PUPUS SUDAH KASIH GADIS
Segerombolan orang berpakaian serba hitam bersenjata lengkap, bersembunyi di balik semak-semak. Mata tajam mereka selalu mengawasi bangunan yang terlihat seperti gedung tua. Tampak dari luar sepi dan suasananya pun mencekam. Namun jika seseorang tak jeli dan tidak tahu, mungkin akan berpikir, jika tempat itu adalah rumah tua tanpa penghuni. Tapi, keadaan di luar menipu, berbanding terbalik dengan apa yang ada di dalam. Berbagai ruangan ada di sana, hingga ruang rahasia pun ada, dan banyak kegiatan terjadi di dalam gedung itu. Hanya saja, pencahayaannya sangat terbatas.
Sepasang anak manusia sedang menikmati kebersamaannya di salah satu serambi atas bangunan itu. Mereka tertawa bersama, merenda kasih dan cinta dalam balutan kasmaran. Pelukan hangat melindungi si gadis dari belakang.
"Darling, apa rencana kamu setelah kita menikah nanti? Apakah kamu akan tetap meneruskan bisnis Papa? Atau mau mendirikan bisnis sendiri?" tanya Gadis, wanita pujaan hati Alan Simbolon Roberto.
Alan adalah mentor atau dalam dunia mafia disebut capo di gangster Naga Merah. Penjahat kelas kakap yang diketuai oleh Luky Robert, yang tak lain ayah kandung Gadis Mahesa Robert.
"Mungkin aku akan melanjutkan bisnis ilegal papa kamu, Sayang. Secara, bisnis ini susah payah kami pertahankan sampai menjadi besar, seperti sekarang ini," ujar Al, begitulah sapaan akrab Alan.
Gadis membalikkan badannya, dia menyandarkan kepalanya di dada bidang Al. Detak jantungnya, membuat dia takut, takut jika tak dapat lagi mendengar ritme yang membuatnya nyaman dan tenang.
"Berada di sampingmu, adalah kenyamanan yang tak bisa aku dapatkan dari orang lain, kecuali Papa. Aku ta..."
"Takut kenapa?" tanya Al langsung menyela, menegakkan tubuh Gadis dan menyisihkan rambut panjang wanita itu, di belakang telinganya.
Al juga mengelus pipi Gadis menggunakan punggung tangannya, menatapnya lembut, meneduhkan hati Gadis.
"Aku takut, kalau tidak bisa lagi berada di samping kamu. Aku tidak pernah bisa membayangkan, bagaimana masa depanku tanpa kamu, Darling. Bagiku, kamu adalah nyawaku. Oksigen yang setiap detik kamu hirup, itu adalah napasku, detak jantung yang selalu berdetak di dalam dadamu, itu juga nadiku. Jika seandainya semua itu tak ada lagi, apa arti hidupku?" Suara Gadis bergetar, dengan cepat Al menariknya ke dalam pelukannya.
Dia juga mengecup kening Gadis, mengelus punggungnya dan entah mengapa ada perasaan takut menjalar di dalam dadanya. Tak pernah dia merasakan ketakutan seperti ini, walaupun kepalanya tertodong senapan pun, dia tak setakut saat ini.
"Jangan mengatakan itu, Sayang. Ingat, jika sampai terjadi sesuatu padaku, kamu harus tetap melanjutkan hidupmu. Aku akan selalu ada di setiap langkahmu, meskipun kamu tidak bisa melihatku, dan aku tidak tampak nyata di depanmu. Percayalah padaku, kita semua akan baik-baik saja," ujar Al mengeratkan pelukannya.
Meskipun dia sudah mengusir rasa takutnya, menghibur calon istrinya agar tak merasa takut, namun tetap saja hatinya diselubungi perasaan yang entah mengapa sangat berbeda dan aneh dari hari-hari biasanya. Bukan takut akan mati tertembak, namun dia sangat takut, jika harus terpisah dengan Gadis, wanita satu-satunya yang mampu menawan cintanya dalam penjara hati Gadis.
Ketika mereka sedang menikmati kebersamaannya, derap langkah kaki berlari mendekat.
"AL!!! CEPAT LARI!!! TEMPAT INI SUDAH DIKEPUNG ANGOTA BIN DAN FBI!!!" teriak seorang pria dewasa bertubuh tegap dan berotot yang bekerja sebagai kaki kanan Luky.
