10. Hanya Untuk Bias?
"Reza, ini Frans." Karina menoleh ke samping. "Dan Frans, ini Reza."
Reza menopang Bias di lengan kirinya, lalu menyambut jabat tangan Frans.
"Jadi... ini Pak Polisi yang selama ini bantuin kamu, Karin?"
Karina tersenyum, lalu mengangguk.
"Hm... terimakasih Pak Polisi, karena sudah banyak membantu Karina."
Senyum tipis Reza terukir. "Saya senang bisa membantu Karina."
Satu alis Frans terangkat. "Terlihat."
Reza mempertahankan senyumnya, walau entah mengapa ingin ia sekali menonjok pria tampan berwajah oriental di depannya itu.
"Ayo makan malam dulu." Karina berjalan terlebih dahulu ke ruang makan, diikuti Frans, lalu Reza yang menggendong Bias.
"Warung ayam bakar kesukaan kamu tutup." Frans menarik kursi di dekat Karina. "Itu ayam bakar dekat kantor."
Karina sedikit memajukan bibirnya, lalu mengangguk-angguk sambil terus mengeluarkan bungkusan makanan dari dalam tas kresek yang dibawa Frans tadi. Setelah itu, ia berjalan ke arah dapur.
Reza menarik kursi di depan Karina. Memilih spot itu untuk memberinya ruang agar mengontrol emosi dan akal sehatnya. Di tangannya, Bias nampak bergerak ingin dilepaskan.
"Apa kamu lihat-lihat?"
Awalnya Reza mengira Frans sedang menantangnya. Jika hal tersebut memang benar, ia akan menerimanya dengan senang hati karena kebetulan ia butuh pelampiasan amarah yang tak ia ketahui penyebabnya. Namun gerakan Bias yang semakin meronta membuatnya menunduk dan memperhatikan bayi tujuh bulan itu.
"Apa? Mau ikut? Sini jalan!"
Demi apapun jenis rasa yang menyebabkan Reza memaksa Karina untuk pulang bersamanya tadi siang, kali ini ia benar-benar merasa ingin lenyap begitu saja dari rumah perempuan itu. Reza tercengang saat menyaksikan bagaimana Frans berinteraksi dengan Bias. Bagaimana pria itu bisa mengambil hati Bias seperti ini? Reza semakin tak tahu harus merasa apa saat Frans mendekatinya untuk mengambil Bias dari pangkuannya. Ujung hatinya tercubit saat menyadari Bias bisa tertawa selepas itu saat berada di tangan Frans. Sebuah tawa yang sangat berbeda ketika ia melakukan hal yang sama pada bayi tampan itu beberapa saat yang lalu.
"Ayo dimakan." Karina datang dan meletakkan dua botol air dingin dan tiga gelas di atas meja. Kepala perempuan itu menoleh saat mendengar gelak tawa Bias yang kini berada di pangkuan Frans. "Sini Bias ikut Bunda. Om Frans mau makan."
"Kok Om, sih? Ayah dong," celetuk Frans yang diakhiri dengan tawa lepasnya.
Reza yang belum menyentuh bungkus makananya, menjadi perhatian Karina selanjutnya.
"Reza, ayo dimakan dulu."
Reza menurut, walaupun ia merasa enggan. Di kepalanya, berputar hal-hal yang menyebabkannya semakin merasa emosi.
.
.
... calon keluarga yang bahagia.
.
.
Reza masih berada di dapur saat Karina mencuci peralatan makan. Mata pria berjambang tipis itu terpancang pada Frans yang mulai menidurkan Bias di ruang tengah.
Mata Reza terutup. Ia semakin jengah.
"Saya mau pamit."
Karina yang tengah mengeringkan tangan menoleh. Reza sudah berdiri di sampingnya. "Loh... menginap saja di sini, pulang besok subuh."
Reza menatap Karina dingin, lalu menggeleng.
"Kamu nggak capek?"
"Saya mau pulang saja."
Karina menarik nafas lamat-lamat. "Kamu tadi yang maksa untuk mengantar saya. Kalau kamu langsung pulang seperti ini, tau seperti itu saya nggak akan ngijinin kamu untuk mengantar saya."
