PERMAINAN DIMULAI

Bima termenung di kamarnya, setelah tadi ia puas mencari bukti untuk hari ini. Beberapa hari usahanya mendekati Gladis membuahkan hasil walaupun belum maksimal. Bima sudah tahu bahwa Gladis dan Gadis adalah dua orang yang berbeda. Tapi, sampai saat ini ia belum juga bisa menemukan di mana keberadaan Gadis. Markas gengster Naga Merah memang cukup besar, tapi akankah selama itu juga orang akan diam bersembunyi dari dunia luar?

"Siapa Gadis itu? Kenapa misterius sekali keberadaannya?" guman Bima.

Bima mengeluarkan alat canggihnya untuk bisa berhubungan dengan markas besar Mawas I. Tak perlu menunggu lama percakapan mereka akhirnya tersambung juga.

"Ada informasi apa?" tanya Kanit Faiz saat suara Bima sudah terdengar jelas.

"Mereka akan melakukan transaksi besar-besaran di salah satu pelabuhan kota. Di mana tempat pastinya nanti saya akan informasikan kembali. Ada informasi yang lebih penting yang akan saya katakan." Bima memasang mata, ia merasa seakan sedang diperhatikan.

"Katakan," ucap Kanit Faiz.

"Gadis dan Gladis adalah orang yang berbeda. Sepertinya mereka hanya dimanfaatkan bekerja di luar saja sedangkan pimpinan mereka bersembunyi entah di mana."

Bima merasa Gladis hanya tangan kanan saja dan dia hanya menerima perintah bukan yang memerintah semua ini.

"Pastikan lagi apa yang kamu katakan. Saya menunggu jawaban pasti sebelum kita maju menyelesaikan aksi mereka." Kanit Faiz memberi perintah.

"Baik, Kanit. Apa ada kabar tentang Anjani?" tanya Bima.

Seberat apa pun tugas yang diembannya dia tetap tidak akan pernah melupakan bahwa ada satu nyawa yang sedang terancam. Kanit Faiz tidak menjawab, apalagi memberikan informasi bahwa mereka menerima teror dari orang asing.

"Tenang, Lang. Kita masih berusaha terus mencari di mana keberadaan Anjani. Kalau ada apa-apa kita pasti ngabarin lo." Dirga mengambil alih jawaban Kanit Faiz.

"Gue percaya, kalian bisa menemukan dia."

Secara sepihak Bima mematikan hubungannya dengan markas besar Mawas I. Ia menyulut rokok yang sejak tadi dipegangnya hanya untuk sekadar memberikan ketenangan dalam hatinya.
Asap putih mengepul di udara, berteman secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pikiran melayang jauh memikirkan masalah pribadi dan juga negara yang sama pentingnya.

"Gadis, gadis, gadis. Seperti apa dia itu? Gerakannya licin sekali seperti belut saja, pergerakannya sama seperti Alan. Susah dilacak dan sangat misterius, tapi aku yang pasti akan menemukanmu. Menumpas habis markas besar yang kau banggakan ini." Senyuman tersungging dari bibirnya, tapi tidak semanis biasanya.

"Lopez, buka pintu!" Suara Lukman terdengar dari balik pintu kamarnya.

Bima menghampiri Lukman sebelum ia memaksa masuk ke dalam kamar.

"Ada apa?" tanya Bima.

"Ini alamat yang akan kita datangi besok. Lo tahu tugas lo apa kan? Jangan lupa dan jangan telat. Amankan semua tempat ke pelabuhan itu. Jangan sampai ada yang tahu," ucap Lukman mengerling penuh arti.

Bima hanya memandang Lukman sekilas dan membaca kertas kecil yang diberikannya. Tertulis sebuah alamat yang akan menjadi tempat transaksi mereka. Tulisan alamat itu langsung terpancar jelas sampai ke layar monitor Diandra.

"Kanit!!!" panggil Diandra.

Semua mendekat menatap layar yang menampilkan sebuah alamat.

