Part 19
Happy reading^^
Semoga kalian suka dan mau memberi vote dan komen😂😂
***
"Sya?" Nando memanggilnya.
Tasya menghembuskan nafasnya pelan kemudian berdeham. "Hmm, maaf ya Do, gue nggak bisa."
Mata berbinar Nando perlahan mulai meredup setelah mendengar penuturan Tasya. Dadanya seakan ditimpa godam berkali-kali lipat, ternyata dugaannya selama ini benar. Pasti ini karena Keanno, Keanno yang berhasil mengambil hati Tasya terlebih dahulu.
"Do?" kini gantian Tasya bertanya. Matanya menatap lurus lawan bicaranya, raut wajah Nando yang berubah drastis.
"Maaf ya, Do," Tambah Tasya.
Nando sebisa mungkin menerbitkan senyumnya, bagaimanapun hanya dirinya sendirilah yang tahu bagaimana sesak kian menyeruak didada. "Iya nggak papa Sya." Nando melanjutkan bicaranya. "Tapi lo terima ya bunganya?"
Tasya langsung meraih sebucket bunga itu. "Oke."
Lantas suasana diantara mereka bertiga mendadak hening. Ralat. Mungkin hanya suara kunyahan siomay yang terdengar dari mulut Niara.
Bermenit kemudian suara kunyahan Niara tadi berhasil digantikan dengan suara Niara yang terbatuk-batuk karena tersedak.
"Laper banget ya lo?"
Niara membuka tutup botol tupperwarenya kemudian meneguk air mineral yang ia bawa sendiri dari rumahnya.
Setelah mendingan, Niara langsung mencibir. "Sialan lo! Temennya batuk malah dikatain kelaperan."
"Emang gitu kali kenyataannya," kata Tasya tak mau kalah.
"Udah ah gue kenyang," Niara berupaya mengganti obrolan.
Tasya melirik benda di pergelangan tangannya. "Mau balik? Udah sore juga sih."
"Yuk!" sahut Niara langsung bangkit dari kursinya.
"Bareng gue ya?" Nando menatap Tasya, menunggu perempuan itu menyetujui tawarannya.
"Niara gimana?" Tasya bergantian
menatap Nando dan Niara.
"Gue bawa mobil kok."
Tasya menatap Niara. "Lo bareng gue sama Nando ya?"
Niara sontak mengangguk.
Ketiganya pun sontak melangkahkan kaki kearah parkiran mobil SMA Cita Bangsa sesaat di ujung bibir lapangan sebuah suara berhasil memberhentikan langkah Nando.
"Do!" pekik seorang laki-laki dari kejauhan. Ketika langkahnya semakin mendekat, barulah Tasya tahu bahwa itu adalah mantan Klarisa. Revan.
"Lo ditanyain anak-anak kemarin kemana terus sorean anak-anak mau jenguk Ico. Lo ikut nggak?" Revan bertanya kemudian tersenyum begitu melihat kedua teman dari mantannya itu.
"Yaudah ntar sore gue ikut jenguk Ico."
"Sip!" Revan melanjutkan, "Gue duluan ya Sya, Ra."
Tasya dan Niara sontak mengangguk.
Kemudian ketiganya melangkahkan kakinya lagi hingga mencapai mobil milik Nando. Dan bermenit kemudian yaris hitam tersebut bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya.
***
"Lho, kamu mau kemana?" Dahi mamanya berkerut kala melihat anak laki-lakinya sudah nampak casual padahal baru saja seharian mamanya mengobati luka memar disekujur wajahnya.
Keanno menyengir kuda sebentar. "Mau jenguk Ico mah."
"Itu teman kamu yang ikutan tawuran?" Keanno mengangguk seraya menyambar kunci motor diatas rak pigura.
"Eh, eh," Ada jeda. "Mama nggak ngizinin kamu bawa motor kalau lagi sakit."
