14. Terlihat Jelas

Anggi duduk di mejanya sambil mengira-ngira omelan seperti apa yang Frans ucapkan untuk Karina. Saat melewati ruangan sang Bos tadi, tak sengaja ia melihat pria itu melempar kertas dengan kasar di atas meja, tepat di hadapan Karina. Seumur-umur mengenal Frans saat bekerja di kantor ini, tak pernah ia jumpai sekalipun bosnya itu menatap Karina dengan pandangan sedingin yang ia lihat. Walaupun kedua atasannya itu bersahabat, desas-desus kantor ini yang mengatakan kalau Frans naksir berat kepada Karina seakan-akan diamini oleh Frans. Perhatian pria itu kepada Karina saat tidak banyak orang yang berada di sekitar mereka, tak pernah gagal membuat Anggi menciptakan asumsi sendiri.

Di dalam hati, Anggi mendesah pasrah. Wajar juga sebenarnya Frans marah. Karina absen di saat banyaknya pekerjaan yang harus perempuam itu lakukan. Tanpa kabar lagi. Menyerahkan kewajiban apapun kepadanya tanpa perintah dan aba-aba, sama saja dengan menyuruh anak SD berjalan sendiri di tempat yang belum pernah dikunjungi.

Pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok Karina yang berwajah kusut di sana.

"Mbak mau kubuatkan kopi?"

Karina menggeleng. Alih-alih langsung mengerjakan pekerjaanya, ia memilih untuk duduk di depan meja Anggi dan menghela napas berat

"Aku... nggak pernah lihat Pak Frans seseram tadi, Mbak."

Satu sudut bibir Karina terangkat. "Pak Frans memang selalu seram kalau marah."

Anggi tak menjawab, jemarinya kembali menekan-nekan keyboard laptopnya.

"Nggi?"

"Ya, Mbak?"

"Kamu... mending mencintai apa dicintai?"

Alis Anggi menaut saat melirik Karina dari atas layar laptopnya. "Kenapa tiba-tiba tanya gitu, Mbak?"

Karina membalas tatapannya, lalu tersenyum kecil. Tanpa menjawab, ia berlalu menuju meja kerjanya tanpa menghiraukan Anggi yang masih terheran menatapnya.

.

.

Tepat pukul delapan malam, Karina baru bisa menginjakkan kaki di rumahnya. Lelah menderanya dengan sadis saat ia mengerjakan seluruh tugas yang diberikan Frans sepanjang pagi hingga malam tadi. Itu pun pekerjaannya belum semuanya terselsesaikan. Dua hingga tiga hari ke depan bakal menjadi hari yang panjang untuk Karina lalui.

Saat membuka pintu, samar-samar terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya dari dalam.

"Tuh Bunda datang."

Karina mengembangakan senyumnya. Tak ada hal yang lebih melegakan saat pulang ke rumah daripada senyuman dan rentangan kedua tangan mungil Bias yang terarah padanya. Dengan sayang, Karina meraih bayi itu dan mencium kedua pipinya.

"Ada Bu Linda di kamar."

Perhatian Karina teralih ke Yati "Dari jam berapa Mama di sini, Mbak?"

"Sore tadi. Sekitar jam lima sama Mbak Marsha."

Karina mengangguk perlahan. Nampak ragu menyuarakan apa yang ingin ia katakan. "Em... Mbak?"

"Ya?"

"Saya... minta maaf kalau Edgar bikin Mbak Yati nggak nyaman."

Kening Yati mengerut. "Maksud Mbak Karina?"

"Ya... kan Edgar ada di sini, ditambah ada perawatnya yang rutin mengecek kondisinya. Saya takut Mbak Yati nggak nyaman dengan keadaan ini."

Yati tersenyum. "Mbak Karina sudah terlalu baik sama keluarga saya. Hal-hal sepele seperti ini nggak sebanding dengan apa yang sudah Mbak lakukan." Tangan Yati membelai kepala Bias. "Lagipula ini demi Bias, Mbak."

