Part 15

Selamat membaca^^

***

"Gue?" Dan beberapa detik kemudian tawa Nando pecah. Sementara Tasya hanya diam entah canggung atau dia merasa malu.

Telapak tangan Nando lantas mendarat di puncak kepala Tasya kemudian mengelusnya lembut. "Lo lucu banget sih."

Setelahnya Tasya merasakan apa yang sering ia baca di novel. Merasakan bagaimana rona hangat menjalar kepipinya, lalu segerombolan kupu-kupu seakan senang bersemayam di perutnya.

Dalam hati, Nando merasakan hal yang sama seperti Tasya. Beginilah cinta, menit seakan bergerak lebih cepat. Walau tanpa mereka ketahui, dua insan itu bahkan menginginkan waktu berhenti berpedar.

Segera Tasya menuntun tangan Nando itu turun dari puncak kepalanya. Bisa jantung koroner juga lama-lama!

Lantas Tasya melirik benda dipergelangan tangannya yang menunjukkan pukul tujuh malam.

Nando yang seakan mengerti apa yang ada di pikiran Tasya pun lantas mengutarakan pendapatnya. "Mau pulang?"

Tasya mengangguk, entah mengapa ucapannya tadi masih mampu membuat gadis itu menjadi kikuk sendiri. Bola matanya lantas menatap kaca pintu yang tak lagi terlihat semburat oranye di luar sana.

Nando berdiri lantas mengulurkan tangannya. "Yuk?" ada jeda. "Cewe nggak baik pulang malem sendiri."

Spontan Tasya meraih uluran tangan itu dengan tangan satunya yang mengenggam sebucket bunga tadi. Dan kali ini, Tasya melupakan apa yang tadi membuat perasaannya dirundung awan tebal.

Motor Nando lantas kembali menyapu jalanan malam. Di atas motor, ada dua jantung yang sama-sama berpacu lebih dari biasanya. Sebongkah rasa euforia mendominasi perasaan keduanya.

Tanpa terasa, motor Nando kali ini sudah berhenti di depan rumah Tasya. Perempuan itu lantas bangkit dan berdiri persis di samping motor Nando.

"Makasih ya," kata Tasya dengan seulas senyuman.

Nando mengangguk kemudian melemparkan senyum juga pada Tasya. "Jangan malem-malem ya tidurnya."

Tasya mengangguk patuh. "Hati-hati ya."

"Siap!" ada jeda, "Gue pulang dulu ya."

Dan setelahnya, motor berwarna hitam itu menjauh dari arah rumahnya. Tasya lantas masih berdiri seperti baru saja merasakan mimpi, ternyata ini yang namanya jatuh cinta.

Sepertinya malam ini, bersama langit hitam pekat dan bintang yang berkilau itu menjadi saksi bahwa secercah perasaan pada Keanno sudah menghilang.

Atau, mungkin ini hanya pengalihan rasa sedihnya dari Keanno yang tadi bersama perempuan yang entah bernama siapa.

***

Kaki Tasya kini sudah mencapai pintu kelasnya, hari ini Tasya juga ingin menceritakan tentang kejadian semalam. Matanya berbinar kala menemukan Klarisa telah berada di kelas.

Klarisa mengangkat wajahnya yang semula ia tundukkan di bantalan lengannya.

"Lo kenapa?" tanya Tasya ketika pantatnya sudah mendarat di kursi sebelah Klarisa.

Tanpa menjawab Klarisa langsung memeluk Tasya dan meloloskan beberapa bulir bening itu. Tasya sebenarnya sedikit kaget, melihat bola mata Klarisa yang membengkak. Sorot matanya juga tersirat sebuah kesedihan.

Tangan Tasya lantas menepuk-nepuk punggungnya perlahan berupaya meredakan kesedihannya. "Lo kenapa? Cerita sama gue."

Klarisa hanya diam dan sesekali isakkan tangisnya terdengar kecil.