Dia terlihat sudah kalang kabut untuk melarikan diri. Setelah memberi tahukan itu, dia lantas berlari mencari aman. Al dan Gadis yang tersentak kaget, lantas mereka segera berlari, melindungi diri agar tak tertangkap. Tangan Al sangat erat menggenggam tangan Gadis, segera dia mengajaknya berlari untuk melarikan diri.
Suasana di dalam gedung itu sudah tak beraturan, suara teriakan dan derap langkah kaki menguasai gedung yang cukup luas itu, ditambah suara tembakan semakin membuat suasana mencekam. Orang-orang berhamburan menyelamatkan dirinya masing-masing. Badan intelijen Nasional, telah bekerja sama dengan CIA, FBI dan FSB untuk menggrebek markas mafia terbesar di negara ini, yaitu markas gangster Naga Merah.
Ketika mereka sedang berlari, tiba-tiba Gadis menahan tangan Al. Akhirnya Al pun ikut berhenti, karena Gadis sudah lebih dulu menghentikan langkah lebarnya.
"Darling, Papa!" Gadis teringat bagaimana dengan keselamatan papanya.
"Ayo, kita cari dulu!" Al kembali mengajak Gadis berlari mencari keberadaan Luky.
Derap langkah sepatu berlarian, hingga tembakan senjata api, menghiasi suasana tengah malam di gedung berlantai tiga itu. Al terus mengajak Gadis berlari menyusuri lorong yang gelap, untuk pergi ke tempat perakitan senjata. Di sana biasanya Luky berada, saat malam hari untuk merakit senjata ilegal, pesanan dari mitra bisnisnya.
"PAPA!!! PAPA!!! BUKA PINTUNYA" teriak Gadis tak sabar menggedor pintu besi.
Al mengawasi sekeliling mereka, senjata selalu siap ia genggam. Tak ada jawaban, Al pun memutuskan untuk mendobrak pintunya. Namun sayang, pintunya tak dapat terbuka dengan mudah. Gadis sudah merasa sangat cemas, keringat dingin bercucuran di seluruh tubuhnya, hingga membasahi baju yang dia pakai.
"ALAN!!! GADIS!!!" panggil Luky dari jarak yang semakin dekat dengan mereka.
"PAPA!!!" Gadis langsung berlari mendekati Luky yang juga berlari ke arahnya.
Gadis memeluk Luky, dia pikir Luky berada di dalam ruang perakitan. Ternyata tidak, Luky tadi sedang berada di dalam kamarnya.
"Ayo Om! Kita harus segera pergi dari sini!" ajak Al menyiapkan pistol jenis FN Five-SeveN yang sudah dia rakit ulang.
Gadis menggenggam tangan Luky, bersiap mengajaknya berlari. Alan berlari di depan mereka, mencarikan jalan untuk calon mertua dan calon istrinya agar mereka dapat segera keluar dari tempat itu tanpa ada yang melihat. Semua pasukan masih sibuk melawan anak buah Luky di lantai bawah. Lantai tiga ini adalah wilayah khusus milik mereka bertiga, dari kamar pribadi, ruang perakitan senjata hingga ruang menyimpanan senjata pun di lantai tiga.
"Al, kita lewat jalan rahasia saja," usul Luky.
"Baiklah, Om! Ayo!"
Mereka bertiga berlari, ke arah ruang penyimpanan senjata ilegal. Di tempat itu ada lift rahasia yang dapat mengantarkan mereka sampai di ruang bawah tanah.
"Woiy!!! ITU MEREKA!!!" teriak salah seorang dari kegelapan.
Sangat disayangkan, belum juga mereka masuk ke ruang penyimpanan senjata, segerombolan orang berseragam serba hitam membawa senjata berlari mengejar mereka. Mereka pun menjadi semakin kalang kabut dan gelagapan. Namun mereka tak ingin menyerah begitu saja, Al terus menarik tangan Gadis, sedangkan tangan Luky selalu Gadis genggam erat. Mereka bertiga terus berlari menuju ke ruangan yang dimaksud. Meski lelah dan napasnya sudah memburu, mereka tetap terus berlari.
"Ayo Pa!" ajak Gadis menggandeng tangan Luky, dan sedikit menariknya agar Luky tak berhenti di tengah pelarian mereka.
"Ka-li-an ... duluan!" pinta Luky, napasnya sudah terputus-putus dan bengek.
"Tidak Om! Kita harus pergi bersama-sama!" paksa Al membantu Gadis menarik tangan Luky.