"Tuh! Ambil kunci mobil diatas lemari," mamanya menjentikkan jari menunjuk lemari yang berwarna coklat kehitaman itu.
Keanno menurut sembari mengambil kunci mobil diatas lemari.
"Keanno berangkat ya mah," Keanno berujar sembari mencium punggung tangan mamanya.
Sesampainya di dalam mobil ia tak membutuhkan waktu lama untuk bergabung dengan para pengendara mobil yang lain.
Bermenit kemudian benda kotak bergetar diatas dashboard, dengan tangan kirinya Keanno cepat mengambil dan mengangkat panggilan dari Nando.
Keanno mengernyitkan dahi bingung, tumben banget nih anak.
"Halo?"
"Lo dimana?"
"Mau jemput Franda baru caw ke rs jenguk Ico."
"Kenapa?"
"Oh gapapa."
"Kenapa sih lo kok tiba—" panggilan diputuskan sepihak.
Keanno lantas menaruh ponselnya kembali diatas dashboard sambil memberhentikkan mobilnya persis di daerah SMA Franda.
Entah kenapa rasanya Keanno sungguh membenci sekolah ini kalau saja ia tidak menjemput Franda. Ia tidak akan sudi menginjakkan kaki di sekolah Franda.
Franda kemudian mengetukkan kaca mobilnya dan otomatis Keanno membuka tombol lock sesaat kemudian Franda bergabung bersama Keanno di mobil.
"Gue langsung balik nih?" Franda menoleh menatap Keanno yang mengendarai mobil dengan santai.
"Emang lo mau kemana dulu?" Sesekali Keanno menoleh kearah Franda.
"Nggak tahu juga sih gue." Franda menyengir kemudian menggaruk rambutnya yang tak gatal.
"Oh iya. Lo mau jenguk si Ico 'kan?" Gue ikut dong boleh nggak?" tambah Franda.
"Hah?"
Franda menganggukan kepala sembari tangannya memohon agar ia diizinkan untuk menjenguk Ico di rumah sakit. "Plis, plis."
Sebenarnya bukannya Keanno tidak mau, cuma lebih tepatnya ia malas. Karena ia takut Franda menaruh ekspetasi yang besar akan dirinya.
"Ya Keanno? Lagian gue kenal kok sama Ico," pintanya lagi.
"Lo nggak takut apa 'kan gue dan temen-temen gue abis tawuran sama SMA lo," ujar Keanno menakut-nakuti agar Franda mengurungkan niatnya untuk ikut menjenguk Ico.
Namun dugaannya salah, Franda malah menggelengkan kepalanya kuat. "Nggak 'lah. Lagian gue juga tau kalo lo dan temen-temen lo nggak sebejat itu sampe ngebiarin cewek juga jadi sasaran lo-lo pada."
Pinter juga nih cewek. Alhasil kini Keanno hanya bisa menghembuskan nafas beratnya sembari pasrah.
"Ohiya kata lo kemarin nggak papa, kok muka lo keliatan lebam-lebam gitu?" Franda bertanya panik ketika menemukan kejanggalan yang ada pada wajah Keanno.
"Ya namanya tawuran kalo lo nggak lebam ya patah tulang."
Franda justru memukul bahu Keanno. "Ih lo tuh ya! Hobi banget bikin gue panik."
Keanno kini terkekeh, luka lebamnya memang sudah lebih mendingan setelah diobati pagi dan siang hari oleh mamanya.
Begitu melihat plang Rs. Medika Prima, Keanno langsung membelokkan stirnya dan memarkirkan mobilnya sempurna.
"Gue jelek nggak? Kucel gitu?" Franda bertanya namun pandangannya masih terpaku pada cermin.
"Lo nggak pedean apa gimana?"
"Bukan gitu, gue 'kan baru balik sekolah. Ya pasti kucel gitu, seengaknya rambut gue deh nggak bad hair," balas Franda sambil merapihkan rambutnya.