Kedua mata Karina melembut. Syukur menyirami relung hatinya saat menemukan orang baik seperti perempuan di hadapannya ini.

.

Linda terlihat duduk di kursi samping ranjang tempat Edgar berbaring. Tangannya menggenggam jemari Edgar yang lemas, sedangkan sebelah tangannya lagi mengusap kedua matanya berkali-kali.

Linda menangis. Karina bisa melihat itu dari pintu kamarnya.

"Mbak? Baru sampai?" Marsha berjalan dari arah dapur dan menghampiri Karina.

Karina yang masih menggendong Bias mengangguk, sedetik setelahnya ia lihat Linda berjalan tertatih mendekatinya.

"Karina..."

"Mama apa kabar? Sudah seh- Mama! Mama sedang apa, Ma?"

Sepanjang umurnya, inilah kali kedua Karina mendapati seseorang bersimpuh di hadapannya. Pertama adalah Tito Bastian, dan sekarang Linda Bastian, istrinya.

"Mama!" Karina sedikit kesusahan saat mengangkat tubuh Linda. Ia pun juga tengah menggendong bayi berusia lebih dari tujuh bulan sekarang. "Mama berdiri, Ma!"

"Terima kasih, Karinaaaaa. Anakku, Mama terimakasih. Terima kasiiiih..."

"Ma?" Marsha turut membantu Karina.

Linda berhasil berdiri, dan dengan segera memeluk erat mantan menantunya.

"Edgar kamu bawa kesini, kamu temukan Mama dengan Edgar. Terima kasih... Mama harus balas apa, Nak?"

Karina menarik nafas dalam-dalam dan berkata lirih. "Tetap sayangi Mas Edgar, Ma. Nantikan kesadarannya, dan do'akan dia." Karina mengusap punggung Linda lembut. "Bias butuh Edgar."

Linda mengangguk dengan isakan yang semakin kencang. Pelukannya semakin mengerat untuk Karina.

"Terima kasih. Semua butuh Edgar, Papanya pasti juga. Mama yakin."

Untuk sejenak, Karina mencerna perlahan perkataan Linda.

Semuanya? Apakah ia juga?

.

.

.

Empat hari digempur pekerjaan secara brutal membuat tubuh Karina berontak minta untuk diperhatikan. Disela jam kerja yang padat, perempuan itu menepikan diri di pantry kantornya untuk sekedar mengistirahatkan kepalanya yang terasa begitu berat. Ia sudah minum obat pemberian Anggi beberapa saat yang lalu, namun sakit kepalanya nyatanya tak kunjung mereda.

"Kerjaan kamu sudah selesai, Karina?"

Setengah mati Karina berusaha membuka mata dan mengangkat kepalanya.

"Belum cukup absen tanpa alasan selama dua hari?"

Karina menarik nafas dalam-dalam. Ia berani bersumpah, seumur-umur inilah masa-masa ia sangat sangat sangat membenci Frans sebagai teman dan atasannya.

"Maaf, Pak." Hanya itu yang Karina ucapkan sebelum ia mencoba berdiri dengan tertatih dan berjalan menuju pintu.

Namun sebelum tangannya terulur, Frans menahannya dan memaksanya berbalik hingga Karina mengaduh kecil karena kepalanya semakin terasa sakit saat digoyangkan seperti tadi.

"Kamu sakit?" Raut wajah Frans berubah drastis dari beberapa detik yang lalu. "Wajah kamu pucat."

"Tidak, Pak." Karina menarik lengannya. "Saya cuma ketiduran di sini."

"Jangan bohong atau aku nggak akan segan-segan memaksa kamu tidur di rumah sakit, Karin!"

Karina hanya menghela napas.

"Pulang saja kamu. Atau kita ke dokter sekarang-"

"Dan membiarkan pekerjaan dari kamu semakin menumpuk?" sela Karina. "Please jangan menambahi rasa bersalahku pada kantor ini, Frans."

