6
Ciara bagaikan seorang narapidana di ruangan itu, tatapan Alva selalu saja mengintimidasinya seolah Ciara adalah seorang pecandu yang handal. Ciara hanya menunduk dan sesekali bergerak gelisah karena memang gadis itu tidak menyukai suasana yang menegangkan seperti itu.
"Apa motif kamu mendekati anak saya?" tanya Alva dengan sorot mata yang tajam, seperti pedang samurai yang diasah ribuan tahun lamanya.
"Saya nggak ada maksud apa-apa kok, Om. Niat saya ke sini biar Fian nggak kesepian aja. Soalnya Fian curhat sama saya, katanya kalo di kantor Papinya itu dia suka dikurung," jelas Ciara mendapat pelototan tajam dari Alva.
"Memangnya kenapa? Fian adalah hasil dari adonan saya sendiri kenapa kamu yang ikut campur?"
Ciara memberanikan diri untuk menatap mata Alva yang tajam itu. "Om, Fian itu manusia yang butuh kebebasan, bukan dikurung seperti seorang tahanan ...."
"Saya tidak menganggap anak saya sebagai seorang tahanan," sahut Alva cepat.
"Om, jangan memotong ucapan saya!" sentak Ciara.
Alva terdiam saat Ciara mulai mengeluarkan aura tidak bersahabat, lelaki itu akhirnya memilih diam dan mendengarkan semua penjelasan Ciara.
"Apa Om tidak merasa kasihan sama Fian, dia itu adalah seorang bocah yang tidak berdosa lahir karena kerja keras Om dan istri Om. Akan tetapi, kenapa setelah Fian lahir tidak diberikan kebebasan sama sekali?"
Alva mengernyitkan keningnya bingung dengan luapan hati Ciara mengenai Fian. "Tunggu sebentar, padahal baru kemarin Fian saya kurung di rumah karena pengasuhnya sedang pulang kampung." Alva menghentikan ucapannya sejenak, lalu lelaki itu menatap bocah yang sedang duduk dengan kepala menunduk itu dengan tajam. "Fian, apa kepandaian berbohong kamu itu sudah meningkat pesat, Nak?" Alva memberikan tatapan tajam itu kepada Fian.
Ciara melihat betapa takutnya Fian kepada Alva, namun gadis itu juga tidak bisa berbuat lebih karena menurutnya masalah itu bukan urusannya.
"Tante, tolongin Fian," ucap bocah itu dengan suara serak.
Perasaan Ciara bagai tercubit saat mendengar begitu menyedihkannya suara Fian.
"Saya siap jadi pengasuh Fian!" final Ciara pada akhirnya. Gadis itu tidak tega melihat bocah di bawah umur yang ditindas oleh papinya sendiri.
Wajah Alva yang mengerikan itu berlangsung membaik, bahkan saat ini tatapan lelaki itu sudah tidak setajam tadi.
"Ikut saya!"
Alva menyeret tubuh mungil nan bantat Ciara dibawanya untuk keluar dari ruangan. Lelaki itu menoleh ke kanan dan ke kiri, setelah memastikan lorong itu sepi, barulah Alva menghentikan langkahnya.
Lelaki itu bergerak perlahan ke arah Ciara sampai benar-benar tubuh gadis itu terbentur dengan dinding.
Ciara menahan napasnya saat Alva mengungkung tubuhnya yang mungil, aroma maskulin yang dikeluarkan dari tubuh Alva mampu membuat otaknya menjadi tidak normal.
'Ayolah Ciara, lo nggak usah punya pikiran ambigu sama duda kampret ini,' batin Ciara mencoba untuk mengembalikan kewarasannya.
"Kenapa kamu tutup mata? Kamu berharap saya cium, ya?" tanya Alva dengan nada yang dingin dan datar.
Sontak Ciara langsung membuka matanya lalu keduanya saling beradu pandang dan detik berikutnya Ciara mengeluarkan dengusannya untuk Alva.
"Nggak usah sok kecakepan deh, Om. Om sama Papa saya aja masih gantengan Papa saya."
Alva menjauhkan tubuhnya dari gadis yang mempunyai bobot sedikit berlebih itu. "Jika Papa kamu tampan, maka anaknya tidak akan seperti ini," ejek Alva pandangannya mengedar ke seluruh tubuh Ciara tentu saja dengan tatapan mengejeknya.
"Om jangan macem-macem ya!" peringat Ciara tangan gadis itu menyilang untuk menutupi aset berharganya.
Alva terkekeh pelan saat melihat betapa lucunya ekspresi Ciara. "Saya nggak akan tertarik sama tubuh kamu yang bantat ini, seperti kue bolu yang kekurangan pengembang."
Setelah berucap demikian, lelaki itu melenggang pergi meninggalkan Ciara yang sedang dalam keadaan hati tidak baik-baik saja.
"Oh iya satu lagi," ucap lelaki itu yang kembali membalikkan badannya menghadap Ciara.
"Apa lagi?" tanya gadis itu dengan nada yang kesal.
"Kamu boleh menjadi pengasuh anak saya, semoga kamu betah." Lelaki itu akhirnya pergi diiringi dengan lambaian tangan yang menurut Ciara itu untuk mengejeknya. "Masalah kontrak kita bahas saja nanti!" sambung lelaki itu sedikit berteriak.
