13. Berbeda Rasa
Jantung Karina berdebar kencang hingga terasa memekakkan telinganya sendiri. Ia memejamkan mata, menyandarkan sepenuhnya punggung dan kepalanya ke pintu kamar yang ia tempati.
Itu tadi apa?
Karina memejamkan matanya rapat. Ia harus berpikir logis terlebih dahulu untuk mengurai ini semua. Langkah pertama yang ia ambil adalah berjalan perlahan menuju ranjang, dan duduk di sana. Karina menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, dan hal tersebut cukup berguna untuk membuat pikirannya lebih tenang.
Baiklah... Reza menciumnya.
Lagi-lagi mata Karina terpejam. Apa yang tidak ingin ia yakini, mau tak mau harus ia akui bahwa memang itulah yang terjadi. Reza menginginkannya walaupun pria itu tak mengatakannya. Keinginan pria itu untuk melindunginya, serta pagutan kuat bibir pria itu... walau sudah lama tak merasakan hal ini, namun Karina sangat sadar bahwa ia tengah diinginkan oleh seorang lelaki.
Lalu... apa Karina merasakan hal yang sama?
Masih dengan mata terpejam, Karina menggeleng. Ia tidak merasakan itu, tidak tahu lebih tepatnya. Reza ia anggap teman, seseorang yang selalu ada untuknya di saat ia membutuhkan bantuan. Ia sama sekali tak merasakan hal sama yang pernah ia rasakan dengan seorang pria di masa lalu. Ini... sama sekali tidak sama dengan yang dulu.
Kenapa? Apakah memang hanya Edgar yang menjadi pacuannya?
Tidak.
Kedua mata Karina terbuka. Ia menggeleng tegas. Tidak! Edgar bukan apa-apa lagi di hidupnya. Pacuan apa? Pacuan tai? Perasaan gugup dan bingungnya dalam sekejap berubah menjadi emosi yang mulai merangkak naik ke ubun-ubunnya. Seketika, sebuah memori melintas di otak Karina.
"Keluar dan temukan pegangan kuat yang lainnya, Karin. Baru hadapi Edgar lagi."
Apa yang pernah dikatakan Frans memang benar. Ia harus menemukan penyangganya, apalagi setelah ini kehidupannya akan terasa semakin sulit dengan kehadiran Edgar di dekatnya. Reza, merupakan sosok yang bisa ia andalkan untuk tetap menjaga keseimbangan hatinya. Harus ada Reza dalam kehidupannya kelak, agar Karina tak kembali terjerumus pada muara sakit yang menyiksanya tanpa henti.
Ya. Harus.
Ia harus menggenggam tangan Reza untuk menghadapi Edgar lagi.
.
.
Ruang makan yang menjadi satu dengan dapur itu terlihat lebih ramai dari biasanya karena kehadiran dua perempuan serta seorang bayi laki-laki di sana. Marsha yang bercanda dengan Bias di meja makan, serta Karina yang membantu Helda mempersiaplan sarapan.
Dalam diam Helda membatin, biasanya ruang makannya hanya ramai selama setahun sekali. Helda pun tersenyum getir.
"Sudah, Bu?"
"Ah iya." Helda menyerahkan sebuah mangkuk besar berisi sayur bening. "Ini tolong taruh di atas meja."
Karina menurut, mencium sekilas pipi Bias yang memanggil-manggilnya saat ia mendekat ke meja makan, lalu kembali ke area dapur.
"Halo, Bias."
Di tempatnya, Karina terpaku mendengar suara berat itu. Tangannya sedikit kaku saat memindahkan ayam yang sudah ia goreng ke atas piring.
"Sudah beneran sembuh kamu?"
Saat membalikkan badannya, Karina melihat Reza yang sudah berpakaian seragam polisi menggendong dan sedikit mengangkat Bias ke atas hingga bayi itu tertawa girang.
Reza mengembalikan Bias kepada seorang perempuan yang belum pernah pria itu jumpai sebelumnya. Alisnya menaut saat menyadari perempuan itu turut menatapnya.
"Kamu... adiknya Mas Edgar?"
"Iya." Marsha mengulurkan tangannya. "Saya Marsha."
"Reza," ucap Reza seraya membalas jabatan tangan Marsha.
Marsha tersenyum begitu tulus. "Terima kasih sudah membantu menjaga Mas Edgar, Mas. Bantuan Mas Reza nggak akan pernah aku lupakan."
Reza tersenyum. "Saya nggak melakukan bantuan apa-apa. Saya hanya menjalankan tugas."
Di area dapur, Helda menyadarkan Karina dari lamunannya. "Karina bisa sekalian dorong Ibu ke meja makan?"
Karima sedikit terlonjak. "Ah... I-iya, Bu."
"Sini, ayamnya Ibu yang bawa."
