Rembas

Mereka bertengkar lagi. Berisik.

Aku merapatkan selimut yang membalut tubuh, berharap seakan kainnya yang lembut dapat memblokir indra pendengaran yang melekat di kepala. Ah sial, andai kotak musik tercinta itu tidak sedang rusak, tidurku pasti sangat nyenyak malam ini.

Orang dewasa benar-benar mengerikan, omong-omong. Kehidupan apa, sih, yang mereka jalani? Kalau kudengar-dengar, mereka selalu punya bahan untuk beradu argumen di setiap harinya. Apa pertengkaran memang sepenting itu bagi orang dewasa? Padahal ini Kota Mhyr, kota dengan titel "Wilayah Terdamai Seantero Benua Jervinc", astaga.

Aku tidak tahu sejak kapan. Namun, berani bertaruh, kota ini akan sesegera mungkin kehilangan gelar epiknya. Kalau kau melihat ke luar, jelas sekali indramu akan mendapati pemandangan lain dari kota kami. Akhir-akhir ini, seluruh penduduk (dewasa) sedang gencar mengadakan pertikaian di setiap sudut kota.

Apa ini hal baik? Yeah, maksudku, penduduk Mhyr berani keluar dari 'zona nyaman'nya. Memangnya itu bukan hal yang bagus?

"Di Kota Mhyr yang damai, aku bahkan gagal menemukan kedamaianku sendiri."

Kira-kira, mungkin itu yang akan jadi semboyan baru kota kami. Keren, bukan?

-

Hari ini tanggal 28 Delarch 2081. Hari ke-28 dalam bulan ke-8, tepat seminggu setelah kejadian 'Hampir Menukar Gelar'. Entah ada apa atau siapa provokatornya, tapi keributan dalam kota berangsur-angsur menghilang. Harusnya aku senang karena kota kelahiranku batal dicopot gelarnya, tetapi sayangnya, orang tuaku masih belum sembuh dari virus 'pertikaian'.

Oh, Tuhan. Bagian bawah mataku sudah semakin gelap, jelas-jelas tubuh ini butuh tidur pulas yang nyenyak.

Kau tahu? Sepanjang jalan aku jadi malah ikut mengumpat seperti ayah dan ibu. Pak Tua Marsys belum selesai memperbaiki kotak musik itu! Hei, ini sudah seminggu, Bung. Aneh rasanya karena Pak Tua Marsys tidak bekerja segesit biasa.

"Sial, sial, sial! Mampus, tanpa kotak musik, mimpi burukku tidak akan berakhir," gerutuku, menyertai kerikil-kerikil malang yang tertendang dengan sengaja.

"Astaga, tolong jaga cara bicaramu, nona manis."

Hah? Suara serak siapa barusan? Aku mendongak. Ada seorang nenek tua di sana, berdiri sambil berkacak pinggang-yang jelas-jelas tindakan itu akan menyakiti tulangnya. Ayolah, Nek, jangan melukai tubuh ringkihmu untuk bocah bandel seperti aku, karena bocah ini tidak akan mau bertanggung jawab.

"Maaf?"

"Jaga kata-kata yang keluar dari mulutmu, Nak. Aku tidak mau gelar ratusan tahun dari kota ini tercabut begitu saja. Apa kau tidak tahu, kalau ada petugas benua sedang berpatroli di sini? Rumor tentang problematik di kota kita sudah menyebar ke seluruh Jervinc," ujar beliau dengan nada khas guru penceramah.

Oh? Petugas Benua berpatroli di sini? Itu keren!

Pura-pura merespek, aku menggaruk tengkuk lalu menunduk sedikit (begini-begini aku masih anak yang sopan, tahu).

"Maaf ... aku hanya sedang kesal," kataku.

Si nenek menurunkan tangannya. Baguslah, setidaknya dia tidak akan encok.

"Tidak apa. Kau sedang ada masalah? Ayo, biarkan orang tua ini mendengarkanmu. Kenapa tidak makan dulu di rumahku? Aku baru saja membuat pai apel yang lezat."