Begitu Keanno lihat Franda sudah selesai merapihkan diri, keduanya lantas keluar dan berjalan kearah ruang rawat inap Ico.
Langkahnya kini hampir di pinggir koridor rumah sakit sebelum seseorang memanggil Keanno dan membuat keduanya menoleh.
"Hoi baru dateng—BRUGG!!" Sebuah bogeman mendarat persis di pipi Keanno.
"Anjing! Lo kenapa—BRUGG!!" Nando seakan tak ampun untuk memberi Keanno bogeman.
Saat ia menemukan celah, segera Keanno melayangkan tonjokkan berkali-kali terhadap Nando. Persetan dengan akibat dari perbuatannya.
"Udah!!! Udah!!!! Cukup!!!!" Franda berteriak histeris hingga mampu mendatangkan kedua satpam.
Kedua satpam itu lantas segera menahan keduanya, walau perlu tenaga ekstra untuk menahan amarah diantara keduanya yang kian membludak.
"MAU LO APA SETANNN!!!" teriak Keanno terhadap lawannya.
"ELO YANG MAUNYA APA," Nando tersenyum miring kemudian melanjutkan ucapannya. "LO SUKA 'KAN SAMA TASYA?"
Keanno diam dan mengerti penyebab dari kemarahan Nando.
"EMANG KENAPA? LO SIAPANYA?"
Kali ini salah satu satpam yang menahan Nando kini seolah tidak sanggup lagi, karena Nando sudah lepas dari tahanan tangannya.
Kembali satu bogeman melayang ke wajah Keanno. Nando membogem membabi buta lantas setelah merasa lawannya melemah ia pergi dari tempatnya.
"IYA GUE SUKA SAMA TASYA, KENAPA?" Pekik Keanno yang membuat langkah Nando sempat terhenti.
Nando melirik sinis sekilas kemudian meludah sembarang dan berjalan pongah merasa bahwa dirinya cukup puas untuk menghabisi Keanno.
Di tempat lain, ada seseorang yang tiba-tiba merasakan kilat yang sontak membuat tubuhnya kaku dan menegang. Lagi-lagi otaknya terus me-reka ulang ucapan laki-laki yang kini memberontak dan berhasil membuat kedua satpam itu pergi.
Jadi......selama ini dirinya yang terlalu banyak berharap?
Perlahan mata Franda kian memanas karena menahan bulir bening itu lolos. Begitu Keanno mendekat, Franda berusaha bertingkah bahwa tadi ia tidak mendengarkan apa-apa.
"Maaf ya lo harus ngeliat gue ribut gini," Keanno berujar sembari sesekali meringis kesakitan.
"Tuh, katanya lo bakal nggak bakal kenapa-napa."
Keanno justru menyengir kuda.
"Mumpung kita di rumah sakit, lo sekalian ya ke dokter. Gue takut tulang di wajah lo kenapa-napa," ujar Franda sedikit khawatir.
"Nggak usah, mama gue obat paling ampuh kok," Keanno terkekeh.
"Yaudah yuk!" Franda berkata kemudian melangkahkan kakinya kembali menuju mobil milik Keanno.
"Lho, lo nggak mau masuk ke rumah sakit?" setelah Keanno berupaya menyeimbangkan langkahnya, kini langkah keduanya sempat terhenti karena pertanyaan Keanno itu.
"Ampun deh gue sama lo. Wajah lo kayak gitu, tiap jalan juga gue tahu lo kesakitan 'kan?" Keanno mengangguk, kemudian mengikuti langkah Franda yang berjalan mengarah ke mobil Keanno.
"Lo mau ngapain disini?" Keanno bertanya aneh setelah keduanya seolah mengantri di pintu kemudi mobil.
"Nyetir."
"Nggak! Nggak ada, gue masih kuat."
Franda menghembuskan nafasnya kasar, ternyata Keanno keras kepala juga.
