#3 : Pesan #1

Begitu jam menunjukan pukul enam pagi, gue langsung getanyangan dari rumah sakit ke sekolah. Satu jam sebelum jam masuk, gue menemukan tempat ini masih kayak kuburan alias sepi banget. Hanya ada satu atau dua siswa yang sudah datang di tiap kelas.

Hari ini perlombaan masih berlangsung. Pastinya sekolah ini nggak akan terlalu ramai dengan siswa karena ada beberapa anak yang harus berangkat menuju gelanggang untuk mendukung jagoan masing-masing. Namun yang tinggal, tetap harus menikmati ilmu yang guru-guru suapkan pada mereka.

Gue memilih menduduki kursi Alle. Beda dengan gue yang selalu duduk di depan kelas bareng Devan, cewek gue selalu memilih barisan belakang. Dia nggak jago di IPA, apalagi hitung-hitungan macam Fisika dan Matematika. Beda lagi kalau pelajaran bahasa, dia yang terbaik.

Lama gue menunggu, hingga lima belas menit sebelum bel berbunyi, satu per satu teman gue memasuki kelas. Dan di sanalah gue menemukan Alle di ambang pintu seorang diri. Rambut panjang sepunggung dia dikuncir. Memanggul tas kuning favorit dia.

"Alle," sapaan Maria menarik perhatian gue.

"Kenapa, Mar?" tanya Alle seraya berjalan menduduki kursi kosong di sebelah gue.

Refleks, gue pindah ke atas meja. Bersila di sana saat Maria menggantikan diri gue duduk di sisi Alle. Tiba-tiba cewek berambut sebahu itu meraih tangan Alle. Menggenggamnya erat. "Gue... turut prihati."

Kening Alle mengernyit. "Ha? Ngapai lo prihatin sama gue?"

"Genta?"

Alle tampak semakin kebingungan. "Kenapa sama Genta?"

Kelihatan Maria langsung salah tingkah. Menarik pegangannya pada Alle. Jemarinya yang bebas langsung mengetuk permukaan meja kayu yang tengah gue duduki ini.

"Lo... aduh." Maria mendadak bingung. "Genta di mana?"

Alle mengedikan bahu. Tentu saja dia nggak tahu gue kepleset gara-gara Devan sok-sokan merahasiakan keadaan gue. Heran deh sama sahabat gue itu!

"Dari semalam gue hubungin nggak bisa. Jadi, gue nggak tahu."

"Gitu ya?" Maria meringis.

"Mar, lo tahu sesuatu tentang Genta?" Alle beringsut mengikis jarak dengan Maria. Sambil memicingkan mata, dia menuntun penjelasan. "Genta di mana?"

Kedua mata Maria jelalatan mencari celah untuk kabur. Sayangnya, kehidupan di kelas ini berjalan normal. Mungkin saat mengetahui gue tiada nanti, tempat ini nggak akan banyak perubahan berarti.

"Maria!" Nada suara Alle naik satu oktaf.

"Fine!" Maria menyerah. "Kemarin temen gue bilang kalau lihat Genta kepleset di tangga gelanggang pas hujan deras. Kepala dia bocor dan nggak sadarkan diri. Gue pikir lo tahu, apalagi di sana ada Devan. Jadi, gue langsung bilang prihatin."

"Genta... kepleset?"

Maria mengangguk. "Kata temen gue sih gitu, Le."

Tiba-tiba Maria menunjuk sesuatu di kejauhan. Refleks, gue mengikuti arah yang dituju. Devan baru aja memasuki kelas. Tampak rapi dengan seragamnya. Bersikap tenang kayak biasanya juga.

"Itu Devan, Le! Tanya aja ke dia," teriak Maria yang berhasil didengar semua orang termasuk Devan sendiri.

Gue bisa melihat Alle dan Devan saling berpandangan sejenak, sebelum akhirnya Devan berbalik. Meninggalkan kelas begitu saja.

***

Gue sampai lebih dulu di studio band yang terletak di gedung yang berbeda dengan gedung kelas. Cukup jauh, apalagi Alle pakai berlari. Jadi pas pacar gue itu tiba di sini, napas dia tesengal. Dan sedikit kurang fokus.

Sesaat dia celingukan, begitu juga dengan gue. Sayangnya, di sini hanya ada tiga orang; Abid, Dedi, dan Jo. Ketiganya adalah anak satu band Devan, tapi sahabat gue kayak leyap gitu aja.

"Alle, cari siapa?" tanya Abid yang kebetulan juga teman sekelas sama gue.

"Demon," jawab Alle terbata. "Mana dia?"

Ketiganya saling bertukar pandang kemudian mengedikan bahu bersamaan. Jo, sang vokalis yang dijuluki Don Juan atau Don Jo itu langsung mendekati Alle. Merangkul cewek gue untuk dia giring keluar.