Rahang Frans mengeras, ia menahan nafas. "Kita harus bicara. Izin HRD supaya kamu bisa pulang cepat sekarang. Aku tunggu di basement mobil. Kita ke dokter."

"Aku nggak perlu ke dokter, aku cuma butuh tidur."

"Terserah. Tapi yang pasti kamu izin pulang sekarang. Aku tunggu di mobil."

Mata Karina menatap ragu ke dalam mata Frans. "Kenapa sih, Frans? Apa memang ada hal yang perlu kita bacarakan?"

"Banyak, Karin!" Frans mengusap wajahnya frustasi, lalu sedetik setelahnya menatap Karina lebih lembut dan sendu. "Ayo cepat sana izin. Aku nggak tega lihat kamu pucat seperti ini."

.

.

Pada akhirnya Frans tak membawa Karina pulang, melainkan ke tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu berdua untuk saling bertukar cerita. Sebuah tanah lapang luas di pinggiran kota yang jauh dari hiruk pikuk kesibukkan perkotaan. Frans membiarkan Karina tertidur di kursi sampingnya, dan sama sekali tak ingin mengganggu nyenyaknya tidur perempuan itu.

Menjelang sore, sinar keemasan matahari menembus kaca mobil depan. Pemandangan itu terlihat lengkap dengan keceriaan beberapa anak yang menggunakan tanah tersebut untuk bermain bola. Namun Karina nampak masih enggan untuk bangun dari tidurnya, hingga dering ponsel yang bukan miliknya mengalun keras di sana.

"Frans?"

Frans hanya menoleh Karina sebelum kembali berbicara lewat telepon.

"Jam berapa sekarang?" tanya Karina saat Frans baru memutus panggilan.

"Setengah lima." Frans menutup laptop di pangkuannya, dan meletakkan benda itu di kursi belakang.

"Berapa lama aku tidur?"

"Kurang lebih empat jam."

Karina mencerna perkataan Frans sejenak, lalu mengendorkan otot punggungnya yang terasa kaku. "Harusnya kamu bawa aku ke rumah supaya bisa istirahat dengan baik."

"Lupa ya sama janjiku?"

Giliran Karina yang tak menyahut perkataan Frans.

"Sorry ya, Karin? Aku benar-benar marah sama kamu sampai menyiksa kamu."

"Kamu nggak nyiksa aku. Apa yang kukerjakan memang tanggung jawabku."

"Tapi deadline yang kuberi terlalu sempit untuk kamu."

"Iya sih, itu bagian ngeselinnya." Karina tersenyum dan meremas tangan Frans. "Tapi aku senang kok kamu udah nggak marah lagi sama aku."

"Bersyukurlah karena kamu tadi pucat."

Kekehan Karina mengalun. Sejak dulu Frans memang tak pernah bisa membiarkannya sakit. "Jadi... mau bicara apa?"

"Kamu pasti tahu apa yang mau aku bicarakan. Langsung ceritakan alasan kamu saja, aku malas nyebut nama pria itu."

Pandangan Karina meredup. "Kamu... kenapa benci banget sih sama Edgar?"

"Karin!" Mata Frans terbelalak tak percaya. "Dia orang yang mencoba membunuh kamu pelan-pelan, dan dia nggak puas hanya dengan itu. Kamu masih direpotkan dengan segala sampah yang dia buat. Bagaimana bisa aku nggak benci sama dia?"

"Apa... sampah ini adalah Bias?"

Frans mengusap wajahnya saat menyadari tatapan Karina menajam padanya. "Terlepas dari Bias, oke? Tetap saja kamu yang menanggung semua hasil perbuatan dia yang menyakiti kamu, kan?"

Karina kehilangan kata-katanya dan menunduk.

"Yang aku nggak habis pikir adalah, kenapa kamu tetap ingin menampung mantan pembunuh sadis kamu di dalam surga yang kamu bangun pelan-pelan dan tertatih, Karin? Kenapa? Kamu yang terlalu baik, atau aku yang udah nggak waras melihat perlakuan kamu untuk pria itu?"

