KESAL PADANYA

"Honey...."

Bima tersentak, lamunannya buyar saat mendengar suara seorang yang baru saja dipikirkannya. Anjani Resta. Gadis yang sudah satu tahun terakhir ini menemani hari-harinya, bahkan hampir setiap hari ia datang hanya untuk sekadar mengajak kekasihnya itu makan siang. Anjani tahu jika kekasihnya itu sudah bekerja, ia akan lupa waktu dan keadaan sekitarnya, bahkan dirinya mungkin bisa saja dilupakan.

"Katanya mau makan siang? Kok masih di sini sih! Aku nungguin kamu di lobby loh tadi, telepon aku nggak kamu angkat." Seorang gadis nan cantik datang menyapa. Tapi sapaan dengan nada sebal dan jengkel.

"Oh ya...? Masa sih kamu telepon aku?" Bima meraih ponselnya yang berada di atas meja.

Anjani hanya memperhatikan dan menatapnya kesal. Ini bukan kesekian kalinya Anjani diabaikan karena pekerjaan.

"Oh iya, maaf Sayang, aku banyak kerjaan tadi, terus HP-nya aku silent biar nggak berisik, jadi nggak denger ada telepon." Bima memasang wajah memelas agar Anjani memaafkannya.

"Kamu tuh ya, pacaran aja sana, sama kerjaan, nggak usah sama aku!" Anjani melipat kedua tangannya di depan dada.

Bima lagi-lagi hanya memasang wajah memelas. Ia tidak ingin membuat kekasihnya bertambah marah dengan jawabannya yang salah. Karena sekecil apa pun kesalahan laki-laki, jika sudah salah di mata perempuan, akan tetap saja salah.

"Ayo makan, udah siang. Aku juga sudah lapar. Cacing-cacing di perutku sudah berorasi minta diturunkan rendang atau ayam bakar." Anjani menarik paksa Bima.

"Ini kamu kode ya, biar dibeliin nasi padang?" Bima mengacak rambut Anjani.

"Emang kamu bisa dikodein? Kamu kan nggak peka jadi cowok," cibir Anjani menatap mata Bima manja.

"Kalau aku nggak peka, kamu nggak akan jadi pacar aku selama ini, Sayang. Udah ayo makan, makin lama kamu di sini makin banyak protesnya. Kamu kan gitu, bawel kalau lagi laper," ucap Bima.

Bima meraih tangan Anjani, saling menyematkan jari jemarinya satu sama lain. Anjani hanya tersenyum mendapatkan perlakuan manis kekasihnya. Ia tahu kekasihnya tak akan sampai hati mengabaikannya. Setelah semua dipastikan aman, mereka keluar dari kantor. Banyak pasang mata memandang iri dua sejoli yang saling mengasihi satu sama lain. Seakan dunia hanya milik mereka dan lainnya hanya ngontrak. Para karyawan Bima sudah tidak heran jika Bos mereka penuh senyum merekah jika bersama perempuan ini.

"Mau makan di mana kita?" tanya Anjani setelah mereka berada di dalam mobil.

"Mmmmmm...." Saat Bima ingin menjawab deringan ponsel canggihnya bersuara.

Tak ingin membuatnya menunggu lama, Bima segera menjawab panggilan itu.

"Sebentar ya Sayang. Telepon penting." Bima keluar dari mobil membiarkan Anjani menunggu dengan kesal.

"Lama-lama aku jual HP kamu itu, Bim. Heran aku!" gerutu Anjani memanyunkan bibirnya kesal sambil melipat kedua tangannya di dada.

Anjani terus memerhatikan Bima dari dalam mobil. Terlihat sekali jika pembicaraan mereka sangat serius. Bahkan beberapa kali Bima mengerutkan dahinya seperti sedang berpikir keras.

Sepuluh menit berlalu, Bima kembali masuk ke dalam mobil, melihat kekasihnya sudah melipat wajah cantiknya. Bima sangat menyadari itu, ini sudah sering terjadi di antara mereka. Bahkan, rasa toleransi dan mengerti, harus sering-sering berada di antara mereka, atau semua akan berakhir sia-sia.

"Aku tahu kamu mau pergi lagi sama urusan kamu yang nggak jelas itu kan?" Anjani sudah dapat menebaknya sebelum Bima menjelaskan lebih lanjut.

Bima memasang wajah memelas, memohon pengertian kekasihnya.

"Maaf Sayang, Maaaaaf... banget. Ada mitra perusahaan yang ingin bertemu saat ini juga. Ini masalah kerja sama yang baru kami jalin. Please, jangan marah. Tolong ngertiin aku," mohon Bima meraih tangan Anjani dan menggenggamnya.

Meskipun Bima sudah berbohong, kebohongannya ini demi kebaikan, menyelamatkan identitas pekerjaannya yang bersifat rahasia.