Jemari penuh keriputnya meraih tanganku. Baiklah, kurasa tak masalah. Dengan semringah, aku mengangguk semangat. "Dengan senang hati."

Ketimbang seharian suntuk mendengarkan kemarahan dua orang, lebih baik aku makan enak gratis. Toh, di Kota Mhyr, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lebih-lebih, kami belum kehilangan gelar keren itu. Benar, 'kan? Apa? Kau iri? Mau ikut menebeng makan gratis bersamaku? Enak saja. Pergi makan pai bersama nenekmu sana.

-

Dengan persetujuanku, si nenek menuntunku ke rumahnya (sebenarnya lebih tepat kalau disebut aku yang menuntun, dan dia yang menunjukkan arah). Sepanjang melangkah, kami mengobrol sedikit, hanya tentang nama masing-masing. Perjalanannya tidak jauh, jadi tidak banyak yang bisa dibicarakan.

Si nenek memperkenalkan diri sebagai Usara Gimmr, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Nyonya Sara di Mhyr. Kalau aku tidak salah ingat, dia digadang-gadang sebagai mantan Tetua Kota Terbijak Sepanjang Sejarah Mhyr.

Sampai di rumah, Nyonya Sara menyuguhkan pai apel yang harum dan sedap-sesuai ajakannya-dan segelas besar limun (yang terlihat segar, sampai aku hampir meneteskan air liur melihat keduanya).

Dia orang yang baik, kalau kau tanya padaku. Hanya saja, terlihat ... sendirian.

"Apa anda tidak menikah, Nyonya?" celetukku penasaran. Aku perlu mengalihkan rasa lapar dan air liurku dulu karena beliau belum selesai merapikan meja.

Nyonya Sara menghentikan kegiatan beres-beresnya sejenak, menatapku, lalu tersenyum lembut. Bisa kulihat, ada pendar luka di sinar sepasang mata cokelat terang itu.

"Aku menikah. Ada apa?" sahutnya.

"Lalu, di mana suami Anda?"

Oh, rasanya aku salah bertanya. Wajah Nyonya Sara berubah drastis setelah pertanyaan barusan. Perasaan bersalah memenuhi rongga dadaku, sial.

Di luar dugaan, beliau malah tersenyum-lagi (yang kupastikan penuh luapan perasaan rindu dan ikhlas).

"Yah ... dia meninggal beberapa tahun lalu. Usia manusia seperti kita memang tidak bisa ditebak dan bertahan lama," timpalnya, masih dengan senyum yang sama.

Aku tidak tahu harus merespon apa. Namun, setidaknya itu bagus. Nyonya Sara dan suaminya terpisahkan oleh maut, bukan karena perselingkuhan yang jelas berkali-kali lipat lebih menyakitkan.

"Maaf karena sudah bertanya," tuturku. Kali ini, dengan perasaan meminta maaf yang tulus.

Nyonya Sara mengelus rambutku pelan.

"Ehm hem," dia menggeleng pelan, "kamu tidak salah. Ada apa? Apa si manis ini ingin meminta saran percintaan di masa dewasa?"

Aku mendongak, memasang wajah sedikit cemberut.

"Dewasa? Kalau boleh jujur, itu hal terakhir yang mau kupinta, Nyonya."

Melihat wajah memberengutku, Nyonya Sara agak kaget. Dia berhenti mengelus rambut lawan bicaranya dan beralih memberikan piring berisi potongan pai yang cukup besar.

Merasa dipersilakan, aku mulai mengecap pai itu. Astaga, ini enak sekali. Aku menoleh dengan mata berbinar. Melihat wajah berseri-seri di hadapannya, Nyonya Sara tersenyum lagi.

"Apa kau tidak menangis?"

Aku batal menggigit potongan pai baru saja diambil barusan, lalu menjawab dengan wajah penuh rasa heran. Kenapa dia tiba-tiba menanyakan itu?

"Menangis? Tentu saja tidak, aku bukan anak cengeng. Patah hati tidak harus selalu diungkapkan dengan mengeluarkan air mata dan ingus, 'kan?"