"Kalo lo nggak bisa cerita sekarang nggak papa, lo tenangin diri aja dulu." Klarisa lantas mengurai pelukannya dan menghapus airmatanya.

Kemudian Klarisa menghembuskan nafasnya bersamaan dengan kedatangan Niara yang langsung melongo.

"Lo kenapa? Si Revan ngapain lo?" Tasya segera meletakkan telunjuk di bibir, mengisyaratkan agar Niara diam dulu.

Pandangan Tasya lantas ia arahkan kembali pada Klarisa. "Udah enakan?"

Klarisa mengangguk. "Jadi gue baru tau tadi malem kalo-"

Ucapannya terhenti ketika ketukan heels beradu dengan lantai kelasnya. Bersamaan dengan itu bel kembali berbunyi. Bu Dian langsung mengisyaratkan kita untuk berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Bu Dian kembali duduk di kursi singgasanannya setelah pembiasan seperempat jam yang lalu. "Ayo, sekarang duduk sama kelompoknya masing-masing."

Sama Keanno? Tasya kemudian mendesah kecil. Kenapa harus dengan Keanno, ah bahkan mengingat wajahnya mampu menarik ingatannya kemarin. Ketika Keanno bersama perempuan itu.

Mau tidak mau, Tasya harus mendekatkan diri ke bangku dimana Caca, Abyan dan Keanno berada. Tasya memilih duduk bersebelahan dengan Caca dan berhadapan dengan Abyan.

Semoga saja, kenyamanannya pada Nando kemarin bukan untuk pereda sejenak dari rasa sakitnya yang tak bisa Tasya pungkiri.

"Tugas masing-masing kelompok ialah menjelaskan faktor-faktor munculnya pergerakan nasional. Satu kelompok satu point ya," intruksi bu Dian.

Telunjuknya terarah pada kelompok yang berisikan Klarisa. "Kelompok satu, tentang rasa senasib dan sependeritaan."

Lantas telunjuk bu Dian kembali menari indah di udara hingga kali ini jemarnya itu menunjuk ke kelompok Tasya. "Kelompok empat, tentang munculnya paham-paham besar di dunia."

Setelah semua kelompok diberi point yang berbeda-beda, dan bu Dian memberitahu jika tugasnya berupa makalah dan power point. Bu Dian kembali sibuk berkutat dengan sekumpulan lembar-lembar.

"Mau bagi-bagi aja?" tanya Caca menoleh bergantian pada anggota kelompoknya.

"Bagi-bagi?" tanya Abyan sedikit bingung.

Caca mengangguk. "Iya, jadi yang cewek bikin ppt, terus yang cowok bikin makalah. Atau terserah?"

Tasya mengangguk antusias. Setidaknya tidak akan ada percakapan kecil antara dirinya dengan Keanno. "Gue setuju. Gitu aja kali ya?"

Semuanya sontak diam, memperhatikan satu anggota kelompoknya yang masih asik bersama ponselnya.

"No gimana setuju nggak?" Caca bertanya.

"Hah? Hah? Gimana apaan? Ah sial gue kalah. Cacat. Ah turun ini mah pangkat gue." Keanno terus bermonolog dengan pandangan yang masih terpaku pada ponselnya.

Tanpa Keanno ketahui, kini Bu Dian mendengar monolognya dan berada di belakangnya. Tapi tetap saja, Keanno belum enggan menaruh ponselnya itu.

Langkah bu Dian terus mendekat, dan hap! Hape Keanno kini sudah berada digengamannya. Keanno lantas sedikit kaget namun hanya sekilas, karena ekpresi berikutnya ia menggarukkan kepalanya sambil memamerkan sederet giginya.

"Eh ibu," sapanya sambil menyengir kuda.

"Bagus ya kamu! Bukannya bantuin temennya malah main ponsel," celoteh bu Dian yang terdengar terselip nada tidak sukanya persis seperti nada guru matematika tempo lalu.

