KEKOSONGAN HATI
Bima termenung di meja kerjanya. Walaupun ia sadar berkas yang harus diperiksanya tertumpuk di atas meja, tapi ia tetap saja tak menghiraukannya. Hati dan pikirannya masih saja tidak tenang setiap kali mengingat satu nama yang selalu bisa mengubah setiap inci dalam hidupnya. Anjani, gadis yang dengan hati tulus ia cintai.
Sejak kejadian dua tahun lalu, Bima tak lagi menemukan keberadaan di mana Anjani. Entah dalam keadaan hidup ataupun mati. Masih terekam jelas dalam memorinya bagaimana Anjani dengan bibirnya yang memucat mengatakan kata cinta. Semua terasa seperti mimpi, bahkan Bima masih tidak percaya bahwa Anjani adalah dalang di balik semua ini.
"Lang, bengong aja lo. Ayo makan siang dulu!" Dirga menepuk pundak di mana bekas luka Bima berada.
"Nanti aja, gue nggak laper." Bima menolak ajakan Dirga.
"Lo kenapa sih diam aja kaya sapi ompong?"
"Nggak apa-apa. Yaudah sana, nanti gue nyusul." Bima pura-pura menyibukkan diri dengan pekerjaannya.
"Iya-iya." Dirga memilih pergi menyusul lainnya yang sudah keluar.
Di dalam ruang unit Mawas I tinggalah Bima seorang diri. Sepi, hanya berteman layar komputer yang masih menyala. Kanit Faiz melihat Bima dari pintu yang terbuka setengah. Wajahnya murung jauh berbeda dengan Bima yang dulu.
Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di pelabuhan peti kemas dua tahun lalu. Mereka menemukan Bima sudah tergeletak sendiri dalam keadaan yang parah. Sampai detik ini Bima belum dapat melupakan kejadian di mana satu tembakan berhasil menembus bahu kanannya dan mata tajamnya berhasil merekam kejadian kekasih hatinya tertembak dibagian kepala.
Semua anggota mawas I tidak ada yang mengetahui jika Anjani adalah Gadis, orang yang selama ini mereka incaran. Tak pernah mereka menyadari jika ternyata Anjani kepala gangster Naga Merah, yang selama ini hidup dan ada didekat mereka. Bahkan salah satu anggotanya sudah berhasil mencintai wanita itu dengan sepenuh hati.
"Anjani, Sayang, kamu di mana? Udah dua tahun aku nyari kamu. Aku cuma mau tahu keadaanmu. Apakah malam itu menjadi malam terakhir pertemuan kita? Apa kamu pergi menyusul Al?" batin Bima.
Sejak kejadian di mana penghianatan Lukman terungkap dan dengan tangan dinginnya dia menembakkan peluru tepat di belakang kepala Gadis dan bahu Bima, mereka tak lagi bertemu. Anjani bagaikan hilang ditelan bumi dan Mawas I juga kehilangan pemimpin gangster Naga Merah, tak ada yang tahu di mana Gadis itu berada.
"Apa yang kamu pikirkan, Lang?" Kanit Faiz menepuk bahu Bima.
"Eh, Kanit, maaf." Bima terkejut dan menegakkan tubuhnya.
Kanit Faiz duduk di sebelah Bima.
"Saya lihat sejak kejadian dua tahun lalu kamu selalu murung, walaupun saya tahu pekerjaanmu tetap yang utama. Ada apa, Lang?" tanya Kanit Faiz.
"Tidak ada, Kanit," sangkal Bima.
"Saya mengerti dan juga minta maaf tidak bisa menemukan di mana Anjani. Saya tahu dia semangatmu untuk hidup."
"Tidak, Kanit. Itu urusan pribadi saya. Saya tidak akan mencampurkan urusan pribadi saya dengan pekerjaan."
"Baiklah kalau kamu tahu hal itu, lalu bagaimana? Apa ada perkembangan informasi di mana keberadaan Gadis?" Kanit Faiz mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Belum ada, Kanit."
Bima menutup mulutnya rapat mengenai Gadis yang ternyata adalah Anjani. Biarkan rahasia itu menjadi miliknya sendiri. Walaupun menyesakkan dada namun itu demi keamanan wanita yang entah di mana keberadaannya sekarang.