"Keanno, plis lo dengerin gue sekali aja. Nanti di pinggir jalan kita berenti cari warung buat beli es batu."
"Fran—awww," Keanno seakan tak mampu menuntaskan ucapannya kala angin seolah membelai wajah bengapnya itu.
"Tuh 'kan! Udah sana naik," Franda membuka pintu mobil kemudi dan mulai menjalankan mobil Keanno.
Suasana mendadak hening, keduanya seolah menikmati semburat oranye yang tercetak lewat kaca mobilnya.
"No."
"Da."
Lantas keduanya terkekeh, Franda sesekali mengalihkan pandangannya kearah Keanno. Dan Keanno kini benar-benar menatap Franda dari samping.
"Lo dulu deh," ujar Franda mengalah.
"Lo dulu deh, ladies first," Keanno ganti mengalah.
"Lo mau nanya apa mau ngomong?" tanya Franda.
"Nanya."
Franda berdeham kecil. "Hmm yaudah deh, gue nanya dulu terus lo juga nanya."
"Tapi kita jawab nanti ya?" Franda melirik Keanno yang sedang memamerkan sederet giginya, ya walaupun wajahnya terlihat membengkak namun itu sama sekali tidak mengurangi pesona Keanno seperti biasanya.
Keanno mengangguk setuju, sementara Franda lanjut mengutarakan pertanyaannya. "Lo suka sama Tasya?"
Keanno membisu sempurna.
"No?" Franda melanjutkan, "Gantian lo yang nanya."
Tadinya Keanno hanya ingin menanyakan sekilas tentang kenapa sekolah Franda membakar batik milik SMAnya Keanno. Cuma semuanya ambyar seketika, saat Franda berbicara seputar ucapannya tadi pada Nando.
Dan kali ini, semoga pertanyaannya tidak akan menyakiti Franda kalau nyatanya diluar dugaan Keanno, dia akan menjawab jujur bahwa ia menyukai Tasya.
"Kalo gue suka kenapa?" bersamaan dengan itu tiba-tiba Franda ngerem mendadak, untung jalanan kali ini tidak begitu ramai.
Franda membuka seatbealtnya. "Eh sori, itu ada warung di depan. Gue beli esbatu dulu ya buat wajah lo."
***
Sinar mentari bahkan sudah menelusup ke sela tirai jendela kamar Tasya, namun pemilik kamar itu masih nyaman dalam posisi telungkup dalam tidurnya.
Sebelum sesaat suara laki-laki paruh baya memanggilnya dengan gerakan mengetuk-ngetukkan daun pintu.
Suara yang cukup besar dan berkali-kali itu berhasil merenggut kenyamanannya hingga membuat dirinya kini berjalan gontai membuka kunci kamarnya.
"Lho kamu belum bangun?" Tasya menggeleng kemudian berjalan kearah tepi ranjang.
Papanya kemudian mengikuti gerakan serupa dengan duduk ditepi ranjang. "Siap-siap gih!"
"Mau kemana?"
"Mau ke makam Syahla."
Mendengar nama almarhumah adiknya itu menimbulkan rasa getir yang terlalu kentara di dadanya, terkadang ia sering bertanya-tanya. Kenapa Tuhan memberikan sebuah pertemuan singkat yang sangat menggoreskan luka didada Tasya dan kedua orang tuanya.
"Yaudah papa keluar, aku mau siap-siap." Papanya menurut lantas beranjak untuk keluar dari kamar putri semata wayangnya.
Dengan sesegera mungkin ia menyiapkan dirinya dari mandi hingga tetek bengeknya— dan tak membutuhkan waktu lama juga untuk seorang Tasya Afany dalam merias diri.
Karena dasarnya ia tidak terlalu suka memoles diri. Mungkin hanya memilih baju sebagai outfit, memoleskan bibirnya dengan lipbalm, terakhir ia menggerai rambut seadanya.