Masih tak ada jawabab dari Karina karena perempuan itu semakin menundukkan kepalanya.

"Beri aku alasan, Karin! Lima hari ini aku memikirkan hal nggak penting ini sendirian. Dan kamu tahu apa? Aku frustasi karena berasumsi ini semua nggak sepenuhnya untuk Bias."

"Ini untuk Bias, Frans."

Kedua mata Frans memicing. "Yakin kamu?" tanyanya dengan nada rendah.

Bibir Karina mendadak kelu. Susah sekali ia menjawab pertanyaan Frans kali ini. Butuh beberapa detik sebelum ia memilih untuk memalingkan muka. "Terlihat jelas, ya?" bisik Karina lirih.

Frans menghela napas berat dan menyandarkan punggungnya. Pemandangan gembira di hadapannya menjadi tak berarti apa-apa lagi. "Aku kenal kamu nggak setahun dua tahun, Karin."

Karina mendongak saat merasa air mata yang tak ia undang mendobrak ingin dikeluarkan.

"Jadi benar ini semua nggak hanya untuk Bias?"

"Untuk Bias. Hanya untuk Bias." Karina menolehkan kepala dengan cepat dan membiarkan air matanya meleleh begitu saja. "Aku bersumpah awalnya semua ini hanya untuk Bias, Frans."

"Lalu sekarang?"

Karina menelan ludahnya kesusahan. "Sekarang aku mulai sadar kalau aku telah terhanyut dengan alasan lain."

Frans mengusap kedua pipi Karina yang sudah basah. "Kamu masih mencintai Edgar?"

Tangis Karina pecah. Akumulasi dari rasa lelah karena telah memberanikan diri menerima resiko dan tubuhnya yang lemah tercurahkan lewat air matanya yang tak berhenti bercucuran. Selama beberapa saat Karina hanya terisak kencang di depan Frans tanpa bisa berkata apa-apa. Ia ingin berteriak mengelak sebenarnya, namun ia terlalu lelah menyembunyikan apa yang selama ini ia rasa.

"Karin?"

"Aku bisa apa, Frans? Sejahat apapun Edgar, aku udah nggak bisa lagi untuk membohongi hatiku sendiri. Sebenci apapun aku dengannya, pada akhirnya aku selalu berharap bisa bertemu sesering mungkin dengan dia." Karina terisak hebat. "Aku... aku tahu aku tolol. Aku bodoh. Dungu dan seperti sampah. Tapi aku bisa apa? Aku nggak mau jadi tolol, tapi aku bisa apa? Aku bisa apa, Frans? Aku bisa apa?"

Frans segera menarik tubuh Karina dalam pelukannya. Mendekap tubuh ringkih perempuan itu yang bergetar tengah hebat. Kedua tangan Frans mengusap lembut kepala hingga bahu Karina, mencoba mengalirkan ketenangan dari sana.

"It's ok, Karin. It's ok..."

Karina masih menangis di dada Frans. Napasnya mulai tersengal, sedangkan suara tangisnya yang semula keras, kini berubah menjadi hening dan lirih. Selama beberapa saat ia hanya menangis tanpa suara di pelukan sahabatnya.

"Kamu tahu?" bisik Frans. "Nggak salah kan kalau aku benci Edgar? Dari dulu dia selalu bisa buat aku iri."

Pelukan Karina di pinggang Frans mengerat. Ia membiarkan begitu saja air matanya membasahai kemeja biru terang pria itu.

"Padahal, sudah lebih dari dua tahun berlalu. Teori bahwa benci dan waktu bisa memudarkan cinta ternyata nggak berlaku buat kamu."

"Tapi aku masih tetap mau menggunakan akal sehatku, Frans." Suara Karina terdengar serak. "Aku nggak mau kasih Edgar ruang yang lebih besar dari ini. Aku memilih orang lain untuk menempati ruang yang lebih besar, Frans."

"Maksud kamu?"

"Seperti apa yang pernah kamu bilang. Aku harus menggenggam tangan lain untuk menghadapi Edgar."