"Itu tadi saya mau hubungin or-"

"Tidak ada alasan! Hapenya ambil pulang sekolah, ketemu saya di ruang guru," potong Bu Dian lantas meninggalkan kelompok ini.

"Makannya jangan mainan hape mulu," tukas Caca dan Keanno hanya balas mendengus.

Tasya yang melihatnya, tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepala. Ada-ada saja tingkahnya. Kali ini Keanno mengusap kasar rambutnya.

Dalam hati Keanno mengumpat habis-habisan, bagaimana tidak coba saja tadi ia menang dan mendapatkan banyak bintang, pasti ia akan mudah naik pangkat.

Lantas Keanno mengacak rambutnya kesal karena aksinya tadi berujung sitaan ponsel. Pandangannya kini ia angkat dan lagi manik mata itu bertemu itu.

Andai keduanya sama-sama tahu bahwa di dalam sana, ada jantung yang tengah berpesta pora dan desiran darah menjalar yang kemudian seolah menghangatkan hati keduanya.

Andai.

Mata keduanya terus beradu. Baik Tasya maupun Keanno sama-sama terbawa pada lautan hitam disana.

"Apa?" tanya Tasya dan detik kemudian Keanno memutuskan kontak matanya.

Sebenarnya Keanno belum enggan memutuskan kontak matanya, namun ia takut Nelvan melihat dan berujung mencurigai aksi Keanno tadi.

Untuk hatinya sendiri, Keanno masih merahasiakannya rapat-rapat. Mungkin banyak orang tahu bahwa Keanno sekarang menyukai Franda. Tidak apa, justru Keanno senang setidaknya biar mereka tahu jika selera Keanno se-high itu.

Walau pada kenyatan dirinya-

"Udah ya gitu aja?" tanya Caca sekali lagi membuat pikirannya terpecahkan.

"Apa sih apa? Gue gapaham," sahut Keanno.

Caca mendengus. "Makannya jangan main hape mulu lo! Jadi dibagi dua yang cewek bikin ppt, yang cowok bikin makalah. Gimana? Tinggal lo doang yang belum setuju?"

Keanno diam memikirkan sejenak.

"Nggak ah, gue gapaham. Kerkom aja deh," tolak Keanno.

"Lagian nih, lo nggak kasihan apa sama gue dan Bian? Cowok tuh pusing sama kata pengantar dan tetek bengeknya. Lagian kalo makalahnya jelek, imbasnya kena nilai-nilai lo pada," alibi Keanno padahal diam-diam ia menyusun sebuah rencana.

Tasya diam tidak mengerti arah pembicaraan ini. Bukannya bagus kalau nggak usah kerkom? Jadi Tasya tidak harus melihat laki-laki yang sering mencampuradukkan perasaannya.

Abyan dan Caca lantas menggangguk setuju. Benar juga perkataan Keanno. Nilai harian 'kan justru presentasenya lebih besar untuk menaikkan nilai rapor.

Abyan bertanya pada Tasya yang nampaknya hanya membatu. "Lo gimana Sya? Setuju nggak?"

"Eh?" ada jeda. "Iya gue setuju kok." jawab Tasya lantas bergantian menatap anggota kelompoknya.

"Jadi kerkomnya kapan?" kata Abyan sambil membenahi kacamata yang bertengger diatas hidungnya.

"Besok?" tanya Caca dan semuanya serempak mengangguk.


***

"Lo tadi mau cerita apa?" tanya Tasya ditengah riuhnya siswa yang lalu lalang hendak memesan makanan. Walau bel pulang sudah berbunyi setengah jam lalu.

Setelah tadi cerita Klarisa terpotong karena datangnya bu Dian, kini mereka memutuskan untuk bercerita saat pulang sekolah.

