4

"Terlalu larut dalam kesedihan, tidak akan membawamu pada perubahan, sehingga tidak akan mampu membuat para mantan menyesal"

Senandung kecil berasal dari bibir tebal milik Ciara mampu membangunkan seisi kos-kosan yang tinggal di dalamnya. Sudah menjadi rutinitas paginya jika memasak pasti akan mengeluarkan suara yang tidak sedap untuk di dengarkan.

"Ara, bisa tolong kecilin suara lo nggak? Gendang telinga gua udah meronta-ronta denger senandungan lo yang nggak terlalu sedap di dengar sama telinga gua," cerocos Pelangi yang baru saja bangun dari tidurnya. Rambutnya masih berantakan menambah kesan tersendiri untuknya.

"Kaya ada yang ngomong tapi nggak ada wujudnya," gumam Ciara yang nampak cuek dengan teguran Pelangi. Ciara memilih untuk kembali melanjutkan senandungnya.

Ciara sangat kesal dengan Pelangi lantaran gadis itu meninggalkannya di pesta pernikahan mantan kemarin. Ciara merasa Pelangi tidak peduli lagi padanya.

"Ara, gua minta maaf sama lo, gua nggak ada niatan buat ninggalin lo." Pelangi berjalan mendekat ke arah Ciara, namun gadis itu langsung menghindar dan memilih menyibukkan dirinya dengan peralatan dapur.

Pelangi hanya bisa menghela napasnya pelan saat melihat Ciara menjauhinya. Ini memang salah Pelangi, karena pulang tanpa memberi kabar Ciara terlebih dahulu.

"Hemmmm, nyam-nyam. Masakan gua harum banget dah," gumam Ciara saat mencium aroma masakannya sendiri yang begitu menggoda lidah dan perutnya.

Pelangi yang juga mencium aroma lezat dari masakan yang Ciara buat hanya bisa meneguk ludahnya kasar. Jika Ciara sudah mode marah seperti itu, pasti dia akan berlaku pelit kepada pelangi.

"Emh, enak banget. Rasa gurih dan pedas bercampur menjadi satu. Emang bener-bener telor dadar yang gua bikin ini nggak ada tandingannya."

Lagi-lagi Pelangi meneguk ludahnya kasar saat melihat betapa nikmatnya Ciara menyantap telur dadar itu dengan gerakan yang begitu pelan.

"Ara, gua minta kek, kayaknya enak tuh." Pelangi menatap piring yang dibawa Ciara penuh minat.

"Tuh kan, ini pendengaran gua yang salah atau begimane dah? Perasaan dari tadi ada yang manggil-manggil nama gua, tapi nggak ada wujudnya," gumam Ciara bergidik ngeri saat mengamati sekitar.

Pelangi mendengus kesal, sudah cukup! Sudah cukup Ciara membuatnya kesal pagi ini. Pelangi memilih pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya Karena pagi ini di butiknya ada sesuatu yang harus diselesaikan.

Sementara itu, Ciara kembali pada aktivitasnya menikmati makanan yang telah dimasaknya tadi. Di dalam hati, gadis itu bersorak gembira karena telah berhasil membuat sahabatnya itu kesal.

"Salah sendiri kemaren ninggalin gua di pesta pernikahan mantan laknat itu," gumam Ciara.

***

"Elfian Fatin Armando, jangan membuat kesabaran Papi habis, sekarang ayo kamu makan sarapan kamu, terus ikut Papi ke kantor karena Bik Yah sedang pulang kampung."

Suasana di rumah Armando setiap paginya seperti ini, penuh dengan keributan dan teriakan yang mampu membuat gendang telinga siapa saja yang mendengarnya pasti ingin pecah.

Alva Bastar Armando, seorang duda berusia 30 tahun yang harus mengurusi anak semata wayangnya yang bernama Elfin Fatih Armando seorang diri tanpa hadirnya seorang istri.

Menjadi seorang duda tampan memanglah tidak mudah untuknya, banyak sekali para wanita-wanita cantik di luaran sana yang mengejarnya dan tidak sedikit pula yang mengajaknya menikah. Namun, karena keposesifan Fian membuat para wanita-wanita itu kabur satu persatu.