Pintu ruang penyimpanan senjata sepertinya jika hari-hari biasa terasa dekat, namun mengapa sekarang rasanya sangat jauh? Sebelum sampai ke ruangan itu, mereka lebih dulu harus masuk ke sebuah ruang yang menghubungkan ke tempat penyimpanan senjata itu.
"Al, Om sudah... tidak kuat ... lagi," ujar Luky terputus-putus karena napasnya memburu, namun tetap dia paksa berlari demi keselamatan anak dan calon mantunya.
Meskipun langkahnya sudah terseok-seok, Luky tetap saja berlari. Faktor usia tak mendukungnya untuk berlari terlalu lama.
"TIDAK, PA!!! Kita harus selamat!" pekik Gadis kini berganti mendorong Luky dan Al yang melindungi mereka dari depan.
Mereka terus berlari, karena kejaran orang-orang itu semakin dekat. Tembakan terus dilepaskan agar mereka berhenti. Namun semakin banyak tembakan itu lepas ke arah mereka, justru semakin kencang mereka berlari. Suasana gedung yang remang, sedikit menyamarkan keberadaan mereka.
"BERHENTI KALIAN!!!" gertak suara lantang, terus mengejar mendekati mereka.
Napas Luky sudah tersengal-sengal, rasanya dia tak sanggup lagi berlari. Gadis dan Al terus berusaha berlari, tanpa diduga, ketika tujuan mereka sudah hampir tercapai....
Dor!!!
Dor!!!
Dua kali tembakan diarahkan kepada mereka, dan salah satu diantaranya mengenai Luky.
"Aaarrrrggg!!!" pekik Luky langsung memegangi dada bagian bawah kirinya.
"PAPA!!!!" teriak Gadis melihat darah keluar dari punggung Luky.
Tinggal beberapa langkah lagi, seharusnya mereka dapat melarikan diri, melewati tempat rahasia itu. Namun mengapa justru tembakan mengenai Luky??!! Al menarik tubuh Luky yang sudah lemas, masuk ke ruang penyimpanan senjata, lantas dia menutup rapat pintunya, memasukkan beberapa kode dan menempelkan sidik jarinya ke sebuah alat pintar yang tertempel di samping pintu besi itu.
"Papa...." Gadis sudah menangis histeris saat Luky menjatuhkan diri di lantai.
"Om." Al mendekati Luky.
Derap langkah kaki tak beraturan semakin mendekati ruangan penyimpanan senjata itu. Gedoran kasar berusaha mendorong pintunya, namun tak semudah itu mereka dapat membuka pintu yang terancang khusus dan terbuat dari baja dan besi.
"Al, bagaimana ini?" ucap Gadis sudah kebingungan bercampur takut dan khawatir melihat kondisi papanya.
Di sisi lain, mereka harus segera pergi dari tempat itu, namun di lain sisi, keadaan Luky sepertinya sudah tak mendukung, untuk ikut mereka berlari. Al sendiri juga kebingungan, apalagi situasi di luar ruangan, sepertinya orang-orang itu sudah memiliki cara untuk membuka pintu tersebut.
"Om, Ayo kita harus pergi dari sini!" Al masih saja terus berusaha membangunkan Luky.
Dia tetap memapah Luky, walaupun tubuh Luky semakin lemas dan berat. Sedangkan Gadis menjaga mereka dari belakang, seraya membantu Al menahan punggung Luky. Air matanya terus berlinangan, mengapa ini terjadi kepada mereka?
"Bawa pergi Gadis, Al." Pimpinan mafia Naga Merah itu, berjalan tertatih sambil menahan dadanya yang sudah berlumur darah segar karena tertembak timah panas yang begitu menyiksanya saat ini.
"Papa...." Air mata Gadis sudah bercampur dengan peluh, membasahi wajahnya.
"Om." Al berusaha membantu Luky berjalan, namun sayang tubuh itu semakin berat hingga akhirnya mereka pun terjatuh.
Tenaga Al sudah terkuras karena sedari tadi berlari dan harus menyelamatkan dua orang yang dia sayangi.
"Om, ayo! Pintu lift-nya sudah sangat dekat. Please, tolong bertahan, Om."
Gadis sudah berlutut di samping Luky sambil menggenggam tangannya. Dia hanya, menangis tak mampu berbuat apa-apa lagi.
"Al, di antara kita harus ada yang selamat. Bawa Gadis pergi dan selamatkan diri kalian. Jangan pikirkan aku, hiraukan aku, pergilah kalian!" pinta Luky mendorong Al dan Gadis agar melanjutkan pelariannya.