Reza terdiam, begitu pula dengan Karina. Mata perempuan itu kini tak kalah dinginnya dengan tatapan mata Reza. Hanya beberapa saat mata mereka saling bersitegang sebelum Karina memutuskan kontak mata dengan membuka buffet di atasnya.
"Ya sudah, sana cepat pulang."
Tanpa menoleh Reza lagi, Karina mulai menyiapkan dua cangkir kopi dengan diam seolah-olah tak ada Reza di sana. Dan tak menunggu waktu lama lagi bagi Reza, pria itu pun melangkahkan kakinya menjauh.
Karina benar-benar tak menoleh Reza saat ia mendengar Frans menanyakan tujuan Reza yang sedang membuka pintu. Bahkan hingga mendengar pintu rumahnya ditutup, Karina lebih memilih untuk mengaduk kedua kopi yang sedang dibuatnya. Ia jengkel, Reza benar-benar dengan mudah mengubah-ubah moodnya.
Namun ketika deru mobil mengalun berat di telinganya, Karina menolehkan kepala untuk pertama kalinya. Matanya terpaku pada pintu rumahnya yang sudah tertutup dan tak meninggalkan bekas punggung siapapun di sana.
.... termasuk punggung Reza.
.
.
.
.
Karina menyetir dengan sesekali mengawasi gerak-gerik Bias yang duduk di atas car seat baby yang ada di sampingnya. Petang ini, ia berada dalam perjalanan menemui Marsha dan Linda di salah satu restoran di pusat kota.
Mobil Karina berhenti di depan restoran bernuansa Jawa. Dengan cekatan, perempuan itu menggendong Bias dan menyampirkan tas berisi perlengkapan bayi itu di lengannya yang bebas.
"Ah... cucu Neneeek." Linda segera menghampiri Karina yang berjalan ke arahnya dan meraih Bias dalam dekapannya. "Hm... sayang sayang sayaaaaang."
Karina hanya tersenyum memperhatikan mantan Ibu mertuanya yang sedang menciumi pipi Bias.
"Nggak macet tadi, Mbak?" tanya Marsha saat Karina baru duduk di meja yang sama dengannya.
"Enggak tuh."
Linda kini turut duduk, lalu menatap Karina penasaran. "Kok Bias tambah berat ya?"
"Mama yang tambah tua," sahut Marsha.
Ketiga perempuan satu meja itu tertawa. Marsha memanggil salah satu pelayan, memilih untuk menikmati makan malam terlebih dahulu sebelum membicarakan pembahasan mereka malam ini.
.
"Edgar bagaimana perkembangannya?"
Karina meletakkan gelasnya dan memandang Linda. "Masih sama, Ma. Belum ada perkembangan."
Wajah Linda berubah sendu.
"Bisa dipindahkan nggak, Mbak?"
Karina menoleh Marsha. "Dokternya bilang bisa."
"Kita pindahkan saja Mas Edgar ke rumah sakit di kota ini, Ma. Rumah sakit yang alatnya lebih canggih."
"Nggak bisa Marsha." Suara Linda terdengar putus asa. "Cepat atau lambat Papa kamu pasti tahu keberadaan Edgar."
"Nggak papa, Ma. Paling tidak Mas Edgar dapat perawatan yang lebih intensif dulu di sini." Marsha mengambil nafas dan berkata lirih. "Papa yang tahu keberadaan Mas Edgar adalah urusan belakangan. Prioritas kita adalah kesadaran Mas Edgar."
Linda diam, dan Karina pun turut melakukannya karena ia sadar ia tak memiliki banyak kuasa dalam pemilihan opsi ini. Mata Karina menatap Bias yang nampak bingung memperhatikan satu per satu perempuan di sekitarnya yang mendadak diam.
"Apa yang kamu butuhkan supaya cepat sadar sih, Edgar?" Linda bergumam sendiri.
"Ma..." Marsha bersuara lagi. "Nggak papa lah, ayo kita coba dulu."