"Oke, istirahatlah." Lukman pergi meninggalkan kamar itu.

Bima langsung bergerak memberikan kabar pada markas besar Mawas I untuk bisa bergerak sesuai petunjuk.

***

Gadis masih diam memandang pesona laki-laki yang ada di dalam bingkai kebanggaannya itu. Cintanya semakin hari semakin dalam walaupun orang yang ada di dalam bingkai itu sudah tiada.

"Darling, sebentar lagi dendamku akan terselesaikan, semua hal yang pernah dia lakukan dulu akan segera dia bayar, termasuk kematianmu dan Papa. Dia harus membayarnya!" Gadis menatap tajam dari balik jendela di mana tempat Bima beristirahat.

Dendam dalam hatinya sama sekali tidak bisa padam, yang ada justru semakin berkobar dan mendalam.

"Kau akan tahu apa yang akan terjadi nanti, Elang. Apa yang akan terjadi dengan wanita kesayangan lo itu. Mungkin akan sepadan dengan apa yang pernah lo lakuin ke keluarga gue. Jangan lo pikir apa yang lo lakuin di sini itu aman. Lo salah, Lang! Lo mengantarkan nyawa ke kandang kematian lo sendiri," ucapnya sinis.

Ponsel Gadis berdering, ada nama Gladis di layar canggih miliknya.

"Gadis, gue rasa tempat kita transaksi besok sudah aman. Semua sudah berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa orang udah gue perintahin berjaga di sana." Gladis memberikan laporan atas apa yang sudah ia kerjakan.

"Oke, pastikan semua beres. Gue nggak mau ada yang mengganggu rencana besar gue ini. Pecahin aja kepala mereka kalau sampai ada yang berani mengganggu." Gadis menyulut rokoknya dan menghisapnya dalam.

"Semua beres. Lopez yang diminta Lukman buat memimpin pengamanan kita besok."

Gadis yang mendengar nama Lopez seketika darahnya berdesir hebat. Nama musuh bebuyutannya baru saja disebut Gladis dengan nama samaran.

"Oke, kerjakan dengan rapi!" titah Gadis.

"Siap." Gladis mengakhiri teleponnya.

"Bersiaplah Elang. Apa yang lo tunggu-tunggu selama ini akan segera tiba. Nikmati masa bebas lo." Gadis menikmati setiap hisapan nikotin yang merasuk ke dalam paru-parunya.

"Anjani, tunggu tanggal mainnya. Kamu akan menikmati permainanku dan juga... Elang!" Gadis melirik tajam ke kamar yang Bima tempati. "Kita lihat saja nanti, siapa di antara kita yang bisa bertahan hidup. Gadis manis lemah lembut tak bisa apa-apa seperti Anjani? Atau seorang pengaman negara musuh kesatanganku, Elang? Ataukah malah... gue!" Gadis tertawa keras dan sangat puas.

Bibir seseorang di balik tembok yang mendengar ucapan Gadis tersenyum miring.

'Kita lihat saja nanti, siapa yang akan bertahan hidup,' ucapnya dalam hati dengan senyuman licik.

Seseorang yang selalu setia mengintai markas Naga Merah namun tak pernah menampakkan dirinya di depan Gadis, bahkan anggota Naga Merah yang lainnya, duduk manis di belakang kemudi.

"Hari besarmu akan tiba, malaikatmu akan selalu melindungi. Dasar gadis malaikat iblis! Kamu sudah terlalu jauh bermain-main, Sayang. Sudah waktunya pulang." Bibir merah berkacamata hitam itu tersenyum sangat manis.

Dia menghela napasnya lelah, lantas menjalankan mobil merah mengkilap berharga fantastis.

#########

Ebie

Beberapa part lagi semuanya akan terbongkar. Sabar ya? Main teka-teki terus cape. Sudah bisa mengira-ngirakan? Siapa dan apa? Hehehe

Terima kasih untuk vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top