***
Gemerlap bintang tak indahnya hiasan malam. Berteman sepi dan gundah seakan hati enggan untuk berteman.
Bima menatap langit malam di teras apartementnya. Di mana apartement ini sedikit banyak menjadi saksi kisah cintanya bersama Anjani. Entah keluguannya, manjanya ataupun marahnya, semua terekam indah di dalam memori.
"Di mana kamu, Sayang?"
Walaupun Bima sadar bahwa Anjani pernah berpura-pura mencintainya hanya untuk balas dendam. Tapi, jauh di lubuk hatinya ia yakin ada cinta dalam hati Anjani walaupun sedikit. Kata terakhir sebelum mereka sama-sama memejamkan mata mengisyaratkan bahwa ada ketulusan di dalam hatinya.
"Bro, kuping lo bolot ya?" Diandra datang bersama Dirga mengejutkan Bima yang sedang menikmati kesunyian malam.
Bima membalikkan badan. "Ngapain kalian ke sini?" tanyanya.
"Party time, daripada galau terus. Sekali-kali kita dugem yok!" Dengan santai Diandra menyilangkan kakinya di depan televisi.
"Iya tuh, gue denger di klub sana ceweknya cantik-cantik coy." Dirga menimpali.
"Kalian aja, gue lagi mager," tolak Bima menjatuhkan tubuhnya di samping Dirga.
"Lang, lo masih doyan cewek kan ya?" tanya Diandra curiga mengerlingkan matanya.
"Ya iyalah! Sialan lo tanya begitu ke gue. Lo pikir gue homo," sahut Bima.
"Ya gue takut aja, Lang. Sejak lo kehilangan Anjani, gue perhatikan lo kayak nggak selera lagi lihat cewek," imbuh Diandra membuka bungkus kacang.
Bima menghela napas dalam, setiap mengingat Anjani hatinya nyeri. Andaikan teman-temannya mengetahui kebenarannya, apakah mereka masih setenang saat ini?
Bima sendiri tidak tahu, apakah Anjani alias Gadis selamat seperti dirinya, ataukah sudah meninggal? Hal itu menjadi keraguan di hati Bima selama ini. Sampai saat ini, dia masih belum dapat mencintai wanita lain. Ruang di hatinya masih kosong, hanya nama Anjani yang masih menduduki tahta di dalam istana hatinya.
***
Di dalam ruang yang mewah, luas berbagai fasilitas medis khusus lengkap ada di sana. Wanita cantik, anggun dan berwibawa duduk termenung menunggu malaikatnya membuka mata. Harapannya masih membara untuk gadis yang terbaring dengan berbagai alat medis, meskipun dokter mengatakan kesempatannya hidup sangat tipis dia seperti menutup telinganya. Namun naluri seorang ibu kuat dan yakin jika dia akan bangun walaupun entah kapan waktunya datang.
"Nyonya, ada Dokter Yuan," ucap seorang wanita bertubuh langsing, tinggi berpakaian rapi. Dia adalah Fany tangan kanan wanita itu.
Wanita yang dipanggilnya 'Nyonya' hanya menganggukkan kepala. Matanya selalu fokus menatap tubuh yang berbaring tak berdaya di tempat tidur. Sudah dua tahun dia tak sadarkan diri, hidupnya ditunjang dengan peralatan medis.
"Selamat pagi, Ibu Juwita," sapa Dokter Yuan.
"Pagi, Dok. Silakan langsung saja ke kamar." Juwanita mendahului Dokter Yuan masuk ke dalam kamar Gadis.
Dokter Yuan sekilas menatap Gadis yang terbaring lemah. Selama dua tahun ini dia lah yang terus memantau perkembangan Gadis.
"Berapa lama lagi anak saya membuka matanya?" tanya Juwita dengan tangan terlipat di depan dada.
"Kita harus banyak-banyak berdoa untuk kesadaran anak Ibu. Hanya keajaiban tangan Tuhan yang bisa membuat Gadis sadar," ucap Dokter Yuan.
Juwanita hanya bisa menatap nanar keadaan putrinya. Putri yang selama ini pergi darinya sudah datang kembali walaupun dalam keadaan tak sadarkan diri.
#######
Ebie
Akankah takdir menemukan mereka? Hayoooo??? Apakah Gadis akan selamat atau meninggal???
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top