Klarisa lantas menghembuskan nafas beratnya. "Jadi tadi malem, nyokap gue bawa cowok. Dan tiba-tiba nyokap gue bilang kalo dia mau nikah sama cowok itu."

"Dan gue nggak setuju. Terus gue berantem sama Nyokap. Gue tuh nggak mau ada yang gantiin posisi pa-" Ucapan Klarisa kali ini digantikan oleh isakkan tangisnya.

Niara kini mengelus punggung Klarisa berharap menenangkannya. Sedangkan Tasya mengusap lembut tangan Klarisa. "Udah, nanti lagi aja ceritanya kalo lo nggak kuat."

Namun Klarisa menggeleng sembari menghapus jejak airmatanya. "Disitu nyokap gue bilang kalo gue nggak setuju. Gue disuruh angkat kaki."

"Terus?" tanya Tasya pelan.

"Pulang sekolah nanti, gue mau minggat ke rumah oma aja." Klarisa lantas menghembuskan nafas dan kembali melanjutkan ucapannya. "Gue nggak sudi punya bokap baru."

Klarisa memang merupakan anak yatim. Kalau Tasya tidak salah, papanya meninggal sejak Klarisa duduk di bangku kelas satu smp.

Kini gantian Niara yang bertanya menatap Klarisa. "Revan tahu?"

Klarisa mengangguk. "Dia malah maksa gue buat nerima. Ya nggak segampang itu, terus sekarang gue ribut sama dia. Nggak tahu lah hubungan gue sama dia ntar gimana."

"Lo tenangin diri dulu aja," jawab Tasya. Ya, Tasya tahu jelas bahwa Klarisa itu harus dibiarkan saat dirinya sudah tenang.

"Jadi?" Tasya melanjutkan. "Kita pesen grabcar ngambil barang ke rumah lo terus ke rumah oma lo?"

Klarisa mengangguk lemah. "Tapi nggakpapa lo pada nemenin gue?"

Kali ini Tasya dan Niara mengangguk semangat. "Gue sayang sama kalian, thanks ya baby bala-balaku"

Ketiganya lantas terkekeh mendengar penuturan alay dari Klarisa, sebelum beberapa saat kemudian suara deheman membuat suasana hening.

"Gue boleh gabung?" seolah gerakan itu sedang diatur, kini kepala ketiga perempuan itu mengadah keatas. Melihat siapa sumber suara itu.

Niara dan Klarisa sontak ternganga, seolah mendapat izin dari ketiga perempuan itu lantas Nando mendudukan bokongnya di sebelah Tasya.

Dengan gerakan serupa, Niara dan Klarisa memicingkan matanya curiga.

"Jadi? Lo jadian sama dia?" tanya Niara bingung, bagaimana bisa Tasya menjadi luluh seketika pada Nando.

Tasya menggeleng cepat. "Nggak ih, dari kemarin lo semua sok tahu."

Sejak kemarin malam saat kejadian di Cafe kemarin bersama Nando. Laki-laki itu kini terang-terangan untuk mendekati Tasya. Contohnya saat ini, ia mulai mengetahui kebiasaan Tasya dengan kedua temannya yang sering bersarang di kantin saat jam pulang sekolah. Dan karena itu Nando memutuskan untuk mengunjungi kantin.

Nando kemudian memamerkan sederet giginya pada kedua teman Tasya. "Baru deket."

Haduh! Kenapa Tasya tiba-tiba seolah merasakan kepakan sayap kupu-kupu di perutnya kemudian sensasi hangat kian menjalar di tubuhnya.

Nando Zaidan. Tasya baru tahu jika Nando itu ada face arab-arabnya. Mukanya yang putih dengan hidung mancung serta tinggi yang mungkin mirip-mirip dengan Keanno.

Shit! Kenapa harus juga Tasya membayangkan Nando dengan Keanno?

"Mau pada balik?" Klarisa mengangguk cepat, disusul dengan anggukan dari Niara.

