng. "Tapi mungkin dari baunya bisa ketahuan. Kesinikan leher kamu."

Lemparan tisu Karina hanya bisa sampai di depan Reza. Reza tertawa, namun segera terhenti saat Karina mendekat dan mengecup pipi kirinya.

"Tadi saya lupa kalau yang kiri belum."

Di tempatnya, Reza hanya melongo.

.

.

Reza dan Karina memutuskan untuk menghabiskan waktu berjalan-jalan di mall. Selain untuk menghabiskan waktu bersama, Reza juga mengatakan bahwa ia ingin membeli beberapa kemeja karena kemeja yang ada di lemari pakainnya sudah mulai kekecilan.

"Berarti kamu gendutan?"

Kepala Reza mengangguk asal mendengar pertanyaan Karina yang memilihkan kemeja untuknya. Di gendongannya, Bias bergerak begitu aktif hingga membuat Reza tak seberapa menghiraukan Karina.

"Kenapa laki-laki enteng banget ya untuk mengakui perubahan bentuk badannya?"

"Memangnya perempuan susah?"

Kedua alis Karina mengerut memperhatikan detail bahan kemeja warna putih di tangannya. "Bukan susah. Cuman kadang nggak rela."

"Termasuk kamu?"

"Saya kan juga perempuan, Reza."

"Tapi saya rela kalau bentuk badan kamu berubah."

Karina tertawa sinis saat memperhatikan Reza yang masih nampak asyik bermain dengan Bias. "Yah... di awal-awal sih banyak yang bilang seperti itu."

"Mau dicoba? Kita menikah, kamu hamil, dan kamu akan segera tahu jawabannya."

"Ya ya ya ya..." Karina berucap malas dan berlalu ke arah display kemeja pria yang lain.

"Loh saya serius."

.

.

"Kalau menunya seperti ini sih saya juga bisa."

Reza menoleh Karina, memperhatikan bagaimana perempuan itu menilai satu per satu sajian yang dihidangkan di depan mereka. Setelah selesai berbelanja, mereka memutuskan untuk makan malam di salah satu restoran mall itu.

"Namanya aja yang keren. Isinya biasa saja."

"Tunjukkan dong kalau kamu bisa masak lebih dari ini!"

"Oke. Besok kamu harus sarapan masakan saya, ya? Saya tunjukkan kalau saya bisa masak menu lain selain masakan rumahan."

Reza tertawa renyah. "Oke, dengan senang hati. Apa kita perlu belanja juga setelah ini?"

Karina menggeleng. "Saya ada beberapa bahan masakan di kulkas. Siangnya saja kita belanja lagi."

"Siap, Ndan." Reza menahan senyumnya karena ia tahu bahwa besok ia akan menghabiskan waktu yang lebih banyak bersama Karina.

Reza dan Karina menyantap pesanan mereka setelah itu. Di sela mereka, Bias juga ikut makan karena Karina turut menyuapinya. Ketiga orang itu makan dengan sesekali melempar interaksi satu sama lain. Aura kehangatan meguar kuat di antara ketiganya. Sungguh gambaran sebuah keluarga yang sempurna bagi setiap orang yang melintas di dekat meja mereka.

"Kerjaan kamu lancar?" tanya Reza saat Karina menikmati hidangan terakhirnya.

Karina mengangguk. "Cuma beberapa hari yang lalu saya sempat kecapean."

"Kamu kurang istirahat."

"Yah... mau gimana lagi? Kerjaan saya menumpuk karena harus mengurus perpindahan Edgar."

Mendengar sebuah nama pria disebut, Reza jadi teringat sesuatu. "Oh ya, ngomong-ngomong... kamu tidur dimana kalau Mas Edgar ada di kamar kamu?"

"Di ruang tengah."

"Di atas sofa?"

"Iya. Kadang saya pakai kasur gulung kalau nggak malas."

Reza memainkan botol air mineralnya yang tinggal sedikit seraya memperhatikan Karina baik-baik. "Nggak ada ruangan lagi ya di rumah kamu?"

"Sebenarnya ada kamar lagi, tapi saya fungsikan untuk gudang. Rencananya mau saya bersihkan buat tidur saya sama Bias."

"Kenapa bukan Mas Edgar saja yang di sana?"