Wajahnya yang sudah termakan usia menampilkan senyuman hangat yang manis. Benteng gigi seputih susu yang masih terlihat kokoh melintang diantara kedua lembar bibir pucat yang kering.

"Menangis itu tidak buruk, Erise. Aku malah takut kau tidak bisa meluapkan perasaanmu di suatu saat nanti. Memendam perasaan, terlebih sendirian, itu menyakitkan, sayang."

Aku diam, bingung hendak menjawab apa. Setelah menyampaikan kedipan tolol, aku akhirnya menemukan jawaban.

"Tetapi, Nyonya, bukankah itu yang dilakukan orang dewasa? Karena itu, aku tidak mau menjadi dewasa. Mereka itu kaum yang mengerikan, kecuali anda tentunya."

Lagi-lagi, ucapan spontan yang kesekian kali itu mengubah raut Nyonya Sara dengan sangat drastis.

Setelahnya, aku tahu. Ini dinamakan patah hati ... dan ... dan takut untuk mengalami hal yang sama. Baiklah, jawaban diterima.

Pembahasan kami bercabang banyak setelah itu. Nyonya Sara membahas banyak hal, terlebih tentang 'obat'. Katanya, semua patah hati itu butuh dan ada obatnya. Selepas itu, beliau menyampaikan banyak kisah dan dongeng luar biasa yang tak pernah kudengar. Jujur saja, itu keren. Aku akan jadi sering berkunjung, sepertinya.

Ketika bulan sudah mengambil ancang-ancang untuk naik menggantikan matahari yang tenggelam, aku baru melangkahkan kaki untuk pulang. Semoga saja, kedua orang yang hobi bertengkar itu tidak memakiku. Yeah, semoga.

-

Oke, benar saja. Ayah dan ibu marah besar ketika tahu aku pulang sangat terlambat dari biasanya. Baiklah, anggap mereka khawatir, tetapi apa layak hanya karena ini kedua orang itu memakiku habis-habisan?

Apa jalan-jalan sesekali telah menjatuhkan hargaku sebagai manusia? Ayolah, aku bahkan tidak keluar untuk berjudi dan mabuk-mabukan seperti anak-anak muda dari kota Dha atau Rhies. Mengapa mereka marah sebesar itu? Katakan, apa seorang Erise Elliar sungguh tidak berguna?

Biasanya ayah dan ibu juga tidak peduli. Kenapa tiba-tiba mereka bertingkah begitu? Aneh. Jujur saja, ini mengejutkan. Dan mungkin karena syok, aku menangis. Kurang ajar, padahal tadi pagi mulut ini menyampaikan kalimat perihal betapa tidak cengengnya aku, tapi kali ini, kata-kata itu kutelan sendiri beserta dengan ludah-ludahnya. Ini alay dan memalukan luar biasa.

Aku makin menenggelamkan diri dalam selimut, sampai-sampai kalau dilihat dari luar, tubuh ini jadi mirip bola berbulu yang menyangkut di kasur.

Sambil terisak pelan, tanganku menggenggam erat botol pemberian Nyonya Sara, sampai buku-bukunya memutih. Kupandangi cairan yang menggenang di dalam botol kecil yang bening itu. Begitu indah dan mempesona. Warnanya memabukkan, yang entah kenapa membuat jiwa penyaksinya tenang seketika. Kalau bisa dijamin, 'obat' ini sepertinya dapat membuat para pasien mati karena overdosis. Tampilannya memang terlalu menarik dan menggugah selera.

Terlintas di pikiran untuk mencoba meminumnya. Nyonya Sara bilang, ini obat. Kalau obat, pasti bisa dikonsumsi, 'kan? Tanpa pikir panjang, aku duduk lalu menarik gabus yang menyumbat mulut botolnya.

Tidak berbau, aku makin memberanikan diri untuk mencicipi obat dari Nyonya Sara. Namun, sepersekian detik kemudian, aku sungguh menyesal. Rasanya aneh, meninggalkan perisa tak enak di lidah yang hampir-hampir membuatku muntah.

Apa itu tadi? Manis sekali, sekaligus pahit. Karena panik (takut muntah, maksudku), aku menjatuhkan botolnya demi menutup mulut yang sudah 80% siap untuk melontarkan penduduk cair dari lambung.

