3
"Andaikan sungai amazon berdekatan dengan Indonesia, maka detik ini juga gua bakalan menenggelamkan dari pada harus melihatnya berbahagia dengan yang lain di atas pelaminan."
Duhai senangnya pengantin baru
Duduk bersanding bersenda gurau
Duhai senangnya pengantin baru
Duduk bersanding bersenda gurau
Bagaikan raja dan permaisuri
Tersenyum simpul bagaikan bidadari
Duhai senangnya menjadi pengantin baru
***
Perasaan Ciara saat ini tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, sakit, kecewa, dan terluka bercampur menjadi satu antara ingin merobohkan tenda pernikahan, mencakar kedua mempelai pengantin, atau ingin pula mencaci maki mantannya yang telah tega meninggalkannya tanpa alasan yang jelas.
"Ara, gua saranin lebih baik lo makan deh, gua tau pasti lo bakalan tenang kalo udah ada makanan," ucap Pelangi, sembari memberikan Ciara satu piring berisikan bolu coklat.
Ciara menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih sahabatku yang paling pengertian."
Pelangi menggelengkan kepalanya heran melihat tingkah sahabatnya karena hanya dengan makanan mood Ciara langsung membaik.
"Tau nggak sih lo, waktu gua ngambil makanan ada cowok rese banget, bikin gua jijik," adu Pelangi pada Ciara.
"Awal ceritanya gimana?" Ciara menatap Pelangi dan sesekali menyuapkan bolu ke dalam mulutnya.
"Jadi gini ..." Pelangi mulai menceritakan kejadiannya.
Saat Pelangi ingin mengambil makanan di prasmanan tiba-tiba ada yang menabraknya sehingga membuat tubuhnya tidak seimbang nyaris terjatuh, untunglah Pelangi begitu pandai menyeimbangkan tubuhnya.
"Aduh, kalo jalan itu liat-liat dong," omel Pelangi pada seorang laki-laki yang tidak sengaja menabraknya.
"Wow, aku bagaikan melihat bidadari yang baru saja turun dari langit, apakah kamu mempunyai selendang? Kalau punya, bolehkan aku mencurinya?" lelaki itu mengedipkan matanya genit.
Pelangi memincingkan sebelah matanya menatap lelaki itu heran. 'Alien dari planet mana lagi ini?' tanya gadis itu di dalam hati menatap lelaki di depannya dengan pandangan heran.
"Mohon maaf ya Om, saya ini bukan Nawang Wulan yang turun ke bumi hanya karena ingin mandi di sungai, saya ini penduduk lokal asli bumi. Udah sana minggir, ganggu jalan gua lewat aja."
Lelaki itu memandang punggung mulus Pelangi dengan takjub, seakan-akan baru pertama kali menemui gadis judes dan secuek Pelangi.
"Sungguh sangat menantang," gumam lelaki itu lalu dia pun pergi.
***
"Jadi gitu," ucap Pelangi mengakhiri ceritanya.
"Ya ampun, sore ini kayaknya gua ketularan sial dari lo deh, Ara," keluh Pelangi pada sahabatnya.
"Kok lo jadi nyalahin gua sih?" Ciara nampak tidak terima dengan tuduhan yang diucapkan Pelangi.
"Iya lah, bayangin aja gua tadi dirayu sama Om-Om hidung belang. Ganteng sih, tapi masa kelakuannya kaya duda kurang belaian sih."
"Duda? Lumayan tuh, kenapa nggak coba lu deketin aja, siapa tau lo jadi sugar babynya," celetuk Ciara tanpa dosa.
"Sekate-kate lu kalo ngomong, udah lah, males gua duduk sama lo di sini, yang ada gua ketularan bloonya kaya lo!" Pelangi beranjak dari duduknya lalu meninggalkan Ciara seorang diri.
Ciara kembali menangis bombai saat melihat sepasang pengantin tersenyum manis kepada para tamu undangan. Mereka berbahagia di atas penderitaannya. Akankah ini adil?
"Cieee ... Tante sedih ya?"
Ciara menoleh ke kanan dan ke kiri mencoba mencari sumber suara, namun gadis itu tidak menemukan apa-apa.
"Tante, Tante. Fian disini!"
Teriak itu membuat Ciara kembali mencari sumber suara.
"Astaghfirullah, kamu ngapain di kolong meja, Dek?" Ciara terkejut saat melihat seorang bocah lelaki yang sedang bersembunyi di kolong meja tempatnya duduk. Ciara berusaha untuk meminta bocah itu keluar, tetapi tidak digubris.
"Sssttt, jangan berisik, Tante. Nanti Papi aku tau kalo aku lagi ngumpet," ucap bocah bernama Fian itu dengan jari telunjuk di depan bibirnya.
Ciara menepuk jidatnya sendiri saat mendengar penjelasan dari Fian. Bagaimana jika papinya menuduh dia telah menculik anaknya.
"Adek ganteng, Adek manis, Adek pinter. Ayo keluar dari sana, nanti panjang urusannya kalau Papi kamu menuduh Tante yang tidak-tidak."
Ciara menarik lembut tubuh mungil Fian untuk dibawanya keluar. Untunglah bocah lelaki itu sangat penurut dengannya.
"Sekarang kamu jelasin sama Tante, kenapa kamu bersembunyi di bawah kolong meja ini?" tanyanya saat mendudukan tubuh Fian di kursi.
"Jadi gini Tente, Papi aku itu bawa Tante ondel-ondel ke sini, aku selalu dipaksa buat bersikap baik sama Tante itu. Fian nggak suka, karena dia selalu saja mencoba untuk menarik perhatian Papi," jelas bocah itu dan membuat Ciara mengangguk paham.