Anjani melirik sebal. "Selalu saja seperti ini! Bisnis, bisnis dan bisnis!"

"Sayang, bisnis in---"

"Sudahlah!" potong Anjani mengibaskan tangannya di depan wajah Bima. "Bosen aku mendengar penjelasanmu itu! Urusi saja terus bisnis kamu! Jangan peduliin aku! Kalau terjadi sesuatu sama aku, baru kamu akan bing...."

Belum juga Anjani menyelesaikan ucapannya, Bima langsung menempelkan jari-jarinya di bibirnya.

"Please, jangan bilang seperti itu. Kalau sampai terjadi sesuatu sama kamu, aku orang pertama yang akan merasa sangat bersalah. Sayang, aku lakukan ini kan juga demi masa depan kita," rayu Bima agar Anjani tak lagi marah padanya.

Belum juga Anjani menjawab, deringan ponsel Bima meraung meminta perhatian si empunya. Bima pun langsung menerima panggilan itu.

"Tunggu, 10 menit lagi sampai," kata Bima setelah menerima panggilan penting itu.

Anjani menghela napas dalam. Selalu saja begini! Entah saat mereka sedang berduaan, berkencan, makan, atau pernah waktu itu sedang menonton film di bioskop. Belum filmnya selesai, Bima langsung mengajaknya pulang. Bisnis dan bisnis, adalah satu-satunya alasan Bima. Terkadang, Bima juga meninggalkan Anjani hingga beberapa hari, bahkan minggu. Sungguh, terkadang Anjani tak mengerti dengan sikap kekasihnya itu. Kesibukannya melebihi presiden!

"Sudahlah! Pergi saja sana! Pacaran saja terus sama bisnismu itu!!!"

Tanpa menunggu Bima berkata-kata lagi, Anjani pun langsung keluar dari mobil. Tak ada pilihan lagi, dalam waktu 10 menit, Bima harus bisa berada di markas BIN. Tak memerdulikan Anjani, Bima pun lantas menancap gasnya. Walaupun hati dan pikirannya sangat kalut memikirkan Anjani, tugasnya mengabdi kepada negara lebih penting, walaupun sebenarnya Anjani juga penting. Cinta dan tugas negara, dua hal yang sangat sulit untuk dipilih. Negara adalah tempat tinggal dan rumah besar bagi Bima, keamanan dan kedamaian di dalam rumahnya adalah tanggung jawabnya. Sedangkan cintanya kepada Anjani juga besar, karena rasa ketergantungan dan sebuah rasa yang sangat sulit untuk mendeskripsikan, sudah menyebar luas di dalam rongga dada Bima.

Sesampainya di kantor BIN, Bima langsung menuju ke ruang unit Mawas I. Semua anggota unit sudah berkumpul di sana.

"Lang, lo harus lihat ini!" seru Hans ketika melihat Bima masuk ke ruang kerja unit Mawas I, meminta Bima membaca berita acara yang baru saja Kepala Unit Faiz kirimkan melalui email.

Bima menatap layar komputer itu seksama dan serius. Dahinya mengerut dan seolah berita itu sangat penting.

"Jadi teroris itu sudah masuk ke dalam wilayah kita?" ujar Dirga yang juga ikut membaca.

Bima menghembuskan napasnya kasar. "Sadap beberapa telepon dan penggunaan sosmed orang-orang yang terkait," perintah Bima selaku ketua unit Mawas I.

"Siap!" jawab mereka serentak dan langsung menjalankan tugasnya masing-masing.

BIN, berfungsi pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen, harus melakukan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pengaturan dan pengkoordinasian sistem intelijen pengamanan pimpinan nasional, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan atau operasi intelijen dalam dan luar negeri. Pengolahan, penyusunan, dan penyampaian produk intelijen. Semua itu digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengkoordinasian pelaksanaan, fasilitasi dan pembinaan kegiatan instansi pemerintah di bidang intelijen.

"Kita sudah berhasil menyadap teleponnya," pekik Hans, sudah berhasil menyadap semua ponsel incaran mereka.

"Bagus, bagaimana dengan yang lain?" tanya Bima.

"Belum, Lang. Ini masih dalam pencarian," jawab Dirga terus mengotak-atik komputernya.

BIN memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan kegiatan. Bahkan jika sampai mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya.

"Lang, teroris itu tidak hanya membawa senjata-senjata ilegal, tapi dia juga membawa narkoba jenis heroin," pekik Diandra, wanita satu-satunya yang tergabung dalam unit Mawas I.

Bima langsung mendekati Diandra dan melihat pergerakan tanda merah yang ada di layar komputer itu.

