1. Benci

Sepasang tangan itu terulur, seolah ingin meraih tubuhnya yang terus melayang entah di mana. Semuanya gelap, tak ada satupun cahaya yang bersinar. Tubuhnya seolah dijerumuskan ke dalam jurang yang tak memiliki dasar. Ia takut, namun tak bisa menjerit. Hanya sepasang tangan mungil itulah yang mampu membuatnya sedikit tenang. Ingin sekali ia meraih dan mendekap pemilik tangan itu walaupun ia sendiri tak tahu itu tangan siapa. Yang jelas, ia hanya ingin meraihnya. Ia merasa pemilik tangan itu sangat berharga baginya.

.

.

... sebelum lagi-lagi sebuah cahaya teramat terang yang mampu membutakan matanya menarik sepasang tangan mungil itu dari dekapannya.

.

.

.

.

.

Karina terlonjak dari ranjangnya. Bulir keringat nampak jelas di dahi serta sepanajng lehernya. Jantungnya berdegup cepat, dan napasnya pun terdengar berat.

Mimpi itu lagi.

Karina menyalakan lampu meja yang ada di samping ranjangnya. Untuk sejenak, ia tak melakukan hal apapun selain mengatur napasnya. Ia benci. Batinnya selalu sesak jika mimpi itu kembali hadir. Amarah yang coba ia kubur dalam-dalam kembali datang saat mimpi itu membawa kenangan pahit untuknya. Tapi bagaimanapun, Karina bertekad ia takkan membiarkan air matanya turun lagi kali ini.

Beranjak dari tempat tidurnya, Karina melangkahkan kaki menuju dapur. Segelas susu hangat akan membantu menenangkan pikirannya sebelum kembali tidur. Setelah menyalakan kompor, Karina mendudukkan dirinya di sudut dapur. Lolongan anjing dari rumah sebelah membuatnya mencari letak jam dinding yang ada di sana. Pukul dua dini hari, pantas ia merasa tidurnya sangat singkat. Bagaimana tidak? Ia baru saja menginjakkan kakinya ke rumah pukul sebelas malam, dan baru bisa menutup matanya sekitar pukul dua belas. Kesibukkannya sebagai editor majalah wanita terkemuka memang membantunya untuk melupakan memori pahitnya, namun tampaknya hal itu juga berdampak pada kesehantannya.

Decitan teko mengalihkan perhatian Karina untuk sejenak. Wanita itu dengan cekatan menyiapkan segelas susu untuk dirinya sendiri. Setelah selesai, ia membawa gelasnya dan memilih ruang tengah untuk menikmatinya. Kepala Karina segera menoleh begitu ia mendengar ketukan ringan di jendela rumahnya. Tak butuh waktu lama, ketukan itu kembali hadir diiringi kawan-kawan sejenisnya. Gerimis. Karina benci hal itu.

Tak ada yang salah sebelumnya dari gerimis. Bahkan jauh sebelum ini ia merasa nyaman jika gerimis hadir menyapa bumi. Namun setelah ia merasakan sakit karena seseorang yang membuatnya merasa nyaman akan gerimis, ia seakan tak mau memandang lagi nikmat Tuhan tersebut. Karina menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Mata cokelatnya memandang kosong ke arah jendela yang kini penuh dengan titik-titik air yang hadir di sana.

Ia kesepian, ia tahu. Namun mengapa takdir mempermainkannya? Benarkah Tuhan sama sekali tak ingin menakdirkan ia untuk bahagia? Jika benar, mengapa harus melalui orang yang sangat berarti baginya? Mengapa? Mengapa pria itu? Mengapa harus Edgar Bastian? Pria yang dicintainya?

Air mata Karina menetes tanpa ia sadari. Potongan cerita tentang penghianatan seolah berputar di dalam kepalanya dan memaksanya untuk memejamkan mata. Cepat-cepat perempuan itu menghapus air matanya, dan segera mengambil rokok yang ia ambil dari bawah meja. Tangannya gemetar saat menyalakan api, desakan air matanya kembali tak terbendung lagi. Namun Karina tak mau. Ia tidak ingin kalah lagi kali ini. Ia terus membuka matanya walaupun pandangannya mulai buram karena air mata. Tak lama setelahnya, isakan kecil keluar dari mulutnya.

Ya Tuhan, Karina benar-benar tidak ingin mengalah pada emosinya. Tapi mengapa Kau bersikeras untuk membuatnya terlihat lemah?

Dengan menekuk kedua kakinya, Karina menyembunyikan tangis di kedua lututnya. Ia kalah lagi. Dan tangisnya semakin menjadi-jadi saat sebelah tangannya memeluk perutnya sendiri.