Coba gue nggak jadi arwah sialan kayak gini, udah gue tonjok si Don Jo itu. Gue nggak posesif, hanya saja Jo itu playboy berat. Gonta-ganti pacar kayak gonta-ganti daleman. Kasian kalau Alle kenapa-kenapa gara-gara rangkulan ini.

"Ngapain lo rangkul-rangkul gue, Jo?"

Alle segera menarik diri. Menjadikan Jo sedikit salah tingkah.

"Sori," jawab Jo sambil memamerkan gigi putih dengan senyum yang kata cewek-cewek menawan. Najis!

"Devan nggak ada di sini," jelas Jo lebih lanjut.

"Ya, nggak perlu pakai pegang-pegang juga kalau mau kasih tau itu doang!" Alle berubah jutek. Salah satu senjata dia yang kadang juga bikin gue keder, apalagi kalau udah bulanan dia datang, gue mundur. Tiba-tiba aja Alle menunjuk Jo tepat di hidup cowok itu. "Lo, kalian, nggak sembunyiin Devan dari gue kan?"

Jo terbahak sambil menggeleng. "Buat apa sih, Le? Gue, Abid, sama Dedi itu Tim Lele-Demon berantem. Kalian seru kalau lagi ngedrama, jadi buat apa disembunyiin, kan?"

"Jangan panggil gue Lele!" teriak Alle sambil memelototkan mata. "Gue benci dipanggil kayak gitu. Satu lagi, kalau kalian ketahuan sembunyiin Demon dari gue, awas aja! Gue jadiin pencel lele lo bertiga!"

"Iya, Alle." Jo melirik jam tangan singkat. "Lima menit lagi bel masuk kelas. Ayo, gue anterin ke kelas. Sekalian gue mau ngecengin cewek di sana. Lahan gue kerontang karena kesibukan. Yuk, Le!"

Sekali lagi Jo menarik Alle menjauhi studio. Mereka masih beradu kecil mengenai sentuhan dan sejenisnya. Namun, Alle menurut. Keduanya menghilang di ujung tangga.

Hingga suara siulan bikin gue berbalik. Pintu lemari besi yang berada di pojokan studio bergerak terbuka. Sosok yang menjadi buronan keluar dengan senyum lega.

"Udah cabut kan si Lele?" tanya Devan sambil menghirup napas banyak-banyak. "Gila, gila, di dalam pengap, gue sampai kehabisan napas."

Abid yang berada paling dekat mengambil sebuah gelas air mineral bekas di kusen jendela lalu menyodorkan benda itu pada Devan. "Nih, minum dulu."

Seketika Devan berteriak saat melihat air yang disodorkan Abid. "Gila lo! Ini udah lumutan subur gini. Lo mau ngeracuni gue?"

"Nggak juga sih, habis cuma itu doang air di sini." Abid terkekeh seraya menaruh kembali gelas air itu ke tempat semula. "Lagian kenapa sih lo sampai sembunyi dari Alle? Genta beneran kecelakaan dan lo... sembunyiin info itu dari dia?"

"Iya, kenapa, Dev? Lo nggak mau dia sedih karena denger kabar mengenai Genta?" tanya Dedi yang lagi gulung kabel.

Gue pun melayang mendekati Devan. Ingin tahu alasan dari sahabat gue itu. Namun, jawaban Devan bikin gue pengen minumin itu air berlumut ke dia!

"Ngaco lo, Ded! Mana ada gue nggak mau dia sedih?" Devan tertawa sumbang. "Kalian berdua kan tahu kalau gue itu alergi Allerga. Males gue dekat-dekat sama dia apalagi harus ditanyain macem-macem masalah Genta. Gue cabut dulu, guys! Jangan kebanyakan ngeband, gitaran kagak bikin lo berdua pinter."

Segera saja Devan melesat meninggalkan studio. Bersamaan itu pula bel tanda masuk kelas berbunyi. Gue terpaku di tempat semula. Jawaban yang Devan ungkapkan seolah bukan yang sebenarnya. Jadi, gue patut untuk tetap mencurigai dia.

***

Sebuah kejutan saat gue balik kelas adalah Alle tahu-tahu aja duduk di sebelah Devan. Barisan terdepan pas pelajaran Pak Slamet, guru fisika. Salah satu mata pelajaran yang cewek itu hindari, tapi sekarang malah dia hadapi.

Penasaran dengan interaksi sahabat dan pacar gue, duduklah gue di meja guru sebrang meja mereka. Aura permusuhan kental terasa. Namun, keduanya tertahan untuk tetap berada di tempat masing-masing selama satu setengah jam ke depan.

"Ada yang inget kan kalau dua minggu yang lalu ulangan tengah semester?"