Ciara mengerutkan keningnya saat melihat Fian menatapnya dengan tatapan berpikir. Apakah yang akan dilakukan oleh bocah ajaib ini?
"Tante ditinggal nikah ya?" tanyanya.
"Gimana kalo Tante sama Papi aku aja, nanti Papi yang bakalan nganterin Tante ke gerbang pelaminan dengan artian tante bakalan jadi Mama aku. Mau ya tante," pinta Fian dengan wajah yang memelas.
"Eh buset, ini bocah nawarin gua jadi Mama tirinya udah kaya ngajakin ke pasar senen aja," gumam Ciara.
"ELFIAN!"
Teriakan itu sukses membuat tubuh Fian menegang, bocah kecil itu berusaha turun dari tempat duduknya, mencoba untuk kembali bersembunyi.
"Tente, tolong bantuin Fian turun dong, Fian mau sembunyi lagi, takut pantat Fian dipukul sama Papi," bisik bocah itu yang masih sibuk menggeal-nggeolkan tubuhnya.
Ciara menggeleng. "Fian nggak boleh kaya gitu, itu namannya durhaka."
"Elfian Fatih Armando, mau kemana lagi kamu?"
Tubuh Fian seketika terdiam, tidak hanya bocah itu saja, Ciara pun ikut terdiam saat mendengar suara bariton yang terdengar begitu tegas itu, bahkan saat ini Ciara tidak berani menatap mata lelaki itu.
"Apa yang telah anda lakukan kepada anak saya?" tanya nya, menatap Ciara tajam.
Nyali Ciara yang awalnya bar-bar kini menjadi menciut saat mendapat tatapan mematikan dari lelaki itu.
"Saya nggak ngapa-ngapain anak Om kok, dia tadi sembunyi di kolong meja ini," jelas Ciara dengan kepala yang menunduk.
"Apakah wajah saya berada di bawah sana, sehingga tidak mengangkat wajah kamu saat berbicara dengan saya?"
Lagi-lagi ucapan yang lelaki itu keluarkan mampu membuat bulu kuduk Ciara berdiri karena takut.
"Tante angkat kepalanya, Papi Fian ganteng kok, nggak menakutkan," bisik Fian lalu kepala Ciara bergerak pelan untuk mendongak.
"Maafkan saya Om, saya nggak ada niatan untuk menculik anak Om, kok. Suer deh." Gadis itu menunjukan jarinya berbentuk huruf 'V' bertanda perdamaian.
Lagi-lagi lelaki itu menatap Ciara kian tajam, dia marah ketika melihat wajah Ciara begitu menyebalkan saat berbicara kepadanya.
"Fian, ayo kita pulang, sekali lagi kamu bandal seperti ini, Papi tidak akan pernah mengajak kamu keluar satu langkah pun dari rumah!"
Lelaki itu membawa tubuh Fian menjauh sampai langkah bocah itu terseok-seok karena mengikuti langkah papinya yang lebar.
"Dasar Papi yang tidak punya perasaan sama anaknya sendiri," gumam Ciara saat melihat Fian kecil yang malang itu semakin menjauh.
Ciara kembali duduk seorang diri di tengah-tengah kerumunan orang banyak. Gadis itu seperti bocah berusia 3 tahun yang ditinggal mamanya menggosip. Ciara hanya bisa menoleh ke kanan dan ke kiri agar pandangan gadis itu teralihkan untuk tidak menatap mempelai pengantin yang sedang duduk manja di singgasananya.
Andai waktu acara akad dia datang, pastilah kedua mempelai pengantin itu tidak bisa merasakan malam pertama.
Tidak terasa detik telah berganti menit, namun Pelangi belum juga kembali menemui Ciara. Sudah lelah pinggang gadis itu menunggu sahabatnya kembali, tetapi nahas, seseorang yang ditunggunya itu tidak juga menampakkan batang hidungnya.
Sudah saatnya Ciara memberikan selamat kepada sang mantan kekasih dan pasangan barunya itu, tetapi kaki Ciara seperti enggan untuk menghampiri mereka.
"Pelangi kemana sih, heran deh gua sama hobi ngilangnya yang nggak pernah punah, kenapa kebiasaan buruk dia yang satu itu nggak pernah hilang ya? Setau gua, hobi terburuk itu pasti akan hilang seiring berjalannya usia," gumam Ciara kesal yang lagi-lagi harus menghela napasnya kasar.
Karena sudah terlalu lelah menunggu Pelangi kembali, Ciara memutuskan untuk memberi selamat kepada sang mantan seorang diri, dengan membawa segudang kemarahan di dalam dirinya. Namun, bukan Ciara jika gadis itu tidak pandai untuk berekting di depan umum dan menutupi kesedihannya itu.
"Selamat ya atas pernikahannya, semoga besok pagi cerai," celetuk Ciara diakhiri dengan tawa.
"Kok besok pagi sih?" protes sang mempelai pengantin wanita nampak tidak terima dengan gurauan Ciara.
"Terus maunya kapan? tiga detik kemudian? Ups, maaf mulut gua emang suka pedas di saat yang tepat. Sekali lagi selamat ya, dan jangan lupa dibuka kado dari gua. Itu isinya special buat kalian loh."
"Emang sisinya apa, Ara?" tanya sang mempelai lelaki dengan nada yang lembut.
"Jailangkung," jawab Ciara sekenanya lalu gadis itu melenggang pergi.
Ke dua mempelai pengantin pun saling menatap satu sama lain dan kemudian matanya beralih pada kado yang dibalut dengan kertas bermotif beruang dengan tatapan bergidik ngeri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top