Maafkan Mama, sayang....

.

.

Rasanya baru sekejap Karina menutup matanya untuk kembali terlelap di atas sofa. Dering telepon yang tidak jauh dari tempatnya berbaring seolah-olah berteriak di dekat telinganya dan memaksanya untuk membuka mata. Telepon itu menang, dan mau tidak mau Karina membuka matanya.

Tangan Karina mengangkat gagang telepon itu sebelum kepalanya menoleh ke arah jam dinding. Pukul setengah empat pagi. "Halo?" sapanya malas. Suara di seberang yang menyambutnya terdengar sangat berisik. Teriakan orang. Deru mobil. Sirine. Siapa yang tengah meneleponnya?

"Emm... Bu Karina? Apa anda mengenal Pak Edgar Bastian?"

Karina merasakan dadanya tertekan oleh sebuah tombak yang kasatmata. Sudah lama tak ada yang menyebut nama pria itu setelah sekian lama. "Dia mantan suami saya. Siapa ini?" tanya Karina dengan sedikit emosi.

"Kami dari petugas polisi. Mobil yang dikendarai Pak Edgar mengalami kecelakaan di tol, Bu. Saksi mata bilang bahwa sebelum mobil Bapak Edgar terbalik, mobil itu mengalami selip di ban bagian depan. Sekarang Pak Edgar dan bayi yang satu mobil dengannya sudah dibawa ke rumah sakit, sedangkan satu wanita yang juga satu mobil dengan mantan suami Ibu meninggal di tempat kejadian."

Tak ada jawaban dari Karina. Seluruh tubuhnya tiba-tiba melemas. Perkataan pria itu mengejutkannya hingga membuatnya tak mampu mengucap barang sepatah katapun. Hampir saja ia merosot jatuh sebelum pria yang meneleponnya kembali bersuara.

"Kami tidak tahu harus menghubungi siapa, Bu. Kontak di ponsel suami anda tidak ada yang bermarga Bastian, dan hanya nomor anda yang tertera dalam panggilan keluar dari ponsel milik Pak Edgar sekitar setengah jam sebelum kecelakaan," suara di seberang seakan tenggelam oleh deru sirine yang semakin keras. "Bisakah anda menemui mantan suami anda, Bu? Dia kritis."

.

.

Karina tak tahu mengapa ia mengambil langkah ini. Setelah mendapat telepon tentang kabar kecelakaan Edgar, ia segera bergegas mengambil jaket, dompet, ponsel, kaca mata, serta kunci mobilnya begitu saja. Tak ada alasan pasti, ia hanya menuruti kata hatinya sendiri.

"Anggi, bilang sama Pak Frans kalau hari ini saya nggak bisa ke kantor. Saya ada urusan mendadak di luar kota," ucap Karina seraya masih menyetir kendali mobil.

Sahutan paham dari asistennya membuat Karina memutus sambungan dengan tenang. Walaupun suara Anggi terdengar masih mengantuk, Karina yakin gadis yang memiliki tinggi badan yang sama dengannya itu paham dengan apa yang ia katakan.

Tangan Karina kembali memencet beberapa tombol di layar datar ponselnya. Sesaat sebelum menekan tombol hijau, ia berhenti untuk berpikir. Haruskah ia menelepon orang-orang itu? Bukankah hubungan Edgar dan orang-orang itu sebagai keluarga tidaklah hangat? Mengesampingkan ponselnya, Karina kembali berkonsentrasi di jalanan gelap yang ada di depannya. Hari masihlah pagi. Jalanan yang lengang seperti akan memudahkannya mencapai tujuan dalam waktu kurang lebih dua jam.

Karina menghela napas dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil. Apa yang dipikirkannya sekarang? Mengapa lubuk hatinya seakan meneriakinya untuk menemui Edgar? Bukankah ia sakit hati pada pria itu? Harusnya Karina membencinya, kan?

Tidak. Hal sebenarnya yang terjadi adalah, Karina masih memiliki cinta untuk orang itu.

.

.

...masih, walaupun tersisa sebesar butiran pasir.

.

.

.

Tiga tahun yang lalu, saat Karina masih merasa hidupnya begitu sempurna, dan saat ia masih belum membenci gerimis.