Refleks, gue berbalik menghadap Pak Slamet. Kepo sama nilai gue juga. Apa usaha gue buat belajar udah cukup memuaskan atau belum.

Pak Slamet menduduki kursinya. Mengambil tas untuk mengeluarkan beberapa lembar kertas di sana. Dengan wajah galak tanpa senyum, dia berkata, "Saya bacakan satu-satu ya. Biasa urut dari yang terbaik hingga... yang kurang banget."

"Kebiasaan," cibir gue yang nggak pernah setuju dengan cara Pak Slamet membeberkan nilai seperti ini. Bukannya bikin termotivasi, yang ada malah mempermalukan anak-anak didiknya. Not good!

"Di posisi pertama dengan nilai 95, tidak lain dan tidak bukan adalah Devan Marlon!" puji Pak Slamet. Kali ini ada senyum miring yang tersungging di wajahnya.

Devan segera berdiri dari kursi untuk mengambil kertasnya. Pak Slamet berbisik, salah dia berbicara dengan lantang, "Bapak bangga sama kamu, Devan. Pertahankan kepintaranmu."

Kemudian menatap satu per satu siswa-siswinya di kelas. "Kalian kalau jadi pelajar itu kayak Devan dong! Meskipun dia masih ngeband dengan band tidak jelasnya, tapi nilai dia selalu bagus."

Gue terkikik. Padahal ada Abid di kelas ini yang termasuk dalam band tidak jelas Devan. Anak itu pasti bete banget. Beda dengan Devan yang udah biasa, jadi wajahnya datar-datar aja. Langsung melipat kertas ulangan kemudian dimasukan ke laci bawah meja.

"Kedua dengan nilai 93, Genta Permana!" teriak Pak Slamet.

Hampir aja gue mau merampas kertas tersebut, tapi gagal. Gue lupa kalau lagi jadi arwah. Alhasil gue hanya meluapkan kebahagiaan dengan tarian sederhana di atas meja.

"Devan," panggilan Pak Slamet menghentikan kegilaan gue. Sambil menyerahkan kertas ulangan gue ke Devan, dia bertanya, "Saya dapat desas-desus kalau Genta kepleset di tangga gelanggang dan masuk rumah sakit. Benar?"

Sekilas Devan melirik Alle lalu berganti ke semua orang yang ada di ruangan. Jawaban dia hanya anggukan tanpa menjelaskan lebih lanjut.

"Semoga Genta cepat kembali pulih ya," ucap Pak Slamet yang diaminkan semua orang.

Mendadak gue sedih. Takdir gue nggak sebagus itu. Pada kenyataannya ini akan menjadi pengalaman terakhir gue melihat-lihat sekolahan sebelum dipanggil Tuhan.

Lama gue melamun dan meratapi kematian, nama Allegra yang dipanggil bikin gue menoleh. Pak Slamet menatap Alle dengan tidak senang, "Allegra Larasati. Kamu harus belajar lebih giat lagi. Masa kamu nggak malu Genta dapat nilai 93 sementara kamu hanya 50?"

Alle berdiri seraya mengambil kertas ulangan dia. Raut muka dia berubah sendu. Apalagi saat berkata pelan membalas ocehan Pak Slamet, "Maaf, Pak."

"Alle," panggil gue.

Sebenarnya jengkel lihat dia selalu dibanding-bandingkan dengan gue. Padahal Alle punya kelebihan dia sendiri, tapi semua orang kayak tutup mata akan hal itu.

Tiba-tiba saja Alle meraih tangan Devan untuk dia remas kuat. "Gue... udah belajar, Mon. Kalau Genta lihat ini... dia pasti sedih. Dia ngajarin gue sampai larut malam."

Devan menoleh begitu pula Alle. Ada keteguhan kuat dalam sorot mata cewek gue itu. "Istirahat nanti, gue nggak mau lo gantungin gue lagi. Lo nggak akan bisa kabur, Mon. Lo harus jelasin semuanya, tanpa terkecuali. Tanpa dia, percuma gue bertahan di jurusan ini."

Pernyataan itu bikin gue makin sedih aja. Gara-gara gue, Alle milih IPA alih-alih bahasa. Dulu gue pernah berjanji sama dia dan sekarang gue nggak bisa tepati itu.

Gue menoleh pada Devan. Sahabat gue itu hanya memandangi Alle dalam diam. "Kayaknya... gue udah punya pesan ketiga buat lo, Dev."

***

Surabaya, 18 Oktober 2022

Genta akhirnya Gentayangan di chapter 3. Terima kasih buat kamu yang nungguin kisah ini, vote dan komen ya. Cerita ini akan diunggah setiap hari, jadi ditunggu hehe.

Love,

Desy Miladiana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top