Napasnya sudah terputus-putus dan matanya semakin lama, semakin menyipit.
"Papaaaa...," lirih Gadis menangis sesenggukan seraya memegang tangannya yang semakin dingin.
Lama-lama mereka tak lagi mendengarkan napas Luky. Al mengecek nadinya, tak ada lagi detakan. Belum percaya dengan hal itu, Al berusaha memberikannya napas buatan, percuma saja, karena Luky sudah meninggal.
Pintu baja itu terdengar sudah dapat terbuka, Al dan Gadis pun terkejut. Dengan sangat berat hati mereka harus merelakan Luky tertinggal di sana sendiri.
"Ayo Sayang! Masuk! Cepat!" perintah Al mendorong Gadis agar lebih dulu masuk ke dalam lift rahasia, yang tersembunyi di balik bufet besar penyimpanan senjata api.
Setelah mereka sampai di ruang bawah tanah, tak disangka, ternyata di sana sudah dikepung beberapa orang. Al pun dengan cepat harus memutar otak, bagaimana caranya agar mereka tak tertangkap.
"Itu mereka!" tunjuk seseorang lantas mengejar Al dan Gadis.
Entahlah, ke mana langkah lebar itu pergi, Al terus menggandeng tangan Gadis erat. Dia tak memikirkan apa pun, kecuali keselamatan wanita yang dia cintai. Hingga tak terasa, langkah mereka pun sampai di tengah hutan. Napas keduanya memburu, karena sudah tak mampu lagi berlari, Gadis pun menahan tangan Al.
"Darling, tunggu!"
Mereka berhenti di kegelapan hanya sinar rembulan yang menjadi satu-satunya pencahayaan mereka. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di antara mereka nanti. Suasana di depan mereka sangat gelap dan sepi, hanya suara jangkrik yang dapat mereka dengar.
"Woiy! Jika kamu mendengar teriakanku, menyerahlah!" teriakan suara lantang, semakin dekat dengan keberadaan mereka.
"Mereka datang, bagaimana ini?" ujar Gadis kelimpungan.
Al menarik napasnya dalam. "Ssssst... jangan khawatir. Diam, jangan berisik," bisik Al menarik Gadis bersembunyi di balik pohon. "Untuk bisa selangkah terdepan dari lawan, kita harus bertarung secara agresif dengan wajah tenang."
Al menggenggam tangan Gadis, tangannya terasa dingin. Al dapat merasakan ketakutan hati calon istrinya itu. Tubuhnya gemetar dan napasnya pun sudah tersengal-sengal.
"Aku takut Al," rengek Gadis.
"Jangan pernah takut, karena aku juga nyawamu. Kamu punya dua nyawa. Jika aku mati, kamu masih akan tetap hidup." Al meraba wajah Gadis.
Meski suasana gelap, namun cahaya rembulan sedikit memberikan mereka sinar. Walaupun tak jelas, tapi Al masih dapat menatap wajah cantik Gadis, meskipun samar-samar.
"Kamu harus siap, apa pun yang terjadi" ujar Al menggenggam tangan Gadis erat.
"Jangan pernah tinggalin aku. Karena kamu adalah seluruh napasku," rajuk Gadis dengan perasaan takut dan was-was.
"Tetaplah menjadi gadisku. Gadis yang tegar dan malaikat iblisku." Al mengecup bibir Gadis cepat dan segera melepaskannya kembali. "Kamu harus selamat, berlarilah sekencang-kencangnya, bersembunyilah di tempat yang aman. Paham?" Al menangkup wajah Gadis dan menatap wanita tercintanya, dibatas pencahayaan.
"Aku sangat mencintaimu, Al." Gadis tak kuasa menahan air matanya, lalu memeluk Al sangat kuat. Al membalas pelukan Gadis, ada perasaan tak rela jika dia harus melepaskannya sendiri.
"Aku juga sangat mencintaimu, Gadis. Pergilah! Cepat!" Dengan perasaan tidak rela, Al melepas pelukan cintanya. "Kita berpisah bukan karena dusta atau penghianatan. Tapi, situasi dan kondisi saat inilah, yang harus memaksa kita harus berpisah. Tolong, kamu harus selamat."
"Tapi...," ucapan Gadis terpotong.
"Bawa ini untuk melindungi diri." Al memberikan senjata api genggam yang sering orang mengenalnya dengan pistol.