"Kalau Papa kamu tahu dan bertindak di luar batas bagaimana, Marsha?" nada Linda sedikit meninggi.
"Marsha yakin Papa nggak seperti itu."
"Papa kamu itu keras, Naaak... kemarahannya ke kakak kamu sudah lebih dari batasnya. Hampir tiga tahun ini nggak ada yang bisa melunakkan Papa kamu, termasuk Mama."
Karina menghela nafas pelan. Topik yang Linda bicarakan sedikit banyak menyangkut pautkan dirinya. Ragu sebenarnya ia ingin mengutarakan perkataan dokter tempo hari, namun air mata yang mulai menggenang di mata Linda membuat sisi kecil hatinya tercabik.
"Ma..." Lirih Karina. "Mas Edgar tidak membutuhkan rumah sakit."
"Maksud Mbak Karina?"
Karina menoleh Marsha. "Dia tidak butuh alat canggih, Marsha. Dia hanya butuh dinantikan oleh keluarganya."
Tangis Linda pecah. Bias bahkan seolah ikut merasakan kesedihan Neneknya karena bayi itu turut menangis seketika.
Karina mengambil Bias, dan Marsha mendekap tubuh Linda dengan erat. Air mata mulai mengalir pelan di kedua pipi Marsha saat menyurukkan kepalanya di leher Ibunya.
"Ya Tuhaaaan... apa dosaku?"
Rintihan Linda semakin membuat Karina gundah. Karina mulai merasa sesak melihat tangis mantan Ibu mertua dan adik iparnya.
Tangis Bias belum berhenti, dan Karina memilih untuk pamit sejenak menenangkan bayi itu kepada Marsha.
... sekaligus juga untuk menenangkan hatinya.
.
.
.
"Kalau Edgar dipindahkan ke rumah ini bagaimana ya, Frans?"
Frans yang bermain dengan Bias segera menoleh Karina yang duduk di ujung kursi meja makan. "Ngapain? Di sini nggak kurang-kurang rumah sakit, Karin."
Mata Karina terlihat kosong saat membalas ucapan Frans. "Edgar lebih butuh keluarganya."
"Kamu keluarganya?"
Dalam sekejap, mata Karina terlihat fokus. Perempuan itu pun menatap lawan bicaranya dengan diam.
"Keluarganya saja nggak butuh dia."
"Tapi Bias butuh."
"Dan hubungannya dengan kamu?"
Lagi-lagi Karina terdiam. Susah baginya kali ini hanya untuk mengambil nafas.
Frans mengangkat Bias dari atas meja dan membawa bayi itu untuk duduk di samping Karina. "Karin, kepentingan Edgar sekarang sama sekali bukan urusan kamu. Dia orang lain sekarang. Nggak perlu kamu berbuat sejauh ini untuk dia."
"Tapi kesadaran Edgar berhubungan dengan kehidupan Bias selanjutnya, Frans."
"Bedakan dong! Kalau kamu peduli dengan Bias, nggak perlu kamu berbuat sejauh itu untuk Ayahnya." Frans menurunkan suaranya. "Dengan merawat Bias seperti sekarang, sudah menunjukkan betapa kamu peduli dengan dia kok."
Karina menatap Frans lekat-lekat.
"Dia pasti bikin kamu kacau kalau ada di sini. Dan aku nggak mau kamu kacau lagi, apalagi karena dia." Frans mengusap lembut pipi Karina untuk menghapus jejak air mata yang turun tanpa perempuan itu sadari. "Lihat, belum apa-apa kamu sudah kacau, kan?"
Karina membenamkan wajahnya di bahu Frans dan sedikit terisak. "Aku harus bagaimana, Frans?"
"Keluar dan temukan pegangan kuat yang lainnya, Karin. Baru hadapi Edgar lagi."
Karina semakin terisak di bahu Frans, sedangkan Frans tak melakukan hal lain selain mengajak Bias yang ada di dalam dekapannya untuk berinteraksi.
.
"Aku pulang, ya?" pamit Frans ketika berada di depan pintu rumah.