Fian tidak akan segan-segan berlaku iseng jika ada wanita ondel-ondel yang mendekati papinya, karena bocah itu begitu benci dengan wanita yang berdandan menor dan berpakaian minim. Menurut Fian wanita seperti itu tidak mempertahankan harga diri.

"Fian nggak mau ke kantor Papi. Fian males ah liat Tante ondel-ondel itu," rengek Fian.

Alva hanya bisa menghela napasnya pelan. Lelaki itu beranjak dari duduknya lalu beralih pada kursi sang anak.

"Fian, kalau kamu tidak ikut Papi ke kantor, lalu siapa yang akan menjaga kamu di rumah?" tanya Alva yang sudah duduk jongkok di hadapan Fian.

Bocah itu hanya menunduk sambil memilin-milin bajunya hingga terlihat kusut. "Fian mau Tante yang kemarin."

Alva mengusap wajahnya frustasi. Mencari gadis pendek dengan postur tubuh yang sedikit bantat kemarin itu kemana? Bahkan Alva tidak tahu nama dan alamat di mana dia tinggal.

"Fian, kamu tidak boleh terlalu percaya dengan orang asing. Siapa tahu Tante kemarin itu gadis yang mempunyai niat buruk sama kamu?"

"Papi kenapa selalu dekat dengan wanita bebas di luaran sana, tapi Papi selalu melarang Fian untuk dekat juga dengan seorang gadis?"

Alva baru saja melupakan jika putra semata wayangnya itu begitu pintar untuk membuat bibirnya bungkam. Usia Fian memang masih terbilang sangat muda, namun otaknya sudah mampu mengalahkan orang dewasa.

Alva mencoba untuk tersenyum. "Iya, nanti Papi akan mencari Tente yang kamu maksud itu."

"Yeyyy, sayang Papi." Fian memeluk tubuh Alva sembari bersorak gembira.

"Tapi Fian harus ikut Papi ke kantor untuk hari ini. Mau ya?"

Fian menaruh tangan kanannya di bawah dagu seolah sedang berpikir keras. Ikut ke kantor bersama Alva adalah salah satu kegiatan yang paling tidak ada di dalam kamus hidup Fian. Terkurung di ruangan luas membuat bocah itu bosan.

"Ok deh, tapi Papi harus janji dulu sama Fian." Fian mengacungkan jari kelingkingnya.

Alva pun membelit jari kelingking Fian yang mungil itu, pertanda dia ingin berjanji. "Iya janji, tapi kalau mudah ya."

"Mudah kok, Fian minta sama Papi tolong itu tente ondel-ondel yang ada di depan ruang kerja Papi diusir dulu, Fian pengen muntah litanya. Apalagi sama cara jalannya, iiww banget gitu loh."

Alva kembali menghela napasnya, mencoba untuk bersabar menghadapi sifat ajaib Fian yang terkadang datang tanpa diminta. Entah titisan dari mana Fian itu sehingga mempunyai sifat dan karakter yang menyebalkan.

"Oke, baiklah. Papi akan mengusirnya nanti."

"Yeyyy, sayang Papi banyak-banyak," sorak Fian bergembira.

***

Sesampainya di kantor milik Alva, bocah itu begitu ringan melangkahkan kakinya menginjak keramik putih yang terlihat begitu mahal itu. Seperti biasa, pandangan para wanita tertuju pada Alva yang sedang melangkah dengan gagahnya di tambah pula jas mahal yang dikenakannya menambah kesan maskulin di dalam diri Alva muncul.

Sesekali Fian mendesis pada karyawati yang secara terang-terangan menatap minat pada sang papi, ingin rasanya Fian mencongkel kedua bola mata wanita-wanita itu.

"Ekhem, Papi Fian udah ada yang punya, jadi dimohon untuk para Tente-Tante yang haus belaian jangan jelalatan!" teriakan Fian mampu membuat para wanita-wanita yang sedang menatap Alva pun mengalihkan pandangannya.