Kursi roda Helda berjalan mendekati meja makan karena dorongan Karina. Setelah meletakkan sepiring ayam di atas meja, Helda menatap anaknya galak.
"Kamu kok mau kerja? Udah enakan badannya?"
Reza hanya menggumam dan memasukkam tahu goreng ke dalam mulutnya.
"Tadi subuh kamu panas banget loh, Za. Masa iya sembuhnya cepet?"
"Reza ada apel, Bu."
Helda hanya mendengkus, di belakangnya, Karina berjalan dan duduk di salah satu kursi. Satu hal yang Karina tandai, Reza tak memandangnya sedikitpun pagi ini.
"Reza berangkat ya, Bu."
"Loh... sarapan dulu."
Wajah Reza memelas. "Sudah mau telat. Masa pemimpin apelnya datang telat?"
"Hiiiih. Yaudah sana berangkat." Helda mengibaskan tangannya. "Sana sarapan di kantin kantor kamu aja sana! Katamu masakan di sana lebih enak, kan?"
Reza meraih tangan Helda yang masih terkibas, lalu menciumnya. "Berangkat ya, Bu." Kepalanya lalu menoleh ke Marsha dan Karina bergantian. "Marsha, Karina, saya berangkat dulu."
Karina terdiam di tempatnya, beda dengan Marsha yang mengucapkan pesan berhati-hati untuk Reza. Mata Karina hanya memperhatikan Reza yang mencium Bias yang berada di pangkuan Marsha, sebelum berlalu begitu saja dari sana.
Tidak, tidak seharusnya seperti ini.
Ini di luar rencana Karina. Otaknya berpikir cepat, lalu seakan teringat sesuatu, Karina bergerak mengambil sesuatu di kamarnya.
.
"Reza?"
Tangan Reza yang baru akan membuka mobil terhenti. Ia berbalik, dan menjumpai perempuan yang tidak ingin ia temui berjalan mendekatinya seraya membawa jaket miliknya.
Karina berhenti tepat di depannya, lalu mengulurkan jaket hitamnya. "Punyamu," ucap Karina tenang.
Reza mengumpat, bagaimana perempuan ini tetap tenang menghadapinya setelah kejadian semalam? Memaksakan senyum terbaiknya, Reza menerima uluran jaket tersebut. "Terima kasih."
Namun Karina menahannya. Karina tak melepaskan jaket tersebut dan menatap Reza dalam-dalam. Ditatap seperti ini oleh perempuan yang mengubrak-abrik hatinya, seketika membuat mental Reza ciut seketika.
"Boleh saya tanya sesuatu?"
Reza menelan ludahnya terlebih dahulu dan melepaskan genggaman jaketnya. "Silakan."
"Kita sama-sama sadar dan tidak mabuk semalam." Karina memberi waktu Reza untuk mencerna ucapannya. "Untuk apa itu semua, Za?"
Pandangan mata Reza meredup. "Untuk mengungkapkan apa yang tidak bisa saya ungkapkan."
"Apa itu?"
"Kamu tidak ingin jujur atau memang tidak ingin merasakannya?"
Tenggorokkan Karina sedikit tercekat mendapat pertanyaan yang membalik seperti itu. "Bagaimanapun, mulut manusia berfungsi untuk menyampaikan apa yang ia rasakan."
Reza mendengkus dan tertawa geli. "Sebegitu tidak pekanya kah seorang perempuan?"
"Perempuan itu peka, Za. Bahkan terlalu peka. Maka dari itu ia akan selalu membutuhkan kepastian untuk hal-hal buram yang selalu ia rasakan.
Reza mendekat selangkah. "Memang apa yang kamu rasakan?"
Karina tersudut, tak menyangka Reza akan membalik keadaan seperti ini. "Terlalu rumit, karena kamu membuatnya menjadi rumit."
Sudut bibir Reza terangkat. "Apa perlakuan dan perkataan saya tidak bisa mewakili?"
"Apakah terlalu susah untuk mengatakan intinya?"
Lagi-lagi Reza mendengjus geli. Ia menunduk sesaat sebelum kembali menatap tepat ke kedua mata Karina. "Saya ingin kamu. Itu intinya."
Susah payah Karina menarik nafas. Ia pun menunduk karena tak kuasa dengan taktik pembicaraan yang ia ciptakan sendiri. Ternyata ia tak sekuat yang ia kira saat berhadapan dengan Reza.
"Apa kamu sudah dapat apa yang kamu inginkan?"
Karina kembali mengangkat kepalanya, melihat Reza yang kini menatapnya sedikit resah. "Ya, terima kasih," jawabnya kemudian seraya menyerahkan jaket milik Reza.
"Itu saja?"
"Ada lagi yang kamu harapkan?"