"Gue bawa mobil kok," lanjut Nando.

Klarisa mengacungkam jempolnya. "Bagus, soalnya mereka mau ke rumah gue dulu ada something."

"Nggak ganggu qtime lo berdua 'kan?" Tasya lantas mengangguk.

"Yuk." Niara beranjak dari kursinya kemudian disusul dengan Klaria yang menyeimbangi Niara.

Sementara Tasya, dia jalan bersisian dengan Nando. Tanpa pegangan tangan, yaiyalah ini sekolahan!

Langkah demi langkah terus mereka arahkan pada sebuah tempat parkiran. Namun siapa sangka, sebelum ia mencapai mobil yaris hitam itu, ada seseorang yang hendak mengeluarkan motor dan orang itu adalah Keanno.

"No!" teriak Nando. Ah ngapain juga sih Nando pake manggil Keanno segala.

Laki-laki yang dipanggil 'No' itu lantas mengangkat pandangannya. Melihat kearah Nando dan bergantian kemudian ia menerbitkan sebuah senyum sekilas.

"Mau jemput Franda?" Nando bertanya.

Keanno lantas mengangguk. "Yoi, gue duluan ya." Setelah itu vespa matic Keanno berjalan menjauh dari sini.

Nando dengan sigap membukakan pintu mobilnya itu untuk Tasya. Dan dibalas sebuah ukiran senyum oleh Tasya.

Sepanjang perjalanan lagi-lagi Keanno memenuhi ruang di benak Tasya. Tak ada lagi gelenyar hangat yang membuat pipinya merona akibat perlakuan Nando.

Nando sesekali melirik kearah Tasya yang kini hanya menatap kosong jalanan. Entah apa yang ia pikirkan.

"Sya?" panggil Nando.

Tasya sedikit tersentak lantas menoleh ke samping. "Apa?"

"Lo hobi bengong?" canda Nando sembari terkekeh.

Tasya tertawa kecil mendengar penuturan Nando.

"Tuh! Di depan belok kiri, Do," Intruksi Klarisa lalu Nando membelokkan setir kearah rumah tingkat bercat abu-abu itu.

Segera Klarisa keluar dari mobil, menyisakkan Nando, Tasya dan Niara disana.

"Lo kenal Nelvan?" Niara bertanya pada Nando.

Nando mengangguk sekilas. "Kenal, kenapa? Mau disalamin?"

"Hah?" ada jeda. "Enggak gue nanya doang."

Tasya melihat kebelakang, kearah Niara. "Udah sih, salamin aja Ra. Siapa tahu dapet."

Niara mendengus. "Dapet-dapet. Undian kali ah."

"Ohiya, lo nggak ada acara 'kan?" Tasya bertanya sembari

"Cie mau ngajak pergi si Nando ya," Niara terkekeh sendiri.

Nando lantas ikut terkekeh. "Nggak. Emang kenapa?"

"Habis ini kita mau ke rumah omanya si Klarisa dulu."

Nando mengacak rambutnya.

"Coba deh lo hitung berapa kali gue ngatain lo lucu." Nando melanjutkan, "Tingkah lo tuh, masa iya gue tega nurunin kalian. Terutama lo."

Niara lantas mencibir. "Aduh masnya nge-gombal mulu nih. Mbanya malah diem tersipu gitu." Niara memajukan dirinya lantas menoel lengan Tasya sembari terkikik.

"Siapa tahu, lo ada acara gitu," balas Tasya. Kali ini semuanya benar-benar terasa hambar, ucapan Nando tadi bahkan sama sekali tidak menimbulkan efek apapun.

Bersaman dengan ucapan Tasya usai, Klarisa datang dengan ransel besar, juga ia bergabung di mobil ini dengan bersimbah airmata. Ia bahkan menutup seluruh mukanya, walau demikian isakkannya tetap terdengar lirih.

***

Bogorrrr, 23 februari'17

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top