Ugh, cairan indah itu tumpah. Apa, ya, yang akan terjadi? Apa dia akan mengubah kasurku menjadi monster? Secara, rasanya aneh.

Dengan harap-harap cemas, aku menatap lokasi basah itu. Siapa tahu ajaib bin ajaib, seprainya kering dan berubah menjadi gagak raksasa yang akan menghancurkan rumah, kota, dan memangsa keluargaku.

Setelah dipandangi lama-lama, tidak terjadi apa-apa. Oke, mungkin aku terlalu paranoid sehingga memunculkan fantasi-fantasi liar.

Sembari berusaha mengabaikan rasa basah yang dingin, aku mencoba untuk tidur. Hari ini melelahkan dan aku harus bersiap dengan energi penuh di hari esok.

-

Aku terbangun dengan penuh keringat. Mimpi semalam sangat mengerikan. Kasurnya benar-benar berubah menjadi gagak raksasa. Monster itu menghancurkan rumahku dan rumah semua orang. Seisi Mhyr panik. Beberapa orang berhasil dimangsa. Kami tidak mau mati, dan lari. Ujungnya? Aku melihat tubuh Nyonya Sara, ayah, dan ibu dicabik-cabik oleh paruh si Gagak.

Sebelum nyawanya hilang di penghujung dunia, aku mendengar suara Nyonya Sara yang bergema.

"Jangan sampai mengulang kesalahan sampai ketiga kalinya, Erise. Cukup dua kali."

Aku menjerit histeris, menangis, dan di sinilah aku sekarang. Terbangun dengan perasaan luar biasa buruk.

Aku harus ke rumah Nyonya Sara untuk menceritakan ini. Selepas mandi, kulangkahkan kaki ke meja makan. Mencari pengganjal perut sebelum menghampiri nenek baik hati itu.

Entah kenapa, tetapi suasana rumah pagi ini begitu damai. Ayah dan ibu menatap anak semata wayangnya yang turun dengan lesu menggunakan tatapan super khawatir. Dan mungkin paham kalau gadisnya tidak mau menjawab apa-apa, mereka tidak bertanya. Baguslah.

Setelah menemukan apa yang dicari, aku keluar.

"Erise, kau mau ke mana?" teriak Ibu.

Aku menoleh sebentar, dan menjawab, "Ke rumah Nyonya Sara, Tetua Kota Terbijak Sepanjang Sejarah Mhyr."

Kedua orang tuaku mengerutkan dahi, dan saling bertatapan. Sebelum pergi, kudengar suara sayup-sayup mereka yang menggema pada sisa-sisa atap ruangan.

"Nyonya Sara? Siapa itu?"

Oh, apa mereka terlalu mengasingkan diri sehingga tak mengenal Nyonya Sara? Kurasa, mereka harus jalan-jalan juga.

Sebelum menemui Nyonya Sara, aku memutuskan untuk menemui Pak Tua Marsys terlebih dahulu. Kotak musik itu harus sudah selesai hari ini, aku mau menunjukkannya pada sang mantan Tetua Kota.

Dan, untungnya, kotak musik itu memang sudah selesai. Dengan rasa tak sabar yang meluap-luap, aku melanjutkan perjalanan menuju rumah Nyonya Sara.

Namun, tahu apa yang kutemukan di tempat yang seharusnya berdiri rumah manis Nyonya Sara?

Pohon Willow besar nan tua, bersama seekor gagak aneh di puncaknya.

Gagak itu selayaknya hasil gabungan dua makhluk berbeda. Separuh tubuhnya mirip bayangan tipis yang bergerak-gerak tertiup angin, dengan mata kelabu yang terlihat jahat, licik, dan menyeramkan. Separuhnya lagi tampak seperti gagak normal, dengan pandangan teduh, persis tatapan milik Nyonya Sara.

Bersama angin yang dingin dan langit yang menggelap, pagi itu, aku terpaku.

1861 kata.

Kata kunci :
Kasur, patah hati, obat, dan gagak.

22 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top