"Ini milik kamu dan nyawa bagimu, Al." Gadis berniat menolaknya, namun Al mengeratkan genggaman tangan Gadis, memaksanya untuk menerima pistol jenis FN Five-SeveN.
Air mata kepedihan atas meninggalnya Luky, belum juga kering. Kini dia harus menambah air mata penderitaannya, dengan keputusan Al yang menginginkan dia harus selamat sendiri. Itu artinya, Al akan melindunginya dan mengecoh para intelijen itu, agar tak mengejar dirinya setelah Al tertangkap nanti.
"FN (Five-SeveN) ini harus kamu bawa ke mana pun kamu pergi, untuk melindungi diri, saat aku nggak ada lagi di samping kamu. Pistol ini semi otomatis, rancanglah ulang di markas, jika keadaan sudah aman. Pakailah sesuka hati kamu, alat-alat yang ada di kamarku. Aku percaya kamu bisa, Sayang." Al sekilas mencium kening Gadis.
"Al...." Gadis menatap Al nanar.
"Pergilah, sebelum mereka menemukan kita berdua. Yang lain sudah tertangkap, papa kamu juga sudah tertembak. Tinggal aku dan kamu. Di antara kita harus ada yang selamat."
Deru suara sepatu berat semakin mendekati mereka. Al segera mendorong tubuh Gadis agar lebih dulu berlari dan Al yang akan menghadapi mereka sendiri.
"Al, I love you." Suara Gadis parau, tertahan di tenggorokan. Perasaan Gadis sangat berat meninggalkan lelaki yang sangat dia cintai.
"I love you more. Pergilah!" Al mendorong tubuh Gadis.
Dengan perasaan yang berkecamuk dan kalut, Gadis berlari sekencang-kencangnya menerjang semak-semak belulang, untuk menyelamatkan diri. Air matanya berlinangan seiring kakinya dan tubuhnya yang gesit menyusuri hutan liar di tengah malam itu.
Dor!!!
Suara tembakan menghentikan langkah Gadis dan dia bersembunyi di balik semak-semak yang lebat. Napasnya memburu, dan dia juga berusaha menahan suara tangisannya agar tidak lolos. Gadis merasa lelah karena sudah berlari kencang sedari tadi.
Dor!!!!
Tembakan kedua membuat mata elang gadis menangkap cintanya tersungkur jatuh di depan matanya.
Mata Gadis memerah amarah dan rahangnya mengeras di balik semak-semak hutan itu, berselimut dendam yang kuat hingga seketika mendarah daging. Cahaya dendam terpancar jelas di manik matanya, saat melihat seorang pria gagah mengangkat senjata api, tangan lurus mengulur ke depan, masih menodongkan senjatanya ke arah tubuh Al yang mungkin sudah tak bernyawa lagi. Sangat jelas di mata Gadis bahwa pria itulah yang sudah membunuh kekasihnya.
"Alan...." Gadis berkata sangat lirih melihat tubuh kekasihnya sudah tersungkur di tanah dengan darah keluar dari kepalanya.
Kejadian itu jelas terlihat di depan mata Gadis karena di sana, tersorot cahaya terang dari segerombolan orang-orang berpakaian serba hitam berdandan ala intelijen. Ingin rasanya dia berteriak sekuat tenaga dan menghabisi orang-orang yang sudah membuat nyawa kekasih hatinya itu melayang.
"Nyawa harus dibayar dengan nyawa." Gadis menggenggam pistol peninggalan Al erat.
##########
Rex_delmora
Cerita action pertama yang berkolaborasi dengan ebiiefebriana . Sebenarnya ini kolaborasi kami berdua, yang kalin ketigaya, hanya saja yang kedua, sengaja tidak dipublikasikan. Kalau kolaborasi bareng-bareng sih, sudah yang ke berapa ya, Bie? Hihihihi
Intinya, jarak tidak menghalangi kami untuk tetap bekarya bersama.
Menerima tantangan 30 hari dari AEPublishing
Bu ukinurpratiwi , putrimikha dan Kak widyahadi mohon doa restunya. Ini cerita action pertama, semoga saja tidak mengecewakan. Dua kali latihan bikin cerpen action, semoga cukup untuk bekal bikin novelnya. Hehehe😂🔫💣
Untuk para pembaca setiaku, terima kasih sudah mengusulkan agar aku mencoba membuat novel action---keluar dari zona aman---walaupun kolaborasi, tapi tetap saja harus bekerja sama mencari informasi. Terima kasih untuk vote dan komentarnya ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top