Setelah merasa semua siap, ia segera menuruni anak tangga dan berjalan ke ruang keluarga. Disana, ia melihat kedua orang tuanya yang sudah berpakaian rapi dan duduk persis sedang menunggu seseorang. Dan orangnya itu adalah, Tasya.
Ketiganya kemudian sudah ada di dalam mobil, dan papanya yang sedang menjalankan mobil. Tidak ada perbicangan hangat keluarga karena mungkin ketiganya sama-sama larut dalam peristiwa dua tahun lalu.
Peristiwa dimana keluarga kecil yang dimiliki Dody Afandito merasa kehilangan separuh jiwanya. Kenyataan pahit yang menamparnya hingga menimbulkan sayatan yang seolah tak ada obatnya.
Kala itu, derai airmata tak cukup menggambarkan perasaan ketiga anggota keluarganya. Hampir setiap waktu mereka habiskan untuk memanjatkan doa dengan perasaan mencoba ikhlas menerima semuanya.
Hingga saat ini, semuanya nampak sudah seperti biasa. Karena pada akhirnya setiap manusia merupakan titipan Tuhan di bumi. Bukankah tiap titipan akan diambil sama si Empunya?
"Jadi lima puluh ribu, Buk," kata penjual bunga, dan Rita segera memberi selembar uang berwarna biru.
Karena letak TPUnya tidak begitu jauh dari rumah Tasya, maka mereka sudah sampai beberapa menit yang lalu, bahkan mamanya sudah sempat membeli taburan bunga untuk makam Syahla.
Begitu sampai di depan makam Syahla, ketiganya langsung khidmat untuk berkejaran mengirim doa. Sesempurna itu, karena Tuhan pasti selalu menggengam doa umatNya.
Dan yang perlu kalian ketahui, cara terbaik dalam berkeluh kesah adalah menceritakan semua dengan doa, tak lupa beriringan dengan ucapan syukur.
Kemudian ketika ketiganya sudah selesai mengirimkan doa, jemari ketiganya langsung menaburkan bunga di sekujur makam kecil milik Syahla.
"Sudah?" Papanya bertanya seraya bergantian menatap Tasya dan Rita, istrinya.
Tasya dan mamanya sontak menggangguk setuju.
Kemudian langkah ketiganya berjalan kearah mobilnya berada. Sesaat setelah menemukan mobilnya, papanya kembali menginjak pedal gas dan mobil tersebut kembali membelah jalanan siang.
"Kita makan dulu ya, papa laper." Papa Tasya memberi pernyataan.
Tasya mengangguk antusias bersamaan dengan bunyi penghuni perutnya. "Iya ayok pah, Tasya juga laper."
"Paket komplit ini, papa dengan Tasya," mamanya berujar sembari terkekeh.
"Namanya juga Tasya Afanny anak dari Dody Afandito," papanya berkelakar.
Tasya mendengus karena tidak paham akan ucapan papanya. "Apaan sih pah! Aku nggak ngerti."
"Nanti kita fotobox juga ya, kayanya lucu." Papanya melanjutkan, "Soalnya temen di kantor papa pada banyak yang fotobox."
Tasya malah terkekeh. "Ah dasar papa zaman now."
Mamanya diam-diam merasakan sebuncah rasa bahagia melingkupi batinnya, sembari menggumamkan kata kecil dihatinya. Kamu bahagia ya Nak, sama Tuhan disana. Mama, papa dan Kak Tasya selalu menyayangimu.
***
Si Tasya ngilang dulu dari dua babang gantenggg. Yang satu arab, yang satu item manis. Aduh ra kuat dd :(
[jd gue kmrn2 abis libur seminggu eh bru sadar stok di draft udh sold. sebenernya w tau sih gada yg nunggu, cm jatohnya kek komitmen aja drawal pgn bikin cerita smpe ending.]
Bogor, 24 Maret 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top