"Huh! Pantesan aja duda, ternyata sifat dia ngeselin. Kalo dipikir-pikir mana ada ye kan cewek yang betah tinggal satu atap sama dia. Secara dia itu super duper ngeselin banget," gerutu Ciara kesal sembari merapikan bajunya yang sedikit berantakan.
***
Ciara memutuskan untuk kembali ke ruangan Alva. Tepat di depan pintu, Ciara sudah disambut dengan senyuman manis milik Fian.
"Hay, sayang. Kamu kenapa ada di sini?" Ciara mengusap pipi gembul Fian dengan lembut.
"Fian mau main sama Tante, ayo Tante kita pulang ke rumah Tante." Fian melompat-lompat kegirangan.
Ciara yang bingung pun ingin meminta penjelasan kepada Alva, namun nampaknya lelaki itu tidak mempedulikan rengekan Fian.
"Kenapa masih di sini? Kamu kan pengasuh anak saya, jadi kemana pun anak saya meminta pergi, maka turutilah," ucap Alva tanpa menatap Ciara sedikit pun, tangan lelaki itu bergerak lincah di keyboard laptopnya.
Ciara menatap Alva sebal. "Ya saya tahu tugas saya, tapi masalahnya emangnya Om ngebolehin saya bawa Fian ke kos-kosan?"
"Asalkan di kos-kosan kamu itu bersih dan tidak kumuh, maka akan saya izinkan."
Ciara mengangguk tanpa ingin berkata lagi, karena moodnya hari ini sudah hancur hanya karena duda sialan itu.
"Ehh, nama kamu Ciara 'kan?" tanya Alva.
Ciara yang sedang melangkah pun seketika berhenti, gadis itu perlahan memutar tubuhnya untuk kembali menghadap Alva. "Iya Om, apa ada tugas lagi?" tanya Ciara yang masih mencoba untuk bersabar.
Cukup lama Ciara menunggu jawaban dari lelaki itu, namun tampaknya Alva tidak ingin menjawab pertanyaanya. Ciara pun kembali melangkahkan kakinya. Namun ....
"Ehhh, tunggu sebentar!"
Ciara menghela napasnya pelan, di dalam hatinya selalu merapalkan do'a agar stok kesabarannya tidak habis.
"Ada apa lagi sih Om?" kali ini Ciara sudah mulai lelah.
"Jangan lupa setiap kali anak saya duduk di kos-kosan kamu dilap dulu pakai tisu basah, soalnya saya kurang percaya dengan kehigenisan kos-kosan kamu itu, mengingat penampilan kamu yang ... yah, pasti kamu tahu lah apa yang saya maksud."
Ciara menghela napasnya kasar, namun gadis itu masih berusaha untuk tersenyum ke arah Alva. "Baik Om, akan saya laksanakan perintahnya. Apa ada lagi?"
Alva menggeleng. "Tidak," jawabnya lagi-lagi tanpa menatap Ciara.
Ciara menutup pintu ruangan Alva dengan kencang sehingga menimbulkan dentuman yang cukup keras membuat para karyawan yang melintas menatap ke arah Ciara heran.
"Pasti Tante kesel ya sama Papi aku?" Fian bertanya diakhiri dengan kekehan kecil.
Ciara menatap Fian dengan dengusan kecil, memang benar buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, sama halnya seperti Fian dan Alva. Ke dua lelaki itu sungguh menyebalkan.
Sesampainya di dalam kos-kosan Ciara, Fian terkapar tidak berdaya di atas kasur miliknya. Meskipun kasur itu tidak seempuk milik Fian, namun entah mengapa bocah itu langsung tertidur lelap.
"Siapa itu?" Pelangi menatap bocah yang tertidur pula situ dengan mata yang memicing.
"Anak bos gua lah, siapa lagi?"
"Lo beralih profesi jadi pengasuh sekarang? Anak dari seorang pengusaha bahan makanan terbesar jadi pengasuh?" Pelangi menggelengkan kepalanya heran. Sungguh tidak percaya dengan fakta yang diterimanya saat ini.
"Emangnya kenapa dah? Yang penting gua dapet duit." Ciara menjawabnya nampak cuek-cuek saja.
"Ara, tapi lo kan bisa ngomong sama Papa lo, kalo lo mau balik ke rumah dan bisa nerusin usaha Papa lo." Pelangi terus berjalan mengekori Ciara untuk mendapatkan penjelasan dari gadis itu.
Ciara menghela napasnya kasar, gadis itu mulai jengah jika Pelangi sudah bawel seperti itu. "Stop, pelangi! Gua kan lagi kesel sama lo, jauh-jauh sana!"
"Yeee, dasar babonan!"
Saat Pelangi sudah tidak lagi melihat tubuh Ciara, barulah gadis itu mendudukkan dirinya di sofa. Pikirannya masih tertuju pada Ciara yang tidak memikirkan terlebih dahulu bagaimana konsekuensinya mengurusi anak orang.
"Gua rasa kepalanya kebentur sesuatu, makanya otaknya jadi nggak waras," gumam Pelangi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top