Tangan Karina yang menyendok puding terhenti. Dadanya bergemuruh tanpa sebab yang ia ketahui. "Edgar masih butuh ruangan dengan suplai udara yang baik. Di gudang nggak ada AC," ucapnya kemudian.

Reza menyadari perubahan Karina walau masih ragu. Ia memilih untuk tak membahas Edgar lebih lanjut. "Kapan rencana kamu bersih-bersih gudang? Biar saya bantu."

Senyum Karina merekah. "Nggak usah. Kasian kamu kalau ke rumah hanya untuk bantuin saya bersih-bersih."

"Hei... saya yang maksa. Terserah kamu bilang saya menjengkelkan lagi atau enggak, yang penting saya mau bantu pacar saya."

Kali ini Karina tertawa. "Pacar? Kayak abg aja."

"Oke. Calon istri," ralat Reza.

"Kamu yakiiiiin, mau jadikan saya istri kamu?"

"Kalau di mall ini ada KUA, nggak masalah nanti kita mampir sebentar."

Dan sisa pembicaraan dua orang itu, diisi dengan tawa baik dari Karina maupun Reza. Keduanya melengkapi satu sama lain. Karina adalah pelengkap kekakuan Reza, dan Reza adalah pelengkap Karina yang pada dasarnya tidak suka banyak berbasa-basi saat berbicara.

Sederhana. Sesederhana itu mereka mulai belajar untuk saling melengkapi satu sama lainnya.

.

.

Di sela suara tv yang menyala rendah di ruang tengah, Karina diam-diam mencuri pandang ke arah Bias yang tertidur di pangkuan Reza. Bias nampak tertidur dengan pulas, entah itu karena usapan tangan Reza di kepalanya, atau nyamannya kaki Reza untuk ditiduri. Yang jelas, bayi delapan bulan itu kini sedang tertidur sambil menganga di atas pangkuan Reza.

"Ada rekomendasi hotel dekat sini?"

Karina mengalihkan perhatiannya dan menatap Reza. "Kenapa nggak menginap di sini?"

"Saya tidur di mana?"

"Di sini sama saya. Kamu pakai kasur gulung, saya di sofa."

Reza tertawa, lalu kembali menghadap ke televisi.

"Nggak mau tidur di sini?"

"Nggak bisa, Karina. Bukan nggak mau."

"Kenapa? Dulu kamu juga pernah tidur di sini, kan?"

"Karena kondisinya sekarang berbeda."

Kedua alis Karina menaut. "Maksudnya?"

Reza menahan nafas gemas dan menoleh Karina. "Saya nggak mau terlena dengan hubungan kita. Perlu kamu tahu, berdua dengan kamu saja saya selalu ingin memeluk kamu, apalagi kalau kita tidur berdekatan?"

Kerutan kening Karina memudar perlahan.

"Saya cinta sama kamu. Saya tidak ingin merusak semuanya."

Karina terpaku. Sebaliknya, Reza malah tersenyum dan membelai rambutnya lembut.

"Tolong angkat Bias dong! Sudah jam sepuluh, bukannya kamu besok harus masak spesial untuk sarapan?"

Tangan Karina menurut perkataan Reza begitu saja karena otak Karina masih kambat untuk sekedar memerintahkan tangannya sendiri. Setelah mengangkat bayi itu dan membawanya ke box bayi di kamar yang ditempati Edgar, Karina kembali keluar dan mendapati Reza yang sudah berjalan menuju pintu rumah.

"Besok jam berapa ke sini?" Karina menghentikan langkah Reza yang sudah mencapai teras.

Reza menoleh, nampak berpikir sejenak. "Jam berapa masakan kamu matang?"

"Saya telepon saja ya besok?"

"Boleh."

Karina tak menyahut, sedangkan Reza pun turut diam karena merasa kikuk.

"Em... boleh saya peluk kamu?"

Kepala Karina menggeleng pelan, dan raut kecewa Reza tercetak jelas seketika.

"Yaah.. ditolak ya? Oke kalau gitu-"

Ucapan Reza terputus saat Karina mendekat padanya dengan cepat, lalu memeluk pinggangnya erat. Tubuh Reza menegang, namun hanya sesaat ketika ia merasa pelukan Karina mengerat. Dengan segera Reza mengangkat lengannya dan merengkuh Karina lebih dekat dengannya.