"Elang, Mawas I memanggil." Bima berbicara menggunakan alat pintar yang sudah dirancang khusus untuk menyambungkan kepada anggota yang menyusup ke dalam komplotan teroris itu.

"Udara cerah, mendukung situasi untuk bermain." Begitulah kode jawaban dari seberang.

Dalam berkomunikasi mereka harus pintar-pintar menangkap kode-kode yang dikirim balik. Kode itu, mengartikan keadaan di sana aman untuk berkomunikasi.

"Dengarkan, kami sudah berhasil menyadap semua komunikasi dan beberapa ponsel komplotan teroris itu. Termasuk ketua kelompoknya. Awasi mereka terus dan jangan sampai lolos," perintah Bima.

"Oke."

Komunikasi pun diakhiri, begitulah mereka bekerja, harus berani masuk ke kadang lawan, meskipun nyawa sebagai taruhannya. Itu semua, mereka lakukan demi keamanan dan ketentraman masyarat Indonesia. Tak banyak orang tahu cara kerja mereka yang mati-matian membela negara ini, tapi mengapa, masih banyak masyarakat yang berusaha memecah belah NKRI tercinta ini? Apa kurang pengorbanan orang-orang yang bekerja sebagai intelijen, bergerilya secara klandestin demi kenyamanan bangsa ini? Sungguh ironis jika tak berpikir sampai sejauh itu. Banyak nyawa sudah menjadi korban tanpa masyarakat luas tahu. Apa balasan mereka???

***

Bima berhenti di depan apartement yang menjulang tinggi. Ia ingin menebus kesalahannya tadi siang pada Anjani. Rasa sayang Bima yang besar itu tidak ingin jika ia harus kehilangan Anjani karena masalah ini. Walaupun ia sadar, pekerjaannya itu tidak akan pernah bisa ditinggalkan. Janjinya pada negara tidak bisa digantikan dengan cinta pada seseorang. Memang sudah risikonya hidup mengabdi pada negara.

Bima menuju lantai 5, di mana Anjani tinggal. Ia menekan belnya berkali-kali, tapi tak juga ada jawaban. Akhirnya ia mencoba menghubungi melalui telepon.

"Sayang, kamu ada di mana? Aku di depan apartement kamu nih."

"Mau ngapain? Bukannya urusanmu jauh lebih penting dari aku?"

"Ayo lah, Sayang. Jangan marah lagi, kita jalan-jalan aja yuk mumpung masih sore nih."

"Nggak usah ngerayu aku."

"Aduh, perempuan kalau lagi ngambek repot banget ya," batin Bima. "Aku nggak ngerayu, ayo keluar, kita jalan-jalan. Kita beli es krim kesukaan kamu." Bima masih terus membujuk Anjani.

Anjani membuka pintu apartementnya, pakaiannya masih sama dari tadi siang.

"Kamu nggak ganti?"

"Nggak usah, kaya gini aja, kalau mau ganti nanti sekalian," ucap Anjani.

Bima tak ingin bertanya lebih jauh lagi, ia tahu suasana hati kekasihnya sedang tidak baik.

Sepanjang jalan Anjani hanya terus terdiam, ia lebih asyik memandangi jalanan senja yang mulai ramai dengan aktivitas orang-orang pulang bekerja. Bima beberapa kali melirik ke arah Anjani, memperhatikan kekasihnya dengan senyum yang merekah.

"Udah sampai nih, masih mau manyun aja?" tanya Bima memutar posisi duduk Anjani agar menghadap ke arahnya.

"Aku nggak akan ninggalin kamu kali ini," ucap Bima.

Anjani hanya memperhatikan ketulusan di mata Bima, mata itu yang selalu menenangkan hati dan perasaannya.

"Udah ayo masuk, aku mau yang biasa ya, dengan porsi double." Anjani keluar lebih dulu dengan menahan senyum di bibirnya.

Bima mengikutinya dengan santai, memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana, memberikan kesan keren bagi mereka yang berani menatapnya. Bima memperlebar langkahnya, menyamakan dengan Anjani.

"Kamu jalannya buru-buru gini, kalau tiba-tiba aku dilirik wanita cantik, tanpa kamu tahu gimana?" bisik Bima.

Anjani tiba-tiba saja memutar tubuhnya. "Coba saja kalau berani, kamu mau... aku sunat lagi?" tanyanya tajam.

Setelah itu, Anjani kembali melanjutkan langkahnya mencari tempat yang kosong.

"Wow, galak juga wanitaku itu." Bima menggelengkan kepalanya dan kembali mengikuti Anjani yang sudah duduk lebih dulu.

Bima memesankan es krim pesanan Anjani dengan porsi double. Apa bisa dia menghabiskan porsi besar itu? Entahlah yang pasti Bima sudah menuruti apa mau kekasihnya.