Di siang hari yang terik itu, ia melangkahkan kakinya ceria di pinggiran pusat kota. Rambut hitam panjangnya berkibar saat angin menerpa wajahnya. Ia sengaja tak menggelung rambutnya karena ini semua khusus ia persembahkan untuk suaminya. Yah, karena suaminya lebih suka ia menggerai rambut panjangnya daripada menggelungnya ketika ia berangkat bekerja. Lagipula, ada sesuatu yang ingin ia berikan kepada suaminya sebagai hadiah.

Langkah Karina terhenti di depan toko roti. Di dalam hatinya, ia ingin sekali membelikan suaminya sebuah kue. Namun kenyataan bahwa suaminya kurang suka dengan makanan manis melenyapkan itu semua.

Sebuah dering ponsel yang berasal dari dalam tas-nya mengalihkan perhatian Karina dari jajaran kue yang ada di etalase toko itu. Senyumnya berkembang lebar saat mengetahui siapa yang meneleponnya. "Ya, Mas?"

"Kamu di mana?"

Karina kembali melanjutkan langkahnya. Entah mengapa ia malah tersenyum mendengar suara Edgar yang terdengar lebih dingin dari biasanya. "Aku di perjalanan nemuin kamu. Sebentar lagi sampai kok."

"Cepat, ya? Aku tunggu."

"Siap, Bos."

.

"Nunggu dari tadi?"

Edgar mendongakkan kepalanya begitu mendengar suara Karina. Sejenak, ia mengalihkan perhatiannya dari ponselnya, dan memerhatikan sosok istri yang duduk tepat di depannya.

"Kenapa belum pesan?" tanya Karina seraya mulai membolak-balikkan menu.

Cuaca siang itu memang tidak terlalu panas. Maka dari itu, banyak pengunjung restauran yang juga memilih untuk duduk di luar restauran seperti Edgar. Mereka semua terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Suara orang-orang itu bahkan seperti ratusan tawon yang saling mendengung kesana kemari. Yah, memang berisik. Tapi nampaknya Edgar terhanyut di dalamnya tanpa alasan pasti.

"Mas?"

Edgar menolehkan kepalanya cepat ke arah Karina. Pria itu tak langsung menjawab, melainkan hanya memandang Karina.

"Kamu kenapa? Sakit?"

"Enggak." Edgar membenarkan duduknya kembali. Tangannya meraih buku menu yang tadi dipegang oleh istrinya.

Karina memandang Edgar penuh tanya? Ada apa dengan suaminya? Raut wajah pria itu tidak tampak seperti biasanya.

Seorang pelayan yang baru saja Edgar panggil mengalihkan perhatian Karina untuk sejenak. Setelah ia dan Edgar menyebutkan makanan apa yang ingin ia pesan, pelayan itu pun berjalan masuk ke restauran.

"Ada yang mau aku bicarakan, Karina."

Karina memandang suaminya antusias. "Aku juga."

Kedua alis Edgar berkerut samar. "Kamu dulu," ucapnya.

Kedua tangan Karina sengaja ia lipat di atas meja sehingga membuat tubuhnya condong ke arah Edgar. Senyum optimisnya terukir hanya untuk suaminya tercinta. "Awalnya aku mau kasih tau berita ini setelah kita menyelesaikan makan siang. Tapi... sudahlah, itu nggak penting lagi," ucap Karina seraya mengibaskan tangannya pelan. Ia mengambil napas sejenak sebelum menatap suaminya dengan senyum yang lebih lebar dari sebelumnya. "Aku hamil."

Edgar tak berkutik. Tak ada yang berbeda sedikit pun darinya, termasuk raut wajahnya.

"Setelah ini kamu akan jadi ayah, Mas. Kamu senang?"

Masih tak ada respon. Sepasang mata hitam itu hanya bergerak untuk menghindari tatapan Karina. Dengan berat, Edgar menarik napasnya. "Akan aku jawab kalau kamu juga menjawab pertanyaanku."

Senyum Karina lenyap begitu saja. Tiba-tiba dadanya bergemuruh. Ia pun mendadak resah dengan apa yang akan diucapkan suaminya. "Mas?"

"Kalau aku memilih untuk hidup dengan wanita lain yang lebih kucintai, apa yang akan kamu perbuat?"

Karina ternganga. Detak jantungnya seolah berhenti saat itu juga. Udara di sekelilingnya yang tadi terasa sejuk, entah mengapa seolah mencekamnya dan membuatnya susah untuk mengambil napas.

Apa maksud perkataan Edgar?

.

.