Reza menggigit bibir dalamnya. Karina yang dingin seperti ini membuatnya gemas sekaligus tak berkutik. Pada akhirnya pria itu menggeleng. "Saya tahu, saya tidak bisa menjadi bagian dari hati kamu."
"Belum bisa, Reza. Bukan tidak bisa."
Kening Reza menaut, apalagi saat Karina menyunggingkan senyumnya.
"Kalau saya minta kamu untuk bersabar, kamu mau?"
Oh... dada Reza terasa meledak-ledak saat ini. Ia tidak salah dengar, kan? Bibirnya bergetar, terlalu sulit untuk mengucap dua kata dengan cepat. "Saya mau."
Karina semakin melebarkan senyumnya. Ia mendekat, lalu mengusap rahang hingga leher Reza dengan lembut. "Selamat bertugas."
Reza hanya terpaku di tempatnya. Matanya tak melepas pandangan sedikit pun dari Karina saat perempuan itu mulai berjalan masuk ke rumah. Padahal, ada begitu banyak hal yang ingin ia sampaikan pada perempuan itu saat ini.
"Saya boleh berkunjung ke rumah kamu?" tanya Reza dengan sedikit berteriak karena tidak tahu harus berkata bagaimana.
Karina berhenti di undakan pertama dan menoleh. "Saya bahkan nggak keberatan kalau kamu memaksa untuk mengantar pulang saya kapanpun."
Reza tersenyum lebar, namun secepat mungkin melenyapkan senyumnya karena teringat sesuatu. "Tapi pagi ini saya harus memimpin apel."
Tawa Karina meluncur indah begitu saja. Sebuah hal indah dan langka yang pernah Reza jumpai.
"Kalau nggak bisa hari ini, kamu bisa berkunjung tiap kamu libur."
"Bener?"
Karina mengangguk.
"Lalu... setelah ini saya harus menganggap kamu seperti apa?"
Kedua alis Karina menaut, nampak berpikir. "Terlalu kekanak-kanakkan kalau pacar. Kita sudah terlalu tua untuk itu."
Reza diam, menanti jawaban Karina selanjutnya dengan dada yang bergetar.
"Gimana kalau..." ucap Karina lagi. "Seseorang yang kamu perjuangkan dan ingin berjuang dengan kamu?"
Giliran Reza yang tertawa. "Apa itu nggak terlalu panjang?"
Karina turut tertawa. "Loh saya ini cari solusi untuk pertanyaan kamu loh, Reza."
Reza masih tertawa saat mendekati Karina. Kini tinggi Karina sama dengan Reza yang berdiri tepat di depannya. "Apapun itu... terima kasih karena telah membuka pintu."
Kedua mata Karina menatap Reza, mencari perasaan sesungguhnya pria itu dari manik mata hitam kecokelatannya.
"Hati-hati kalau pulang."
Karina mengangguk. "Kamu juga. Hati-hati saat bertugas."
Senyum Reza belum lepas saat pria itu berbalik berjalan menuju mobilnya. Hatinya tak pernah merasa sebahagia dan selega ini. Ia tak menyangka, bahwa Karina akan memberikan celah untuknya. Ah... rupanya pemikirannya semalam salah.
Dan di tempatnya, Karina mengawasi mobil Reza yang menjauh dengan berbagai pertanyaan yang berputar di kepalanya.
.
Apa... ia bisa melakukan ini semua dengan mencoba menggenggam tangan Reza?
.
.
.
Proses pemindahan Edgar berlalu cepat dan lancar. Tak ada kendala apapun saat pria itu diboyong ke rumah Karina menggunakan ambulans. Bahkan untuk perijinan dengan lingkungan setempat, Karina tak menemui masalah apa-apa. Semuanya berjalan normal, namun Karina tahu bahwa seorang pria yang mengawasinya dengan tajam dari depan halaman rumahnya nampak tak senormal biasanya.
"Kamu ngapain di situ?"
"Tadinya aku mau masuk. Mau jenguk kamu yang aku kira sakit. Mau bilang juga kalau hasil absenmu tanpa kabar dua hari ini udah bikin kacau redaksi. Tapi sekarang aku kehilangan simpati, dan malah emosi."
Karina menghela nafas. Memasang wajah melasnya yang pasti tak bisa dilihat Frans dengan jelas dari jarak sejauh ini. Ia dan Frans berkomunikasi lewat ponsel yang berada di samping telinga keduanya.
"Aku baru aja datang jam satu siang tadi, Frans. Ini udah jam empat, aku bahkan belum istirahat karena harus mengurus perijinan." Karina menghela nafas. "Kamu jangan bikin aku down dong, Frans. Aku beneran bisa sakit nanti."
"Ngapain kamu boyong Edgar ke sini?"
"Ini satu-satunya jalan."