Di dalam pelukan Reza, Karina sedikit tertawa. Selama beberapa saat pasangan itu berpelukan untuk membagi ketenangan serta kenyamanan. Sejak bertemu Karina tadi sore, inilah hal yang benar-benar ingin ia lakukan. Memeluk perempuan itu dengan lama dan diam.

Pergerakan Karina terasa cukup jelas bagi Reza hingga laki-laki itu mengendorkan kedua lengannya. Saat Reza mengira ia akan melepaskan pelukan ini, tengkuknya tertarik hingga ia harus menunduk dan merasakan sepasang daging lembut yang selalu ia mimpikan di dalam tidurnya sejak pertama kali merasakannya. Reza terdiam, syok lebih tepatnya saat menerima ciuman itu. Kedua matanya terpejam menikmati setiap kecupan yang Karina berikan.

Ciuman ini, sungguh berbeda dengan balasan ciuman Karina sebelumnya yang hanya terbawa perasaan. Ini... terasa memberinya kasih sayang dan ketenangan.

"Sampai titik mana hubungan kita berhenti nantinya?" bisik Karina saat menyelesaikan kecupannya.

Kedua mata Reza memandang Karina sendu."Sampai kamu yang bosan sendiri."

Karina menjauhkan kepalanya. "Bukan sampai kita berdua mati?"

Reza menggeleng. "Kamu yang bosan, atau saya yang mati. Pilihannya hanya itu."

"Kita bisa mati bersama."

"Nggak, biar saya dulu."

Kening Karina mengerut. "Kamu tega meninggalkan saya?"

Kedua tangan Reza terangkat untuk membungkus kedua sisi wajah Karina. "Saya ingin kamu tahu, bahwa nantinya hanya kamu yang terakhir untuk saya."

Di tengah udara malam yang terasa sejuk itu, Karina sadar ia sedang kesusahan mengambil nafas. Jantungnya berdegup lamban, seolah-olah memang ada yang sengaja melakukannya karena ingin membunuhnya secara perlahan. Pandangannya mengabur, tatkala beberapa tetes air terakumuluasi dalam matanya dan siap untuk ditumpahkan.

"Kamu masih mau percaya dan berjuang lebih dari ini bersama saya?"

Karina tak menjawab, hanya menggigit bibir bawahnya menahan isakan. Terenyuh dengan respon tersebut, Reza kembali mendekatkan kepala dan mencium kening Karina dalam-dalam.

"Saya tunggu jawaban kamu," bisik Reza.

Selanjutnya, Karina masih terpaku di tempat saat Reza berjalan menuju mobil dan mengendarai mobil tersebut keluar dari pekarangan rumah Karina. Udara tiba-tiba terasa begitu menusuk di kulit tubuhnya. Detik itu pula, Karina menggigil. Ia kedinginan. Hatinya pun turut kedinginan.

Reza dan Edgar benar-benar pria yang berbeda. Janji yang disampaikan kedua pria itu juga berbeda. Perlahan, sambil menahan tangisan, Karina berjalan gontai menuju kamarnya. Langkahnya berhenti di depan pintu yang ia buka, dan tubuhnya tersandar penuh pada kayu bercat krem tersebut. Tak butuh waktu lama, air mata Karina menetes dengan deras begitu saja.

Di dalam pandangannya, dapat Karina lihat Edgar tengah berdiri dan tersenyum kepadanya. Senyum yang sama saat pria itu berjanji akan terus berada di sisinya hingga debu menjadi bentuk terakhir keduanya di liang lahat yang bersebelahan. Tangis Karina semakin menjadi ketika senyum kedua pria yang telah ia persilakan masuk ke dalam hatinya memiliki perbedaan maksud sendiri.

Edgar... saat itu memandangnya dengan pujian dan rasa ingin memiliki. Sedangkan Reza, memandangnya dengan tulus serta keinginan untuk tak membuatnya bersedih.

Karina harus bagaimana menata hatinya setelah ini?

.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Cerita ini saa update juga, biar sekalian bisa langsung update 3 cerita 🤣

Yak, cacian untuk Karina mulai hadir lagi Buuuung 🤣
Tapi nggak apa-apa sih, saya berterima kasih atas bentuk semua bentuk perhatian terhadap karakter cerita ini. Enjoy the story man temaaan ❤

.

.

.

Pip pip pip pip calon mantuuuu~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top