Tak ada jawaban dari Karina saat itu. Ia hanya bisa menangis tanpa suara. Sekujur tubuhnya kala itu bergetar hebat. Selembut apapun Edgar menenangkannya dan memeluknya, ia tidak bisa menghentikan air matanya. Ingin rasanya ia memeluk tubuh suaminya dengan waktu yang lama. Ia sama sekali tidak ingin kehilangan sosok Edgar dari sisinya. Walaupun masih sebuah pertanyaan, dan Edgar tak membahasnya lagi, entah mengapa Karina merasa itu adalah sebuah ancaman yang bisa hadir kapan saja di dalam hidupnya.

.

.

...namun seharusnya Karina sadar dari awal kalau itu adalah sebuah tanda dari sang suami yang sudah tak mencintainya lagi.

.

.

.

Karina tiba tepat saat matahari menampakkan sinarnya beberapa saat yang lalu. Setelah memarkirkan mobilnya, ia segera memasuki gedung rumah sakit dan mencari informasi tentang di mana Edgar di rawat. Cukup mendengar deskripsi singkat dari petugas resepsionis, Karina melangkahkan kakinya pasti menuju lift. Sesaat setelah pintu lift terbuka, ia berjalan masuk dan menekan salah satu tombol lantai setelah menekan tombol untuk menutup pintu.

Saat masih menjadi pencari berita pemula beberapa tahun yang lalu, Karina pernah meliput rumah sakit Medi Health dengan ditemani Frans sebagai editornya. Setidaknya, dengan pengalamannya ia bisa mencapai tempat tujuannya tanpa harus berhenti sejenak untuk bertanya arah kepada para pegawai.

Pintu lift kembali terbuka di lantai 8. Tak butuh waktu lebih lama lagi, Karina menembus lorong yang lengang di depannya dengan perasaan gelisah yang kian membuncah. Sebentar lagi Karina akan melihatnya. Melihat pria yang lebih dari dua tahun meninggalkan dirinya. Karina tak tahu apakah ia harus marah atau bagaimana. Kedua lututnya semakin melemas kala langkahnya semakin dekat dengan ruangan dimana Edgar dirawat.

Ruangan itu terbuka perlahan. Cahaya dari luar ruangan pun seketika masuk dan menyinari ruangan yang dipenuhi dengan alat-alat medis tersebut. Edgar berada di sana. Berbaring lemah tanpa mengenakan atasan dengan beberapa selang yang terpasang di dada dan perutnya. Bagian leher pria itu dilingkari oleh penyangga leher yang membuat keadaannya terlihat lebih miris. Saat melangkah masuk, suara mesin pendeteksi detak jantung pun menyapa telinga Karina dengan lantangnya. Dapat dipastikan, wajah Karina memucat saat itu juga saat melihat mantan suaminya.

Karina terdiam tak jauh dari pintu yang belum menutup sepenuhnya. Kakinya seakan tak mampu untuk lebih mendekat lagi. Sebesar apapun keinginan Karina untuk tidak melihat wajah Edgar, hatinya tetap tak tega jika melihat keadaan pria itu seperti ini. Air matanya pun tak terasa mengalir jatuh dari sepasang mata kecokelatannya.

"Maaf?"

Segera saja Karina menoleh ke arah sumber suara yang tiba-tiba mengejutkannya. Terdapat di sana, dua pria yang tengah berdiri dengan seragam yang berbeda.

"Anda Ibu Karina?" tanya salah satu pria yang berseragam kepolisian.

Karina masih tak mampu menjawabnya. Wanita itu hanya bisa menghapus sisa air mata yang ada di pipinya.

"Saya Reza Prayoga, kepala kepolisian sektor wilayah ini." Pria itu kembali bersuara seraya mendekat. "Saya yang tadi menelepon anda, Bu. Bisa kita bicara sebentar?"

Tak ada pilihan bagi Karina untuk menolak. Setelah memperhatikan sesaat pria satunya lagi yang ber-jas medis, Karina mengikuti langkah Reza berjalan keluar ruangan.

.

"Saya bersyukur anda datang, Bu Karina."

Karina tak langsung menyahut. Ia hanya menuruti gerakan tangan Reza yang menyuruhnya untuk duduk di bangku di lorong yang ia lewati tadi.

"Setidaknya akan ada orang yang tahu kalau Pak Edgar sedang dalam kondisi seperti ini," sambung Reza seraya duduk tak jauh di samping Karina.

"Apa yang terjadi dengan Edgar?" tanya Karina setelah beberapa saat memilih diam.

Reza menarik napas singkat. "Pak Edgar mengalami kecelakaan dengan istri dan anaknya. Beruntung Pak Edgar dan anaknya selamat."

Istri? "La−lalu... b−bagaimana dengan istrinya?" tanya Karina tergagap.