Karina hanya memejamkan mata sebagai jawaban karena tidak mau membangunkan Bias yang tertidur di pundaknya.
"Ingat! Jangan tampung Edgar di sini, atau aku nggak akan pernah kesini."
Bias tiba-tiba bergerak kecil dalam tidurnya.
"Sialan! Tahu aja kalau Papanya diomongin."
Karina mendengus. Lalu memberi isyarat Frans untuk segera pergi.
"Buruan tidur, besok pagi ada news room edisi terbaru. Jangan telat."
Mulut karena bergerak 'Iyaaaa' tanpa suara.
"Daaah.."
"Hati-hati," sahut Karina lirih.
.
.
.
.
Hari-hari berikutnya kehidupan Karina berjalan tanpa keputusan final apakah ia harus menampung Edgar atau tidak. Awalnya Karina berusaha tak memikirkan hal tersebut, namun setiap ia menatap mata bening Bias, gejolak hatinya untuk mendekatkan bayi itu dengan ayahnya kembali muncul dan menyiksanya.
Berbagai cara Karina perbuat untuk tak memiliki kesempatan menatap kedua mata Bias lebih lama setelah itu. Seperti sengaja datang sedikit terlambat, hingga datang pada saat Bias sudah tertidur. Atau dengan menghubungi Yati lebih pagi untuk segera mengurusi Bias lebih awal. Pada intinya, Karina berada dalam fase labil yang membuatnya harus mengambil langkah ini agar tak teringat Edgar saat berinteraksi dengan anak pria itu. Tak tega memang, namun bagaimana lagi?
Sama seperti malam ini, saat Karina masih mengingat dengan cukup jelas pukul berapa tadi ia menginjakkan kaki di rumahnya sendiri.
Pukul setengah dua belas malam.
Banyaknya naskah yang masuk dan harus ia sunting satu persatu supaya bisa naik upload besok siang, mau tak mau membuatnya memilih untuk menghabiskan waktu lebih lama di kantor daripada harus tergopoh-gopoh menyelesaikan semua naskah tersebut esok pagi.
Walaupun... ada alasan yang lebih kuat untuk mendasarinya pulang di jam seperti ini.
Tanpa mengganti pakaiannya, sepeninggal Yati dari pintu rumahnya, Karina membaringkan tubuhnya begitu saja di sofa ruang tengah.
Ia terlalu lelah.
.
.
.
"Ndaaa... Bunda."
Karina mendengar panggilan itu. Begitu nyata dan begitu dekat, seolah pemilik suara itu sedang berbicara tepat di telinganya.
"Bundaaaa..."
Mata Karina terbuka. Di atas ranjang kamarnya, terlihat Bias berdiri tanpa pegangan dan menatapnya takut. Karina mendekat, berusaha menggapai tubuh Bias untuk ia raih.
"Bunda... Papa."
Sekejap kemudian, Bias menangis begitu keras hingga memekakkan telinga. Karina menutup kedua telinganya, berusaha menghalau jeritan Bias. Namun hal tersebut sia-sia karena tangisan Bias semakin keras, apalagi saat perempuan yang ia benci hadir di sana dan meraih tubuh Bias begitu saja.
Sheryl mengambil Bias.
... Biasnya.
.
.
.
.
Mata Karina terbuka begitu saja. Dan saat ia beringsut duduk dari sofa yang ia tiduri, terdengar tangis Bias yang mendominasi.
Karina segera berlari menuju kamar dan menjeblak pintunya. Ia berlari menghampiri Bias yang tengah menangis keras di box bayinya.
"Sayang... cup cup cup."
Bias terus menangis walaupum sudah berada di dalam dekapan Karina. Keringat terlihat membanjiri tubuh bayi itu hingga membuat piyama tidurnya basah. Merasa ada yang janggal, Karina meletakkan sebelah tangannya yang bebas di atas kening Bias.
"Bias?"
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Happy Sunday...
Update cerita ini enaknya tiap hari apa ya man teman?
.
.
.
"Jangan marah, Mas Eza. Ngga kuat aku liatnya." 🥺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top