Frans melepas pelukannya dan memandang Karina kaget. "Siapa?"

"Reza."

"Ah... udah kuduga. Polisi itu naksir kamu, aku tahu."

Karina tersenyum kecil melihat ekspresi kecewa dari Frans.

"Aku kalah langkah lagi ternyata, ya? Susah banget sih kamu nerima aku?" Frans menghela nafas. "Apa Reza orang yang baik?"

"Aku nggak tahu. Tapi aku yakin dia pasti bisa menggenggam ataupun menahanku."

"Ya... tubuhnya tinggi kekar sih, pasti dia bisa menahan tubuh kamu yang ringkih ini."

Tangan Karina mencubit perut Frans dan membuat pria itu mengaduh kecil.

"Nggak, sebenarnya aku ingin jujur. Reza memang terlihat baik. Paling tidak dulu dia selalu ada di samping kamu saat menemui Edgar lagi. Jadi... kurasa dia pasti bis menentukan langkah yang semestinya."

Senyum Karina kian melebar. "Kamu juga baik."

"Stop it! Jangan buat aku jadi nggak rela karena kamu memilih Reza." Frans mengacak sedikit puncak kepala Karina. "Sampai kapan pun memang kamu lebih cocok untuk aku lindungi daripada cintai."

"Kamu adalah Abangku yang nggak pernah aku punya di dunia ini."

"Ya ampun, sakit banget hanya dianggap Abang."

Karina tertawa, lalu memeluk erat lengan Frans.

"Lalu? Apa kalian berencana ingin lebih serius?"

"Aku nggak tahu."

"Jawaban macam apa itu?"

"Aku nggak tahu, Frans. Untuk saat ini yang jelas aku ingin Reza bisa mengalihkanku dari Edgar."

Frans menjauhkan kepala Karina dan menatap lurus perempuan itu. "Reza tahu ini?"

Kedua bahu Karina terangkat. "Apa aku hanya memanfaatkan Reza sebagai pelarian, Frans?"

"Nah, itu kamu sudah sadar sendiri."

Karina menggigit bibir bawahnya. "Lalu bagaimana, Frans?"

"Apanya? Bukannya memang itu peran Reza sekarang?"

Susah payah Karina menarik nafas. "Berarti... ini semua salah?"

"Nggak juga, Karin." Frans menyandarkan punggungnya kembali ke kursi kemudi. "Salah jika tujuan kamu hanya untuk Edgar. Tapi benar, jika tujuanmu adalah untuk kebaikan kamu."

Karina mendengarkan dengan seksama perkataan Frans selanjutnya.

"Pelarian itu adalah bentuk langkah berani dari orang yang ingin terlepas dari belenggu yang menyakitinya. Selama tempat pelariannya memberikan rasa yang lebih baik, kurasa nggak ada yang salah dalam teori pelarian." Frans menoleh Karina. "Kalau saling cocok dan nggak ada yang tersakiti lagi, kenapa harus menganggap pelarian itu sebagai sesuatu yang jahat?"

Perlahan Karina kembali mengembangkan senyumnya kala mengingat betapa ia bencinya dengan Frans beberapa jam yang lalu. Frans pria yang baik, sahabat yan selalu bisa memperlihatkan banyak pilihan padanya dalam mejalani proses hidup. Frans adalah orang yang bijaksana, penuh kasih, dan tanggung jawab secara bersamaan. Kali ini Karina sedikit terkekeh saat sebuah pertanyaan berputar di kepalanya.

Frans adalah salah satu perwujudan pria yang diidam-idamkan setiap perempuan, namun mengapa ia tak pernah bisa menjadi salah satu perempuan tersebut dan membalas perasaan pria itu sedikit saja?

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.


Well... ternyata banyak juga yang saya ubah di percakapan Karina dan Frans.

Enjoy yak...

PS: Jangan harap saya update tiap minggu lagi yak 😂
Maaf udah ngasih harapan. Wkwkwkwk.

.

.

.

"Frans si Sad Boi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top