Hanya gelengan kepala lemah yang ditunjukkan Reza. "Istri Pak Edgar terlempar jauh dari mobil. Kepalanya mengalami pendarahan hebat karena benturan yang sangat keras dengan pembatas jalan. Ketika ambulans tiba di sana, dia sudah tidak tertolong."

"Siapa nama istrinya?"

Reza menatap Karina sejenak dengan tatapan yang tidak dapat Karina artikan. "Sebelum menikah, namanya adalah Sheryl Nara Tambunan. Tidak banyak data yang kami dapat tentang dia. Ibu Sheryl bukanlah karyawan di perusahaan manapun. Di wilayah ini sendiri, tidak ada marga Tambunan yang tercatat di catatan sipil. Kami rasa Bu Sheryl berasal dari kota lain. Apa anda mengenalnya?"

"Tidak."

Reza terdiam, nampak berpikir keras.

"Boleh saya melihat keadaan bayinya?"

Fokus Reza kembali ke Karina. Pria berbadan tegap itu mengangguk sebelum berdiri dan menyilahkan Karina berjalan di sebelahnya.

.

.

Karina memperhatikan lekat-lekat tangan mungil yang terpasang infus tersebut. Pandangannya kemudian beralih ke wajah bayi laki-laki yang kini terlelap itu. Tampan, hidung bayi itu juga sudah terlihat mancung. Bayi itu tampak seperti Edgar versi kecil.

Ada rasa sedikit penasaran yang hinggap di hati Karina. Apakah warna mata bayi tampan itu? Apakah segelap mata ayahnya?

"Saya mengenal Pak Edgar baru tiga bulan ini setelah Pak Edgar menyelamatkan Ibu saya dari tabrak lari."

Kepala Karina menoleh ke arah Reza yang baru membuka mulut sejak mereka tiba di ruangan ini.

"Entah kebetulan atau apa, mobil saya melintasi tempat kejadian kecelakaan dan menemukan orang yang pernah membantu Ibu saya tak sadarkan diri dengan bersimbah darah." Tatapan Reza beralih ke bayi yang berada di sampingnya. "Saya benar-benar minta maaf jika saya salah menguhubungi orang."

Tak ada tanggapan dari Karina. Dan Reza pun kembali melanjutkan kalimatnya serta menatapnya dengan penyesalan. "Melihat kondisi Pak Edgar yang sekarang terbaring koma, saya hanya memikirkan keberlangsungan hidup bayi ini ke depannya."

Perlahan Karina menatap kembali bayi tersebut. Karina sendiri bingung harus mendeskripsikan perasaannya bagaimana. Apakah ia harus membenci bayi ini? Bukankah Ibu bayi ini yang merampas kebahagiaannya dengan Edgar di masa lalu? Ya, harusnya iya. Harusnya ia membenci bayi ini dan tak memikirkannya sedikit pun.

... dan seharusnya juga, anak darinya lah yang menjadi anak dari Edgar, bukan bayi ini.

Karina seketika berdiri dan berjalan menuju pintu. Emosinya entah mengapa hadir begitu saja. Ia marah, kesal, dan benci, entah terhadap siapa. Terhadap bayi tersebut, atau dengan Ibunya. Dengan kasar Karina membuka pintu dan menutupnya dengan kasar pula. Panggilan Reza sama sekali tidak ia hiraukan. Air matanya sudah menggenang, ia tak mau lagi berada di rumah sakit ini. Sayup-sayup Karina mendengar suara tangisan bayi sebelum ia berjalan semakin menjauhi ruangan itu.

Ia tidak peduli, sungguh ia tak mau peduli.

.

.

.

.

.

Karina

.

.

.

.

.

Edgar

.

.

.

.

.

Reza

.

.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Pembaca cerita-cerita saya kemungkinan besar pasti tahu kalau ini cerita lama. Wkwkwk...

Saya republish karena terdapat beberapa part acakadut yang tidak bisa diperbaiki kalau tanpa di-unpublish dulu. Just fyi... nantinya juga bakal ada beberapa part yang sedikit saya ubah untuk penyelarasan cerita biar lebih haucek ping ping. Hehe...

Do'akan saya istiqomah dan semangat lagi di cerita ini sampai tamat dalam waktu yang nggak kelamaan ya teman-temaaaaan 😄

Dan... silakan kasih tanda di mana aja bagian yang berubah menurut kalian sepanjang cerita ini berjalan ya... kalau di chapter-chapter awal gini sih belum ada apa-apa selain visual karakternya. Hehe...

Hayo... siapa aja nih menurut kalian karakter yang berubah itu? 😝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top