"Bisa kamu melalui ini?"
"Bisa."
"Jangan sok kuat kamu!"
Mata Karina terpejam. Ia mendecak pasrah. "Terserah kamu lah. Kamu mau masuk ke rumah atau enggak?"
"Enggak."
"Kalau begitu kita ngobrol di kantor besok."
"Oke. Siap-siap, ya! Kita akan ngobrol sebagai atasan dan bawahan."
Frans memutus sambungan telepon secara sepihak dan masuk ke dalam mobil. Tak lama, mobil itu mulai bergerak meninggalkan jalanan di depan halaman rumah Karina.
Karina menghela nafas khawatir, bukan karena kemarahan Frans sebagai pemimpin redaksi terhadap editor yang mengganggu benaknya, melainkan kemarahan Frans sebagai sahabatnya.
.
Marsha nampak duduk dengan Bias di samping Edgar saat Karina masuk ke dalam kamarnya, mengajak bayi itu berkomunikasi seraya sesekali menunjuk Edgar yang tak menanggapi apa-apa.
Yah... memang pria itu mau menanggapi seperti apa?
Edgar terlihat lebih santai jika berada di kamar ini. Walaupun selang-selang yang menunjang kelangsungan hidupnya masih terpasang, setidaknya penampilan pria itu tak semengerikan saat berada di rumah sakit. Edgar yang sekarang nampak terlihat lebih hidup.
"Mbak?"
Karina menatap Marsha, tak sadar kalau sedari tadi berdiri di ambang pintu, ia menjadi perhatian adik Edgar itu.
"Mama mau datang."
"Kapan?"
"Mungkin besok."
"Mama sudah bisa keluar rumah sakit?"
Marsha tersenyum bahagia. "Tadi Mama ku telepon, senang banget dia Mbak tahu Mas Edgar ada di sini. Dia besok ingin ke sini."
"Terus... Papa?"
"Papa masih di luar kota sampai lusa. Jadi masih ada kesempatan." Marsha mengakhirinya dengan tawa kecil.
Kaki Karina mendekat, ia turut merasa senang. "Syukurlah kalau begitu." Matanya menyapu Edgar dan keadaan kamar tidurnya. "Tapi... hanya ini yang bisa kulakukan, Marsha. Rumah ini pun kecil."
Marsha meremas tangan Karina. "Mbaaak... jangan bicara seperti itu. Ini saja aku sama Mama sangat berterimakasih. Justru..." Marsha menatap Edgar sekilas. "Aku khawatir kalau Mas Edgar malah buat Mbak Karina repot."
Karina tersenyum kecil dan bercanda di dalam hati. Dari dulu Edgar memang selalu membuatnya repot. Baik itu fisik dan perasaannya.
.
.
Reza Prayoga : Sampai jam berapa tadi?
Karina tercenung membaca pesan tersebut saat mengantar kepulangan Marsha di depan teras rumah. Saat mobil Marsha keluar dari halaman, jari Karina menyentuh tombol panggil di layar ponselnya.
Sembari menunggu nada sambung, Karina memejamkan mata meresapi perubahan hidup yang kini ia lalui. Edgar dan Reza. Dua pria itu lah penyebab perubahan hidupnya. Karina harus mulai terbiasa menjalaninya.
"Halo?"
"Saya sampai jam satu siang tadi."
"Oh, syukurlah. Semuanya lancar?"
"Lancar."
Hening hadir di sela keduanya. Karina tengah menatap langit malam seraya menyandarkan tubuhnya di pintu rumah, ia tak tahu apa yang Reza lakukan sekarang.
"Saya... cuma ingin memastikan itu saja. Silakan beristirahat, kamu pasti lelah."
Karine mendengkus geli. "Kita ini kaku sekali ya?"
Di seberang sana Reza tertawa kecil. "Nggak apa-apa, seperti ini saja saya sudah bersyukur."
"Oh ya?" goda Karina. "Saya kira kamu akan sedikit menggombal."
Lagi-lagi Reza tertawa. "Saya nggak pandai ngegombal. Lagian kamu juga bukan orang yang membutuhkan itu."
"Sok tahu!"
"Saya tutup teleponnya, beristirahatlah."
"Hm... kamu juga."
Sambungan telepon tertutup, dan menciptakan perasaan yang berbeda di kedua tempat. Bahagia di belahan kota lain, dan sedikit merasa bersalah di tempat Karina berpijak. Karina memijat pelipisnya pelan.
.
Apa ia secara tak langsung memanfaatkan keadaan?
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Ngga tau kenapa lagi pengen naruh lagunya Om Rio di media. Hahaha.
Happy satnight, dan selamat membaca ❤
Sehat-sehat ya kalian semua 😘
.
.
.
"Ciye girang banget siy Pak Puliciiii?"
😚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top