Alva menatap Fian penuh dengan kekaguman, bocah itu sungguh luar biasa pandainya karena berhasil membuat para wanita itu takut.

"Good, boy," ucap Alva sembari mengusap puncak kepala Fian.

"Fian gitu loh." Bocah itu bersedekap sembari menampilkan wajah sombongnya.

Alva hanya menggelengkan kepalanya saat melihat betapa pandainya Fian sangat menurun sifatnya jika sedang berani seperti ini.

Keduanya telah sampai di ruangan Alva. Fian mengedarkan seluruh pandangannya untuk meneliti ruangan itu.

'Kenapa ruangan Papi berbeda? Kira-kira apa yang beda ya, apa mungkin penglihatan Fian yang salah?' tanya Fian di dalam hati.

"Fian, kamu kenapa?" Alva menatap Fian heran saat melihat keanehan dari bocah itu.

"Papi, kenapa ada sesuatu yang berbeda?" tanya Fian tangannya menggaruk kepalanya.

Alva menghela napasnya pelan. "Iya, aquarium yang ada di meja sudah tidak ada, ikannya mati karena tidak sengaja menelan seekor cicak," jelas Alva yang sudah duduk di kursi kebesarannya.

Fian menghampiri sang papi dengan tatapan mata yang tajam, seolah bocah itu tidak terima jika ikan kesayangannya harus mati hanya karena seekor cicak.

"Kenapa Papi ngasih makan ikan kesayangan Fian cicak sih?" wajahnya terlihat sangat marah. "Memangnya uang Papi habis hanya karena membelikan makanan ikan koi kesayangan Fian?"

Alva menggeleng seperti orang bodoh. "Bukan seperti itu, sayang. Cicaknya terjatuh dan masuk ke dalam aquarium. Kamu kan tahu sendiri jika Papi ini paling takut sama cicak."

Fian mendengus kesal, "Halah, alasan."

Alva memincingkan sebelah alisnya saat melihat putranya membuang muka padanya. Tidak berselang lama suara ketukan pintu terdengar.

"OM TITO!" Pekiknya saat lelaki berketurunan Indonesia Turki itu memasuki ruangan Alva.

"Hallo, boy. Apa kabarmu, rasanya Om sudah lama tidak bertemu dengan kamu dan kamu sudah bertambah besar saja," ucap Tito sembari memeluk tubuh mungil Fian.

"Fian akan selalu baik jika Om Tito berbaik hati membelikan Fian beberapa mainan dan ice cream."

Tito memandang Alva yang terlihat tenang di sana padahal anaknya secara terang-terangan sedang memoroti isi ATMnya.

"Alva!"

"Apa?" Alva menatap Tito datar. Rasanya itu adalah hal yang sangat wajar.

"Nggak jadi," jawab Tito yang sudah mulai kesal. Jika berhadapan dengan Alva dan Fian, sudah dipastikan hari itu juga moodnya akan hancur. Karena memang ke dua lelaki itu sungguh menyebalkan.

"Om Tito, ayo kita ke mall, katanya Om mau beliin Fian mainan sama ice creame."

Tito memberikan senyum terpaksanya pada Fian, lelaki berketurunan Indonesia Turki itu mengambil gawai dari saku celananya lalu mengecek saldo ATM yang tersisa.

"Masih aman," gumam lelaki itu pelan.

"Om Tito. Ayo!" Fian menarik dasi yang dipakai Tito sampai membuat lelaki itu tersungkur.

"Sungguh sahabat yang sangat durhaka, saat melihat sahabatnya dianiaya sama anaknya pun dia tidak peduli," ucap Tito mendramatisir keadaan saat melihat Alva tidak peduli dengan keadaannya yang begitu mengenaskan sekarang.

"Alva, gua bawa anak lo pergi ya."

"Hemm."

Ingin sekali rasanya Tito melemparkan guci keramik itu ke kepala Alva, sungguh lelaki berhati batu es itu nampaknya tidak pernah mencair. Padahal kutup utara sebagian esnya sudah mulai meleleh akibat global warming.

Tito membawa Fian untuk jalan-jalan dan juga berniat memanjakan keponakannya yang tidak tahu diri itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top