"Ini pesananmu, habisin ya? Kamu yang minta porsi besar. Abis itu jangan marah lagi ya?" Bima hanya duduk diam memperhatikan paras cantik yang sudah membuat hidupnya lebih berwarna dari biasanya.

"Ini ada hadiah kecil buat kamu, jangan dinilai dari harganya, tapi dari niatnya ya." Bima mengulurkan kotak beledu panjang dari dalam saku jasnya.

"Ini apa?" tanya Anjani dan ia membukanya.

"Itu kalung, ada liontin merpatinya. Aku mau kamu pakai itu. Setidaknya kamu tahu cinta aku ke kamu kaya merpati itu, setia dan tidak mendua," ucap Bima.

Wajah Anjani bersemu merah, merasakan bahagia karena perlakuan Bima yang membuat dirinya merasa spesial sekali dan istimewa.

"Aku bantu pakai ya." Bima bangkit dan memutar tubuhnya berdidi di belakang Anjani, menyematkan kalung pemberiannya di leher jenjang wanita yang selama ini mati-matian melindunginya dan menyembunyikan identitasnya demi keamanan gadis yang selalu bersama menemani hari-hatinya.

Bima melakukan itu semua untuk mengantisipasi, jikalau ada musuh dalam selimut yang tak suka dengan hubungan pribadinya dengan Anjani. Atau bisa saja, musuh-musuh Bima saat menjalankan misi. Ibarat kata, Bima menjaga telur dalam sakunya, agar tak dipecahkan orang. Telur yang rapuh dan sangat mudah pecah, bagaikan Anjani yang tak mengetahui apa-apa namun secara tak langsung sudah masuk ke dalam lingkungan berbahaya. Entah sandar atau tidak, Anjani dapat menjadi ancaman besar untuk Bima.

"Kamu cantik pakai itu," puji Bima setelah kalung yang sudah dia disain khusus dan spesial untuk Anjani.

"Terima kasih, Honey. Kalung ini sangat cantik, aku menyukainya." Anjani memeganggi liotin merpati yang indah itu.

Bima mencium kening Anjani singkat dan kembali duduk. Tanpa mereka sadari, sepasang mata di balik kacamata hitam duduk di balik kemudi, selalu mengawasi kegiatan mereka. Bibir merah berlapis lipstik itu menyunggingkan senyuman penuh arti

***

Bima sudah tiba di apartement, saat ia membuka pintu, aroma mie instan yang sedang dimasak menyeruang di indra penciumannya. Sudah pasti ada seseorang yang memakai pantri miliknya tanpa izin.

"Ngapain lo di sini?" tanya Bima pada orang itu.

"Nungguin lo pulang. Gue udah kaya istri nungguin suaminya pulang kerja aja," protes Dirga yang sudah sejak tadi tiba di tempat Bima.

"Siapa suruh lo nungguin orang kencan pulang. Ada apa ke sini? Ada yang nggak beres?" Bima membuka kulkas dan menenggak sebotol air mineral.

"Nggak ada, gue cuma mau mastiin aja, kalung itu udah lo kasih sama pacar lo apa itu belum?" Dirga menyuap lagi mie panasnya.

"Kenapa jadi lo yang khawatir?" tanya Bima curiga.

"Gue cuma mastiin aja, kali aja lo lupa. Kalau lo lupa kan, gue juga yang repot, harus ngawasin pacar lo lagi. Mending dibayar. Ini mah nggak, ucapan terima kasih juga nggak ada," protes Dirga.

"Yailah, perhitungan amat sih lo. Kali ini udah aman kok. Gue bisa ngawasin Anjani dari sini." Bima mengangkat ponselnya dan menempelkan sidik jarinya pada layar datar itu, lantas menunjukannya pada Dirga.

Bima memang sengaja memberikan kalung itu pada Anjani. Itu bukan kalung biasa, kalung itu sudah dilengkapi dengan alat pelacak, di mana Bima bisa dengan leluasa mengawasi pergerakan Anjani di mana pun ia berada. Jadi, Bima tak perlu lagi takut jika berjauhan denga Anjani.

"Baguslah," ucap Dirga.

Cinta yang terkadang membuat kita melakukan apa pun untuk bisa melindungi orang yang kita cintai, walaupun harus bertaruh nyawa sekalipun. Karena cinta yang memberikan kekuatan, semua itu atas nama cinta yang ada di hati.

########

Ebie

Keren, 👏👏👏👏
Iya... ya, kalau dipikir-pikir, banyak orang yang berjuang mempertahankan NKRI tetap utuh, dilain sisi, malah banyak yang berusaha memecah belah. Duuuuh... kasihan badan intelijen kita. Semangat ya buat anggota keamanan kita.

Terima kasih untuk yang sudah sabar menunggu dan selalu memberikan vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top